Entah sudah berapa kali saya mendengar pertanyaan ini, tapi orang-orang dalam menjawabnya juga terjebak dalam kecacatan bernalar. Pernah suatu hari, ada acara semacam pengkaderan. Forum ini diisi oleh peserta yang mengaku Ahlussunnah. Pemateri bertanya “Bagaimana bentuk Tuhan?” ada peserta dengan nekat menjawab bahwa Tuhan itu sangat besar! Saking besarnya, mata tidak bisa melihat. “Terus?” pancing pemateri. “Tuhan itu penuh dengan cahaya, memiliki sayap, dan penampakannya agung.” Setelah itu, peserta lain juga menimpali bahwa Tuhan itu lebih besar dari alam semesta. Pemateri itu mengangguk, seolah dia menerima jawaban dari peserta ini.
Saya berprasangka baik, pemateri ini akan memberikan jawaban yang wow. Ternyata, pemateri ini hanya memberikan jawaban apologis nan pragmatis. Katanya, apapun bentuk Tuhan, dia lebih tahu. Lucunya, mereka sama-sama terjebak dalam kecacatan bernalar. Tapi, hanya berbeda cara dalam tersesat.
Masalah Krusial
Kalau kita membedah cara bernalar dua kubu yang saling berdialektika itu, mereka secara diam-diam menyepakati satu hal: Tuhan memiliki bentuk tertentu. Terlepas apakah mereka “mengaku” tahu bentuk Tuhan atau tidak. Yang jelas, titik sepakatnya Tuhan memiliki bentuk. Masalahnya adalah kenapa mereka tidak mulai mempertanyakan “Apakah Tuhan memiliki bentuk?”.
Saat mereka menjawab “Bagaimana” itu, berarti secara tidak sadar mereka menerima Tuhan memiliki bentuk. Untuk apa mereka membahas ke-bagaimana-an bentuk Tuhan jika sejak awal mereka sepakat bahwa Tuhan tidak memiliki bentuk?
Tapi, ketika pertanyaan ini dilontarkan sekonyong-konyong tanpa mempertanyakan apakah Tuhan memiliki bentuk atau tidak, maka mereka terjebak dalam satu kecacatan bernalar yang dikenal dengan istilah fallacy of oversimplification question atau kecacatan bernalar karena menyederhanakan pertanyaan yang sebetulnya rumit secara berlebihan.
Sebelum menerima bagaimana bentuk Tuhan, seharusnya mereka bertanya dulu, apakah kebentukan Tuhan itu betulan ada atau tidak? Saat mereka “lompat” ke masalah selanjutnya, tanpa ada prosedur logis di awal, inilah titik kesalahan yang mereka tanam bersama. Ibaratnya, Anda bertemu dengan laki-laki jomblo lalu bertanya: “Siapa nama istrimu?”. Kira-kira, laki-laki itu akan menjawab dengan memberikan identitas tertentu? Jelas tidak. Justru, laki-laki itu akan membalas: “Maaf, saya belum menikah.” Alih-alih menjawab “siapa” dengan membuka identitas tertentu dalam pertanyaan tersebut. Di sinilah kekeliruan pertanyaan tersebut dan pertanyaan yang keliru, mustahil melahirkan jawaban benar.
Ironinya, bukan hanya mahasiswa yang terjebak dalam kecacatan bernalar seperti ini, bahkan sekelas dosen dan guru besar terkadang turut berpartisipasi dalam menyepakati kebentukan Tuhan ini melalui pintu kecacatan bernalar yang sama. Padahal, khayalan tentang kebentukan Tuhan itu, tidak pernah direstui syariat.
Kalau bernalar demikian bermasalah, bagaimana Ahlussunah menjawab isu seperti ini? Mari kita bedah.
Apakah Tuhan Berbentuk?
Dengan tegas, Ahlussunnah menafikan segala bentuk keserupaan Tuhan dengan makhluk, salah satunya bentuk itu. Dasarnya, ada dalam Al-Qur’an:
…لَيْسَ كَمِثْلِه شَيْء…
“…Tidak ada yang seperti serupa dengan-Nya…” (Al-Syura: 11)
وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَد
“Tidak ada yang setara dengan-Nya” (Al-Ikhlas: 4)
Atas dasar ini, Tuhan tidak serupa dengan apapun, baik dalam hal berwaktu, bertempat, berorgan tubuh, berbentuk, ukuran, massa, berarah, terlintas dalam khayalan, dan segala aspek kemakhlukan lainnya. Tuhan Maha Suci dari itu semua. Inilah yang dikenal dalam Ahlussunnah sebagai sifat mukhâlafah li al-hawâdits; Tuhan tidak sama dengan makhluk.
Konsekuensi Kebentukan Tuhan
Imam Al-Sanusi, Ulama Otoritatif dalam Ahlussunnah, pernah menulis dalam Umm Al-Barâhin:
وأما برهان وجوب مخالفته تعالي للحوادث: فلأنه لو ماثل شيئا منها لكان حادثا مثلها، وذلك محال؛ لما عرفت قبل من وجوب قدمه تعالي وبقائه.
“Adapun argumen demonstratif akan (sifat) mukhâlafah li al-hawâdits: Seandainya Tuhan itu menyerupai sedikit saja dari al-hawâdits (makhluk), maka pasti Tuhan akan menjadi al-hawâdits seperti al-hawâdits itu sendiri, hal tersebut mustahil. Sebagaimana yang Anda ketahui sebelumnya, bahwa Tuhan itu harus qadîm dan baqâ’”. (Al-Sanusi, Syarh Umm Al-Barâhin, 2019, Damaskus: Dar Al-Taqwa, Hal: 213-214).
Perlu digarisbawahi bahwa segala sesuatu selain Tuhan itu pasti memiliki sifat hudȗts. Sifat hudȗts yang dimaksud adalah ada setelah mengalami ketiadaan. Sedangkan Tuhan itu qadîm; keberadaannya tidak didahului ketiadaan. Dua sifat ini tidak bisa bertemu, karena memiliki karakter kontras satu sama lain.
Seandainya kita “memaksakan” Tuhan itu memiliki bentuk, konsekuensinya Tuhan tidak beda dengan makhluk. Seandainya Tuhan memiliki kesamaan dengan makhluk, maka kemungkinannya ada dua; Pertama, Tuhan tidak qadîm. Karena Tuhan menyerupai makhluk yang notabenenya tidak qadîm. Kedua, ada sifat qadîm dan sifat hudȗts yang terhimpun pada Dzat Tuhan.
Dua kemungkinan tersebut mustahil secara akal. Karena jika Tuhan tidak qadîm, maka akan terjadi tasalsul dan tasalsul itu mustahil. Ini sebagaimana yang diafirmasi argumentasinya dalam masalah sifat qidam dan baqâ’. Adapun yang kedua, mustahil karena menabrak hukum kontradiksi.
Bentuk dan Makhluk
Dalam ilmu maqȗlât, bentuk (shȗrah) itu merupakan keniscayaan dari materi (mâddah). Sedangkan keduanya merupakan turunan dari substansi (jauhar). Dan materi merupakan turunan dari entitas kontigen (hâdits). Selain itu, jika Tuhan diasumsikan demikian, maka Tuhan akan menjadi materi, baik itu sebagai materi yang memiliki bentuk atau materi dasar (hayȗlâ). Skenario terburuknya, Tuhan akan memiliki bentuk fisikal-materil (al-shȗrah al-jismiyyah).
Jika kita turunkan kepada makhluk, ambillah papan tulis sebagai contoh. Papan tulis ini kita ketahui substansinya jika kita mengamati bentuknya. Materi dasarnya disebut dengan mâddah. Saat itu, papan tulis masih belum memiliki bentuk teramati. Tapi, di saat yang sama, papan tulis itu memiliki ketersiapan untuk menerima bentuk agar keberadaannya bisa diidentifikasi. Ketersiapan ini disebut dengan hayȗlâ. Saat kita mengamati papan tulis itu dengan kedua mata kita, maka yang kita amati dari papan tulis itu adalah bentuk atau diistilahkan dengan al-shȗrah al-jismiyyah. Ini berarti, apa yang kita sebut dengan bentuk itu, merupakan sifat makhluk.
Seandainya Tuhan merupakan materi, maka Tuhan butuh kepada bentuk untuk merealisasikan keberadaannya. Dan ketika Tuhan butuh, saat itu juga ia bukan Tuhan. Seandainya Tuhan memiliki bentuk fisikal atau al-shȗrah al-jismiyyah, maka ada dua konsekuensinya. Pertama, keberadaan Tuhan terbatas. Kedua, Tuhan bertempat. Kedua-duanya merupakan kekurangan bagi Tuhan.
Titik keterbatasan Tuhan saat memiliki bentuk fisikal, fisik itu memiliki titik ujung (al-hadd al-muntaha). Karena ketiadaan fisikal dan kekosongan ruang, merupakan ujung dari entitas fisikal itu sendiri. Saat Tuhan terbatas, maka keberadaan Tuhan terbatas dan tidak lagi absolut. Saat itu Tuhan memiliki kelemahan. Hal tersebut mustahil bagi Tuhan. Yang seperti itu, pasti bukan Tuhan.
Sedangkan jika Tuhan bertempat, Imam Al-Ghazali menyebutkan tiga konsekuensinya dalam Al-Iqtishâd fi Al-I’tiqâd. Pertama, Tuhan lebih besar daripada tempat. Ini mustahil, karena yang bertempat pasti lebih kecil daripada tempat. Kedua, Tuhan sama besar dengan tempat. Saat itu, maka ada yang menjadi saingan bagi Tuhan. Dan Tuhan tidak bisa dikatakan bertempat, karena jika Tuhan sama besar dengan tempat, maka Tuhan tidak di luar, tidak juga di dalam. Sedangkan yang bertempat, pasti di dalam tempat. Ketiga, Tuhan lebih kecil daripada tempat. Saat terjadi yang seperti itu, maka Tuhan tidak lagi Maha Besar. Karena tempat lebih besar daripada Tuhan.
Jika ada yang mengatakan Tuhan lebih besar daripada tempat itu bisa diterima, maka ada beberapa konsekuensi lagi; Pertama, terjadi qalb al-haqâ’iq. Kedua, Tuhan menjadi tempat. Kita tidak mungkin menerima ada entitas bertempat yang lebih besar daripada tempat. Saat itu terjadi, maka tempat itu tidak dikatakan tempat dan yang lebih besar itu tidak dikatakan bertempat kepada sesuatu yang lebih kecil. Seandainya kita menerima ini, maka akan terjadi qalb al-haqâ’iq. Qalb al-haqâ’iq itu mustahil, sebagaimana yang telah dijelaskan pada salah satu tulisan lalu. Sedangkan jika Tuhan menjadi tempat, maka saat itu ada beberapa konsekuensi lagi; Pertama, Tuhan tidak benar-benar ada. Karena keberadaan tempat itu sendiri tergolong i’tibâriy, bukan eksis. Kedua, saat itu Tuhan menjadi aksiden. Karena tempat itu salah satu aksiden. Saat Tuhan menjadi aksiden, maka Dia akan butuh kepada substansi. Tidak mungkin Tuhan butuh kepada apapun.
Setelah melihat deretan kemungkinan dan semuanya bermuara pada kemustahilan, inilah yang disebut oleh para logikawan dengan argumentum contradictoris atau burhân naqîdh; jika ada dua proposisi yang oposisif-dilematis, maka tidak bisa terangkat secara bersamaan dalam kebenaran. Harus ada salah satunya yang benar, satunya salah. Jika semua kemungkinan kebentukan Tuhan telah dibatalkan dengan kemustahilan, maka mustahil kemungkinannya benar, apalagi terealisasi di semesta. Yang diterima adalah kebalikannya; Tuhan Maha Suci dari tempat. Fahuwa mathlȗb.
Akhirul kalam, Syekh Mahmud ‘Abidin Al-Maliki Al-Azhari, Teolog Mesir, pernah menyampaikan satu ungkapan:
كل ما خاطر ببالك فالله بخلاف ذلك
“Apapun yang terlintas di pikiranmu (tentang Tuhan), maka itu pasti bukan Tuhan.”
Wallahu a’lam