Ruang Intelektual
  • Login
  • Daftar
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Ilmu Bahasa Arab
    • Nahwu
    • Sharaf
    • Balaghah
    • ‘Arudh
    • Qafiyah
    • Fiqh Lughah
    • Wadh’i
  • Ilmu Rasional
    • Ilmu Mantik
    • Ilmu Maqulat
    • Adab Al-Bahts
    • Al-‘Umȗr Al-‘Ammah
  • Ilmu Alat
    • Ulumul Qur’an
    • Ilmu Hadits
    • Ushul Fiqh
  • Ilmu Maqashid
    • Ilmu Kalam
    • Ilmu Firaq
    • Filsafat
    • Fiqh Syafi’i
    • Tasawuf
  • Ilmu Umum
    • Astronomi
    • Bahasa Inggris
    • Fisika
    • Matematika
    • Psikologi
    • Sastra Indonesia
    • Sejarah
  • Nukat
    • Kitab Mawaqif
  • Lainnya
    • Biografi
    • Penjelasan Hadits
    • Tulisan Umum
    • Prosa Intelektual
    • Karya Sastra
    • Ringkasan Buku
    • Opini
    • Koleksi Buku & File PDF
    • Video
Ruang Intelektual
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil

Kulliy Ketiga: Fashl

Oleh Muhammad Said Anwar
9 Oktober 2023
in Ilmu Mantik
Kulliy Ketiga: Fashl

Source: https://the.ismaili/global/news/features/the-development-medicine-muslim-societies

Bagi ke FacebookBagi ke TwitterBagi ke WA

Dua tulisan sebelumnya sudah membahas dua kulliy yang inti dalam merangkai definisi. Sementara untuk merangkai definisi, kita membutuhkan tiga kulliy. Kulliy ketiga itulah disebut dengan fashl (differentia).

Setelah kita mengetahui manusia kalau ia termasuk kategori haiwân, maka tentu kita harus mengetahui satu unsur yang membedakan mana manusia dan yang bukan manusia. Unsur pembeda itu biasanya kita dengar dengan kata nâthiq atau potensi berpikir. Lebih jelasnya nâthiq itu bermakna “quwwah al-mudrikah” (potensi untuk berpikir). Yang membedakan manusia dengan yang bukan manusia itu disebut dengan “fashl“.

Contoh lain yang familiar di kitab-kitab fikih yakni khamar. Kita telah mengetahui bahwa khamar itu jins-nya minuman. Tapi, jika hanya sebatas minuman, itu belum membedakannya dengan minuman-minuman lain seperti Pop Ice, Marimas, air putih, dan lain-lain. Kalau mau dipikir, itu semua juga termasuk minuman. Melihat hukum yang ditetapkan dalam fikih, khamar memiliki hukum yang berbeda dari minuman-minuman lainnya. Tentu ada yang membedakan khamar dan minuman-minuman lainnya. Yang membedakannya adalah sifat memabukkannya. Nah, di sini, sifat memabukkan itu disebut fashl. Mengapa? Karena sifat memabukkannya membedakan khamar dari minuman-minuman yang lain.

Lebih jelas tentang fashl, Imam Al-Ghazali dalam kitab Mi’yar Al-‘Ilm memberikan definisikan fashl:

كلي يحمل على الشيء في جواب: أي شيء هو في جوهره؟

“Kulliy yang diberlakukan terhadap sesuatu yang berfungsi untuk menjawab: sesuatu itu apa dalam substansinya?”

Artinya, fashl itu berfungsi untuk menjawab pertanyaan (jenis-jenis pertanyaan sudah kita bahas di tulisan yang lalu) yang memperjelas esensi sesuatu, sekaligus memperjelas sesuatu yang membedakan sesuatu dengan sesuatu yang lain.

Kalau kita melihat uraian-uraian sebelumnya tentang pertanyaan, ketika kita ditanya tentang sesuatu “Apa itu manusia?” Misalnya. Maka yang diminta adalah unsur penyusun nau’ yakni jins dan fashl. Jins menjelaskan jenis atau kategori sesuatu itu, sementara fashl menjelaskan pembeda (sama saja dengan menjelaskan esensi, karena menjelaskan pembeda, itu sudah menjelaskan esensi. Mengingat, pembeda adalah salah satu unsur dari esensi) dari sesuatu itu.

BacaJuga

Mengenal Hukum Kontradiksi dan Ketentuannya

Kulliy Keempat: Khassah

Kulliy Kedua: Nau’

Psychology Proof Fallacy

Sebenarnya, dalam “menyingkap hakikat” sesuatu itu, rasanya tidak cukup kalau kita berbicara tentang manusia atau khamar saja, bisa juga mencakup istilah tertentu. Penulis ingin menarik satu istilah, misalnya Syi’ah. Di tengah masyarakat, kita sudah sering mendengar tuduhan dan tudingan Syi’ah kepada kelompok tertentu. Kita sering mendengar klaim “Syi’ah itu sesat!” tapi ketika ditanya, “Apa itu Syi’ah? Apa yang membedakannya dengan kelompok-kelompok lain?” Tidak semuanya bisa menjawab.

Kalau kita menggunakan konsep mantik sebelumnya, Syi’ah adalah sebuah kelompok (jins). Tapi, apakah cukup jika Syi’ah hanya “kelompok” saja? Tentu tidak. Ini tidak membedakan Syi’ah dengan kelompok-kelompok lain. Bagaimana jika yang membedakan Syi’ah dengan kelompok lain itu “cinta terhadap ahlul bait”? Tentu itu belum cukup. Sebab, ada kelompok di luar Syi’ah itu sendiri, ada kelompok yang amat cinta terhadap ahlul bait, kita sendiri Ahlussunnah, diajarkan untuk mencintai ahlul bait. Lantas, apakah gara-gara mencintai ahlul bait, kita tergolong Syi’ah? Tentu saja tidak.[1]

Mengenai definisi Syi’ah bisa kita jumpai dalam kitab Milal wa Nihal karya Imam Al-Syahrastani:

الشيعة هم الذين شايعوا عليّا -رضي الله عنه- على الخصوص. وقالوا بإمامته وخلافته نصا ووصية إما جليا، وإما خفيّا. واعتقدوا أن الإمامة لا تخرج من أولاده، وإن خرجت فبطلم يكون من غيره، أو بتقية من عنده. وقالوا: ليست الإمامية قضية مصلحة تناط باختيار العامة وينتصب الإمام بنصبهم، بل هي قضية أصولية، وهي ركن الدين…

Sampai di sini, kita bisa menangkap bahwa ada beberapa hal yang membedakan Syi’ah dari kelompok-kelompok lain: 1) Mengikuti Ali bin Abi Thalib secara khusus. 2) Mereka meyakini wasiat kepemimpinannya dan kekhalifahannya baik melalui teks, atau wasiat, baik wasiat itu tersurat, ataupun tersirat. 3) Meyakini Imamiyyah itu, tidak keluar dari garis keturunan para imam sebelumnya. 4) Di samping imamah merupakan hal yang sangat maslahat, mereka juga meyakini bahwa hal tersebut bagian dari perkara pokok, yaitu bagian dari pokok agama.

Ini hanya salah satu definisi yang dikemukakan oleh Imam al-Syahrastani. Masih banyak ulama-ulama yang memberikan definisi berbeda dan bisa kita temui dalam buku-buku doksografi Islam.

Dalam definisi di atas, kita bisa melihat bahwa Syi’ah itu termasuk kelompok. Lalu, ada empat hal yang membedakannya dengan kelompok lain yang sudah kita sebutkan di atas. Kalau melihat definisi lain, maka kita akan menemui ada satu hal yang membedakan Syi’ah dengan kelompok lain, yakni masalah kepemimpinan. Di sini, kita sudah mendapatkan poinnya, bahwa dalam istilah atau kelompok tertentu pun, memiliki fashl atau pembeda dengan kelompok-kelompok lain.

Maka, kita tidak boleh menuduh orang lain seenaknya dengan tuduhan Syi’ah sebelum kita mengetahui apa itu Syi’ah. Juga, bisa saja yang kita tuduh Syi’ah ternyata bukan Syi’ah. Ini tidak berlaku pada Syi’ah saja, tapi juga seperti radikal, liberal, kafir, musyrik, dan lain-lain.

Di sinilah pentingnya kita mempelajari ilmu mantik, kita bisa mengetahui seperti apa hakikat dari sesuatu dan apa yang membedakannya, sehingga kita tidak sembarangan dalam menyematkan istilah tertentu kepada orang lain atau apapun yang tidak sesuai dengan hakikat yang sebenarnya.

Bagan Fasl

Kemudian, fashl itu terbagi menjadi dua sudut pandang; 1) Ditinjau dari segi keterkaitannya dengan nau’. 2) Ditinjau dari segi keterkaitannya dengan nau’ dan jins.

Fashl, ditinjau dari segi keterkaitannya dengan nau’ itu, terbagi lagi menjadi dua; 1) Fashl qarîb. 2) Fashl ba’îd.

  • Fashl Qarîb

Syekh Zakariya al-Anshari mendefinisikan dalam Al-Mathla’:

وهو ما يمييز الشيء عن جنسه القريب

“Fashl yang membedakan sesuatu dengan individu-individu yang tercakup dalam jins qarîb.”

Sederhananya, fashl qarîb itu fungsinya membedakan sesuatu yang tercakup dalam jins qarîb saja. Misalnya, kata nâthiq yang dinisbatkan kepada manusia. Kalau manusia didefinisikan, mana definisinya haiwân nâthiq. Di sana ada kata nâthiq yang membedakan manusia dengan sesuatu yang lain yang tercakup juga dalam jins qarîb-nya, yaitu haiwan. Di sini bisa dicek lagi di Pohon Porfiri.

  • Fashl Ba’îd

Definisinya:

وهو ما يمييز الشيء في الجملة عن جنسه البعيد

“Fashl yang membedakan sesuatu dengan seluruh individu yang tercakup oleh jins ba’id.”

Jika yang pertama membedakan sesuatu yang tercakup dalam jins qarîb, maka kali ini ia membedakan sesuatu dengan sesuatu yang lain yang tercakup dalam jins ba’id. Seperti kata nâmiy dinisbatkan kepada manusia. Maka kali ini, manusia didefinisikan dengan jism nâmiy (jism yang tumbuh). Maka manusia hanya dibedakan dari sesuatu yang dicakup oleh jism (yang ada sebagai jins ba’id).

Kata nâmiy adalah fashl, tapi ia hanya membedakan manusia dari individu yang dicakup oleh jins ba’id. Maka dalam merangkai definisi, fashl ba’îd tidak tepat digunakan. Yang digunakan biasanya adalah fashl qarîb. Alasannya, masih ada bagian yang tidak memenuhi syarat definisi jika menggunakan fashl ba’îd.

Adapun dua jenis fashl yang lain:

  • Fashl Muqawwim

Muqawwim itu asal katanya qawwama-yuqawwimu yang berarti “membentuk”. Dari makna bahasa ini, kita bisa memahami bahwa fashl ini disamping menjelaskan pembeda dari sesuatu, dia juga membentuk esensi dari sesuatu. Fashl ini dikatakan muqawwim jika dinisbatkan kepada nau’.

Seperti kata nâthiq misalnya, dia memang membedakan manusia dengan sesuatu yang lain, tapi ketika kita mengatakan bahwa manusia adalah haiwân nâthiq, maka nâthiq di sana membentuk esensi manusia. Tanpa adanya nâthiq atau berpikir, maka esensi utuh dari manusia takkan pernah tergambarkan. Itulah fashl muqawwim, dia membentuk esensi sesuatu dan sekali lagi, ini terjadi jika dia hanya disandarkan kepada nau’.

  • Fashl Muqassim

Asal katanya itu qassama-yuqassimu berarti “membagi”. Dari makna harfiah yang ada ini, kita bisa menarik kesimpulan bahwa fashl muqassim itu adalah fashl yang melahirkan pembagian dari sesuatu. Fashl ini juga hanya dinisbatkan kepada jins, bukan kepada nau’. Yang pertama tadi, nâthiq disandarkan kepada nau’, yaitu manusia. Untuk bagian ini, nâthiq disandarkan kepada jins, yaitu haiwân.

Jika kita menyandarkan kata nâthiq itu kepada haiwân, alih-alih kata nâthiq itu tidak menjelaskan esensi hewan, tapi ia melahirkan pembagian dari kata haiwân itu, yaitu manusia. Karena manusia layak disebut haiwân nâthiq.

Yang perlu kita catat baik-baik di sini adalah fashl muqawwim itu disandarkan kepada nau’, sementara fashl muqassim itu disandarkan kepada jins.

  • Empat Kaidah Fashl Muqawwim dan Fashl Muqassim
NOTE Untuk memahami kaidah ini, harus memahami konsep nau’ dan fashl terlebih dahulu. Dan kaidah ini membutuhkan fokus yang lebih untuk dipahami, karena akan membuat kita berpikir lebih banyak. Juga, kita harus banyak melihat peta pohon porfiri.
Pohon Porfiri dengan fashl

– Kaidah pertama: fashl muqawwim untuk nau’ ‘ali, bisa menjadi muqawwim bagi nau’ mutawassith dan nau’ sâfil.

Seperti misalnya kata hassâs (sensitif/memiliki pancaindera). Kata tersebut berfungsi membentuk esensi yang ada di bawahnya, yakni binatang dan manusia.

– Kaidah kedua: fashl muqawwim tidak bisa menjadi fashl muqawwim bagi nau’ ‘ali dan nau’ mutawassith.

Seperti misalnya, kata nâthiq dinisbatkan kepada haiwân. Ini tidak membuat nâthiq menjadi fashl muqawwim, tapi hanya menjadi fashl muqassim.

– Kaidah ketiga: fashl muqassim untuk jins sâfil, bisa menjadi fashl muqassim bagi nau’ mutawassith dan nau’ ‘âli.

Misalnya, kata nâthiq disandarkan kepada haiwân, maka nâthiq di sini menjadi fashl muqassim bagi haiwân. Hal yang sama berlaku juga jika disandarkan kepada yang ada di atasnya.

– Kaidah keempat: fashl muqassim untuk jins ‘ali, tidak bisa menjadi muqassim bagi jins sâfil.

Seperti kata maddiy (materi) bisa disandarkan kepada jauhar, tapi tidak bisa menjadi muqassim bagi haiwân.

Wallahu a’lam


Footnote

[1] Fashl ini sengaja ada agar kita bisa mendefinisikan sesuatu sesuai dengan hakikat dari sesuatu yang kita definisikan itu. Kita tidak bisa seenaknya mendefinisikan sesuatu sesuai selera kita, apalagi jika selera kita tidak senafas dengan hakikat dari sesuatu itu.

Misalnya, kita mendefinisikan Syi’ah sebagai kelompok penyembah Ali bin Abi Thalib. Definisi ini tidak benar jika kita merujuk kepada hakikat Syi’ah yang sebenarnya. Kita melibat fakta, ada kok orang yang tidak menyembah Ali bin Abi Thalib tapi Syi’ah. Itu artinya penyembahan terhadap Ali bin Abi Thalib itu bukan hal esensial dari Syi’ah.

Misalnya lagi, kita mendefinisikan tasawwuf sebagai ilmu yang mengajarkan kita membuat syariat baru. Tentu saja definisi ini kita tolak, sebab faktanya tasawuf tidak mengajarkan itu. Tasawuf harus kita ketahui hakikatnya seperti apa, lalu bisa kita tentukan mana jins dan mana fashl-nya. Kemudian, barulah kita bisa menentukan seperti apa definisinya.

Muhammad Said Anwar

Muhammad Said Anwar

Lahir di Makassar, Sulawesi Selatan. Mengenyam pendidikan Sekolah Dasar (SD) di MI MDIA Taqwa 2006-2013. Kemudian melanjutkan pendidikan SMP di MTs MDIA Taqwa tahun 2013-2016. Juga pernah belajar di Pondok Pesantren Tahfizh Al-Qur'an Al-Imam Ashim. Lalu melanjutkan pendidikan di Madrasah Aliyah Negeri Program Keagamaan (MANPK) Kota Makassar tahun 2016-2019. Kemudian melanjutkan pendidikan di Universitas Al-Azhar, Kairo tahun 2019-2024, Fakultas Ushuluddin, jurusan Akidah-Filsafat. Setelah selesai, ia melanjutkan ke tingkat pascasarjana di universitas dan jurusan yang sama. Pernah aktif menulis Fanspage "Ilmu Logika" di Facebook. Dan sekarang aktif dalam menulis buku. Aktif berorganisasi di Forum Kajian Baiquni (FK-Baiquni) dan menjadi Pemimpin Redaksi (Pemred) di Bait FK-Baiquni. Menjadi kru dan redaktur ahli di media Wawasan KKS (2020-2022). Juga menjadi anggota Anak Cabang di Organisasi Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU). Pada umur ke-18 tahun, penulis memililki keinginan yang besar untuk mengedukasi banyak orang. Setelah membuat tulisan-tulisan di berbagai tempat, penulis ingin tulisannya mencakup banyak orang dan ingin banyak orang berkontribusi dalam hal pendidikan. Kemudian pada umurnya ke-19 tahun, penulis mendirikan komunitas bernama "Ruang Intelektual" yang bebas memasukkan pengetahuan dan ilmu apa saja; dari siapa saja yang berkompeten. Berminat dengan buku-buku sastra, logika, filsafat, tasawwuf, dan ilmu-ilmu lainnya.

RelatedPosts

Mengenal Hukum Kontradiksi dan Ketentuannya
Ilmu Mantik

Mengenal Hukum Kontradiksi dan Ketentuannya

Oleh Muhammad Said Anwar
30 Juni 2024
Kulliy Keempat: Khassah
Ilmu Mantik

Kulliy Keempat: Khassah

Oleh Muhammad Said Anwar
16 Oktober 2023
Kulliy Kedua: Nau’
Ilmu Mantik

Kulliy Kedua: Nau’

Oleh Muhammad Said Anwar
2 Oktober 2023
Psychology Proof Fallacy
Ilmu Mantik

Psychology Proof Fallacy

Oleh Muhammad Said Anwar
1 Oktober 2023
Kulliy Pertama: Jins
Ilmu Mantik

Kulliy Pertama: Jins

Oleh Muhammad Said Anwar
16 Agustus 2023
Artikel Selanjutnya
Mengenal Mushadarah ‘ala Al-Mathlub

Mengenal Mushadarah ‘ala Al-Mathlub

Menguji ChatGPT dalam Bidang Akidah

Menguji ChatGPT dalam Bidang Akidah

Kulliy Keempat: Khassah

Kulliy Keempat: Khassah

KATEGORI

  • Adab Al-Bahts
  • Al-‘Umȗr Al-‘Ammah
  • Biografi
  • Filsafat
  • Ilmu Ekonomi
  • Ilmu Firaq
  • Ilmu Hadits
  • Ilmu Kalam
  • Ilmu Mantik
  • Ilmu Maqulat
  • Karya Sastra
  • Matematika
  • Nahwu
  • Nukat
  • Opini
  • Penjelasan Hadits
  • Prosa Intelektual
  • Sejarah
  • Tasawuf
  • Tulisan Umum
  • Ushul Fiqh

TENTANG

Ruang Intelektual adalah komunitas yang dibuat untuk saling membagi pengetahuan.

  • Tentang Kami
  • Tim Ruang Intelektual
  • Disclaimer
  • Kontak Kami

© 2024 Karya Ruang Intelektual - Mari Berbagi Pengetahuan

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password? Daftar

Buat Akun Baru!

Isi Form Di Bawah Ini Untuk Registrasi

Wajib Isi Log In

Pulihkan Sandi Anda

Silahkan Masukkan Username dan Email Anda

Log In
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Ilmu Bahasa Arab
    • Nahwu
    • Sharaf
    • Balaghah
    • ‘Arudh
    • Qafiyah
    • Fiqh Lughah
    • Wadh’i
  • Ilmu Rasional
    • Ilmu Mantik
    • Ilmu Maqulat
    • Adab Al-Bahts
    • Al-‘Umȗr Al-‘Ammah
  • Ilmu Alat
    • Ulumul Qur’an
    • Ilmu Hadits
    • Ushul Fiqh
  • Ilmu Maqashid
    • Ilmu Kalam
    • Ilmu Firaq
    • Filsafat
    • Fiqh Syafi’i
    • Tasawuf
  • Ilmu Umum
    • Astronomi
    • Bahasa Inggris
    • Fisika
    • Matematika
    • Psikologi
    • Sastra Indonesia
    • Sejarah
  • Nukat
    • Kitab Mawaqif
  • Lainnya
    • Biografi
    • Penjelasan Hadits
    • Tulisan Umum
    • Prosa Intelektual
    • Karya Sastra
    • Ringkasan Buku
    • Opini
    • Koleksi Buku & File PDF
    • Video

© 2024 Karya Ruang Intelektual - Mari Berbagi Pengetahuan