Setiap hari Rabu, saya punya jadwal mengajar di Madrasah Aliyah Negeri Program Keagamaan (MANPK). Kalau saya datang ke sana, selalu datang sekitar pukul tujuh lewat sedikit. Itu kalau saya tidak bermalam.
Saat saya sampai, sangat jarang saya langsung masuk kelas. Nanti saya masuk jika ada instruksi khusus. Momen pagi di sana, jalanan yang malamnya sepi layaknya kota tak berpenghuni, akan mendadak sepadat Jakarta.
Kalau menunggu, biasanya saya duduk santai depan gedung sambil melihat kendaraan lalu-lalang. Di sana saya melihat mobil Rush, Avanza, Terios, dan banyak sekali merek lainnya. Apapun merek mobil yang saya saksikan, pada akhirnya semuanya saya katakan sebagai mobil. Begitu juga motor, walaupun itu Jupiter, Ninja, Satria, dan lain sebagainya, saya katakan bahwa semua itu disebut dengan motor.
Sekarang saya mau bertanya, apakah mobil sebagai titik temu antara merek mobil itu bisa dilihat oleh pancaindera? Jawabannya, tidak. Yang kita lihat secara langsung itu adalah individu dari mobil. Seperti Avanza, Rush, dan semacamnya. Bukan mobil yang menjadi titik temu antara individu mobil itu.
Begitu juga motor, yang diamati langsung oleh pancaindera itu hanya individu dari apa yang kita sebut dengan motor. Yang kita saksikan adalah motor Satria, motor Ninja, dan motor-motor yang dibatasi dengan merek tertentu. Sedangkan motor yang tidak diikat dengan merek tertentu, itu tidak bisa dilihat oleh pancaindera.
Segala hal yang disaksikan oleh pancaindera itu disebut dengan al-juz’iyyat atau hal-hal partikular di alam semesta. Ini juga menjadi alasan, kenapa para filusuf mengatakan objek pengetahuan pancaindera adalah al-juz’iyyat. Karena pancaindera hanya sanggup mencerna pengetahuan partikular saja. Sementara akal, memiliki objek pengetahuan al-kulliyyât atau hal universal.
Al-Kulliy dan Al-Juz’iy
Secara umum, tentang kulliy dan juz’iy ini sudah pernah saya bahas dalam salah satu tulisan yang bisa diakses di sini. Namun, penjelasan yang akan Anda masuki ini hanya mempertegas mana yang disebut kulliy dan juz’iy.
Coba perhatikan mana yang disebut manusia dan mana yang disebut sebagai individu yang diberlakukan kepadanya konsep manusia. Manusia yang saya maksud adalah al-haiwân al-nâthiq. Ini mencakup banyak individu manusia di dalamnya. Sedangkan yang kita saksikan di alam nyata, ada banyak orang. Ada Akmal, Fafa, Icuk, Mufas, Ummu, Hikmah, Arin, dan lain sebagainya. Mereka ini disebut sebagai individu dari manusia, bukan manusia sebagai konsep yang mencakup lagi manusia yang lain.
Misalnya, ketika saya menyebut Mufas. Apakah seseorang yang bernama Mufas ini di dalamnya ada perserikatan dalam kemanusiaan? Atau dengan pertanyaan lain, apakah dari sosok Mufas ini akan mencakup manusia-manusia yang lain seperti Icuk, Ummu, Hikmah, dan Arin itu? Tidak. Deretan manusia itu akan menjadi individu dari manusia. Justru, manusia sebagai konsep, di dalamnya tercakup banyak individu manusia. Karena “manusia” ini memungkinkan perserikatan terjadi di dalamnya, maka manusia ini disebut dengan kulliy. Sedangkan, orang-orang tadi yang dibatasi dengan personifikasi (syakhs) tertentu, itulah disebut dengan juz’iy.
Nah, ketika saya menyimpulkan bahwa mereka semua itu manusia, lalu terhasillah konsep universal yang disebut dengan manusia itu, inilah yang disebut dengan al-ma’qȗlât al-awwaliyyah.
Al-Ma’qȗlât Al-Awwaliyyah
Secara sederhana, bisa dikatakan bahwa al-ma’qȗlât al-awwaliyyah adalah tahap berkumpulnya makna sesuatu yang ada di alam luar menjadi konsep universal. Seperti, ketika saya melihat pohon kurma, pohon mangga, pohon asam, dan pohon-pohon lainnya, lalu saya berlakukan kepada semuanya konsep pohon. Terbentuknya konsep pohon dari hasil pengamatan terhadap banyak pohon ini, disebut dengan al-ma’qȗlât al-awwaliyyah.
Al-ma’qȗlât merupakan bentuk jamak dari kata al-ma’qȗl. Maknanya, sesuatu yang dirasionalkan atau dicerna oleh akal. Seperti pengetahuan universal tadi, itu dicerna oleh apa yang disebut dengan al-ma’qȗlât ini. Sedangkan al-awwaliyyah berasal dari kata al-awwal yang bermakna awal. Karena rasionalisasi pertama terjadi pada tahap ini; tepat setelah pancaindera telah mengamati objek yang ada di alam luar.
Di bagian ini, tabiat dari segala objek yang ada di alam semesta bisa diketahui, semisal apakah dia merupakan substansi atau aksiden. Di bagian ini juga kita bisa mengetahui esensi (mâhiyyah) dari sesuatu, apa adanya. Makanya, al-ma’qȗlât al-awwaliyyah ini menjadi objek dari ilmu maqȗlât.
Al-Ma’qȗlât Al-Tsâniyyah
Jika al-ma’qȗlât al-awwaliyyah merupakan bentuk rasionalisasi pertama, maka al-ma’qȗlât al-tsâniyyah merupakan bentuk kedua. Jika bentuk pertama sekadar menangkap konsep dari hal-hal yang ada di alam luar, maka bentuk kedua ini memberikan atribut tambahan kepada pengetahuan yang ada dari alam luar.
Semisal, pohon itu kulliy. Apa yang disebut kulliy ini tidak ada di alam luar. Tapi, konsep ini terpancing dari munculnya konsep pohon di bentuk pertama. Setelah itu, bentuk kedua memperjelas bahwa pohon ini terkategorikan sebagai kulliy.
Contoh lain, buku itu juz’iy idhâfi. Ketika saya menangkap makna universal berdasar pengamatan yang ada di alam luar, saya kemudian mengkategorikan bahwa apa yang disebut buku ini, tergolong dalam juz’iy idhâfiy dalam ilmu mantik.
Mengapa al-ma’qȗlât al-tsâniyyah ini ada? Karena ini adalah bentuk lanjutan dari sekadar berpikir biasa; sekadar mengetahui konsep umum tanpa ada eksekuesi lebih lanjut. Bagian ini merupakan eksekusi lanjutannya.
Seperti namanya, al-ma’qȗlât al-tsâniyyah berasal dari al-ma’qȗlât dan al-tsâniyyah. Al-ma’qȗlat, sudah kita jelaskan pada bagian sebelumnya. Sedangkan al-tsâniyyah itu berasal dari kata al-tsâni yang bermakna dua. Ini mengisyaratkan bahwa inilah tahap selanjutnya dari sekadar berpikir.
Al-ma’qȗlât al-tsâniyyah ini terbagi menjadi dua; al-ma’qȗlât al-tsâniyyah al-manthiqiyyah dan al-ma’qȗlât al-tsâniyyah al-falsafiyyah. Disebut al-manthiqiyyah karena menggunakan istilah yang ada di ilmu mantik dan disebut al-falsafiyyah karena menggunakan istilah yang ada di filsafat.
Contoh al-ma’qȗlât al-tsâniyyah al-manthiqiyyah ini adalah manusia itu kulliy. Konsep manusia ini didapatkan dari bentuk rasionalisasi pertama atau al-ma’qȗlât al-awwaliyyah. Sedangkan ketika saya meleburkan dengan unsur ke-mantik-an ke dalamnya, seperti memasukkan istilah kulliy, maka pada saat itu dia disebut al-ma’qȗlât al-tsâniyyah al-manthiqiyyah. Hal tersebut berlaku juga kepada istilah lain seperti, jins, fasl, nau’, khassah, mȗjabah, sâlibah, dan lain sebagainya.
Sedangkan jika saya melekatkan unsur ke-filsafat-an atau istilah khusus dalam filsafat, seperti cinta itu dhâruriy, maka saat itu disebut dengan al-ma’qȗlât al-tsâniyyah al-falsafiyyah. Hal yang sama berlaku ketika menggunakan istilah al-imkân, al-wâjib, wahdah, katsrah, ‘illah, ma’lȗl, dan lain-lain.
Sayyid Syarif Al-Jurjani memberikan dua catatan pada al-ma’qȗlât al-tsâniyyah ini. Pertama, al-ma’qȗlât al-tsâniyyah ini merupakan hal yang “menempel” pada al-ma’qȗlât al-awwaliyyah. Artinya, ketika al-ma’qȗlât al-awwaliyyah menangkap pengetahuan yang disebut manusia, maka al-ma’qȗlât al-tsâniyyah ini “menempel” dalam bentuk lain, entah dengan istilah mantik atau filsafat. Kedua, al-ma’qȗlât al-tsâniyyah, wujudnya tidak ada di alam nyata. Pernahkah Anda melihat bentuk fisik dari kulliy, juz’iy, dan semacamnya di dunia nyata? Haqqul yaqin, tidak. Semua bentuk al-ma’qȗlât al-tsâniyyah murni berada di akal, baik pengetahuan yang menjadi inspirasinya, maupun wujud pengetahuan itu sendiri.
Apa pentingnya membahas bagian ini? Kalau Anda ingin serius mempelajari ilmu maqȗlât, kalam, dan filsafat, memahami istilah seperti ini menjadi sebuah keniscayaan. Karena ini akan menjadi pengantar untuk mengetahui titik kritis, mana yang dikaji dalam ilmu maqȗlât dan bukan, mana konsep, wujud alam luar, pikiran, abstraksi, dan lain sebagainya. Tentang pentingnya mempelajari ilmu maqȗlât, sudah saya jelaskan dalam salah satu tulisan.
Detail kecil dalam filsafat beserta anak-anaknya diperlukan. Karena yang namanya filsafat, berbeda sudut pandang dan objek kecil saja, istilah yang digunakan bisa beda lagi. Makanya hal kecil yang terkesan sepele seperti ini, perlu dikaji sedikit demi sedikit. Agar pemahaman dalam estafet ilmu rasional tidak rancu.
Wallahu a’lam