Pagi hari, saya duduk depan laptop. Sebelum saya menulis, saya memperhatikan layar monitor sembari menggerak-gerakkan kursor laptop. Hal seperti ini merupakan hal lazim dalam menjalankan pekerjaan.
Tapi, ada bagian yang mengganggu pikiran saya. Sepertinya, saya harus mengungkapkan sesuatu yang serius melalui sepucuk surat. Jari jemari saya terpanggil untuk membuatnya di laptop. Rencananya, surat ini akan dikirimkan kepada sosok terkasih.
Melihat kronologi di atas, saya merasa semuanya baik-baik saja. Ketika saya berpikir sekali lagi, ternyata tidak semuanya benar-benar mewujud di alam nyata. Ada hal yang saya anggap ada, tapi sebetulnya itu hanya “anggapan” akal bahwa sesuatu itu ada.
Ketika saya menggerakkan jari saya untuk menekan setiap tombol di keyboard, sadar atau tidak di sini ada “ilusi”. Saya jelas ada di alam nyata. Jari dan tombol juga demikian. Tapi, apa yang kita sebut sebagai “menekan”, apakah itu ada? Jawabannya, tidak. Namun, sekilas akal percaya bahwa “menekan” itu ada. Kenapa akal bisa mempercayai itu? Karena akal meniscayakan konsep tertentu untuk menjelaskan kejadian-kejadian di alam luar. Inilah yang disebut dalam dunia filsafat sebagai i’tibâriy atau kalau dibahasakan secara sederhana, ia adalah hal yang dianggap ada walau sebetulnya tidak ada wujudnya di alam luar.
Ketika saya melihat buku fikih dan buku hadis tersusun. Benda yang saya liat secara kasat mata di alam luar adalah buku fikih dan buku hadis. Saya tidak melihat sesuatu yang disebut “tersusun” itu. Tapi, akal percaya bahwa konsep dibalik relasi antara buku fikih dan buku hadis yang tertumpuk itu disebut tersusun, walau fisiknya tidak bisa diidentifikasi.
Umumnya, ketika ulama melempar diksi “i’tibâry” dalam literatur, mereka memaksudkan istilah tersebut untuk sebuah konsep yang keberadaannya berada di akal, tapi fokus kepada gejala ada prosesnya di balik alam luar itu.
Sekarang, kalau kita mau lebih jeli, tidak mungkin akal itu sekonyong-konyong mengetahui sesuatu tanpa sebab. Harus ada sesuatu yang menyebabkan akal mengetahui sesuatu yang disebut i’tibâry itu. Entah sesuatu itu berada di alam luar atau dari pikiran manusia sendiri tanpa menunggu inspirasi dari sesuatu di alam luar.
Kalau kita menggunakan sudut pandang filsafat, apa yang kita kenal di alam luar dengan sebutan “manusia” itu sebetulnya tidak ada. Lalu, siapa yang kita lihat lalu-lalang di jalanan? Bukankah itu manusia? Itu bukan esensi manusia, tapi individu yang diberlakukan kepadanya konsep manusia. Seperti Ahfaz, Mughni, Afriadi, dan lain sebagainya. Mereka itu disebut dengan sesuatu yang ada (maujûd), karena mereka adalah individu dari konsep manusia. Makanya, mereka disebut manusia. Sementara manusia sebagai konsep yang dikenal dengan al-haiwân al-nâthiq itu sendiri disebut dengan i’tibâriy. Tidak ada rupanya di alam nyata.
Mengapa konsep manusia itu bisa ada? Karena kita mengamati makhluk yang disebut manusia di alam luar itu. Kita dengan kedua bola mata kita menyaksikan langsung makhluk yang kita berlakukan kepadanya konsep manusia. Karena inspirasi ini berasal dari alam luar, makanya disebut dengan i’tibâriy intizâ’iy.
Namun, adakalanya inspirasi atau konsep i’tibâriy itu tidak berasal dari alam luar, tapi dari alam pikiran saja. Semisal, konsep genap untuk angka dua, empat, enam, delapan, dan seterusnya, dan konsep ganjil untuk satu, tiga, lima, dan seterusnya. Apakah di alam luar kita pernah menyaksikan individu dari genap dan ganjil? Tidak. Beda dengan manusia tadi, individunya ada di alam luar. Sedangkan individu angka ini, hanya ada di alam pikiran. Lalu dari racikan konsep akal ini, lahirlah konsep lain yang bernama ganjil dan genap. Inilah yang disebut dengan i’tibâriy ikhtirâ’iy.
Kata i’tibâr sendiri bermakna menganggap. Makanya, ketika disebutkan istilah i’tibâriy, maknanya tidak jauh-jauh dari “anggapan akal” bahwa sesuatu itu ada di alam abstrak.
Sedangkan intizâ’iy bermakna mencabut. Jika menjadi i’tibâriy intizâ’iy, maknanya sebuah anggapan akal yang diperoleh dari “mencabut” konsep universal dari individu yang berada di alam luar. Seperti konsep sendok. Sendok secara konseptual itu tidak ada. Tapi, konsep sendok muncul ketika kita menyaksikan benda yang diberlakukan kepadanya konsep sendok. Artinya, kita “mencabut” konsep universal dari sendok itu lalu menjadikan sebagai makna independen di alam abstrak.
Adapun ikhtirâ’iy memiliki makna menciptakan atau menemukan. Jika yang sebelumnya menarik konsep universal dari alam luar, maka i’tibâriy ikhtirâ’iy ini menciptakan dan menemukan sendiri konsep i’tibâriy itu di alam abstrak. Semisal, konsep cinta. Apakah ketika Anda mencintai, Anda harus melihat wujud fisikal individu dari sesuatu yang disebut cinta itu? Tidak. Anda tidak perlu menunggu untuk mencintai. Ketika Anda merasakan reaksi biologis tertentu dalam tubuh, khususnya jantung Anda, saat itu juga Anda terbesit untuk memberlakukan kepadanya konsep cinta. Jadi, cinta itu diciptakan dan ditemukan jika menggunakan konsep i’tibâriy ikhtirâ’iy.
Secara sekilas, mendiskusikan konsep filsafat seperti ini tidak ada gunanya. Kesannya, kita hanya membual tentang realitas. Perlu diakui, kesan seperti itu akan ada. Tapi, ketika kita memahami dengan baik konsep-konsep seperti ini, kita bisa memahami muatan dari perdebatan antara ulama dan filusuf. Mereka berdebat tidak menggunakan diksi orang awam, tapi menggunakan istilah intelektual. Di antara istilah yang mereka pakai, ya istilah i’tibâriy ini.
Kalau kita melihat misalnya dalam diskurus sifat wujûd (ada) bagi Allah, di sini ada perdebatan. Apakah wujûd itu adalah sifat, dzat itu sendiri, atau i’tibâriy? Ada yang menyatakan bahwa wujûd itu adalah dzat itu sendiri. Karena kita tidak bisa membayangkan sebuah dzat yang ada jika tidak dilekatkan atribut “ada” padanya. Ini adalah pendapat Imam Abu Hasan Al-Asy’ari. Ada juga pendapat bahwa “ada” itu i’tibâriy. Ini dipegang oleh para teolog (mutakallimûn). Kata mereka, walaupun kita tidak bisa membayangkan sebuah dzat itu ada tanpa adanya sifat ada yang melekat pada dirinya, tapi konsepsi akal kita bisa membedakan mana disebut dengan dzat dan mana yang disebut dengan ada. Ada itu satu hal, sementara dzat adalah lain lagi. Bukan berarti ketidakbisaan kita membayangkan sesuatu itu terpisah, maka dua hal itu menjadi satu. Sama dengan panas dan api. Kedua hal ini tidak terpisahkan. Tapi, apakah kita bisa bayangkan bahwa panas adalah api dan api adalah panas? Jelas tidak.
Namun, ada juga dari pihak filusuf yang menyatakan bahwa “ada” itu adalah dzat itu sendiri jika kita berbicara dalam konteks wâjib al-wujûd, sementara “ada” itu terhitung sebagai i’tibâriy jika konsepnya diberlakukan kepada al-mumkinât atau kepada selain Allah. Tentang apa itu “ada” akan menjadi pembahasan tersendiri secara mendalam di filsafat ontologi.
Itu di antara contoh dari sekian banyak diskurus teologi yang terdapat di literatur ilmu kalam yang diwariskan ulama kita. Kalau kita memahami konsep i’tibâriy ini, maka kita sudah berpeluang besar memahami contoh di atas. Nanti juga kita akan mudah menerima, kenapa sifat salbiyyah (transenden) itu tidak disebut dengan i’tibâriy, tapi ketiadaan. Karena di sana terdapat perbedaan antara tiada dan i’tibâriy. Apa bedanya? Semoga ada waktu untuk membuat tulisan khusus tentang itu.
Wallahu a’lam