28 Rajab 621 masehi, terjadi kegemparan di kota Mekkah. Muhammad Al-Amin mengaku telah melakukan perjalanan ke Baitul Maqdis, di Palestina. Tidak hanya itu, beliau juga mengaku melakukan perjalanan ke Sidratul Muntaha, menembus langit ketujuh. Sontak saja penduduk Mekkah kemudian menyebut beliau sudah gila, efek dari meninggalnya dua pendukung utama, yaitu istri beliau Sayyidatuna Khadijah‒alaihas salam‒juga sang paman, Abu Thalib. Menurut mereka, mustahil menurut akal sehat melakukan perjalanan dari Mekkah ke Palestina kurang dari semalam, dengan kuda atau unta tercepat sekalipun. Setidaknya membutuhkan waktu kurang lebih 2 bulan untuk pergi dan kembali lagi. Kemudian beliau mengaku telah ke sana, bahkan kembali lagi ke Mekkah kurang dari semalam. Lelucon aneh macam apa itu.
Demikianlah sepenggal riwayat bagaimana respon penduduk Quraisy ketika mendengar kabar perjalanan beliau dari Mekkah ke Palestina. Kita tidak akan membahas apa yang terjadi selanjutnya dan bagaimana para sahabat beliau menyikapinya. Fokus perhatian kita kali ini adalah anggapan mereka bahwa perjalanan dari Mekkah ke Palestina mustahil menurut akal sehat. Apakah benar atau tidak. Mari kita bedah.
Pembelajar ilmu kalam mulai dari kitab basic atau dasar umumnya akan diperkenalkan dengan materi terkait hukum akal‒sebelum menyelami pembahasan kalam lebih jauh. Pertanyaannya kemudian, mengapa akal yang menjadi titik fokusnya. Mengapa akal yang menjadi hakimnya. Bahwa ini adalah sesuatu yang harus ada, atau tidak boleh ada, atau boleh ada boleh juga tidak ada. Mengapa hal ini secara kebiasaan mustahil, tapi menurut akal mungkin terjadi. Lantas dimana peran wahyu? Padahal agama ini berdasarkan wahyu.
Secara ringkas mengapa pembahasan hukum akal menjadi pembuka persoalan-persoalan akidah dalam ilmu kalam adalah karena kebenaran yang diperoleh dan diolah oleh akal manusia sifatnya universal, terlepas dari apapun kepercayan sipemilik akal tadi. Akal, meskipun manusia berbeda-beda kapasitasnya, tetap memiliki satu kesamaan, yaitu sama-sama memiliki peluang untuk sampai kepada kebenaran yang sama. Karena itu, nanti ada beberapa hal[1] yang akal kita sepakati kebenarannya, kemudian kelak menjadi dasar bagi seluruh ilmu pengetahuan yang ada sampai sekarang.
Selain itu, ada banyak kesalahpahaman terkait keyakinan keagamaan pada agama ini didasari oleh ketidakmampuan membedakan mana sesuatu yang termasuk kategori hukum akal, mana kategori hukum natural-kebiasaan. Satu contoh populer adalah terkait isra dan mi’raj nabi Muhammad Saw.‒yang menjadi pembahasan kita sekarang. Kejadian itu jika kita menilik melalui pembagian hukum yang tiga tadi, dia masuk kategori hukum ady, lebih tepatnya mustahil ady’.
Isra dan Mi’raj Rasulullah Saw., sebagai salah satu mukjizat beliau merupakan perkara yang sulit diterima oleh akal, bahkan oleh kita sekarang, bukan hanya penduduk Quraisy ketika itu. Apalagi sains modern menjelaskan bahwa untuk bergerak sangat cepat, selain membutuhkan energi yang tak terhingga untuk mewujudkankannya, sesuatu itu tidak boleh memiliki massa yang menjadi mediumnya. Sementara saat ini, sains mengatakan tidak ada yang lebih cepat daripada kecepatan cahaya itu sendiri, karena ia tidak memiliki massa yang disebut foton atau partikel elementer sebagai pembawa radiasi elektromagnetik.
Belum lagi menurut Albert Einstein, ketika sesuatu itu lebih cepat dari cahaya, maka ia akan mengalami pembalikan waktu. Bahkan, Stephen Hawking menjelaskan bahwa apabila suatu materi memaksa melewati kecepatan cahaya, maka akan terjadi kesalahan fisika. Dia membuat sebuah ilustrasi gambaran dengan 3 kerucut, waktu, ruang, dan cahaya. Menurutnya hanya di dalam kerucut cahaya kita bisa bergerak dengan kecepatan waktu. Semakin besar kecepatan yang kita buat, semakin luas jangkauan ruang dan jarak yang bisa kita tempuh. Tapi sekali lagi, kita tetap tidak bisa melampaui kecepatan cahaya itu sendiri. Artinya, jalur benda apapun melalui ruang dan waktu harus diwakili oleh garis yang berada pada kerucut cahaya tiap peristiwa.
Dengan penjelasan semacam itu, melibatkan teori fisika, bisa saja kita meragukan peristiwa Isra dan Mi’raj Rasulullah Saw. Apalagi jika kita menganggap hanya itu satu-satunya penjelasan terbaik untuk melintasi ruang dengan sangat cepat. Sementara kita tahu, antara hukum akal dan hukum fisika cakupan keduanya berbeda. Cakupan hukum akal lebih umum dibanding hukum fisika. Hukum fisika dibangun oleh serangkaian percobaan dan penelitian-penelitian, sementara hukum akal tidak membatasi hanya pada penelitian dan percobaan. Selama akal kita tidak menolak kemungkinan ada atau terjadinya sesuatu, maka hal itu tidak bisa kita katakan mustahil. Paling tidak, akal hanya mengatakan, kita belum melihatnya secara langsung atau menemukan penjelasan terbaiknya. Penyelidikan demi penyelidikan perlu dilakukan untuk mengungkap kebenarannya. Untuk mempermudah penjelasan tadi, mari kita perhatikan contoh berikut.
Teleportasi objek[2] itu mustahil menurut hukum fisika. Paling tidak kita hanya dapat mentransfer atau memindahkan informasi dari satu tempat ke tempat yang lain. Alasannya, proses teleportasi memerlukan dematerialisasi suatu benda dan transmisi rinciannya, dengan susunan atom yang tepat ke lokasi lain di mana benda tersebut akan dipasang kembali ke bentuk aslinya seperti semula.
Berangkat dari sana, menurut fisika modern, untuk saat ini teleportasi objek atau manusia termasuk kategori mustahil karena harus menyusun ulang komponen-komponen biologis manusia sebagaimana awalnya sebelum dan sesudah melakukan teleportasi. Lantas bagaimana dengan hukum akal. Apakah teleportasi juga dipandang sebagai sesuatu yang mustahil? Jawabannya tidak. Sebagaimana kaidah hukum akal. Selama sesuatu itu bukan kategori mustahil, teleportasi misal, maka paling jauh akal kita hanya menjawab untuk saat ini teleportasi masih misteri. Akan terpecahkan atau tidak, siapa yang tahu?
Kembali ke Isra dan Mi’raj, sebagai peristiwa yang luar biasa, betapapun akal sehat kesulitan menjelaskannya, ia tetap kategori mungkin menurut hukum akal[3], bukan wajib apalagi mustahil. Isra dan Mi’raj menjadi mustahil pada kategori hukum ady, karena berdasarkan pengamatan kejadian yang terulang di waktu itu, mustahil untuk ke Palestina dari Mekkah kurang dari 1 bulan. Karena tidak ada kelaziman antara sesuatu apabila ia mustahil ady maka ia juga secara otomatis mustahil aqly, makanya keyakinan bahwa Isra dan Mi’raj adalah mustahil aqly tertolak. Namanya hukum natural-kebiasaan, tentu akan selaras dengan kebiasaan dan waktu yang mengitari kejadian tadi. Tapi apakah akal kita pada waktu itu mengatakan bahwa mustahil lebih cepat dari sebulan. Jika iya, bagaimana dengan sekarang. Perjalanan dari Mekkah ke Palestina tidak lagi sebulan, bahkan cukup dengan beberapa jam saja. Apakah akal manusia pada waktu itu berbeda dengan akal manusia zaman sekarang. Atau dengan kata lain, apakah akal manusia di zaman itu tidak mampu memikirkan hal ini. Tentu saja tidak. Manusia di zaman itu hanya tidak bisa membedakan mana hukum akal, dan yang mana hukum natural-kebiasaan.
Itulah sebabnya mengapa kita tidak ragu mengatakan bahwa sesuatu itu tidak terjadi secara kenyataan bukan karena sesuatu itu mustahil. Justru sebaliknya, karena sesuatu itu mustahil menurut akal sehat maka sesuatu itu tidak terjadi. Sebagaimana kita katakan, sebagian hal itu mustahil dan tidak realistis karena hal itu pada dasarnya memang mustahil. Bukan berarti suatu hal itu tidak terjadi karena ia mustahil. Itu adalah dua hal yang berbeda. Akan tetapi karena hal itu mustahil maka ia tidak realistis. Dengan kata lain, hukum kemustahilan sesuatu adalah satu hal, sementara hukum bahwa sesuatu ini tidak realistis adalah hal lain lain. Tidak ada kelaziman di antara keduanya.
Isra dan Mi’raj nabi Muhammad Saw. yang menurut kaum Quraisy waktu itu adalah mustahil menurut akal sehat, justru menggugurkan dan mengindahkan kesimpulan akal bahwa berpindah tempat dengan sekejap adalah sesuatu yang mungkin. Terlepas nanti dikenyataan apakah itu terjadi atau tidak. Intinya akal kita tidak menolak kemungkinan terjadinya hal tersebut.
Demikianlah pembahasan Isra dan Mi’raj menurut hukum akal. Kepercayaan kita akan kebenaran kejadian tersebut, disamping karena konsekuensi logis[4] keyakinan kita kepada kebenaran nubuat Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam, juga karena akal kita mengatakan bahwa Isra dan Mi’raj adalah suatu hal yang mungkin terjadi. Selama sesuatu itu berstatus mungkin, peluang terjadi atau tidaknya adalah sama. Bagaimana peristiwa itu terjadi, akal kita belum mampu menemukan penjelasan terbaiknya.
Footnote
[1] Semisal pengetahuan kita tentang keseluruhan adalah lebih banyak dari sebagian.
[2] Teleportasi digambarkan sebagai tindakan atau kemampuan mentransfer materi secara instan dari satu titik dalam ruang dan waktu ke titik lain yang sifatnya sama.
[3] Paling tidak menurut akal, penjelasan untuk isra dan mi’raj masih sangat terbatas. Bukan mustahil karena akal kita tidak menolak kemungkinan memotong ruang untuk mempersingkat perjalanan.
[4] Ketika kita mempercayai klaim kenabian Rasulullah Saw., secara otomatis kita harus mempercayai semua yang beliau sampaikan. Karena jika tidak, kepercayaan kita kepada Rasulullah menjadi cacat. Bagaimana mungkin kita mempercayai seseorang disatu sisi, kemudian di sisi lain kita mendustakannya.