Setiap lini perkembangan pada suatu bidang, pasti ada pakar yang berperan di sana. Perkembangan dari segi ekonomi, karena ada pakar yang bergerak. Perkembangan dari segi pemikiran, karena ada pemikir yang bergerak. Perkembangan dari segi hukum, karena ada pakar hukum yang bergerak. Sebab, pakar paling tahu masalah apa yang terjadi dan solusinya seperti apa. Orang awam di bidang itu, tidak bisa apa-apa. Sebab, mereka yang punya masalah dan masalah mereka yang harus di selesaikan.
Dalam dunia kedokteran, saya selalu menemui dokter dengan keahlian yang berbeda. Ada ahli mata, ahli jantung, ahli gigi, dan lain-lain. Itu menunjukkan kalau ada yang punya masalah di mata, maka selesaikan di ahli mata. Kalau ada masalah pada jantung, selesaikan di ahli jantung. Kalau ada masalah pada gigi, selesaikan di ahli gigi. Bukan malahan bertanya kepada yang bukan ahlinya. Bagaimana itu ceritanya masalah infrastruktur dibawa ke ahli gigi? Kalau pun ada yang betulan mengangkat masalah itu ke dokter gigi, pasti kita akan bertanya “apa kaitannya si dokter gigi itu dengan infrastruktur?”. Artinya, secara tidak sadar kita semua tahu yang mana sebenarnya tempat merujuk.
Sekarang masalah agama. Dalam agama itu, ada ratusan juta persoalan dan bidang yang banyak. Ini seperti kedokteran, secara garis besar, mencakup garis kecil, seperti ahli gigi, ahli mata, dan ahli-ahli kedokteran lainnya. Agama juga punya banyak bidang, seperti ushul fikih, perbandingan madzhab, akidah, hadis, fikih, tafsir, dan lain-lain. Tapi, kalau kita mau refleksi, adakah yang bisa membedakan mana ahli fikih, ahli tafsir, ahli bahasa, ahli akidah, dan lain-lain? Melihat cara orang merujuk, sepertinya tidak. Bayangkan saja, ada ahli sejarah Islam ditanya tentang fikih. Ahli hadis ditanya tentang fikih. Ahli bahasa ditanya tentang akidah. Masih banyak lagi contoh-contoh memilukan lainnya.
Kalau di dunia kesehatan orang salah merujuk, itu bisa berdampak pada kesehatan. Apalagi jika dalam agama itu salah merujuk, bisa berdampak pada pemahaman agama. Memangnya kenapa kalau pemahaman agama salah? Ingatlah, bukankah tindak-tanduk kita itu lahir dari pemikiran? Bagaimana jika kita melakukan perbuatan yang hakikatnya salah lalu kita menggunakan dalih agama untuk membenarkan perbuatan itu? Tentu akan fatal. Orang awam yang tidak tahu apa-apa, bisa saja terpengaruh. Atau mungkin orang awam itu tahu bahwa itu salah tapi tidak bisa melawan karena kekurangan data. Ingat peristiwa bom bunuh diri itu? Kenapa mereka melakukan itu? Atas dasar apa? Tentu mereka akan mengatakan itu dasar agama, memotong ayat-ayat dan hadis sesuai kepentingan saja.
Saya pernah bertanya kepada Ust. Mahkamah Mahdi, Kandidat Doktor Ushul Fikih, Universitas Al-Azhar tentang “Apa yang dibutuhkan masyarakat di Indonesia? Khususnya untuk menyelesaikan problematika yang bergulir itu”. Jawaban beliau sederhana, “Indonesia harus memiliki klinik fatwa”. Beliau memperjelas kalau yang dimaksud dengan klinik fatwa adalah di mana orang-orang bisa datang ke lembaga itu untuk bertanya-tanya tentang apa keluhan mereka mengenai keagamaan itu lalu disediakan pakar-pakar di keahlian masing-masing. Supaya mereka tidak larut dan apa yang mereka butuhkan tercukupi.
Misalnya saja di rumah sakit, orang-orang yang sakit datang untuk menanyakan, apa obatnya? Bagaimana caranya supaya sembuh? Semua ahli kesehatan dari berbagai bidang ada di sana. Jadi wajar kalau satu rumah sakit dengan rumah sakit yang lain tidak pernah bertengkar masalah pengobatan itu. Mengapa? Mereka sudah memiliki standar dan tahu menghormati kepakaran orang. Coba lihat di beberapa rumah sakit. Jika mereka tidak memiliki alat, mereka membuat surat rujuk atau rekomendasi agar penyakit yang tidak bisa mereka tangani itu bisa ditangani dengan orang yang lebih profesional.
Sedangkan masalah agama, adakah standar? Sampai saat ini saya belum menemukan. Mungkin ada tapi hanya saya tidak tahu. Bagaimana kalau ternyata tidak ada? Masyarakat kita akan terus larut dalam masalah tanpa ujung dan mereka tidak akan mendapatkan ketenangan.
Di tengah perbincangan itu, tiba-tiba ada teman yang menanggapi “Saya melihat kalau klinik (fatwa) itu ada, hanya saja klinik yang satu dengan yang lainnya berbeda. Lalu bagaimana cara masyarakat mengetahui itu?”. Ust. Mahkamah menjawab kalau masalah itu tergantung kliniknya, apakah mereka memenuhi standar atau tidak. Coba lihat kalau ada yang buka klinik atau rumah sakit tapi mereka tidak mempunyai standar yang memadai? Tentu saja mereka akan ditutup. Sekarang, bagaimana dengan agama? Indonesia sepertinya tidak memiliki standar itu. Orang akan bingung, mana klinik yang asli memenuhi standar dan tidak. Kalau standar saja tidak punya, bagaimana dengan tindakan lebih lanjut seperti memusnahkan klinik ilegal itu?
Siapa yang tidak kenal Grand Syekh Ahmad Thayyib? Beliau adalah sosok yang paling bertanggungjawab jika ada apa-apa yang terjadi pada Al-Azhar. Al-Azhar tempatnya para pakar agama Islam itu berkumpul dan menghormati Grand Syekh. Mana mungkin sosok Grand Syekh itu tidak menguasai ilmu-ilmu keagamaan (mutafannin)? Sedangkan beliau adalah orang yang bertanggungjawab atas isu-isu keagamaan dunia. Artinya, beliau pakar dalam berbagai bidang agama. Tapi, pada salah satu muktamar, Grand Syekh bertemu dengan Al-Habib Quraish Shihab, Pakar Tafsir Indonesia. Apa yang dilakukan Grand Syekh ketika ingin berbicara tentang salah satu ayat dalam Al-Qur’an? Beliau meminta izin kepada Al-Habib Quraish Shihab karena Grand Syekh tahu, beliau pakar dalam bidang tafsir dan paham di bidang itu. Beliau menghormati kepakaran orang lain.
Tapi, tidakkah kita melihat apa yang terjadi di lapangan hari ini? Orang-orang yang tidak pakar dalam bidang itu menjawab. Konsentrasi saya adalah bidang akidah dan filsafat. Yang lain, ala kadarnya saja, sesuai dengan kebutuhan saya pribadi dan yang dibutuhkan orang sekitar saya. Saya melihat orang-orang yang berbicara masalah akidah dan filsafat itu. Akhirnya apa? Dia sendiri kebingungan. Dan tipikal seperti itu yang muncul di media sosial lalu diikuti masyarakat. Pantasan masyarakat juga bingung, karena ada dedengkotnya yang membuat orang bingung.
Mungkin, ada pertanyaan yang timbul. Bagaimana jika saya melihat orang yang lulusan akidah berbicara masalah fikih atau sebaliknya? Atau dengan pertanyaan lain, apakah kepakaran itu diukur dengan pendidikan formal? Jawabannya, tidak. Syekh Hisyam Kamil, Pakar Fikih Al-Azhar, pernah menjawab bahwa kepakaran sesorang diukur pada “penguasaannya” terhadap suatu ilmu. Kalau dalam agama, minimal menguasai tiga kitab matan, maka orang itu sudah bisa dibilang menjurus (takhassus). Tapi, jika seseorang sudah sangat dalam di ilmu itu, barulah dia menjadi pakar, terlepas jurusannya apa di kuliah.
Saya setuju dengan pandangan Gus Baha, bahwa seorang pakar itu harus memaklumatkan diri. “Saya ahli dalam masalah akidah”. Begitu juga ahli fikih “saya ahli dalam masalah fikih”. Dan lain-lain. Sebab, Nabi Muhammad Saw. sendiri yang memaklumatkan diri-Nya sebagai Nabi. Andai tidak, maka orang tidak akan tahu kalau beliau Nabi dan pastinya tidak akan merujuk kepada beliau. Masalahnya sekarang, orang kalau melakukan itu akan dicap sebagai “sombong”. Padahal kalau mau dipikir secara mendalam, tidak ada kaitan mengakui diri dengan sombong. Andai mengakui atau memaklumatkan diri adalah sombong, lantas jika saya mengatakan “saya menguasai game Uberstrike secara mendalam” apakah saya sombong? Jika iya, Anda tahu dari mana? Jika tidak, Anda juga tahu dari mana? Pada akhirnya Anda tidak tahu apa-apa tentang kesombongan yang ada di hati orang.
Kita bisa ahli dalam satu bidang, tapi bukan berarti kita ahli dalam bidang lain. Kita bisa ahli dalam akidah, tapi bukan berarti ahli dalam fikih. Ini yang seperti dinasihatkan Imam Al-Ghazali. Jadi, kita perlu tahu batasan ketika berbicara.
Sebagai orang awam, kita itu harus taklid kepada ahli. Bukan malahan lompat dan lewat jalan pintas menempati orang pakar. Orang yang langsung sampai mengambil otorisasi pakar itu hanya ada dua kemungkinan. Pertama, dia adalah wali yang diajarkan langsung oleh Allah. Kedua, dia adalah orang bodoh yang hanya ingin mencari reputasi.
Dalam masalah fikih dan ushulnya, saya bukan ahli. Itupun yang saya tuliskan biasanya hasil yang sementara saya pelajari. Kalau ada orang yang bertanya, saya pasti mempersentasekan jawaban saya di orang yang ahli dalam bidang itu. Kakak sepupu saya itu mahasiswa pancasarjana ushul fikih di Al-Azhar. Makanya kalau ada maslaah ushul fikih dan fikih, saya pasti mempersentasekan jawaban saya di dia. Karena memang dia ahli di sana. Saya menghormati bidang orang dengan cara seperti itu. Sebab saya paham, bahwa orang awam itu belum punya kemampuan untuk membedakan mana ahli fikih, akidah, dan lain-lain. Maka saya hanya berperan memediasi saja dan sumber asli jawabannya dari orang yang pakar di bidang itu. Ini juga demi menjaga amanat ilmiah.