Kalau membaca postingan-postingan di Facebook, ada beberapa orang yang menggambarkan kalau surga itu ada air sungai yang mengalir di bawahnya, ada bidadari cantiknya minta ampun, banyak buah-buahan, dan apapun yang kita inginkan dalam hati itu bisa terkabulkan begitu saja. Sebaliknya, neraka itu sebagaimana yang didapatkan dalam Al-Qur’an dan hadis, serta penjelasan beberapa mufassir, itu lebih mengerikan siksaan-siksaannya daripada di dunia. Besi yang dipakai menusuk manusia itu adalah besi panas, dihancurkan, disiksa dengan cara-cara yang mengerikan yang bahkan kalau kita bayangkan kita sendiri merasa takut.
Tapi, kalau mau kita pikir, apakah yang kita bayangkan itu pasti sesuai dengan realita yang ada? Jawabannya belum tentu. Bayangan kita terhadap sesuatu adalah satu hal, sedangkan bentuk sesuatu itu sendiri sebagaimana adanya adalah hal yang lain. Kita bisa membayangkan sesuatu tapi keterkaitan kenyataan dengan ekspektasi kita itu ada tiga: 1) Pas. 2) Melebihi. 3) Kurang. Tidak ada kemungkinan keempat.
Bayangan kita dengan sesuatu itu bisa sesuai karena kita sudah mengalami hal itu, serupa, atau memperkirakan berdasarkan informasi dan pengetahuan yang kita punya. Misalnya, kalau orang duduk depan laptop itu seperti apa gaya duduknya? Bisa saja Anda membayangkan kalau yang duduk itu, gaya duduknya dengan cara bersila, gaya duduknya pakai kursi sambil memasang jadi di keyboard laptop. Mungkin Anda tidak tahu siapa yang saya maksud “orang” duduk depan laptop itu, tapi Anda bisa membayangkan bagaimana duduknya karena Anda pernah melihat langsung orang atau mengalami sendiri duduk depan laptop dengan beragam gaya.
Anggaplah orang itu duduk bersila depan laptop dan Anda bayangkan bahwa gaya duduk itu juga bersila, maka itu sesuai. Tapi bagaimana kalau ternyata gaya duduk orang itu pakai kursi dan tidak bersila? Nah, di sini kita bisa menarik benang bahwa apapun yang kita bayangkan berdasarkan pengalaman, pengetahuan, dan informasi yang kita punya, tidak mengharuskan ekpektasi itu tepat sasaran bayangannya dengan realita. Lantas, bagaimana dengan hal-hal yang tidak pernah kita alami?
Persepsi, sudut pandang, pendapat, cita-cita, bahkan khayalan kita sendiri itu dibentuk dengan informasi yang kita punya. Salah satu sisi unik manusia, punya akal untuk memproduksi pengetahuan (walau sebagian pengetahuan yang dihasilkan bersifat khayalan) yang tidak ada di alam nyata dan tidak disaksikan oleh pancaindera kita. Tapi, produksi itu sendiri tidak lepas dari bahan-bahan yang dibutuhkan yakni pengetahuan juga yang kita miliki sebelum memproduksi pengetahuan baru dan kita peroleh pengetahuan itu dari tiga sumber, yakni pancaindera, akal, dan informasi dari orang (khabar).
Jadi, ketika kita berekspektasi tentang sesuatu, maka bayangan yang muncul di akal kita itu tidak jauh-jauh dari pengetahuan yang kita punya. Ketika misalnya kita disuruh membayangkan ada tiga matahari di alam semesta, semuanya dekat dengan bumi. Apa yang kita bayangkan? Macam-macam. Ada yang membayangkan ketiga matahari itu tidak memberikan apa-apa, pokoknya sekonyong-konyong melayang saja di ruang tanpa udara itu. Ada juga membayangkan kalau itu bisa memanggang bumi karena saking panasnya. Ada lagi membuat bayangan lebih lanjut, membayangkan ketiganya serentak badai matahari. Tapi, kalau dilihat lagi, matahari hanya ada satu di wilayah semesta kita atau bahasanya saintis Oort Cloud.
Kenapa kita bisa membayangkan ada tiga matahari ditambah konsekuensi-konsekuensinya yang muncul? Karena kita punya informasi tentang matahari yang benar-benar ada di alam semesta. Matahari yang jaraknya 150 Juta kilometer itu saja, bisa membuat kulit kita hitam, bahkan kalau di daerah Timur Tengah pas musim panas, itu sampai bisa membuat pakaian kering dalam hitungan menit. Bagaimana kalau ada tiga? Artinya, kita menganalogikan informasi yang kita punya lalu informasi tadi, kita visualkan dengan tiga kali lipat lebih besar, wajar saja kita membayangkan konsekuensi-konsekuensi baru itu yang sama sekali belum atau tidak pernah kita alami sama sekali.
Tapi, bagaimana kalau saya menyodorkan tentang sesuatu yang belum pernah sama sekali Anda alami? Misalnya, saya bilang di Mesir itu bangunannya nyaris tidak ada satu lantai, ada banyak tempat wisata dan situs sejarah, dan ramai dikunjungi turis. Apa yang Anda bayangkan? Bisa jadi Anda membayangkan Mesir itu serba-serbi metropolitan, Mesir adalah negara yang serba bersih dan estetik, spot foto itu bagus kalau melihat foto-foto mahasiswa Indonesia atau yang lainnya di sini, karena Anda memiliki informasi lain seperti dari film-film atau video di Youtube yang bangunannya serba pencakar langit. Misalnya anda menonton film Avengers, atau apalah yang ada banyak bangunan tingginya itu, informasi yang Anda analogikan dengan Mesir berasal dari pengetahuan yang Anda miliki sebelumnya. Padahal, sebagai mahasiswa di Mesir, saya tidak bisa mengiyakan seluruh bayang-bayang orang itu. Di mana letak masalahnya? Letak masalahnya adalah ketika menyama-nyamakan isi film, video, atau potongan-potongan foto tentang bangunan tinggi, ramai dikunjungi turis, dan lain sebagainya dengan Mesir itu sendiri. Padahal Mesir sendiri sangat luas dan berbeda dengan dengan bahan yang dipakai untuk membayangkan. Jadi saya tidak heran kenapa hampir semua anak baru selalu bilang “ekspektasi tidak sesuai dengan realita”.
Nah, sekarang kita kembali ke persoalan surga dan neraka itu. Ketika Al-Qur’an dan hadis bercerita tentang surga dan neraka, di sana ada beberapa hal yang disebut. Tapi, bukankah informasi yang disampaikan Al-Qur’an dan Hadis itu tidak meruncing? Dalam artian, keduanya tidak dijelaskan sesuai sebagaimana adanya. Kaidah dalam memahami persoalan seperti ini mengatakan bahwa hal-hal sam’iyyat (hal-hal yang diceritakan oleh Al-Qur’an dan Hadis) itu dengan diimani. Sebab, akal tidak mampu membayangkan apa dan bagaimananya. Apapun yang kita bayangkan, itu sesuai dengan persepsi kita sebagai makhluk dunia yang pengetahuannya sebatas di dunia juga. Bagaimana mungkin kita menggambarkan akhirat dengan persepsi dunia? Itu sama halnya orang yang membayangkan Mesir itu bagaimana tapi informasi yang dia pakai bukan dari Mesir atau informasi itu dari Mesir tapi terlalu sedikit. Khayalannya liar ke mana-mana. Maka dari itu, ulama teolog dalam masalah sam’iyyat, tidak menggunakan akal untuk mengimaninya kecuali masalah mumkinȃt dari masalah-masalah gaib itu. Namun, untuk melawan orientalis atau atheis yang menuduh ini dongeng, butuh perdebatan yang panjang dan sistematis.
Hanya saja, Nabi Muhammad Saw. dalam berdakwah itu pasti menyesuaikan bahasanya dengan akal para pendengarnya. Tentu ketika menyampaikan masalah-masalah gaib seperti ini, Nabi menggunakan bahasa yang bisa dipahami sahabat-sahabat-Nya. Atau Al-Qur’an sendiri bisa saja menyampaikan informasi mengenai surga dan neraka itu sesuai dengan bahasa dan kemampuan akal manusia yang menerimanya. Misalnya saja, ketika Al-Qur’an bercerita tentang pohon-pohonan, taman-taman, dan sungai, itu kalau dibayangkan oleh orang Arab yang di sekitarnya jarang ada perairan, pohon, dan lain sebagainya. Jadi ketika seketika mereka membayangkan semua itu, seolah mereka lupa dunia, lupa dengan segalanya, tenggelam dalam kenikmatan itu. Ini baru bayangan yang dibuat oleh manusia sendiri. Tentunya kenikmatan yang ada di sana melampaui bayang-bayang manusia itu. Begitu juga neraka, disebut berbagai macam siksaan, tulang-tulang dihancurkan dan diremuk, dan lain sebagainya, itu masih dalam bayangan kita. Kengerian dan kenikmatan itu yang ingin diutarakan Al-Qur’an dan hadis tapi karena informasi yang kita miliki terlampau sedikit dan terbatas, maka yang singgah di kepala kita hanya percikan kecilnya saja. Kenapa? Kita membayangkan puncak kenikmatan, sedangkan kenikmatan yang ada di surga itu ada di luar bayangan dan apa yang kita anggap puncak itu.
Para sufi, memiliki sudut pandang juga. Bahwa surga itu adalah ketika mampu bertemu dengan Allah, sebab mereka memahami surga dengan puncak kenikmatan. Sedangkan neraka bagi mereka adalah tidak mampu atau terhalang (terhijab) menemui Allah. Bisakah sesuatu yang menghalangi kita dari nikmat itu disebut dengan nikmat? Tentu tidak. Ini juga bisa jadi karena pengalaman spiritual yang sudah mereka lewati dan dalamnya informasi yang mereka gali dari Al-Qur’an. Tentu ini membuat sudut pandangnya berbeda dari orang kebanyakan.
Yang masalah adalah ketika kita sibuk memikirkan hakikat surga dan neraka sampai bentuknya segala macam, tapi kita lupa untuk meminta rahmat-Nya agar kita dilindungi dari siksa neraka dan diberikan pertolongan di akhirat nanti. Kita akan mengetahui bagaimana gambaran sesuatu itu sejelas-jelasnya kalau kita sudah ada di sana. Siapa yang bisa menggambarkan Prancis sejelas-jelasnya kalau belum pernah ke sana? Juga, kalau kita menganggap keduanya tidak ada karena kita mengetahui hakikatnya, maka saya bisa bertanya begini, apakah ketika Anda tidak mengetahui jodoh Anda berarti Anda tidak memiliki jodoh? Pengetahuan kita terhadap sesuatu adalah satu hal, sedangkan eksistensi sesuatu adalah hal yang lain. Kita tidak mengetahui sesuatu, belum tentu sesuatu itu tidak ada. Dengan kata lain, pengetahuan kita terhadap sesuatu, tidak mempengaruhi keberadaan dan ketiadaan sesuatu itu. Tidak ada keterkaitan logis antara keduanya.
Wallahu A’lam