Kalangan pelajar, khususnya mahasiswa itu sudah tidak asing lagi dengan kosakata kritik. Di kampus-kampus, siaran televisi, dan tulisan-tulisan di sosial media juga sering kita temukan kata kritik itu. Tapi, apa sebenarnya kritik itu? Apakah kritik itu harus dengan mengejek? Apakah dia harus disertai dengan solusi? Tulisan ini akan menjawab pertanyaan itu.
Kritik itu berasal dari kata “kritein” yang berarti substansi atau inti dari sesuatu. Seakan-akan ingin mengatakan kalau kritik itu berbicara tentang realita dari sisi kekurangannya dengan tujuan ingin memperbaiki, baik itu disertai solusi atau tidak disertai solusi.
Tapi, di kehidupan nyata, kita masih sering menemukan orang yang sebetulnya berbicara realita dengan bungkusan kritik, tapi isinya untuk menjatuhkan. Apakah menyimpang dari konsep awal kritik ini atau tidak? Dengan pertanyaan lain, apakah tindakan menjatuhkan dan berbicara realita itu masih bisa disebut kritik atau tidak? Tentu ini mesti diperjelas lagi. Syarat-syarat kritik yang harus kita ketahui adalah:
1. Berbicara sesuai dengan realita
2. Meninjau dari sisi kekurangan
3. Tujuannya ingin memperbaiki
Kritik itu terbagi menjadi dua dari segi sifatnya; Pertama, kritik konstruktif. Kedua, kritik destruktif. Yang pertama adalah kritik yang sifatnya membangun. Sedangkan yang kedua adalah kritik yang dirancang untuk menjatuhkan. Untuk membedakan mana kritik konstruktif dan destruktif, mari perhatikan contoh berikut ini.
Ada orang yang membangun jembatan dari bambu dengan dana dua ratus juta dan kegunaan dari jembatan ini adalah untuk menyebrangi sungai di sebuah desa. Kemudian, ada tidak setuju lalu mengajukan kritik kalau dua ratus juta itu terlalu boros untuk pembangunan jembatan, apalagi dari bambu. Sebaiknya dua ratus juta itu dipergunakan sebaik-baiknya dan semaksimal mungkin untuk membangun jembatan yang lebih kokoh, agar lebih bermanfaat. Kritik seperti ini tergolong konstruktif karena sifatnya membangun, tidak menjatuhkan.
Bedanya dengan yang kedua, dia sifatnya menjatuhkan. Semisal jembatan tadi. Ada yang mengkritisinya dengan berkata “ah pemerintah ini tidak becus dalam mengerjakan jembatan saja” atau “jembatannya jelek banget! Harusnya dana sebesar itu bisa untuk jembatan yang lebih baik“. Dari kalimat-kalimat tersebut, kita bisa melihat kalau di sana memang sifatnya menjatuhkan. Tapi, pada hakikatnya kritik jenis ini ingin realita yang lebih baik, bukan apa yang terjadi oleh si pelakunya. Namun, dengan cara menjatuhkan. Kita memang tidak bisa menafikan ada orang yang memakai cara ini agar mental yang dikritisi itu jatuh atau sengaja menggunakan cara ini supaya ysng dikritisi itu berpikir sendiri masalah solusinya. Ini jelas beda dengan mengolok-olok walau memiliki titik temu. Karena mengolok-olok itu biasanya tidak sesuai realita, sedangkan kritik itu harus sesuai dengan realita.
Kemudian, kritik ini dari segi sasarannya terbagi menjadi dua; Pertama, subjek. Kedua, objek. Maksud dari subjek adalah pelaku dari suatu perbuatan yang dinilai secara ontologis memiliki kekurangan yang perlu diperbaiki. Bedanya dengan yang kedua adalah hal-hal yang bersumber dari pelaku itu, entah itu adalah perbuatannya, perkataannya, dan hasil dari perbuatan itu. Untuk memahami bagian-bagian tadi, mari perhatikan contoh ini.
Ada tokoh yang mengeluarkan sebuah statement benar yang tidak layak didengar orang awam. Tentu, yang kita kritisi adalah orang yang mengeluarkan statement itu. Sebab, statementnya sudah benar, tapi si tokoh ini keliru dalam melihat kondisi dan situasi. Ini jika yang menjadi sasaran kritik adalah subjek atau pelakunya. Tapi, beda cerita kalau yang salah adalah ucapannya. Misalnya, tokoh ini mengatakan “langit itu di bawah“. Yang dikritisi adalah ucapannya. Tapi, apakah jika mengkritisi objek melazimkan kita untuk tidak mengkritisi subjek? Tentu tidak. Sebab, mungkin saja kita bisa mengkritisi subjek dan objek itu di momen yang sama. Hanya saja, di ranah akademisi itu kebanyakan yang dikritisi adalah objek. Karena objek itu sendiri adalah ide dari subjek dan kaum akademisi lebih banyak terfokus kepada ide atau objek.
Di sini kita bisa melihat bahwa meninjau subjek dalam mengkritisi itu juga merupakan hal yang wajar. Karena kita bisa melihat subjek itu, di sinilah bisa timbul perbedaan, apakah kritik itu harus disertai solusi atau tidak secara mutlak? Jawabannya sederhana, kritik itu memang pada dasarnya sepaket dengan solusi dan lagi-lagi tergantung seperti apa permasalahannya. Ada saat-saat tertentu juga kritik itu tidak perlu disertakan solusi, semisal mengkritisi orang yang kecerdasannya itu lebih atau orang yang dikritik itu lebih ahli daripada kita.
Misalnya saja, kita mengkritisi pedagang baju karena membuatkan baju yang model yang tidak pas kepada konsumen dan baju itu sebenarnya sudah dipesan dengan ilustrasi sedemikian rupa. Apakah konsumen berhak mengkritisi? Ya, berhak. Tapi, apakah harus bersolusi? Jawabannya bisa iya, bisa tidak. Kalau pedagang masih tidak paham dengan yang diinginkan pembeli, tentu pembeli harus memberikan solusi. Tapi, jika pedagang ini paham, tentu tidak perlu dikritisi. Karena pedagang ini lebih paham dengan masalah baju.
Contoh lain, ada wilayah di Indonesia yang banjir. Sebab banjir itu misalnya karena ada rumah dibangun di atas drainase. Tentu rakyat mengkritisi pemerintah masalah banjir ini. Apakah rakyat harus memberikan solusi? Tentu tidak. Sebab, pejabat yang di pemerintahan ada untuk memberi solusi. Kalau sudah rakyat yang mengkritisi lalu rakyat juga yang mencari solusi, untuk apa pemerintah itu digaji kan? Adapun urusan dilema opsi yang ada di sana, itu urusan pemerintah. Kalau menggusur rumah, otomatis akan memakan dana untuk memindahkan puluhan rakyat yang ada di sana dan membangunkan rumah di tempat lain. Kalau tidak, banjir akan tetap terjadi. Tapi, ini lagi-lagi urusan pemerintah.
Tapi, kadang rakyat juga bisa memberikan kritik sepaket dengan solusi. Semisal kritikan tadi itu tidak didengar atau tidak ada tanggapan. Maka rakyat bisa membantu pemerintah untuk mendatangkan solusi atau si rakyat ini mengkritisi ulang karena tidak sesuai yang diinginkan oleh pelontar kritik.
Di sini, kita bisa menarik poin bahwa kritik itu tidak selamanya harus disertai solusi dan kritik juga tidak ada salahnya disertai solusi. Tapi, penulis ingin memberikan catatan tambahan bahwa kritikan itu tidak harus panjang, sebagaimana nasihat yang tidak harus panjang. Sebab, yang namanya kritikan yang jelas poinnya sampai, bukan berpanjang-panjang dalam berbicara. Kritik juga bisa dalam bentuk pertanyaan (karena tidak semua pertanyaan itu dirancang untuk ingin tahu) yang biasanya digunakan untuk menguji sebuah statement, atau bisa juga dengan bentuk kalimat yang ringkas. Yang terpenting adalah poin kritikan itu sampai dan kritik itu juga sebaiknya disampaikan sesuai dengan porsinya.
Wallahu a’lam