Ruang Intelektual
  • Login
  • Daftar
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Ilmu Bahasa Arab
    • Nahwu
    • Sharaf
    • Balaghah
    • ‘Arudh
    • Qafiyah
    • Fiqh Lughah
    • Wadh’i
  • Ilmu Rasional
    • Ilmu Mantik
    • Ilmu Maqulat
    • Adab Al-Bahts
    • Al-‘Umȗr Al-‘Ammah
  • Ilmu Alat
    • Ulumul Qur’an
    • Ilmu Hadits
    • Ushul Fiqh
  • Ilmu Maqashid
    • Ilmu Kalam
    • Ilmu Firaq
    • Filsafat
    • Fiqh Syafi’i
    • Tasawuf
  • Ilmu Umum
    • Astronomi
    • Bahasa Inggris
    • Fisika
    • Matematika
    • Psikologi
    • Sastra Indonesia
    • Sejarah
  • Nukat
    • Kitab Mawaqif
  • Lainnya
    • Biografi
    • Penjelasan Hadits
    • Tulisan Umum
    • Prosa Intelektual
    • Karya Sastra
    • Ringkasan Buku
    • Opini
    • Koleksi Buku & File PDF
    • Video
Ruang Intelektual
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil

Membincang Kritik

Oleh Muhammad Said Anwar
11 September 2021
in Tulisan Umum
Membincang Kritik
Bagi ke FacebookBagi ke TwitterBagi ke WA

Kalangan pelajar, khususnya mahasiswa itu sudah tidak asing lagi dengan kosakata kritik. Di kampus-kampus, siaran televisi, dan tulisan-tulisan di sosial media juga sering kita temukan kata kritik itu. Tapi, apa sebenarnya kritik itu? Apakah kritik itu harus dengan mengejek? Apakah dia harus disertai dengan solusi? Tulisan ini akan menjawab pertanyaan itu.

Kritik itu berasal dari kata “kritein” yang berarti substansi atau inti dari sesuatu. Seakan-akan ingin mengatakan kalau kritik itu berbicara tentang realita dari sisi kekurangannya dengan tujuan ingin memperbaiki, baik itu disertai solusi atau tidak disertai solusi.

Tapi, di kehidupan nyata, kita masih sering menemukan orang yang sebetulnya berbicara realita dengan bungkusan kritik, tapi isinya untuk menjatuhkan. Apakah menyimpang dari konsep awal kritik ini atau tidak? Dengan pertanyaan lain, apakah tindakan menjatuhkan dan berbicara realita itu masih bisa disebut kritik atau tidak? Tentu ini mesti diperjelas lagi. Syarat-syarat kritik yang harus kita ketahui adalah:

1. Berbicara sesuai dengan realita

2. Meninjau dari sisi kekurangan

3. Tujuannya ingin memperbaiki

Kritik itu terbagi menjadi dua dari segi sifatnya; Pertama, kritik konstruktif. Kedua, kritik destruktif. Yang pertama adalah kritik yang sifatnya membangun. Sedangkan yang kedua adalah kritik yang dirancang untuk menjatuhkan. Untuk membedakan mana kritik konstruktif dan destruktif, mari perhatikan contoh berikut ini.

Ada orang yang membangun jembatan dari bambu dengan dana dua ratus juta dan kegunaan dari jembatan ini adalah untuk menyebrangi sungai di sebuah desa. Kemudian, ada tidak setuju lalu mengajukan kritik kalau dua ratus juta itu terlalu boros untuk pembangunan jembatan, apalagi dari bambu. Sebaiknya dua ratus juta itu dipergunakan sebaik-baiknya dan semaksimal mungkin untuk membangun jembatan yang lebih kokoh, agar lebih bermanfaat. Kritik seperti ini tergolong konstruktif karena sifatnya membangun, tidak menjatuhkan.

BacaJuga

Nabi dan Ayat: Laisa Kamitslihi Syai’

Masisir, Jangan Sampai Tergelincir!

Nahi Mungkar, Ada Seninya!

Esensi Berpikir dan Urgensinya

Bedanya dengan yang kedua, dia sifatnya menjatuhkan. Semisal jembatan tadi. Ada yang mengkritisinya dengan berkata “ah pemerintah ini tidak becus dalam mengerjakan jembatan saja” atau “jembatannya jelek banget! Harusnya dana sebesar itu bisa untuk jembatan yang lebih baik“. Dari kalimat-kalimat tersebut, kita bisa melihat kalau di sana memang sifatnya menjatuhkan. Tapi, pada hakikatnya kritik jenis ini ingin realita yang lebih baik, bukan apa yang terjadi oleh si pelakunya. Namun, dengan cara menjatuhkan. Kita memang tidak bisa menafikan ada orang yang memakai cara ini agar mental yang dikritisi itu jatuh atau sengaja menggunakan cara ini supaya ysng dikritisi itu berpikir sendiri masalah solusinya. Ini jelas beda dengan mengolok-olok walau memiliki titik temu. Karena mengolok-olok itu biasanya tidak sesuai realita, sedangkan kritik itu harus sesuai dengan realita.

Kemudian, kritik ini dari segi sasarannya terbagi menjadi dua; Pertama, subjek. Kedua, objek. Maksud dari subjek adalah pelaku dari suatu perbuatan yang dinilai secara ontologis memiliki kekurangan yang perlu diperbaiki. Bedanya dengan yang kedua adalah hal-hal yang bersumber dari pelaku itu, entah itu adalah perbuatannya, perkataannya, dan hasil dari perbuatan itu. Untuk memahami bagian-bagian tadi, mari perhatikan contoh ini.

Ada tokoh yang mengeluarkan sebuah statement benar yang tidak layak didengar orang awam. Tentu, yang kita kritisi adalah orang yang mengeluarkan statement itu. Sebab, statementnya sudah benar, tapi si tokoh ini keliru dalam melihat kondisi dan situasi. Ini jika yang menjadi sasaran kritik adalah subjek atau pelakunya. Tapi, beda cerita kalau yang salah adalah ucapannya. Misalnya, tokoh ini mengatakan “langit itu di bawah“. Yang dikritisi adalah ucapannya. Tapi, apakah jika mengkritisi objek melazimkan kita untuk tidak mengkritisi subjek? Tentu tidak. Sebab, mungkin saja kita bisa mengkritisi subjek dan objek itu di momen yang sama. Hanya saja, di ranah akademisi itu kebanyakan yang dikritisi adalah objek. Karena objek itu sendiri adalah ide dari subjek dan kaum akademisi lebih banyak terfokus kepada ide atau objek.

Di sini kita bisa melihat bahwa meninjau subjek dalam mengkritisi itu juga merupakan hal yang wajar. Karena kita bisa melihat subjek itu, di sinilah bisa timbul perbedaan, apakah kritik itu harus disertai solusi atau tidak secara mutlak? Jawabannya sederhana, kritik itu memang pada dasarnya sepaket dengan solusi dan lagi-lagi tergantung seperti apa permasalahannya. Ada saat-saat tertentu juga kritik itu tidak perlu disertakan solusi, semisal mengkritisi orang yang kecerdasannya itu lebih atau orang yang dikritik itu lebih ahli daripada kita.

Misalnya saja, kita mengkritisi pedagang baju karena membuatkan baju yang model yang tidak pas kepada konsumen dan baju itu sebenarnya sudah dipesan dengan ilustrasi sedemikian rupa. Apakah konsumen berhak mengkritisi? Ya, berhak. Tapi, apakah harus bersolusi? Jawabannya bisa iya, bisa tidak. Kalau pedagang masih tidak paham dengan yang diinginkan pembeli, tentu pembeli harus memberikan solusi. Tapi, jika pedagang ini paham, tentu tidak perlu dikritisi. Karena pedagang ini lebih paham dengan masalah baju.

Contoh lain, ada wilayah di Indonesia yang banjir. Sebab banjir itu misalnya karena ada rumah dibangun di atas drainase. Tentu rakyat mengkritisi pemerintah masalah banjir ini. Apakah rakyat harus memberikan solusi? Tentu tidak. Sebab, pejabat yang di pemerintahan ada untuk memberi solusi. Kalau sudah rakyat yang mengkritisi lalu rakyat juga yang mencari solusi, untuk apa pemerintah itu digaji kan? Adapun urusan dilema opsi yang ada di sana, itu urusan pemerintah. Kalau menggusur rumah, otomatis akan memakan dana untuk memindahkan puluhan rakyat yang ada di sana dan membangunkan rumah di tempat lain. Kalau tidak, banjir akan tetap terjadi. Tapi, ini lagi-lagi urusan pemerintah.

Tapi, kadang rakyat juga bisa memberikan kritik sepaket dengan solusi. Semisal kritikan tadi itu tidak didengar atau tidak ada tanggapan. Maka rakyat bisa membantu pemerintah untuk mendatangkan solusi atau si rakyat ini mengkritisi ulang karena tidak sesuai yang diinginkan oleh pelontar kritik.

Di sini, kita bisa menarik poin bahwa kritik itu tidak selamanya harus disertai solusi dan kritik juga tidak ada salahnya disertai solusi. Tapi, penulis ingin memberikan catatan tambahan bahwa kritikan itu tidak harus panjang, sebagaimana nasihat yang tidak harus panjang. Sebab, yang namanya kritikan yang jelas poinnya sampai, bukan berpanjang-panjang dalam berbicara. Kritik juga bisa dalam bentuk pertanyaan (karena tidak semua pertanyaan itu dirancang untuk ingin tahu) yang biasanya digunakan untuk menguji sebuah statement, atau bisa juga dengan bentuk kalimat yang ringkas. Yang terpenting adalah poin kritikan itu sampai dan kritik itu juga sebaiknya disampaikan sesuai dengan porsinya.

Wallahu a’lam

Tags: filsafatkritikrealita
Muhammad Said Anwar

Muhammad Said Anwar

Lahir di Makassar, Sulawesi Selatan. Mengenyam pendidikan Sekolah Dasar (SD) di MI MDIA Taqwa 2006-2013. Kemudian melanjutkan pendidikan SMP di MTs MDIA Taqwa tahun 2013-2016. Juga pernah belajar di Pondok Pesantren Tahfizh Al-Qur'an Al-Imam Ashim. Lalu melanjutkan pendidikan di Madrasah Aliyah Negeri Program Keagamaan (MANPK) Kota Makassar tahun 2016-2019. Kemudian melanjutkan pendidikan di Universitas Al-Azhar, Kairo tahun 2019-2024, Fakultas Ushuluddin, jurusan Akidah-Filsafat. Setelah selesai, ia melanjutkan ke tingkat pascasarjana di universitas dan jurusan yang sama. Pernah aktif menulis Fanspage "Ilmu Logika" di Facebook. Dan sekarang aktif dalam menulis buku. Aktif berorganisasi di Forum Kajian Baiquni (FK-Baiquni) dan menjadi Pemimpin Redaksi (Pemred) di Bait FK-Baiquni. Menjadi kru dan redaktur ahli di media Wawasan KKS (2020-2022). Juga menjadi anggota Anak Cabang di Organisasi Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU). Pada umur ke-18 tahun, penulis memililki keinginan yang besar untuk mengedukasi banyak orang. Setelah membuat tulisan-tulisan di berbagai tempat, penulis ingin tulisannya mencakup banyak orang dan ingin banyak orang berkontribusi dalam hal pendidikan. Kemudian pada umurnya ke-19 tahun, penulis mendirikan komunitas bernama "Ruang Intelektual" yang bebas memasukkan pengetahuan dan ilmu apa saja; dari siapa saja yang berkompeten. Berminat dengan buku-buku sastra, logika, filsafat, tasawwuf, dan ilmu-ilmu lainnya.

RelatedPosts

Nabi dan Ayat: Laisa Kamitslihi Syai’
Tulisan Umum

Nabi dan Ayat: Laisa Kamitslihi Syai’

Oleh Dwi Amrah
26 September 2024
Masisir, Jangan Sampai Tergelincir!
Tulisan Umum

Masisir, Jangan Sampai Tergelincir!

Oleh Abdul Mughni Mukhtar
4 Juli 2024
Nahi Mungkar, Ada Seninya!
Tulisan Umum

Nahi Mungkar, Ada Seninya!

Oleh Muhammad Said Anwar
21 Juni 2024
Esensi Berpikir dan Urgensinya
Tulisan Umum

Esensi Berpikir dan Urgensinya

Oleh Abdul Mughni Mukhtar
12 Maret 2024
Dimensi Rasional Isra’ Mi’raj
Tulisan Umum

Dimensi Rasional Isra’ Mi’raj

Oleh Muhammad Naufal Nurdin
17 Februari 2024
Artikel Selanjutnya
Cara Menanggapi Ucapan yang Sekilas Kontradiktif

Cara Menanggapi Ucapan yang Sekilas Kontradiktif

Mengapa Harus Agama Baru Filsafat?

Mendudukkan Ilmu dan Realita

Mendudukkan Ilmu dan Realita

KATEGORI

  • Adab Al-Bahts
  • Al-‘Umȗr Al-‘Ammah
  • Biografi
  • Filsafat
  • Ilmu Ekonomi
  • Ilmu Firaq
  • Ilmu Hadits
  • Ilmu Kalam
  • Ilmu Mantik
  • Ilmu Maqulat
  • Karya Sastra
  • Matematika
  • Nahwu
  • Nukat
  • Opini
  • Penjelasan Hadits
  • Prosa Intelektual
  • Sejarah
  • Tasawuf
  • Tulisan Umum
  • Ushul Fiqh

TENTANG

Ruang Intelektual adalah komunitas yang dibuat untuk saling membagi pengetahuan.

  • Tentang Kami
  • Tim Ruang Intelektual
  • Disclaimer
  • Kontak Kami

© 2024 Karya Ruang Intelektual - Mari Berbagi Pengetahuan

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password? Daftar

Buat Akun Baru!

Isi Form Di Bawah Ini Untuk Registrasi

Wajib Isi Log In

Pulihkan Sandi Anda

Silahkan Masukkan Username dan Email Anda

Log In
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Ilmu Bahasa Arab
    • Nahwu
    • Sharaf
    • Balaghah
    • ‘Arudh
    • Qafiyah
    • Fiqh Lughah
    • Wadh’i
  • Ilmu Rasional
    • Ilmu Mantik
    • Ilmu Maqulat
    • Adab Al-Bahts
    • Al-‘Umȗr Al-‘Ammah
  • Ilmu Alat
    • Ulumul Qur’an
    • Ilmu Hadits
    • Ushul Fiqh
  • Ilmu Maqashid
    • Ilmu Kalam
    • Ilmu Firaq
    • Filsafat
    • Fiqh Syafi’i
    • Tasawuf
  • Ilmu Umum
    • Astronomi
    • Bahasa Inggris
    • Fisika
    • Matematika
    • Psikologi
    • Sastra Indonesia
    • Sejarah
  • Nukat
    • Kitab Mawaqif
  • Lainnya
    • Biografi
    • Penjelasan Hadits
    • Tulisan Umum
    • Prosa Intelektual
    • Karya Sastra
    • Ringkasan Buku
    • Opini
    • Koleksi Buku & File PDF
    • Video

© 2024 Karya Ruang Intelektual - Mari Berbagi Pengetahuan