Sewaktu insiden pandemi Covid-19 yang meledak beberapa waktu lalu, ada banyak teori-teori liar di jendela sosial media yang berhamburan. Mulai dari yang mengatakan kalau ini adalah rencana genosida pasif untuk mengurangi populasi dunia yang direncanakan negara Cina sampai manipulasi data yang didalangi pemerintah setempat sendiri. Ada juga kejadian menara WTC tahun 2001 lalu yang katanya merupakan akal-akalan Amerika untuk menyudutkan Islam. Tetapi, belakangan terungkap kalau Osama bin Ladenlah yang menjadi dalang sebenarnya.
Sejak saya SMA, teori konspirasi selalu menjadi sorotan tertentu di tengah tongkrongan saya. Apalagi kalau sudah melibatkan elit global atau rencana tersembunyi kaum kapitalis itu sudah kayak orang jago ngomong, seperti pemimpin pasukan revolusioner. Kekuatan retorikanya juga bukan main, orang-orang yang mendengar istilah-istilah terlontar dengan rasionalisasi paksa, orang bisa mengira kalau yang disampaikan itu adalah kebenaran. Saya tidak perlu menjelaskan bagaimana parahnya jika sebuah kebenaran dianggap sebagai sebuah kesalahan atau sebaliknya. Ini sudah sangat maklum.
Simpelnya, teori konspirasi ini ingin menegaskan kalau di balik sebuah agenda besar atau adanya peristiwa tertentu, pasti ada kelompok tertentu yang bersekongkol melakukan agenda itu secara diam-diam. Korbannya adalah kita-kita. Apakah kita harus percaya jika ada teori konspirasi? Mari kita bahas.
Dua Kemungkinan
Sebagaimana yang saya paparkan di atas, teori konspirasi tetaplah sebagai sebuah teori. Juga teori konspirasi dilihat dari sudut pandang kemungkinan benar, memang bisa saja benar. Bisa juga tidak. Terlepas apakah teori konspirasi ini pernah terbukti salah atau tidak. Yang jelas, dari segi kemungkinan, akal bisa menerima jika teori ini benar atau salah. Karena tidak ada hukum akal yang dilanggar.
Bagaimana kita mengetahui kebenaran teori ini? Kita berpijak pada dua tolak ukur kebenaran; 1) Korespondensi. 2) Koherensi. Sederhananya, korespondensi ini berarti sesuai dengan realita. Sedangkan koherensi berarti konsisten. Jadi kalau ada teori atau ungkapan yang tidak sesuai dengan realita, maka teori itu salah. Begitu juga jika ada inkonsistensi yang dikandung oleh teori yang bersangkutan, maka dipastikan kalau teori itu keliru.
Kembali kepada teori konspirasi, yang menjadi titik objek benar atau salahnya teori ini, bukan karena ia menjadi teori konspirasi. Tapi, apakah persekongkolan yang diklaim oleh teori ini benar-benar ada atau tidak? Ini perlu diperhatikan. Sebab, kalau kita melihat sejarah sewaktu Perang Dunia, Nazi membuat persekongkolan tertentu untuk menyebarkan propaganda. Tujuannya, apa yang mereka sampaikan itu diulang-ulang di tengah masyarakat sampai orang mengira itu sebagai sebuah kebenaran. Ini berarti ada konspirasi yang memang benar-benar ada.
Ciri-Ciri
Di samping kita memungkinkan adanya teori konspirasi yang benar dan memang terbukti, kita juga tidak bisa menafikan adanya teori konspirasi yang ingin mengacak-acak perasaan kita yang sampai membuat kita membenarkan apa yang terkandung dalam teori itu. Saya akan memberikan beberapa ciri-ciri teori konspirasi yang umumnya kita temui di masyarakat atau grup WhatsApp keluarga.
Pertama, memberikan narasi yang mengaduk-aduk emosi. Dalam kajian sesat pikir (logical fallacy), ada salah satu cacat berpikir yang sangat relevan dengan teori konspirasi ini, yakni fallacy of appeal to emotion (Cacat logika karena menyandarkan kepada emosi).
Coba lihat baik-baik hoax yang menggunakan teori konspirasi ini, biasanya mereka menggunakan huruf kapital yang banyak. Sebab, huruf kapital itu memiliki penekanan makna dan bisa menggambarkan ungkapan yang penuh emosional. Ditambah lagi menggunakan penulisan huruf tebal (Bold) yang juga memberikan penekanan. Saya akan memberikan Anda sampel asli berita palsu yang saya temukan di grup keluarga saya:
Akhirnya KETAHUAN Kenapa China Dukung Penuh Jokowi!
Google Earth RILIS Gambar Proyek Pembangunan Pangkalan Militer China Dilaut Natuna, Tidak Jauh Dari Pulau Batam-Riau dan Tidak Jauh Dari Pontianak!
TERNYATA ADA HAL BESAR YANG DITUTUP2 I DARI RAKYAT!
(Data dikirim pada tanggal 12 April 2022)
Coba lihat baik-baik. Dari tiga paragraf (entah kalau bisa disebut paragraf) itu punya keterkaitan logis atau tidak? Mungkin iya. Di sini bisa membuat kita menarik poin kalau Jokowi itu diam-diam bekerja sama dengan Cina di belakang rakyat untuk membangun pangkalan militer Cina. Tapi, apa bukti bahwa Google Earth yang notabenenya instansi besar yang letaknya di negara yang tidak bersahabat dengan Cina itu merilis foto pangkalan militer Cina? Di sana tidak ada bukti, hanya klaim saja. Itupun ada link yang dikirim, tapi link phising.
Atau anggaplah dua paragraf itu adalah premis. Jika keduanya disusun dan melahirkan kesimpulan di paragraf ketiga, maka itu artinya kebenaran paragraf ketiga tergantung dari kebenaran dua paragraf sebelumnya. Tapi, kita bisa lihat sendiri kalau paragraf pertama dan kedua sendiri masih diragukan kebenarannya dan juga keterkaitan sebab-akibat antar kedua paragraf tersebut belum tentu benar. Bisa saja Cina memiliki kerja sama dengan Indonesia karena sesuatu yang lain. Misalnya karena Indonesia merupakan negara sahabat Rusia dan Rusia punya hubungan baik dengan Cina. Atau bisa saja karena Cina melihat Indonesia adalah ladang bisnis yang menarik, melihat banyak orang yang bisa ditipu. Dan kemungkinan-kemungkinan lainnya.
Coba perhatikan paragraf ketiga, penekanan emosinya sangat kuat. Itu terlihat dari huruf kapital dan penulisan tebal yang digunakan. Ini tidak lain ingin menggiring pembaca untuk menerima kesimpulan itu. Cara mengaduk emosi ini, adalah cara yang sama dibuat oleh orang yang membuat judul clickbait, baik di media informatif ataupun konten tertentu.
Jadi, jangan terlalu percaya dengan sesuatu yang mengaduk-aduk emosi. Karena perasaan kita bahwa sesuatu itu benar, belum tentu benar menurut hakikatnya (fi nafs al-amr). Timbanglah dan ujilah, apakah yang dikatakan ini adalah sebauh kebenaran atau bukan.
Kedua, hanya menghadirkan asumsi. Dalam kajian logical fallacy, jenis berpikir ini tergolong fallacy of oversimplification atau cacat logika karena membenarkan sesuatu yang masih bersifat asumsi. Ini juga disusul dengan ketidakmampuan pengklaim mendatangkan bukti yang jelas dan pasti. Coba Anda lihat pada sampel contoh yang saya berikan di atas. Apakah klaim yang muncul di sana itu sudah terbukti? Apakah ada bukti yang jika dilihat, tidak timbul keraguan? Jawabannya, tidak ada. Di sana hanya ada klaim yang berapi-api dan sifatnya asumtif.
Jadi, kalau Anda mendapatkan tulisan atau narasi tertentu yang sifatnya berapi-api dan klaimnya masih membutuhkan bukti, alias asumtif, coba uji dulu. Apakah yang dikatakan ini memiliki landasan, bukti, atau paling tidak argumentasi yang kokoh atau tidak? Sebab, sesuatu yang dikira-kira itu adalah sesuatu yang masih bisa salah, bisa juga benar. Jika kita memberatkan salah satu sisi, baik benar ataupun salah tapi tidak ada bukti atau faktor “pemberat”, maka kita terjatuh dalam kaidah tarjîh bi lâ murajjih dan cara berpikir seperti ini, batil (Kaidah ini pernah saya bahas dalam salah satu tulisan yang lalu).
Kita bisa juga menggunakan standar 5W+1H untuk menguji kebenarannya. Cara ini sangat efektif dan saya selalu menggunakannya untuk membaca berita. Kita lihat, seberapa kokoh dan konsisten informasi yang diberikan. Jika ternyata tidak memenuhi itu atau hanya dari mulut ke mulut dan mulut pertama itu tidak ada di lapangan, maka bisa dipastikan itu adalah berita bohong.
Sikap Kita
Sebagaimana yang saya jelaskan di atas bahwa teori konspirasi itu mungkin benar dan mungkin salah. Terlepas dari apakah teori ini pernah terbukti salah atau tidak. Ketika kita tidak mengetahui kebenarannya, maka sikap paling pas adalah skeptis atau meragukan. Kenapa? Karena kita tidak bisa menyatakan kalau teori yang dilontarkan adalah sebuah kebenaran, sebab tidak ada bukti yang mendukungnya. Kita juga tidak bisa mengatakan kalau itu salah. Sebab, kita tidak menemukan sisi teori ini bertolak belakang dengan realita. Kapan dikatakan benar? Jika terbukti secara pasti dan memenuhi dua tolak ukur yang saya sebutkan di atas. Kapan dikatakan salah? Ketika terbukti kalau tidak sesuai dengan fakta.
Adapun stigma atau sikap tendensius terhadap teori konspirasi, saya tidak setuju. Sebab, sekali lagi, teori konspirasi tetaplah teori yang bisa salah, bisa benar. Kita tidak boleh terlalu condong kepada salah satu sisi, baik anggapan bahwa teori ini benar atau salah. Karena, sikap untuk condong kepada salah satunya bergantung kepada pembuktian kebenaran itu sendiri, bukan karena eksistensinya sebagai teori konspirasi.
Wallahu a’lam