Mesir itu negara yang tentunya memiliki kota dan beberapa distrik. Ada daerah namanya Darrasah, tempat yang bisa dideskripsikan dengan banyak hal. Di sana banyak orang Indonesianya, banyak penjual bukunya, banyak tukang tipunya, banyak tempat pengajiannya, dan banyak juga tempat kumpulnya komunitas-komunitas orang asing, khususnya Indonesia.
Dulu, saya tinggal di sana. Kisah itu dimulai ketika saya pertama kali menginjakkan kaki di negeri Fir’aun ini sampai menutup sampul bab di akhir tahun 2021 kemarin. Sekarang, saya memulai goresan pena di lembaran baru; di tempat baru juga saat momen tahun baru. Orang-orang setempat, menyebut nama tempatnya dengan Al-Khalifah. Sebagai pendatang, yang lazim bagi kita sebelum mengetahui nama tempat adalah objek yang terkenal di sana, minimal dikenal oleh penanya ketika dia bertanya: “Kamu tinggal di mana?”. Di kawasan rumah saya, ada masjid Sayyidah Nafisah, Sayyidah Ruqayyah, Sayyidah Sukainah (Sangat dekat dengan rumah saya sekarang) dan makan Ibnu Sirin, ulama yang dikaruniai kemampuan takwil mimpi. Kalaupun orang tidak tahu, pasti akan diberikan pengantar mulai dari lokasi masjid Sayyidah Aisyah dan dugaan kuat saya, semua Masisir tahu itu.
Ya, saya sangat sadar menerima konsekuensi yang pasti saya alami, saya harus datang ke distrik yang pernah saya tinggali. Sebab, saya memiliki kewajiban seperti belajar, berorganisasi, dan kadang datang saja karena kebanyakan teman saya di distrik itu. Namun, saya punya pertimbangan lain seperti biaya yang lumayan terjangkau misalnya dan beberapa alasan lainnya.
Kali ini, saya datang ke distrik itu. Sebab, saya mendapat amanah untuk menjadi ketua panitia dalam suatu acara. Mungkin saja, ini terdengar biasa. Tapi, bagi saya, tidak. Ada satu hal yang membuat saya tidak biasa dan “hidup” dalam menjalankan tugas ini. Acara ini adalah Talkshow bersama salah satu penulis yang namanya mulai bersinar, sosok yang sudah saya sentuh semua bukunya yang sudah terbit sampai tulisan ini dibuat, bahkan gaya bahasa saya dalam menulis juga banyak dipengaruhi olehnya. Siapa lagi kalau bukan Muhammad Nuruddin, salah satu senior dalam jurusan yang sama. Saya sudah beberapa kali berpapasan di jalan dan sepertinya saya belum punya waktu untuk berbicara banyak hal. Kini, saya sebagai ketua panitia sekaligus sebagai moderator sangat semangat dan senangnya bukan main dalam menanti acara ini. Pastinya saya serasa ingin “blak-blakan”, cerita banyak hal di samping saya sadar kalau saya pasti dibatasi oleh waktu.
Namun, sampai sekarang, saya belum punya semua bukunya. Dari semua bukunya yang sudah terbit, sisa satu yang belum saya miliki, yaitu Panduan Praktis agar Kita Gila Baca & Menulis. Saya akhirnya meminjam buku dari pimpinan redaksi saya dan saya selesaikan dalam satu malam, tepatnya tiga jam.
Ketika saya membaca buku yang punya 148 halaman itu, kejadian-kejadian tidak lazim, entah itu kepahitan, atau lupa kebutuhan dasar makan, tidur, dan lain-lain itu memang benar adanya dan bisa saja terjadi. Belajar di waktu tengah malam apalagi ditambah menulis adalah hal yang tidak lazim. Namun, tulisan yang Anda baca sekarang adalah bukti bahwa hal yang tidak lazim bisa terjadi. Tulisan ini dibuat pasca saya menyelesaikan buku itu. Sebab, saya merasa tidak puas kalau sebuah bacaan tidak saya tuntaskan dalam bentuk lain, entah dalam bentuk pengamalan, diskusi, atau tulisan sekalipun. Ya, saya menulis saat menjelang subuh, saya sempat lupa kalau sebelumnya saya punya keinginan tidur malam ini juga. Saya tidak tahu kenapa daya pikat membaca dan menulis memang bisa membuat kita “gila”, sampai melakukan hal-hal tidak lazim bagi kebanyakan orang, seperti yang terjadi sekarang. Saya tidak sedang mengarang-ngarang atau melebih-lebihkan. Memang itu yang terjadi saat saya membaca dan menulis.
Bercerita tentang nikmatnya membaca dan menulis, itu seolah tanpa ujung. Sebab, makna sebuah kenikmatan sangat sukar dibungkus dengan bahasa dan kata-kata. Saya kesulitan mengekspresikan sebuah kenikmatan dalam patahan kata, bahkan untuk memunculkan gambaran atau bayangan orang-orang tentang kenikmatan itu sendiri, saya harus mendatangkan banyak kisah, cerita, dan pengalaman untuk menggambarkan kenikmatan itu. Wajar saja Ali Sami Nasysyar sampai menegaskan kalau salah satu dari tiga hal yang tidak bisa didefinisikan adalah emosi, sebab membahasakan saja susah, apalagi sampai membuatnya dalam bentuk definisi yang benar-benar ketat.
Ada satu bagian juga dalam buku itu yang sampai membuat jiwa petualang saya bangun, walaupun berpetualangnya itu banyak dalam karya-karya orang seperti film, game, dan lain-lain. Saya sangat suka game yang isinya membuat kita berpetualang. Itu seperti Avatar, Legend of Korra, Naruto Ultimate Ninja 5, dan lain-lain. Saya pernah “tenggelam” dalam game. Keluarga saya di Indonesia itu menjadi saksi kalau saya selalu menghabiskan waktu bermain game rata-rata empat sampai lima jam. Kadang juga sampai delapan jam. Sebab saya terus didatangi rasa penasaran dan tujuan yang jelas: Menjadi pemain terhebat atau menyelesaikan game itu secara totalitas.
Jiwa petualang itu tidur lama dalam “kandang”-nya karena makanannya tidak ada yaitu game. Itu berada di fase saat saya masuk pesantren. Di sana saya dicekoki dengan orang-orang belajar, sampai ketika saya bertemu dengan sang guru, beliau akhirnya mengangkat kisah tentang Imam Nawawi yang gila membaca dan menulis. Akhirnya, jiwa petualang saya menemukan “selera baru”, setelah hidangan kesukaannya hilang. Ya, ketika saya membaca, saya merasa seperti mengelilingi dunia tanpa harus naik transportasi. Sebab, jiwa yang sudah menemukan “selera baru”-nya merasa cocok dengan aktivitas yang ada kaitannya dengan keilmuan. Saya rasa, misi guru-guru saya sudah berhasil, membuat salah satu muridnya cinta terhadap ilmu itu merupakan prestasi yang nilainya sangat besar bagi seorang guru. Bahkan guru saya yang menjadi inspirasi saya itulah yang memberikan sebuah petuah: “Tugas seorang guru, bukanlah membuat murid itu pintar. Tapi membuat murid itu cinta terhadap ilmu”. Saya sangat bersyukur dipertemukan dengan guru seperti itu dan saya merasakan manfaatnya sampai detik ini.
Apakah ketika “selera lama” itu muncul kembali akan mengganggu kecintaan kita terhadap ilmu yang ada sekarang? Hemat saya, iya. Saya sudah bereksperimen, objeknya adalah saya sendiri. Saya mencoba memainkan game lama yang sempat bersemi ketika saya duduk di bangku SMP, apa lagi kalau bukan Counter Strike Online. Walaupun sekarang sudah ditutup di Megaxus, saya mengaksesnya lewat Steam. Apa yang terjadi? “Candu” saya terganggu. Bahkan saya berpikiran untuk kembali ke dunia itu. Tapi, saya tidak tahu kenapa bosan itu sangat cepat muncul di game. Sepertinya saya diselamatkan oleh Tuhan dan Tuhan ingin saya tetap sibuk dalam aktivitas yang ada kaitannya dengan pengetahuan atau hal-hal yang bisa meningkatkan kualitas hidup. Saya mensyukuri itu. Sebab, saya sangat kenal dengan watak saya yang tidak bosan terhadap hal yang saya cintai. Itu terlihat jelas ketika saya “jatuh cinta” dalam dunia game, saya tidak bosan selama kurang lebih sepuluh tahun. Nanti bosan itu mulai muncul ketika cinta itu terkikis oleh keadaan-keadaan tertentu.
Buktinya, bukankah ada banyak orang yang selingkuh? Bukankah sebagian dari mereka ada yang awalnya mencintai isterinya kemudian cintanya terkikis karena ada “selera baru”? Ya, selingkuhan-selingkuhan itu perlu kita basmi dan kalau bisa dicegah, lebih baik dicegah. Mungkin ada yang ingin bilang kalau ini tidak pas komparasinya. Lebih pas jika dibandingkan dengan orang yang selingkuh dengan mantannya atau bahasa londonnya “Cinta lama bersemi kembali”. Ini akan sangat berbahaya jika mendarat di posisi yang tidak tepat.
Untuk keadaan yang sekarang, sekali lagi saya bersyukur. Sebab, cinta saya yang sempat “salah mendarat” itu kini berada pada jalur yang benar. Saya merasakan petualangan yang tidak ada di alam nyata ketika membaca, saya merasa tenggelam di alam pikiran saya, alam yang tidak bisa diraba oleh orang yang tidak membaca. Saya merasakan perjalanan yang tanpa batas, menggali penasaran tanpa ujung, dan setiap langkahnya ada feedback yang saya dapat. Ini alasan kenapa saya tidak bosan saat membaca. Ditambah lagi ada pengantar yang dibuat oleh penulis yang menjelaskan visi dan misi bukunya, ada pembahasan yang meruncing, padat, dan meluas. Di sisi inilah saya mendapatkan keseruan, berusaha memenuhi hasrat yang tuntutannya tanpa batas. Kalau dari segi penasaran, saya masih lebih penasaran ketika membaca. Belum lagi tantangan. Saya merasa sangat tertantang ketika ketemu buku tebal nan padat. Sangat susah untuk baca cepat di sana. Tapi, saya merasakan seolah memenuhi hasrat batin ketika selesai dan memahami buku itu.
Ya, hal-hal yang ada dalam game itu, ada dalam bentuk yang lebih luas di dalam buku. Belum lagi kalau dituangkan dalam bentuk tulisan. Seolah kita sedang berdiskusi dengan diri sendiri. Apa enaknya? Ketika Anda curhat dengan orang lain dan orang itu memahami perasaan plus keluh kesah Anda, apa yang Anda rasakan? Nikmat, mau mengeluarkan semua uneg-uneg yang ada dalam kepala. Seolah kalau semakin cerita, semakin banyak beban yang lepas dari hidup. Ketika kita berdiskusi dengan diri sendiri, ingatlah bahwa yang memahami diri Anda adalah Anda sendiri. Begitu Anda “curhat” kepada diri sendiri, Anda ingin terus bercerita, ingin mengungkapkan apa yang ada di kepala Anda itu.
Saya teringat dengan statement guru saya: “Salat adalah mi’rajnya orang mukmin”. Maksudnya, ketika mereka merasakan khusyu’ dalam salat, seolah-olah dia sedang bermi’raj. Ketika itu, saya tidak paham apa yang dimaksud guru saya. Namun, ketika saya membuka lembaran ingatan sekali lagi, pemahaman saya sedikit terbuka. Saya meraba-raba kalau guru saya ingin bilang bahwa orang salat yang khusyu’ dan mendapatkan “mi’raj”-nya dalam salat, yaitu orang mendapatkan kenikmatan tertentu dalam salat sehingga dia seolah tidak ingin lepas dari salatnya, lupa akan dunia ini. Dia ingin banyak salat, karena salatnya itulah yang membukakan pintu kenikmatan baginya. Saya tidak tahu pasti seperti apa kenikmatan yang dirasakan hamba yang khusyu’ dalam salatnya, sebab saya pribadi belum sampai di sana dan tentunya ingin sampai.
Tapi, saya sempat berpikir begini, mungkin saja membaca dan menulis memiliki fase “mi’raj”-nya masing-masing. Sebab, kenikmatan yang seperti dikatakan guru saya, benar-benar ada! Saya sudah bisa membayangkan sekelumit kenikmatan beribadah yang dirasakan oleh para sufi, walaupun saya belum merasakan sebenar-benarnya ibadah. Dan saya yakin ada kenikmatan yang lebih, nikmat yang tidak bisa disentuh bosan. Wajarlah surga disebut sebagai kenikmatan tanpa bosan, saya sangat percaya itu, ditambah saya sudah dibuat merasakan nikmat dalam hitungan jam tanpa bosan dan itu baru titik kecil dari nikmat di surga yang amat besar. Belum lagi nikmat teragung ru’yatullah. Kalau ditanya ingin, ya saya sangat ingin. Saya ingin memulai kenikmatan seperti itu dan mulai berpetualang mencari kenikmatan hakiki; kebahagiaan di dunia dan akhirat melalui ilmu. Benarlah ajaran yang ada di dunia tasawuf; kita bisa menemukan kenikmatan hakiki melalui kenikmatan juga. Sebab, jalan menuju Tuhan adalah petualangan seru menuju kebahagiaan hakiki.