Ketika saya membuka Facebook, saya bertemu dengan salah satu cuplikan video yang memperlihatkan seorang misionaris yang berusaha memurtadkan seorang ibu yang sepertinya sedang berjualan. Syukurnya, ibu tersebut tidak terpengaruh dengan syubhat misionaris tersebut. Kali ini, saya tertarik untuk membahas logika yang dibangun oleh misionaris tersebut.
Pertama: Surga atau Neraka?
Pertanyaan ini diajukan agar ibu tersebut mengatakan surga lalu dipertentangkan dengan ajaran agama yang membuka potensi masuk neraka. Ini terlihat ketika misionaris tersebut bertanya: “Anggaplah anda ini punya amal 50 dan dosa 100? Masuk neraka atau surga?” lalu kemudian ibu tersebut menjawablah masuk neraka. Kemudian misionaris ini membalik lagi “kalau ada pahala 100 dan dosa 50? Bukannya amal itu tidak mampu menghapus dosa?”. Pertanyaan ini dia ajukan untuk memperlihatkan kepada ibu ini bahwa baik pahala itu banyak atau sedikit, tetap saja masuk neraka. Belum lalu dibelakang ditambah bumbu bahwa “Di akhirat itu berapa tahun tuh?” agar ibu tersebut merasa semakin ngeri.
Tanggapan:
Dalam Islam, tentang siapa masuk neraka atau surga itu, bukan hak hamba, tapi hak mutlak Allah. Bukan amal yang menjadi sebab orang masuk surga, tapi rahmat-Nya yang membuat kita masuk surga. Bahkan disebutkan dalam salah satu riwayat di mana ketika ada seorang sahabat dikenal sangat baik sampai ada salah satu orang sahabat lain berkata “Berbahagialah engkau, engkau akan masuk surga karena amalmu banyak”. Lantas, dengan rasa keberatan, Rasulullah Saw. bertanya “Siapa yang bilang itu?” sampai muncullah satu hadis:
لا يدخل أحدكم الجنة بعمله
Tidak ada satupun di antara kalian masuk surga karena amalnya.
Selain itu, ada seseorang yang pernah mimpi melihat Imam Al-Ghazali. Dia bertanya “Bagaimana keadaanmu sekarang?” Imam Al-Ghazali menjawab “Saya sangat berbahagia sekarang”. Setelah itu orang tersebut berkata kalau itu hal yang wajar. Sebab, siapa yang tidak mengenal Imam Al-Ghazali dengan segenap amal dan tulisannya? Lalu, sang imam pun menjawab “Tidak, saya berbahagia karena rahmat Allah. Sebab waktu saya menulis, saya membiarkan seekor lalat itu hinggap sampai puas. Dengan itu, Allah merahmati saya”.
Mungkin saja misionaris itu jika mendapat tanggapan seperti ini akan bertanya “Kalau bukan amal yang menyebabkan kita masuk surga, lantas kenapa orang yang durhaka itu masuk neraka?”. Kalau melihat penjelasan ulama, Allah itu mungkin saja memasukkan orang yang tidak beriman ke dalam surga. Tapi, kalau kita berbicara apakah terjadi atau tidak, itu adalah hal lain. Kita perlu membedakan hal yang mungkin dan terjadi.
Kalau mau dipikir lagi, kenapa tidak dibalik saja logikanya bahwa amal sekecil apapun amal kita, itu bisa saja mengundang rahmat Allah. Sebab, amal kita terlampau sedikit kalau mau membalas jasanya Allah. Kalau kita mau menggunakan cara berpikir utang-piutang, maka ada banyak utang kita yang menumpuk kepada Tuhan.
Maka di sini sudah jelas bahwa pertanyaan yang diajukan misionaris yang bersangkutan itu cacat dan tidak bisa diterima (ghairu musallam).
Kedua: Kalau Tuhan Maha Kuasa, Berarti Tuhan Bisa Berubah Menjadi Manusia?
Masih pada video yang sama, misionaris tersebut mengatakan kalau Tuhan itu pasti maha kuasa, termasuk berkuasa menjadi manusia. Dengan premis seperti ini, misionaris menggiring kalau utusan Tuhan mungkin saja mengirim utusan dan utusan itu adalah Yesus Kristus. Maka dari itu harus percaya dong kalau itu merupakan titisan Tuhan.
Tanggapan:
Dalam Islam, ada yang wajib, mustahil, dan mungkin terhadap Allah. Wajib itu seperti eksistensi dan sifat-sifat-Nya, mustahil itu adalah hal-hal yang tidak pantas disandarkan kepada Tuhan seperti tiada, lemah, fana, dan lain-lain, dan yang mungkin yaitu berkehendak atau tidak.
Di sini perlu kita garis bawahi bahwa memang Tuhan Maha Mampu, tapi sifat maha mampu itu berkaitan dengan hal yang mungkin. Sebab, berkehendak sendiri bermakna mengadakan dan ketiadaan. Kalau tidak tidak bisa menghendaki yang wajib dan yang mustahil, berarti Tuhan tidak maha mampu? Pertanyaan seperti ini mengandung beberapa masalah. Sebab, mustahil dan wajib tidak butuh pengadaan dan peniadaan. Mustahil itu seperti bersatunya dua hal yan kontradiksi, dia tidak butuh peniadaan karena dari sono-nya, memang sudah tiada. Untuk apa meniadakan yang sudah tiada sejak awal? Kalaupun ingin dikatakan mengadakan hal mustahil, ini juga tidak bisa diterima. Sebab, jika dia bisa diadakan, berarti dia bukan lagi sesuatu yang mustahil, tapi mungkin.
Sebaliknya, kalau kita berbicara dalam ranah wajib, tentu wajib itu tidak butuh pennggadaan karena sejak awal wajib itu memang ada. Lalu bagaimana dengan ketiadaan? Apakah wajib bisa ditiadakan oleh Tuhan? Jawabannya, jika wajib bisa ditiadakan, maka saat itu dia bukan wajib lagi, tapi mungkin. Jadi, wajib, mustahil, dan mungkin itu adalah sebatas kategori yang keberadaannya ada di alam akal. Sedangkan hal-hal yang termasuk dari wajib, mungkin, dan mustahil itu adalah hal lain lagi.
Apakah wajib dan mustahil mungkin berubah menjadi mungkin? Jawabannya tidak. Sebab, jika ada sesuatu yang dari wajib menjadi mungkin, maka seharusnya sejak awal dikategorikan mungkin saja. Karena dia menyimpang dari definisi mungkin itu (sesuatu yang menerima keberadaan dan ketiadaan). Sedangkan wajib, itu keberadaan yang tidak menerima ketiadaan. Kalaupun dipaksakan, maka akan terjadi kontradiksi. Bagaimana mungkin ada sesuatu di saat yang sama tidak menerima ketiadaan dan menerima ketiadaan? Kontradiksi serupa juga akan terjadi jika ditarik ke konsep mustahil berubah menjadi mungkin.
Sekarang kita kembali kepada pertanyaan, jika Tuhan Maha Kuasa, apakah Tuhan bisa berubah menjadi manusia? Secara akal, pertanyaan ini cukup bermasalah. Sebab, ketika Tuhan menjadi manusia, pada saat itu Tuhan tidak lagi menjadi yang wajib keberadaannya (karena manusia sendiri mungkin), tapi menjadi mungkin. Berubahnya wajib ke mungkin itu mustahil. Maka Tuhan berubah menjadi manusia adalah hal yang mustahil.
Selain itu, ada beberapa hal lain yang tidak mungkin jika dinisbatkan kepada Tuhan, seperti mustahil memiliki batas, mustahil menempati suatu tempat, mustahil berarah, dan lain-lain. Jika Tuhan memiliki ukuran dan menempati suatu tempat (ini yang lazim jika Tuhan itu berubah menjadi manusia), maka saat itulah Tuhan dibatasi oleh tempat dan saat itu, eksistensi Tuhan yang seharusnya tidak terbatas, malahan dibatasi tempat. Dalam konsep Islam, Tuhan itu absolut, tidak dibatasi oleh tempat. Tentu saja, bagi kita, konsep seperti ini tidak bisa kita terima secara akal.
Ketiga: Ini Bukan Masalah Agama, Tapi Masalah Percaya
Ketika misionaris tersebut sudah mulai mendikte ibu tersebut untuk berikrar percaya kepada tebusan anak Tuhan tersebut, tapi ibu tersebut mengelak karena ibu menganggap ini adalah masalah sakral, masalah agama. Alih-alih mengiyakan, misionaris tersebut berkata kalau ini sebenarnya bukan masalah agama, tapi masalah kepercayaan.
Tanggapan:
Kalau kita berbicara masalah kepercayaan, sebenarnya kepercayaan itu sendiri memiliki makna senafas dengan kata agama, bisa juga tidak. Sebagaimana agama juga demikian. Tapi, kita tidak punya waktu yang banyak untuk menjelaskan keduanya secara anjang lebar di sini. Yang jelas, dalam konteks video tersebut keduanya dimaknai sama. Ibu tersebut memaknai kepercayaan dan agama itu sama, itu terlihat dengan sikapnya yang tidak mau mengamini bahwa ada Tuhan berubah menjadi seorang manusia dan memberikan penebusan dosa. Sepertinya bagi misionaris juga demikian, melihat di sana ada permainan kata-kata seperti “Ini bukan agama bu, tapi masalah percaya atau tidak saja”. Seandainya kepercayaan di sini tidak dipahami sebagai agama, lantas kenapa ada ucapan-ucapan tertentu yang didikterkan kepada ibu tersebut, baik dalam bahasa Indonesia maupun Jawa?
Ini seperti mengatakan: Saya tidak makan nasi, tapi sedang makan beras rebus. Tentu ini kekeliruan dalam berpikir, tapi sengaja. Karena kalau si misionaris tersebut buka kartu kalau ini masalah agama, mana mungkin ibu tersebut bisa terima. Tanpa bilang agama saja sudah ditolak, apalagi terang-terangan jujur kalau itu masalah agama. Tapi yang saya sorot di sini adalah cara menggunakan kata itu.
Keempat: Orang Islam Sembuh Karena Berkah Utusan Tuhan
Di sela-sela pembicaraan, misionaris tersebut mengklaim kalau ada orang yang sembuh karena disembuhkan oleh Yesus Kristus, menurut orang tersebut. Bahkan, kata orang itu, dokter sudah memvonis kalau orang ini sudah seharusnya mati. Tapi, diselamatkan katanya.
Tanggapan:
Dalam Islam, siapapun harus percaya bahwa para Nabi itu diberikan mukjizat oleh Allah. Tapi, perlu dicatat bahwa mukjizat itu bukan atas dasar pilihan Nabi, tapi atas izin Allah. Jangankan mukjizat, makanan saja belum tentu membuat kita kenyang. Ada kok orang yang makan banyak tapi tidak kenyang dan ada juga ornag makan sedikit lalu kenyang. Jika seandainya makanan itu yang mengenyangkan, maka tentu saja orang yang makan banyak itu pasti kenyang. Tapi, lagi-lagi yang memberikan dampak (mu’atsir) kepada segala sesuatu adalah Allah.
Jangankan masalah sembuh, Tuhan bahkan mengizinkan orang-orang non-muslim itu menjadi kaya raya. Itu bisa kita lihat hari ini, apakah orang terkaya di dunia itu percaya bahwa Allah adalah Tuhan yan harus disembah atau tidak? Jadi, Tuhan itu ‒sekali lagi‒ absolut. Bebas saja ingin melakukan apapun. Secara hukum akal pun, kalau ada orang yang sembuh melalui pengobatan di luar Islam, bahkan yang tidak ada bau-bau agamanya seperti di klinik itu, tidak ada yang menghalangi Tuhan untuk mengizinkan itu.
Tapi, perlu dibedakan antara Tuhan mengizinkan sesuatu itu satu hal, sedangkan meyakini sesuatu itu sebagai penyembuh sekaligus harus disembah adalah hal yang lain lagi. Kita tidak bisa menyamakan dua hal ini. Dan tampaknya misionaris itu ingin menunjukkan bahwa ketika ada hal seperti itu, maka kita harus percaya bahwa itulah berkah sang utusan Tuhan. Itupun kalau kita bertanya lagi, apa titik kelaziman dua hal itu?
Kemudian, kalau masalah mukjizat, para nabi yang lain juga memiliki itu. Memang mukjizat itu adalah hal yang di luar kebiasaan (khâriq ‘an al-âdah), tapi tidak semua yang di luar kebiasaan itu disebut dengan mukjizat. Contohnya karamah (pertolongan yang diberikan kepada wali atau orang alim) dan ma’unah (pertolongan Tuhan yang diberikan kepada orang awam). Tapi bukan berarti di tangan siapa muncul hal tidak biasa itu lantas dia menjadi Tuhan.
Tapi terlepas dari semua ini, kalau kita berhadapan dengan sebuah klaim, kita berhak bertanya, apakah itu bisa dibuktikan atau tidak? Perlu dicatat, bukti itu bisa sebatas argumen saja jika secara empiris tidak bisa dibuktikan. Ataupun kalau menukil cerita, apakah dia bisa pastikan keshahihan nukilannya atau tidak? Sebab, kalau ada bermasalah pada bagian ini, percuma kita berbusa-busa menjawab klaim itu.
Kelima: Yang Pasti atau Tidak?
Pada poin ini misionaris itu ingin menanamkan doktrin kalau ada yang datang untuk menebus dosa dan kalau kita percaya, maka dosa kita pasti akan ditebus.
Tanggapan:
Ada satu hal yang membuat saya bertanya-tanya, jika memang tebusan alias jaminan itu ada, lantas apa gunanya ada perintah dan larangan? Kalau misalnya ditanya, bagaimana jika dikaitkan dengan uraian di atas tadi mengenai rahmat Tuhan? Bukankah itu kurang lebih menggugurkan konsep amal, sama dengan konsep yang ditawarkan misionaris itu? Jawabannya, sejatinya konsep amal itu tidak batal karena konsep rahmat. Sebab, yang mengundang rahmat itu adalah amal itu sendiri. Karena sekali lagi, amal kita sangat kurang jika mau disandingkan dengan pemberian Tuhan yang amat banyak.
Wallahu a’lam