Ada sebuah liputan yang pernah saya saksikan. Di sana ada seorang pejabat berdiri dengan gagahnya mendirikan sebuah infrastruktur besar. Dia disanjung-sanjung oleh banyak orang, khususnya kalangan atas. Karena ini adalah barang mewah dan baru tercapai beberapa akhir dekade ini. Tapi, di balik keberhasilan itu, ada beberapa rumah warga yang digusur dengan cara yang agak kotor. Nyaris tidak ada yang melirik sisi gelap di balik cahaya yang terang itu.
Coba bayangkan, ada seorang anak pemimpin negara dan anak petani yang berteman. Ketika mereka melakukan kenakalan yang sama, mereka mendapatkan perlakuan yang berbeda. Satunya dihukum tanpa ragu, satunya lagi bisa saja tidak dihukum. Sebab, melihat orang tuanya yang merupakan pemimpin negara. Perbuatannya sama, tapi efek yang diterima berbeda.
Ya, itulah privilege. Orang-orang menyebutnya dengan “hak istimewa”. Saya condong kepada pandangan ini dibanding mereka yang mengatakan privilege adalah status hanya untuk orang kaya semata. Perlu diakui, memang benar ada orang kaya yang memiliki privilege, tapi ada juga yang bukan orang kaya yang memilikinya. Apapun yang kita punya yang membuat kita memiliki hak istimewa, itulah privilege. Kalau punya kekayaan yang membuat kita memiliki hak lebih luas, itu privilege. Kalau kita punya prestasi yang membuat kita memiliki status lebih tinggi dan hal lebih banyak, itu juga privilege.
Isu mengenai privilege ini hangat di era post-modern atau abad 20-an ke atas. Ini bisa saja disebabkan adanya teknologi yang memperlihatkan ada orang yang memiliki nasib yang bisa dibilang sangat beruntung dan kalau mau apa-apa mudah saja. Namun, ini kemudian menjadi memanas saat ada orang yang sangat tinggi keberhasilannya tapi bilang begini “Saya mulai dari nol”. Yang disorot, bukan nolnya tapi “faktor x” yang disebut privilege itu yang memudahkan langkahnya. Mereka menyebut mulai dari nol supaya terkesan lebih berusaha besar. Maka istilah privilege muncul sebagai sindiran kepada mereka yang mencitrakan diri mulai dari nol padahal tidak.
Secara eksistensi, privilege ini sudah ada sejak zaman kuno. Kalau ada anak raja atau penguasa, mereka itu menjadi idaman para warga dan menjadi role model bagi mereka. Seolah ada cahaya dari langit yang membuat dirinya terpandang. Begitu juga ketika di Cina dulu, ketika ada orang yang diketahui sebagai keturunan Jengis Khan, maka dia diperlakukan baik-baik dan penuh dengan kehormatan. Sebab, ada nama Jengis Khan yang dilihat.
Dari kacamata lain, ada yang melihat ini dengan ketidakadilan. Sebab, tidak ada orang yang memilih lahir dari rahim tertentu. Tidak ada yang memilih lahir dari rahim orang yang tidak memiliki privilege. Semua orang ingin lahir dari orang yang memiiki status sosial yang tinggi. Pembahasan yang menyentuh ranah ini, selalu saja terasa tajam. Sebab, bersinggungan dengan personality dan nasib orang. Tapi, di sisi lain, saya ingin membangun sebuah kesadaran tentang hal ini.
Saya adalah orang yang memiliki privilege. Baik dari segi nasab, harta, dan status sosial. Jelas saya sangat bersyukur dengan itu. Saya dulunya tidak sadar akan keberadaan privilege ini. Setelah saya sadar, saya kemudian melihat lagi kalau dalam tatanan privilege ini ada kasta-kastanya. Ibaratnya orang diberikan medali. Medali ini ada yang karat, silver, dan emas. Memang ketiga medali itu, ya sama-sama medali. Sama-sama membuat orang yang mendapatkannya memiliki nilai. Tapi, nilainya berbeda. Emas lebih tinggi dari perak. Perak lebih tinggi dari karat. Dan karat lebih tinggi dibanding yang tidak memiliki medali. Ini disebut faktor perbandingan.
Ada yang menyebutnya dengan sebutan privilege juga, tapi maksudnya relatif. Artinya, orang yang lebih tinggi privilege-nya, itu dianggap memiliki privilege. Sementara yang lebih di bawah, tidak. Namun, dari segi makna, sebenarnya sama-sama memiliki. Hanya efek perbandingan yang membuat terlihat beda. Kalau kita meminjam konsep privilege yang seperti ini, maka pada hakikatnya semua manusia memiliki privilege. Sebab, manusia punya hak istimewa atas makhluk lainnya. Jika dibatasi juga pada konteks kemanusiaan, maka manusia juga tetap punya privilege itu. Orang tua yang memiliki hak istimewa di mata anaknya. Anak yang memiliki hak istimewa di depan orang tuanya, dan lain sebagainya. Namun, pada tulisan ini, saya tidak bersinggungan dengan privilege dalam konsep yang seperti ini. Ini bersinggungan dengan privilege dalam konteks sosialis-kapitalis (ini tidak saya batasi pada masalah kehartaan saja).
Kesadaran
Memang benar takdir itu ada, tapi kita tidak boleh lupa kalau tuhan mengizinkan hukum sebab-akibat juga berlaku di alam semesta. Buktinya, kita masih diperintahkan mencari nafkah untuk keluarga, diperintahkan belajar, diperintahkan ini dan itu. Seandainya kebebasan dan sebab-akibat itu tidak ada, untuk apa kita diperintahkan dan dilarang sesuatu kan?
Kalau kita masuk dalam dunia kompetisi atau lomba estafet, di sana kita akan menemukan ada sejumlah peserta, garis start, beberapa peralatan lomba, dan garis finish. Anggaplah dua peserta. Yang satunya tidak mau mengeluarkan seluruh kemampuannya, dan satunya mengeluarkan semua teknik dan kemampuannya. Jika mereka dalam garis start yang sama, apakah hasilnya akan sama? Jawabannya tidak. Sama mulai bukan berarti sama selesai.
Ketika ada peserta yang ogah-ogahan dalam lomba itu terus dia memberikan kayu estafet kepada kawannya, apakah kawannya ini harus berusaha keras? Iya, sebab keogah-ogahan peserta sebelumnya inilah yang membuat peserta depannya harus menutupi kekurangannya. Tapi, bagaimana kalau dibalik, peserta sebelumnya yang serius mencapai kemenangan, tapi dengan santainya peseta depannya ogah-ogahan? Kemenangannya akan direbut orang lain.
Dalam kehidupan, hakikatnya manusia memiliki garis start yang sama. Tapi, adanya faktor biologis yang membuatnya terlihat tidak sama. Seperti estafet tadi, mungkin di era leluhur zaman dulu ada yang ogah-ogahan dalam hidup. Sehingga itu memengaruhi nasib keturunannnya. Ada juga yang sungguh-sungguh, akhirnya keturunannya mendapatkan hidup yang nyaman. Ada juga yang orang tuanya kaya, tapi karena anaknya tidak tahu mengelola uang, tidak tahu hidup hemat, tidak tahu menghadapi kehidupan, maka kekayaan itu akan habis dengan sendirinya. Ini seperti lomba lari tadi, peserta di set pertama sudah lari sekencang mungkin, malah peserta depannya kerjaannya hanya main-main saja.
Ada mungkin yang sudah jauh lebih maju dari kita. Bisa jadi dia memiliki start yang berbeda karena orang sebelumnya yang membuat dia bisa start duluan. Tugas kita adalah jangan membuang waktu untuk start. Karena hanya masuk dalam arena lari yang memungkinkan kita setara atau melebihi. Kalaupun tidak, ingatlah kalau mungkin iya masih lebih baik daripada pasti tidak.
Bagaimana dengan Kita?
Sebagaimana yang saya katakan bahwa yang memiliki privilege pun memiliki tingkatan kasta lagi, maka tidak ada alasan untuk tidak “berlari”. Tapi, bagaimana kalau kastanya sudah paling atas? Tetap “lari”. Sebab, kalau yang punya prrivelege ini meningkatkan kastanya, mereka harus mempertahankan privilege yang mereka miliki selama ini. Karena ini bisa diwariskan.
Adapun yang tidak memilikinya, teruslah berlari. Jadilah privilege bagi anak cucu yang akan datang. Jika guru saya mengatakan “Didik keturunanmu yang ada dalam dirimu dengan belajar” maka saya akan berkata: “Sayangilah anak cucu dengan menyayangi diri; tingkatkan diri minimal satu persen setiap harinya”. Kalau orang sebelum kita tidak memiliki apa-apa, doronglah diri untuk memilikinya. Buatlah rantai kesengsaraan itu terputus. Jika ada yang menjadi pahlawan di keluarga, maka jadilah pahlawan itu, bahkan jika itu satu-satunya kemungkinan menjadi pahlawan. Jika melihat orang yang usahanya sangat mudah, maka berusahalah lebih keras. Sebab, sejarah kita dengan mereka berbeda.
Kalau kita hanya larut dalam keluhan dan penyesalan, itu sudah membuang waktu kita. Itu seperti dalam perlombaan yang semua orang sudah lari, dia masih tinggal berdiri sambing bengong melihat orang lain. Akhirnya, dia bertindak seperti penonton padahal dia aslinya berstatus sebagai peserta. Ya, mengeluh tidak mengubah apa-apa. Menyesal juga baik, tapi jika berlebihan juga tidak akan banyak membantu. Yang jelas, jangan sampai kita hari inilah yang membuat keturunan kita berpikir kalau hidup itu tidak adil, padahal itu ulah kita. Buatlah orang yang akan datang (atau diri kita bahkan) berterima kasih pada hidup dan yang menciptakan hidup itu.
Ya, kenyataan masa depan ditentukan dari seberapa serius kita. Jika kita memiliki privilege, bisa saja kita mewariskannya atau malah menghancurkannya. Jika kita tidak memilikinya, maka usahakan untuk memilikinya dan mewariskannya. Jika tidak, maka kita hanya akan menjadi orang yang tetap mewariskan kesusahan itu kepada orang yang kita sayangi, keturunan kita.
Bukan cinta jika tidak memiliki pengorbanan. Sebab, cinta itu untuk diri dan orang lain. Ya, pengorbananlah bukti cinta itu. Dalam agama kita diajarkan bahwa tuhan tidak akan mengubah keadaan suatu kaum jika kaum itu sendiri tidak mengubah keadaannya.
Wallahu a’lam