Ruang Intelektual
  • Login
  • Daftar
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Ilmu Bahasa Arab
    • Nahwu
    • Sharaf
    • Balaghah
    • ‘Arudh
    • Qafiyah
    • Fiqh Lughah
    • Wadh’i
  • Ilmu Rasional
    • Ilmu Mantik
    • Ilmu Maqulat
    • Adab Al-Bahts
    • Al-‘Umȗr Al-‘Ammah
  • Ilmu Alat
    • Ulumul Qur’an
    • Ilmu Hadits
    • Ushul Fiqh
  • Ilmu Maqashid
    • Ilmu Kalam
    • Ilmu Firaq
    • Filsafat
    • Fiqh Syafi’i
    • Tasawuf
  • Ilmu Umum
    • Astronomi
    • Bahasa Inggris
    • Fisika
    • Matematika
    • Psikologi
    • Sastra Indonesia
    • Sejarah
  • Nukat
    • Kitab Mawaqif
  • Lainnya
    • Biografi
    • Penjelasan Hadits
    • Tulisan Umum
    • Prosa Intelektual
    • Karya Sastra
    • Ringkasan Buku
    • Opini
    • Koleksi Buku & File PDF
    • Video
Ruang Intelektual
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil

Al-Ma’lum; Antara Asy’ariyyah, Muktazilah, dan Filusuf

Oleh Muhammad Said Anwar
18 Maret 2023
in Al-‘Umȗr Al-‘Ammah
Al-Ma’lum; Antara Asy’ariyyah, Muktazilah, dan Filusuf

Source: https://www.khanacademy.org/humanities/world-history/medieval-times/cross-cultural-diffusion-of-knowledge/a/the-golden-age-of-islam

Bagi ke FacebookBagi ke TwitterBagi ke WA

Pada ulasan tentang al-umȗr al-‘ammah sebelumnya, kita telah menyentuh domain umum pembahasan ilmu ini. Sekarang, kita masuk ke bagian baru; al-ma’lȗm. Apa itu al-ma’lȗm? Sederhananya, dia adalah hal yang diketahui. Hal yang diketahui itu cakupannya sangat luas. Keluasannya mencakup segala hal yang ada dan tiada, tanpa menafikan hâl (bagi yang mendukung pandangan itu).

Kenapa al-ma’lȗm? Karena kita tidak mungkin mengkaji sesuatu yang tidak kita ketahui. Kita bisa membuat jutaan variasi dari sesuatu jika dia berstatus al-ma’lȗm. Kenapa bukan ada saja? Bukannya kita mengkaji sesuatu yang ada? Dalam dunia filsafat, sesuatu yang ada itu hanyalah salah satu hal yang dikaji, bukan satu-satunya. Kita juga membahas hal abstrak. Hal yang diketahui itu lebih umum dan komprehensif; mencakup segalanya. Sedangkan jika kita membahas ada saja, maka pembahasan kita menjadi terbatas.

Kita akan mulai dari titik ini; al-ma’lȗm, baik itu dari sudut pandang Asy’ariyyah, Muktazilah, maupun Filusuf. Ini adalah titik awal kita memulai.

Mazhab Asy’ariyyah

Dalam internal Asy’ariyyah, ada perbedaan pendapat. Akar perbedaan itu terletak pada diskurus: Apakah garis tengah antara ada dan tiada itu ada atau tidak? Karena adanya perbedaan ini, maka ada dua mazhab. Kita tidak menguraikan perdebatan seputar afirmasi hâl, tapi terfokus kepada konsep al-ma’lȗm ini secara umum.

  1. Mazhab Pertama

Mazhab ini menafikan hâl. Mereka hanya membagi dua sesuatu yang disebut al-ma’lȗm itu. Pertama, sesuatu itu terealisasi (tahaqquq) di alam nyata. Kedua, sesuatu itu tidak terealisasi di alam nyata. Yang pertama, ini disebut dengan ada (maujȗd). Yang kedua, disebut dengan tiada (ma’dȗm).

Perlu dicatat, ketika mereka menambahkan frasa “terealisasi di alam nyata”, itu bukan berarti tidak ada alasan. Salah satu dasar para teolog tentang eksistensi adalah ketiadaan sesuatu di alam nyata atau keberadaan sesuatu yang sampai taraf rasional (dzihni) saja, itu tidak dinyatakan ada. Maka nanti keberadaan yang tidak mencapai tingkatan nyata di alam nyata, tidak disebut ada oleh para teolog. Sayangnya, saat ini kita tidak membahas tingkatan eksistensi dan seperti apa perdebatan mereka dengan para filusuf. Semoga ada waktu untuk itu.

Asas nalar yang digunakan para teolog adalah oposisi binner (al-qismah al-tsunâ’iy). Jika sesuatu itu bukan ada, maka dia tiada. Begitu juga sebaliknya.

BacaJuga

Apa itu Al-‘Umur Al-‘Ammah?

  1. Mazhab Kedua

Ada dua imam yang memilih pandangan keberadaan sisi tengah antara ada dan tiada; Imam Abu Bakar Al-Baqillani dan Imam Al-Juwaini. Tapi, belakangan Imam Al-Juwaini menarik pendapatnya tentang keberadaan hâl ini.

Bagi yang memegang mazhab ini, mereka memiliki pandangan bahwa al-ma’lȗm itu memiliki dua kemungkinan. Pertama, sejak awal dia tidak bisa terealisasi. Kedua, dia terealisasi. Jika dia terealisasi, maka ada dua kemungkinan; Pertama, realisasinya independen dan realisasinya bisa merealisasikan hal lain. Kedua, realisasi bergantung dan realisasinya bergantung kepada sesuatu yang lain. Jika tidak terealisasi, maka ini disebut tiada. Jika keberadaannya tidak bergantung kepada sesuatu yang lain, maka dia ada. Namun, jika realisasinya bergantung kepada sesuatu yang lain (yakni ada), maka dia hâl.

Kemudian, mereka mendefinisikan hâl sebagai:

صفة غير موجودة ولا معدومة في نفسها قائمة بموجود

“Sifat yang (statusnya) bukan ada, bukan juga tiada wataknya, ada dengan eksistensi (yang merupakan inangnya)”

Apa saja contoh hâl? Itu seperti warna. Jika melihat kertas putih di alam nyata, maka yang kita lihat adalah “putih”, bukan sesuatu yang disebut dengan warna. Warna hanyalah sesuatu yang ada di akal. Sedangkan, putih itu sesuatu yang ada di realitas. Tapi, bisakah kita katakan warna itu ada? Kalau menggunakan pandangan ini, kita katakan tidak. Sebab, di alam nyata kita tidak menjumpai makhluk yang disebut warna itu. Apakah bisa disebut tiada? Tidak juga. Karena seandainya warna tidak ada, maka putih itu tidak ada. Tapi, putih itu ada. Maka, kita tidak bisa mengatakannya tiada. Inilah alasan kenapa warna itu tergolong hâl; tidak ada, tidak juga tiada.

Bagian ini memerlukan kejelian, karena mereka membedakan status antara ada dan hâl. Tapi, hâl ini tidak bisa terealisasi jika dia tidak memiliki inang untuk ada. Terus, jika ada itu ada, kita menyebut apa untuk hâl jika tidak disebut ada, maupun tiada? Kita menyebutnya terealisasi (tahaqquq).

Tapi, sampai di sini akan ada pertanyaan, seperti apa dampak perbedaan ini? Dalam ilmu akidah, itu terlihat pada pembahasan sifat nafsiyyah (Sifat Ada). Apakah sifat nafsiyyah itu sesuatu yang ada atau sesuatu yang tidak mencapai derajat ada, tidak juga tiada (hâl)? Karena titik kritis ini, ulama Asy’ariyyah berbeda dalam mendefinisikan sifat nafsiyyah bagi Tuhan:

صفة ثبوتية يدل وصف بها على نفس الذات

“Sifat afirmatif yang menunjukkan inti Dzat yang disifati dengannya”

Ini adalah definisi ulama yang menolak hâl. Sedangkan, definisi ulama yang percaya dengan teori hâl:

هي الحال الواجب للذات, ما دامت الذات غير معللة بعلة

“(Sifat afirmatif) adalah hâl wajib bagi Dzat, selama Dzat itu tidak disebabkan oleh sebab lain (untuk ada)”

Mereka sepakat bahwa ketika sesuatu itu ada, maka kita menyifatinya dengan sebutan ada. Kita tidak mungkin menyifati sesuatu yang ada dengan tiada. Tapi, penyifatan ada kepada sesuatu yang ada itu merupakan hâl atau bukan? Ini titik perbedaannya. Bagi yang percaya bahwa hâl itu terealisasi, mereka menyatakan bahwa penyifatan ada itu hâl. Tapi, Imam Abu Hasan Al-Asy’ari itu menolak hâl. Bagaimana cara mengafirmasi sifat nafsiyyah ini? Ulama yang menolak hâl menyatakan bahwa kendati Imam Al-Asy’ari menolak hâl, bukan berarti beliau menolak amr al-i’tibâriy (sesuatu yang dianggap ada).

Pada akhirnya, kedua mazhab ini sepakat bahwa sifat nafsiyyah ini bukanlah sesuatu yang mencapai tingkat realisasi ada yang tertinggi (tahaqquq fi al-khârij), melainkan hanyalah sesuatu yang ada di akal.

Mazhab Muktazilah

Kebanyakan Muktazilah menolak hâl. Ada juga yang percaya dengan hâl. Maka, mereka terpecah juga menjadi dua mazhab dan memiliki teorinya tentang al-ma’lȗm.

  1. Mazhab Pertama

Mereka mulai membagi al-ma’lȗm menjadi dua; Pertama, sesuatu itu pada asalnya bisa terealisasi (memiliki “ketetapan” di alam luar). Kedua, pada dasarnya tidak bisa terealisasi. Yang pertama disebut dengan sesuatu (syai’) dan “tetap” (tsâbit). Sedangkan, yang kedua disebut dengan al-manfi. Ini seperti kemustahilan  yang tidak mungkin ada di alam luar (al-a’yân).

Sesuatu yang “tetap” (tsâbit) tadi dibagi lagi menjadi dua; Pertama, memiliki eksistensi di alam luar. Kedua, tidak memiliki eksistensi di alam luar. Jika yang pertama, menurut mereka inilah yang disebut dengan ada (maujȗd). Jika yang kedua, maka itu disebut dengan tiada (ma’dȗm).

Tapi, ketika kita melihat istilah yang mereka gunakan, itu sudah berbeda dengan mazhab Ahlussunnah. Misalnya, ketika mereka menggunakan istilah ma’dȗm. Ini lebih umum daripada manfi. Karena manfi hanya ada pada ruang kemustahilan. Sedangkan ma’dȗm itu mencakup sesuatu yang tsâbit dan manfi. Begitu juga ketika menggunakan istilah tsâbit, lebih umum dari istilah maujȗd dan ma’dȗm.

  1. Mazhab Kedua

Mazhab ini sepakat dengan mazhab di atas secara umum. Tapi, hanya berbeda pada eksistensi di alam nyata (kaun fi al-a’yân). Menurut mazhab ini, sesuatu yang ada di alam nyata itu dilihat dari dua hal; Pertama, independensi eksistensi (istaqalla bi al-kâ’inîyyah). Kedua, dependensi eksistensi (kaun bi tab’iyyah). Jika eksistensinya independen, maka ini disebut dengan maujȗd. Sedangkan, jika eksistensinya dependen, maka ini disebut dengan hâl.

Mazhab Filusuf

Ketika dikatakan filusuf dalam diskurus teologi, maka yang dimaksud adalah filusuf paripatetik. Mereka memiliki metode tersendiri dalam dunia pemikiran. Itu seperti dalam persoalan al-ma’lȗm ini. Mereka tidak mengatakan al-ma’lȗm sebagai titik awal pembahasan, tapi sesuatu yang bisa diketahui (mâ yasihhu an yu’lam). Mereka menggunakan redaksi yang lebih umum; untuk mencakup sesuatu yang diketahui secara aktual dan potensial. Akar klasifikasi ini lebih umum dari yang kemukakan dua mazhab teologi sebelumnya; mencakup hal-hal yang tidak diketahui.

Dari sesuatu yang mungkin diketahui ini, mereka bagi menjadi dua; Pertama, memiliki realisasi. Kedua, tidak memiliki realisasi. Jika yang pertama, inilah yang disebut dengan ada (maujȗd). Sedangkan yang kedua, disebut dengan tiada (ma’dȗm). Tapi, bagaimana jika realisasinya ada di alam nyata? Jika ada di alam nyata, maka inilah yang disebut dengan eksistensi eksternal (al-maujȗd al-khâriji). Tapi, jika realisasinya ada di alam pikiran, maka ini disebut eksistensi rasional (al-maujȗd al-dzihn). Atas dasar ini, mazhab filusuf menyatakan bahwa eksistensi rasional itu ada. Namun, kita tidak akan menyentuh sengketa itu.

Eksistensi Eksternal; Antara Teolog dan Filusuf

Bagian ini penting dibahas. Karena, inilah gerbang menuju pembahasan al-umȗr al-‘ammah dengan taraf yang lebih serius. Ini juga yang mengantarkan kita untuk memahami konsep dasar dari masing-masing mazhab, khususnya Asy’ariyyah, Muktazilah, dan Filusuf mengenai eksistensi eksternal.

Mazhab Teolog

Mereka membagi eksistensi eksternal menjadi dua; Pertama, al-qadîm; sesuatu yang ada tanpa mengalami ketiadaan. Kedua, al-muhdats; sesuatu yang memiliki permulaan pada keberadaannya. Kemudian, al-muhdats ini terbagi menjadi tiga; Pertama, substansi (jauhar); sesuatu yang bertempat karena dirinya sendiri. Kedua, aksiden (‘aradh); sesuatu yang berinang kepada sesuatu yang bertempat (mutahayyiz). Ketiga, sesuatu yang “berhadapan” dengan keduanya; bukan bertempat, bukan pula berinang.

Mayoritas teolog keberatan dengan pembagian ketiga ini. Karena jika demikian, itu membuka peluang adanya sekutu bagi Tuhan dan ketersusunan pada Tuhan. Titik ketersususnannya, ketika Tuhan dikatakan sama dengan makhluk dalam hal tidak bertempat, tidak juga berinang. Tapi, Imam Fakhruddin Al-Razi menjawab asumsi tersebut dengan menyatakan bahwa perserikatan dalam hal-hal insidental (‘awâridh), lebih-lebih dalam negasi, tidak meniscayakan ketersusunan pada Dzat. Buktinya, seperti status eksis dan kesatuan, sama-sama berserikat dalam negasi. Dan, keduanya tidak meniscayakan ketersusunan.

Mazhab Filusuf

Bagi filusuf, eksistensi eksternal itu ada dua; Pertama, wâjib; sesuatu yang tidak menerima ketiadaan. Kedua, mumkin; sesuatu yang “sebelum” tiada secara esensial.

Kemudian, mereka membagi mumkin menjadi dua; Pertama, substansi (jauhar); sesuatu yang tidak ada dalam maudhȗ’ (saya belum mendapatkan terjemahan yang tepat untuk kata ini). Maksud dari maudhȗ’ ini adalah sesuatu yang ditempati, berdiri sendiri, dan membuat sesuatu lain berada dalam dirinya. Kedua, aksiden (‘aradh); sesuatu yang ada dalam maudhȗ’. Tapi, filusuf menambahkan frasa “mustaghnin ‘anhu” (tidak butuh kepada sesuatu itu) dalam definisinya. Sebab, ketika definisinya tidak dilanjutkan sampai di sana, maka hayȗlâ (materi) dan shȗrah (bentuk) yang notabenenya berada dalam bagian substansi, akan tergolong ke dalam aksiden. Karena keduanya bertempat di maudhȗ’. Tapi, tidak semua yang bertempat di maudhȗ’ tergolong sebagai aksiden.

Perbedaan antara teolog dan filusuf seputar substansi dan aksiden, tidak akan kita sentuh pada tulisan ini secara detail. Karena secara khusus, ilmu kategori memiliki tugas untuk itu. Semoga ada waktu untuk mengurainya.

Wallahu a’lam

Muhammad Said Anwar

Muhammad Said Anwar

Lahir di Makassar, Sulawesi Selatan. Mengenyam pendidikan Sekolah Dasar (SD) di MI MDIA Taqwa 2006-2013. Kemudian melanjutkan pendidikan SMP di MTs MDIA Taqwa tahun 2013-2016. Juga pernah belajar di Pondok Pesantren Tahfizh Al-Qur'an Al-Imam Ashim. Lalu melanjutkan pendidikan di Madrasah Aliyah Negeri Program Keagamaan (MANPK) Kota Makassar tahun 2016-2019. Kemudian melanjutkan pendidikan di Universitas Al-Azhar, Kairo tahun 2019-2024, Fakultas Ushuluddin, jurusan Akidah-Filsafat. Setelah selesai, ia melanjutkan ke tingkat pascasarjana di universitas dan jurusan yang sama. Pernah aktif menulis Fanspage "Ilmu Logika" di Facebook. Dan sekarang aktif dalam menulis buku. Aktif berorganisasi di Forum Kajian Baiquni (FK-Baiquni) dan menjadi Pemimpin Redaksi (Pemred) di Bait FK-Baiquni. Menjadi kru dan redaktur ahli di media Wawasan KKS (2020-2022). Juga menjadi anggota Anak Cabang di Organisasi Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU). Pada umur ke-18 tahun, penulis memililki keinginan yang besar untuk mengedukasi banyak orang. Setelah membuat tulisan-tulisan di berbagai tempat, penulis ingin tulisannya mencakup banyak orang dan ingin banyak orang berkontribusi dalam hal pendidikan. Kemudian pada umurnya ke-19 tahun, penulis mendirikan komunitas bernama "Ruang Intelektual" yang bebas memasukkan pengetahuan dan ilmu apa saja; dari siapa saja yang berkompeten. Berminat dengan buku-buku sastra, logika, filsafat, tasawwuf, dan ilmu-ilmu lainnya.

RelatedPosts

Apa itu Al-‘Umur Al-‘Ammah?
Al-‘Umȗr Al-‘Ammah

Apa itu Al-‘Umur Al-‘Ammah?

Oleh Muhammad Said Anwar
17 Maret 2023
Artikel Selanjutnya
Konsep Dasar Bilangan

Konsep Dasar Bilangan

Tentang Hilang dan Sedih; Risalah Patah Hati

Tentang Hilang dan Sedih; Risalah Patah Hati

Memperjelas Konsep “Kefanaan Dunia”

Memperjelas Konsep “Kefanaan Dunia”

KATEGORI

  • Adab Al-Bahts
  • Al-‘Umȗr Al-‘Ammah
  • Biografi
  • Filsafat
  • Ilmu Ekonomi
  • Ilmu Firaq
  • Ilmu Hadits
  • Ilmu Kalam
  • Ilmu Mantik
  • Ilmu Maqulat
  • Karya Sastra
  • Matematika
  • Nahwu
  • Nukat
  • Opini
  • Penjelasan Hadits
  • Prosa Intelektual
  • Sejarah
  • Tasawuf
  • Tulisan Umum
  • Ushul Fiqh

TENTANG

Ruang Intelektual adalah komunitas yang dibuat untuk saling membagi pengetahuan.

  • Tentang Kami
  • Tim Ruang Intelektual
  • Disclaimer
  • Kontak Kami

© 2024 Karya Ruang Intelektual - Mari Berbagi Pengetahuan

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password? Daftar

Buat Akun Baru!

Isi Form Di Bawah Ini Untuk Registrasi

Wajib Isi Log In

Pulihkan Sandi Anda

Silahkan Masukkan Username dan Email Anda

Log In
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Ilmu Bahasa Arab
    • Nahwu
    • Sharaf
    • Balaghah
    • ‘Arudh
    • Qafiyah
    • Fiqh Lughah
    • Wadh’i
  • Ilmu Rasional
    • Ilmu Mantik
    • Ilmu Maqulat
    • Adab Al-Bahts
    • Al-‘Umȗr Al-‘Ammah
  • Ilmu Alat
    • Ulumul Qur’an
    • Ilmu Hadits
    • Ushul Fiqh
  • Ilmu Maqashid
    • Ilmu Kalam
    • Ilmu Firaq
    • Filsafat
    • Fiqh Syafi’i
    • Tasawuf
  • Ilmu Umum
    • Astronomi
    • Bahasa Inggris
    • Fisika
    • Matematika
    • Psikologi
    • Sastra Indonesia
    • Sejarah
  • Nukat
    • Kitab Mawaqif
  • Lainnya
    • Biografi
    • Penjelasan Hadits
    • Tulisan Umum
    • Prosa Intelektual
    • Karya Sastra
    • Ringkasan Buku
    • Opini
    • Koleksi Buku & File PDF
    • Video

© 2024 Karya Ruang Intelektual - Mari Berbagi Pengetahuan