• Tentang Kami
  • Tim Ruang Intelektual
  • Disclaimer
  • Kontak Kami
Senin, November 10, 2025
Ruang Intelektual
  • Login
  • Daftar
  • Ilmu Bahasa Arab
    • Nahwu
    • Sharaf
    • Balaghah
    • ‘Arudh
    • Qafiyah
    • Fiqh Lughah
    • Wadh’i
  • Ilmu Rasional
    • Ilmu Mantik
    • Ilmu Maqulat
    • Adab Al-Bahts
    • Al-‘Umȗr Al-‘Ammah
  • Ilmu Alat
    • Ulumul Qur’an
    • Ilmu Hadits
    • Ushul Fiqh
  • Ilmu Maqashid
    • Ilmu Kalam
    • Ilmu Firaq
    • Filsafat
    • Fiqh Syafi’i
    • Tasawuf
  • Ilmu Umum
    • Astronomi
    • Bahasa Inggris
    • Fisika
    • Matematika
    • Psikologi
    • Sastra Indonesia
    • Sejarah
  • Nukat
    • Kitab Mawaqif
  • Lainnya
    • Biografi
    • Penjelasan Hadits
    • Tulisan Umum
    • Prosa Intelektual
    • Karya Sastra
    • Ringkasan Buku
    • Opini
    • Koleksi Buku & File PDF
    • Video
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Ilmu Bahasa Arab
    • Nahwu
    • Sharaf
    • Balaghah
    • ‘Arudh
    • Qafiyah
    • Fiqh Lughah
    • Wadh’i
  • Ilmu Rasional
    • Ilmu Mantik
    • Ilmu Maqulat
    • Adab Al-Bahts
    • Al-‘Umȗr Al-‘Ammah
  • Ilmu Alat
    • Ulumul Qur’an
    • Ilmu Hadits
    • Ushul Fiqh
  • Ilmu Maqashid
    • Ilmu Kalam
    • Ilmu Firaq
    • Filsafat
    • Fiqh Syafi’i
    • Tasawuf
  • Ilmu Umum
    • Astronomi
    • Bahasa Inggris
    • Fisika
    • Matematika
    • Psikologi
    • Sastra Indonesia
    • Sejarah
  • Nukat
    • Kitab Mawaqif
  • Lainnya
    • Biografi
    • Penjelasan Hadits
    • Tulisan Umum
    • Prosa Intelektual
    • Karya Sastra
    • Ringkasan Buku
    • Opini
    • Koleksi Buku & File PDF
    • Video
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Ruang Intelektual
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Utama Filsafat

Peta “Semua” Ilmu ala Ibnu Sina

Muhammad Said Anwar Oleh Muhammad Said Anwar
2 Mei 2025
in Filsafat
Waktu Baca: 21 menit baca
Bagi ke FacebookBagi ke TwitterBagi ke WA

Dalam dunia pemikiran dan filsafat, ada satu tokoh yang namanya bersinar dalam mayoritas pengetahuan. Saking besarnya nama tokoh ini, ulama sekelas Imam Abdul Karim Al-Syahrastani (w. 548 H) dalam Al-Milal wa Al-Nihal ketika menguraikan seluruh aliran dan agama yang ada di dunia, di sana ada satu bab khusus untuk menguraikan pemahaman para filusuf kuno hingga masa beliau hidup, uniknya ketika membahas filusuf Islam, hanya merujuk ke satu tokoh saja. Tokoh tersebut adalah Abu Ali bin Sina (w. 428 H) atau dikenal sebagai Syekh Al-Rais Ibnu Sina plus prestasinya yang menumpuk dalam dunia kedokteran.

Sedangkan ketika menyinggung mazhab filusuf lain, nama tokoh tersebut dideret satu per satu, lalu kemudian ajarannya dideret. Mengapa hanya Ibnu Sina “dipajang” sebagai perwakilan dari filusuf muslim? Karena titik mekar filsafat paripatetik itu berada di tangan Ibnu Sina.

Ibnu Khallikan (w. 681 H), Sejarawan Muslim, dalam Wafayât Al-A’yân menyebut bahwa Ibnu Sina adalah sosok langka di zamannya. Hampir-hampir tidak ada yang selevel dengan beliau di zamannya, karena terlalu cerdas dan produktif.

Dari ratusan tulisan Ibnu Sina, ada empat karyanya yang mengubah dunia. Karena seandainya kita membuka keempat karya itu, nyaris tidak ada ilmu yang sama sekali tidak disentuh di dalamnya. Keempat karya itu adalah Al-Syifâ yang berjumlah 10 jilid, isinya tentang filsafat. Kemudian, intisari Al-Syifâ ini dikompres ke dalam dua bukunya yang tidak kalah fenomenal; Al-Isyârât wa Al-Tanbihât yang kelak menjadi wilayah “tempur” antara Ahlussunnah dan filusuf paripatetik, seperti Imam Fakhruddin Al-Razi (w. 606 H), Khawaja Nashiruddin Al-Thusi (w. 672 H), dan Najamuddin Al-Katibi (w. 675 H), dan Al-Najât min Al-Gharq fi Bahr Al-Dhalâlât yang merupakan intisari pemikiran Ibnu Sina.

Di luar itu buku yang kemudian menyinari dunia kedokteran dari Ibnu Sina adalah Qanȗn Al-Thibb yang berisi tentang hukum, asas, dan beberapa kaidah dalam ilmu kedokteran yang nantinya banyak membantu penelitian mendatang.

Dari seluruh karya Ibnu Sina itu, hampir-hampir satu dunia berkiblat pada masanya. Bahkan, dunia Barat banyak mengalami kemajuan berkat tulisan dan kontribusi Ibnu Sina salah satunya.

Satu Risalah

Untuk mengenal kehebatan seseorang, maka kita perlu mencoba membaca tulisan atau melakukan sedikit perjalanan hidup dalam tulisannya. Dalam hal ini, Ibnu Sina, menulis satu risalah tipis, tapi berisi peta ilmu yang meliputi semesta; Risâlah Aqsâm Al-‘Ulȗm Al-‘Aqliyyah; Risalah tentang Klasifikasi Ilmu Rasional. Kemudian, risalah ini dikomentari dan diberikan beberapa keterangan oleh Syekh Ahmad Al-Syadzili‒Rahimahullah.

Risalah ini selain memberikan kita gambaran betapa alimnya seorang Ibnu Sina, kita juga bisa melihat bagaimana kemajuan pengetahuan di masa Ibnu Sina hidup. Kurang lebih, risalah ini berisi peta 53 bidang ilmu. Seluruh ilmu ini merupakan turunan dari ilmu filsafat. Ini juga jawaban, mengapa filsafat disebut dengan induknya ilmu.

Sebelum memasuki lebih dalam klasifikasi ilmu tersebut, perlu dicatat bahwa perspektif yang digunakan adalah sudut pandang filsafat paripatetik. Tentunya, tidak semua pandangan yang kita uraikan pada tulisan ini langsung direstui ulama Ahlussunnah. Namun, yang namanya membaca sesuatu bukan untuk langsung diterima atau ditolak, tapi dipertimbangkan untuk diterima maupun ditolak. Begini kurang lebih nilai objektif yang perlu dipegang dalam dunia akademik.

Filsafat Sebagai Akar

Ibnu Sina memulai dari mendefinisikan filsafat sebagai titik awal klasifikasi ilmu. Filsafat adalah sistem bernalar yang memungkinkan manusia untuk memperoleh pemahaman tentang hakikat seluruh eksistensi menurut dirinya sendiri, termasuk hal-hal yang harus dilakukan dalam tindakan manusia; agar menjadi mulia, lebih sempurna, dan menjadi sosok rasional; memahami seluruh alam semesta, siap menerima kebahagiaan tertinggi di akhirat, sesuai dengan kemampuan manusia.

Tapi, ketika melihat definisi ini, kita sulit memahami apa yang diinginkan Ibnu Sina dalam mendefinisikan filsafat. Namun, penulis akan mencoba menguraikan makna yang ada di balik definisi tersebut.

Pertama, filsafat adalah sistem bernalar. Jika filsafat disebut sebagai sistem bernalar, berarti filsafat itu mengharuskan seseorang untuk berpikir sistematis dan memiliki metode ilmiah. Berarti filsafat sejak awal sudah jauh dari “asal-asalan”, apalagi asal-asalan menyimpulkan dan asal-asalan berbicara.

Kedua, sistem berpikir ini memungkinkan manusia untuk memahami segala sesuatu yang eksis (al-maujȗd). Maksudnya, dengan berpikir secara sistematis, kita akan bisa memahami segalanya; semua yang ada di semesta. Kita bisa memahami mengapa langit itu gelap ketika malam, terang ketika siang, kenapa apa pohon, dan lain sebagainya. “Segala yang ada” ini terlalu luas. Nantinya akan masuk ke dalam pembahasan seperti fisika, kimia, dan ilmu-ilmu lainnya; selama sesuatu itu ada.

Kemudian, sesuatu yang dipahami itu menurut dirinya sendiri; dipahami secara objektif. Bukan melalui sesuatu yang lain, bukan melalui orang lain, bukan juga karena ikut-ikutan kata orang. Tapi, kita memahami itu secara langsung karena berangkat dari hasil interaksi pikiran kita dengan benda itu. Misalnya, dalam memahami bahwa dalam seseorang itu ada nyawa, maka kita memahami dengan melihat seseorang itu bergerak. Tidak mungkin dia bergerak sendiri, pasti ada yang menggerakkannya. Yang menggerakkannya itulah yang disebut dengan jiwa (nafs). Tentu ini kita pahami melalui penalaran, bukan melalui orang lain. Karena filsafat ingin membuat kita mandiri dalam memahami sesuatu, bukan ikut-ikutan.

Ketiga, termasuk hal-hal yang seyogianya dilakukan manusia. Ini sudah masuk ke dalam perkara perbuatan manusia. Karena dua poin di atas tadi fokus kepada pemahaman manusia terhadap sesuatu. Ini bersangkutan dengan moralitas. Misalnya, ketika memberikan anak itu handphone untuk main Mobile Legend, termasuk perbuatan baik atau buruk? Kalau buruk, apa yang harus dilakukan?

Keempat, agar menjadi mulia, lebih sempurna, dan menjadi sosok rasional. Maksudnya, ketika manusia bisa memahami banyak hal (merujuk ke poin pertama dan kedua tadi) dan melakukan hal baik, maka dia akan menjadi mulia dan memperoleh kebahagiaan abadi di akhirat. Kemudian, menjadi sosok rasional; jauh dari cara berpikir mitologis dan cacat nalar. Tiga hal ini merupakan manfaat dari belajar filsafat.

Perlu dicatat. Kebahagiaan yang dimaksud oleh para filusuf itu beda dengan kebahagiaan yang dimaksud orang awam. Karena orientasi kebahagiaan orang awam selalu berbau hedon dan badani, seperti makan, minum, dan berhubungan badan. Hal ini ditentang oleh Ibnu Sina sendiri dalam Al-Isyârât wa Al-Tanbîhât, bahwa kenikmatan atau kebahagiaan seperti itu, seluruhnya hanyalah ilusi dan delusi semata! Karena hal seperti itu tidak abadi, makanya tidak dianggap sebagai kebahagiaan oleh para filusuf.

Adapun kebahagiaan menurut para filusuf adalah sesuatu yang berkaitan dengan kebaikan mutlak. Kebaikan mutlak ini berkaitan erat dengan pengetahuan rasional. Karena makanan akal pada diri manusia adalah pengetahuan. Setiap akal itu makan, maka jiwa manusia akan merasakan kenikmatan. Kenikmatan ini kemudian menyebabkan candu dalam berpikir dan membuat manusia ingin menyingkap semesta. Di mana nanti ujungnya dengan pengetahuan, seseorang akan bisa mengenal Tuhan. Dan inilah kenikmatan hakiki menurut filusuf. Kenikmatan seperti ini disebut dengan al-sa’âdah al-‘aqliyyah atau al-ladzah al-‘aqliyyah.

Kelima, baik itu seseorang mencapai kebenaran dengan menyingkap ciptaan Tuhan, maupun seseorang menjaga tingkah lakunya dengan mengikuti rambu terkait apa yang boleh dan tidak boleh dilakukannya, semuanya sesuai dengan kemampuan manusia. Filsafat tidak memaksa manusia memahami sesuatu dan melakukan sesuatu di luar kemampuannya.

Jadi, dari deretan penjelasan di atas, kita bisa menarik benang merah bahwa filsafat itu adalah cara berpikir untuk memahami segala yang ada. Dengan memahami segala yang ada (termasuk perkara moralitas), kita akan tahu bagaimana seharusnya kita bertingkah laku, baik kepada diri sendiri maupun orang lain. Ketika pemahaman dan tindakan kita tepat, sesuai dengan usaha kita sebagai manusia, maka kita akan mendapatkan kemuliaan. Kemuliaan ini bisa saja status sosial atau nama seseorang baik. Tentunya, seseorang juga akan mendapatkan kebahagiaan hakiki.

Perlu dicatat bahwa tidak ada definisi mutlak untuk filsafat karena keluasan dan filsafat mengalami pergeseran konseptual di setiap masa dan mazhab. Sehingga definisi filsafat ini kita sandarkan kepada Ibnu Sina. Pun, kita menguraikannya untuk memahami mengapa klasifikasi ilmu bisa berjumlah 53 bidang.

Klasifikasi Filsafat

Setelah mendefinisikan filsafat, Ibnu Sina membagi filsafat menjadi dua:

  • Al-Hikmah Al-Nazhariyyah Al-Mujarradah (Filsafat Teoritis)
  • Al-Hikmah Al-‘Amaliy (Filsafat Praktis)

Singkatnya, filsafat teoritis itu berarti filsafat yang orientasinya terbatas pada teori murni saja, bukan kepada perbuatan manusia. Seperti ilmu geometri, aritmatika, dan lain sebagainya. Tentu sifat teorinya sendiri abstrak. Makanya dinamai dengan “al-mujarradah” yang bermakna abstrak. Sedangkan filsafat praktis itu berarti filsafat yang orientasinya ada pada perbuatan manusia. Di sinilah kemudian lahir ilmu akhlak (moral), politik, dan lain sebagainya.

Berdasarkan definisi yang ditawarkan Ibnu Sina, bisa dikatakan bahwa filsafat itu ada dua kemungkinan; 1) Filsafat yang berkaitan dengan perbuatan manusia, dan 2) Filsafat yang tidak berkaitan dengan perbuatan manusia. Bagian pertama, itulah yang dinamakan dengan filsafat praktis karena orientasinya praktik perbuatan manusia. Sedangkan yang kedua, filsafat teoritis karena tidak berkaitan dengan perbuatan manusia.

Masing-masing bagian ini memiliki tujuan. Untuk filsafat praktis, tujuannya agar kita menemukan pengetahuan yang pasti dan ilmiah tentang realitas. Misalnya, kenapa hujan bisa terjadi? Jawabannya, tentu bukan karena ada dewa yang menangis, tetapi adanya siklus tertentu yang menyebabkan gumpalan awan terjadi sehingga terjadi lembab yang berujung turunnya hujan. Dengan adanya pengetahuan tepat ini, memungkinkan kita untuk mengambil tindakan tepat. Ini sekaligus menjawab apa gunanya teori.

Adapun tujuan filsafat praktis adalah bagaimana agar manusia berbuat baik dan benar. Tapi, perbuatan benar itu dihasilkan melalui pemahaman benar tentang perbuatan yang dinilai benar itu. Makanya, nilai pada perbuatan dibahas.

Jadi, tujuan filsafat teoritis adalah kebenaran, sedangkan tujuan dari filsafat praktis adalah kebaikan.

Klasifikasi Filsafat Teoritis

Filsafat teoritis dibagi menjadi tiga:

  • Al-‘Ilm Al-Asfal: Al-‘Ilm Al-Thabi’iy
  • Al-‘Ilm Al-Ausath: Al-‘Ilm Al-Riyâdhiy
  • Al-‘Ilm Al-A’lâ: Al-‘Ilm Al-Ilâhiy

Yang dimaksud dengan al-‘ilm al-thabî’iy adalah ilmu alam. Karena membahas seputar objek fisikal di alam semesta. Al-‘ilm al-riyâdhiy itu ilmu eksak karena membahas hal abstrak yang berkaitan dengan objek di alam, seperti segitiga, bangun ruang, dan lain sebagainya. Sedangkan al-‘ilm al-ilâhiy itu metafisika karena membahas konsep-konsep abstrak seperti substansi, aksiden, waktu, ruang, dan lain sebagainya.

Al-‘ilm al-thabî’iy disebut dengan al-‘ilm al-asfal (ilmu kasta bawah) karena lingkupnya berada di alam fisik. Sedangkan dalam dunia filsafat, alam fisik itu bukan hal yang menjadi tujuan, bahkan dipandang “agak rendah”. Karena alam fisik itu sementara; tidak abadi.

Ilmu eksak disebut dengan al-‘ilm al-ausath (ilmu kasta tengah) karena ilmu eksak itu tidak sepenuhnya terlepas dari alam fisik. Tapi, tidak juga bergantung. Seperti, segitiga. Dia adalah konsep universal yang berlaku bagi objek apapun yang ada di alam nyata. Tapi, konsep segitiga itu tidak harus bergantung pada ada atau tidaknya objek tersebut dan dia tidak berasal dari benda yang berbentuk segitiga tertentu di alam nyata. Namun, jika segitiga itu ada, dia pasti ada dalam objek. Dia sebagai jembatan antara ilmu “kasta atas” dan “kasta bawah”.

Adapun ilmu metafisika, disebut dengan al-‘ilm al-a’lâ (ilmu kasta atas) karena ilmu ini secara total terlepas dari materi. Filusuf selalu memandang mulia sesuatu yang abstrak, karena ia kekal. Makanya, hal abstrak lebih mulia daripada hal yang berfisik. Hal itu dibuktikan dengan Tuhan yang Maha Sempurna itu abstrak. Berarti, puncak kesempurnaan itu ada pada hal abstrak. Seandainya fisik, maka Tuhan tidak sempurna, karena tidak berfisik.

Secara khusus, ilmu alam itu membahas tentang jism atau korpus dari segi ia diliputi oleh gerak atau diam, baik di alam al-‘ulwi (alam langit), maupun alam al-suflâ (alam bumi). Ilmu ini akan menjadi cikal bakal ilmu astronomi, fisika, dan sains lainnya.

Ilmu eksak itu disebut dengan ilmu al-riyadhiyât karena jiwa (alias kita) ber-“olahnalar” dengan ilmu ini, dari segi jiwa itu “bergerak” dari sisi yang tidak dipahami oleh pancaindera, menuju ke ruang abstrak lainnya. Seperti, ketika membuat denah rumah, awalnya berasal dari alam imajinasi yang notabenenya abstrak, kemudian membentuk beberapa ruang tertentu yang juga masih abstrak. Di sini juga nanti ilmu arsitektur muncul. Disebut juga dengan ilmu ta’lîmiy, karena filusuf awal-awal dulu, memulai kurikulumnya dengan ilmu eksak, bahkan ilmu ini menjadi pengantar dalam memasuki ilmu logika.

Tujuan dari ilmu ini adalah mengolah jiwa agar kita bisa mengetahui angka dan simbol, termasuk tingkatan dan aturannya, sehingga para pelajar ilmu eksak itu bisa menemukan hal yang “tidak terlihat” di alam nyata. Karena semesta ini tidak lepas dari angka dan simbol.

Adapun ilmu metafisika itu membahas semua sesuatu yang ada (al-maujudât) dari segi terbentuk, ter-tayîn-nya di nafs al-amr, terafirmasinya hakikat sesuatu itu, dan segala yang menjadi aksidennya, seperti kualitas, kuantitas, ruang, waktu, dan lain sebagainya. Seperti membahas kursi, tapi dari segi ia sebagai konsep universal-abstrak. Seperti, ia memiliki substansi (jauhar) yang kemudian memiliki panjang, lebar, dan tinggi ketika ter-ta’yin atau muncul di alam nyata. Dan lain sebagainya.

Ilmu ini juga disebut dengan ilmu al-ilahiy karena membahas seputar bab ilahiyyât (Ketuhanan), walau nanti dalam hal ini ada perbedaan detail kecil dalam mazhab Ahlussunnah dan filusuf paripatetik. Disebut juga dengan ilmu mâ ba’da al-thabî’ah. Karena dalam kurikulum belajar filusuf dulu, pembelajaran dimulai dari ilmu ta’lîmiy (eksak), kemudian ilmu thabi’ah (alam), lalu setelah ilmu thabî’ah (mâ ba’da al-thabî’ah) yang sekarang kita kenal dengan sebutan ilmu metafisika.

Filsafat teoritis terbagi menjadi tiga, karena melihat hipotesis-rasional (al-iftirâdh al-aqliy); Ilmu itu; 1) Batasan dan eksistensinya berkaitan dengan materi fisikal dan gerak; seperti planet, empat elemen (air, api, tanah, dan udara yang dikenal dengan al-‘anâshir al-arba’ah), dan benda lain yang terdiri darinya, atau status tertentu yang meliputinya, seperti bergerak, diam, ada, berubah, hancur, muncul, kualitas, dan lain sebagainya. Ini disebut dengan ilmu thabi’ah.

2) Eksistensinya berkaitan dengan materi dan gerak, dan batasannya tidak ditentukan oleh keduanya; seperti lingkaran, kubus, dan lain sebagainya. Kita tidak membutuhkan benda bulat tertentu untuk memahaminya, tapi dia ada jika ada materi yang berbentuk lingkaran. Artinya, secara konsep tidak bergantung dengan materi. Tapi secara ada atau tidaknya konsep itu, bergantung dengan materi. Ini disebut dengan ilmu eksak.

3) Eksistensi dan batasnya tidak bergantung kepada materi dan gerak. Ini seperti konsep tentang dzat dan sifat. Dzat yang dimaksud itu seperti Tuhan, sedangkan sifat-sifat yang dimaksud seperti kesatuan, identitas, hakikat, sebab-akibat, dan hal abstrak lainnya. Ini disebut dengan ilmu metafisika.

Namun, filusuf seperti Aristoteles membedakan antara ilmu metafisika dan ilmu universal. Karena ilmu universal itu bersentuhan dengan klasifikasi eksistensi (taqsîm al-wujȗd). Karena konsep eksistensi itu konsep universal. Sedangkan ilmu metafisika tidak konsentrasi kepada pembahasan tersebut.

Adapun filusuf yang menggolongkan ilmu universal dalam ilmu metafisika karena melihat keduanya tidak butuh materi untuk dipahami.

Perlu dicatat, bahwa klasifikasi yang lebih mendetail itu kita temukan dalam filsafat teoritis. Karena teori berkaitan dengan alam pikiran. Alam pikiran jauh lebih luas dibanding alam nyata. Maka, wajar jika ruang pembahasan teori selalu lebih luas daripada aktualisasi teori itu. Dan aktualisasi teori selalu lebih sederhana daripada teori itu sendiri.

Klasifikasi Filsafat Praktis

Filsafat praktis ini bertugas untuk mengantur manusia. Manusia ini bisa saja dalam konteks mengatur dirinya sendiri, bisa saja dalam konnteks mengatur orang lain. Filsafat praktis yang mengatur manusia dirinya sendiri, itu disebut dengan ilmu akhlak. Sedangkan yang mengatur orang lain terbagi menjadi dua; entah itu manusia mengatur orang-orang yang berada di tempat tinggalnya, atau orang lain itu ada dalam skala besaran wilayah atau kota. Yang pertama itu disebut dengan ilmu tadbîr al-manzil (manajemen rumah) dan yang kedua itu disebut dengan filsafat skala kota (al-falsafah al-madaniy). Kemudian, bagian yang kedua ini terbagi menjadi dua; 1) Berkaitan dengan penguasa. Ini disebut dengan ilmu politik, dan 2) Berkaitan dengan Nabi atau syariat. Ini disebut dengan ilmu nawâmîs (hukum ilahi).

Ilmu akhlak itu dideskripsikan dengan ilmu yang menjelaskan bagaimana seharusnya seseorang berperilaku, agar kehidupannya lebih baik dan orang lain bisa senang dengan kita. Ibnu Sina mengisyaratkan buku Aristoteles yang berjudul Nicomachus, berisi tentang ilmu akhlak.

Sedangkan ilmu manajemen rumah (tadbîr al-manzil) itu membahas tentang bagaimana seseorang itu mengatur rumah, berinteraksi kepada pasangan, anak, dan kepada kepala keluarga, sehingga rumah itu menjadi teratur, dan seseorang bisa memperoleh kebahagiaan dalam rumah. Ibnu Sina mengisyaratkan beberapa risalah filusuf kuno yang membahas ini, seperti Barses, Teresius, dan Neresius.

Adapun ilmu yang nantinya terbagi menjadi ilmu politik dan nawâmis, itu dilihat dari segi kaitannya. Bagian pertama, ilmu ini secara umum membahas tentang kasta politik, pemimpin, dan masyarakat, bagaimana melayani mereka. Termasuk mengetahui apa sebab sebuah peradaban itu itu hilang atau bertahan lama, dan lain sebagainya. Ini kemudian menjadi ilmu politik. Ibnu Sina mengisyaratkan bahwa pembahasan ini ada dalam buku Aristoteles yang berjudul Politica.

Adapun ilmu nâmȗs, itu merujuk kepada istilah kebijakan atau hukum umum di Yunani dan ini mewakili anggapan umum masyarakat seputar makna kata nâmȗs. Masyarakat juga menganggapnya buruk, karena orientasinya selalu berada pada makna ketidakjujuran. Para filusuf tidak memaksudkan makna itu dalam konteks ini. Kalau begitu, apa yang mereka maksud? Jawabannya, nâmȗs itu adalah filsafat, teladan tetap, turun, dan wahyu. Sedangkan orang Arab dulu, memaknai kata nâmȗs itu nama untuk malaikat yang turun membawa wahyu. Kemudian, karena ini dekat dengan syariat, maka dinamakan dengan ilmu nâmȗs.

Ibnu Sina kemudian menyebut bahwa ilmu ini membahas tentang kenabian, kebutuhan manusia terhadap Nabi yang mengantarkan kepada syariat, mengetahui beberapa filsafat atau hikmah yang juga berlaku dalam syariat, sekaligus ilmu ini membahas tentang apa bedanya Nabi asli, maupun Nabi palsu.

Klasifikasi Ilmu Alam

Ilmu alam secara garis besar terbagi menjadi dua; 1) Ilmu Inti, dan 2) Ilmu Turunan.

Pertama, Ilmu Alam Inti

Jumlahnya ada delapan.

Pertama, ilmu yang membahas mengenai ketentuan universal untuk seluruh benda fisik (al-‘umȗr al-‘ammah li al-thabî’ah). Isi ilmu ini mencakup pembahasan seputar materi prima (hayȗlâ), bentuk (shȗrah), gerak, alam, manusia terbatas dan tidak terbatas, kaitan gerak dan penggerak, mengafirmasi ada penggerak awal-eternal yang bukan berupa fisik, tidak berada dalam alam fisik, dan memiliki kekuatan yang tidak terbatas. Ini dibahas dalam bab al-kayyân oleh Ibnu Sina dalam Al-Syifâ.

Kedua, ilmu yang membahas tentang status benda fisik yang notabenenya merupakan rukun dari terbentuknya alam. Ilmu ini membahas langit dan seluruh isinya, empat elemen dasar alam (api, angin, air, dan udara) yang merupakan unsur dasar terbentuknya alam semesta, gerak, posisi elemen tersebut. Ilmu ini juga menjelaskan hikmah dibalik terciptanya alam semesta dan proses penyusunannnya. Ini juga dibahas oleh Ibnu Sina dalam Al-Samâ’ wa Al-Âlam dalam Al-Syifâ’.

Ketiga, ilmu yang membahas tentang bagaimana kemunculan dan kehancuran semesta. Seperti bagaimana keterciptaan dan kemunculan alam, bencana, hal mustahil di semesta secara umum, menjelaskan jumlah materi awal, bagaimana specia (nau’) itu tetap kekal walau individunya hancur, kekekalan specia manusia dengan gerak langit, baik itu langit Timur atau Barat, dan lain sebagainya. Ini dibahas dalam bab Al-Kaun wa Al-Fasâd dalam Al-Syifâ’. Pembahasan ini merupakan adaptasi dari De Generatione et Corruptione karya Aristoteles.

Keempat, ilmu yang membahas tentang status benda (al-ahwâl) secara independen sebelum menyatu dengan empat elemen. Status yang dimaksud dan akan dibahas adalah jenis-jenis gerak, fenomena penguraian dan pemadatan materi, tanda-tanda alam dan fenomenanya seperti meteor, awan, hujan, pelangi, petir, angin, sambaran petir, gempa, lautan, dan gunung. Ini dinamakan ilmu al-atsâr al-‘uluwiyyah (dampak alam langit). Dibahas juga oleh Ibnu Sina di Al-Syifâ’ dalam tiga bab besar di al-atsâr al-‘uluwiyyah. Ini juga kemudian menjadi cikal-bakal ilmu geologi dan metereologi.

Kelima, ilmu yang membahas tentang status benda mati (al-jamâd). Benda ini merupakan logam, permata, garam, belerang, arsenik, merkuri, dan bagaimana benda itu terbentuk. Ini kemudian dibahas dalam pasal Al-Ma’âdin dalam Al-Syifâ’ yang merupakan bagian kempat dalam bab al-atsâr al-‘uluwiyyah.

Keenam, ilmu yang membahas tentang status benda yang bisa tumbuh (al-nabât). Benda yang bisa tumbuh ini sudah termasuk dalam bagian makhluk hidup. Tapi, tidak memiliki kebebasan untuk bergerak. Seperti membahas pohon, tumbuhan, dan bagaimana tumbuhan itu ternutrisi, tumbuh, dan berkembang biak. Ini dibahas bab al-nabât.

Ketujuh, ilmu yang membahas tentang makhluk hidup yang tergolong hewani. Hewan yang dimaksud adalah makhluk hidup yang bisa tumbuh dan bergerak menurut nalurinya. Kategori hewan yang dibahas itu seperti hewan laut, udara, darat, dan peliharaan. Termasuk spesies hewan lain yanglahir dari sana.

Kedelapan, ilmu yang membahas tentang hewan yang memiliki jiwa dan potensi untuk mengetahui. Yang dimaksud adalah manusia. Bagian ini juga akan menguraikan bahwa jiwa yang ada pada diri manusia itu tidak akan mati dengan matinya jasad. Karena jiwa itu merupakan substansi ruh yang berasal dari Tuhan yang akan kembali kepada-Nya, bukan mati. Ini dibahas oleh Ibnu Sina dalam bab al-nafs wa al-hiss wa al-mahsȗs. Ini kemudian akan menjadi cikal-bakal ilmu humaniora.

Kedua, Ilmu Alam Turunan

Dari ilmu dasar yang digabung atau dikombinasikan, akan terlahir tujuh ilmu turunan:

Pertama, ilmu kedokteran. Ilmu ini memiliki tujuan mengetahui struktur tubuh manusia, kondisinya ketika sehat dan sakit, sebab dan gejala penyakit, dan bagaimana menjaga kesehatan.

Kedua, ilmu perbintangan atau astrologi. Ilmu ini memiliki basis prediksi. Tujuannya, untuk menganalisa benda langit dengan mengkomparasikan satu benda langit ke benda langit lain, menganalisa bentuk planet dan planet itu sendiri, dan relasi satu benda dengan derajat bintang zodiak (aflâk al-burȗj). Kemudian, hasil analisa tadi dibandingkan dengan keadaan semesta dan Bumi. Keadaan Bumi ini berupa dampak iklim atau hal lain yang berasal dari semesta langit, seperti kondisi geografis Bumi, keadaan suatu negara, cuaca, siklus waktu, dan lain-lain dengan deretan hipotesa. Metode ini kemudian perkembangannya akan menginspirasi terbentuknya konsep zona waktu.

Ketiga, ilmu firasat. Ilmu ini orientasinya mengetahui karakteristik seseorang dengan beragam cara.

Keempat, ilmu tentang mimpi. Tujuan ilmu ini adalah menganalisa mimpi yang disaksikan jiwa seseorang ketika tertidur. Mimpi itu muncul dari al-quwwah al-mukhayyalah yang merupakan salah satu dari indera batin dalam teori mazhab paripatetik.

Kelima, ilmu jimat. Tujuan dari ilmu ini adalah menggabungkan antara kekuatan langit dan kekuatan bumi atau dua benda tertentu, agar menghasilkan kekuatan yang tidak biasa. Tapi, ilmu ini sendiri membahas tentang tata cara menggabungkan kekuatan langit aktif dengan kekuatan bumi pasif pada momentum tertentu, sesuai dengan efek yang diinginkan, dengan menggunakan dupa tertentu yang sesuai. Kemudian, dari hal itu muncullah kekuatan yang tidak biasa. Ini mirip dengan ilmu sihir. Namun, ilmu jimat itu memiliki sebab yang diketahui.

Keenam, ilmu sihir (al-nîranjât). Tujuan dari ilmu ini adalah menggabungkan kekuatan benda khusus tertentu, agar menghasilkan efek luar biasa yang tidak biasa.

Ketujuh, ilmu kimia. Tujuan ilmu ini adalah menghilangkan sifat zat tertentu dengan memberikan sifat baru kepadanya, dan membuat sebagian zat memiliki sifat zat lain, agar bisa menghasilkan zat atau senyawa lain.

Klasifikasi Ilmu Eksak

Ilmu eksak ini bagian kedua dari filsafat teoritis. Ilmu eksak ini melatih akal agar terbiasa dengan hal yang bersifat abstrak dan ketentuannya. Karena tidak semua manusia tidak terbiasa dengan itu. Manusia pada umumnya hanya terbiasa dengan alam fisik. Maka untuk meningkatkan nalarnya, harus melalui hal abstrak. Ilmu eksak adalah tangga pertamanya. Para ahli di kalangan mutaqaddimîn seperti Ibnu Sina, menulis ilmu eksak secara independen. Beda dengan para ahli modern, mereka mengubah ilmu ini menjadi intisari pembuktian matematis.

Ilmu eksak terbagi menjadi dua; 1) Ilmu Eksak Inti, dan 2) Ilmu Eksak Turunan.

Pertama, Ilmu Eksak Inti

Ini dibagi menjadi empat:

  • Al-‘Ilm Al-‘Adad
  • Al-‘Ilm Al-Handasah
  • Al-‘Ilm Al-Hai’ah
  • Al-‘Ilm Al-Mȗsîqâ

Pertama, ilmu numerologi (al-‘adad) bertujuan mengetahui status jenis-jenis angka, sifat khasnya, dan kaitan antar angka tersebut.

Kedua, ilmu geometri (al-handasah) mempelajari tentang posisi garis, bentuk permukaan, bentuk bangun ruang, rasio atau proporsi seperti panjang, luas, maupun volume, dan rasio yang berkaitan dengan bentuk dan posisi. Ini dibahas oleh Ibnu Sina dalam Al-Syifâ yang merupakan ringkasan dari buku Euklides.

Euklides merupakan buku penting dalam ilmu geometri dan banyak ahli di zaman dulu menjadikannya sebagai buku pegangan. Ibnu Sina dalam Al-Syifâ’, memecah pembahasan ini menjadi lima belas pembahasan:

  • Empat pembahasan tentang permukaan (al-suthȗh), seperti segitiga, poligon, dan lingkaran.
  • Satu pembahasan tentang ukuran proporsional (al-miqdâr al-mutanâsibah), seperti proporsi dan rasio.
  • Satu pembahasan tentang rasio antar permukaan (nisab al-suthȗh ba’d li al-ba’d), seperti hubungan proporsional dengan bangun datar.
  • Tiga pembahasan tentang bilangan (al-‘adad), seperti bilangan prima, faktor, dan lain sebagainya.
  • Satu pembahasan tentang bilangan irasional dan kuadrat
  • Lima pembahasan tentang benda tiga dimensi (al-mujassamât), seperti kubus, bola, piramida, dan lain sebagainya.

Ibnu Sina dalam Al-Syifâ’ membahas 465 teori geometri, termasuk 5 teorema umum dan 5 teorema khusus.

Ketiga, ilmu astronomi (al-hai’ah) membahas tentang bagian alam semesta sesuai bentuknya masing-masing, posisi relatif antar bagian tersebut, ukuran, jarak antar planet, gerakan planet, serta evolusi dan rotasi planet. Objek benda langit itu bisa berupa planet, lingkaran, dan sumbu gerak. Ibnu Sina juga meringkas ilmu ini dalam Al-Syifâ’ yang merupakan adaptasi dari Al-Majisthi (Al-Magest).

Keempat, ilmu musik. Ilmu ini mempelajari tentang tangga atau nada melodi, serta penjelasan mengenai keselarasan dan perbedaan nada. Termasuk membahas irama, tangga nada, kombinasi dan transisi nada, dan panduan menggunakan alat musik. Semuanya dengan argumentasi.

Alasan mengapa ilmu eksak hanya terbagi menjadi empat adalah karena ilmu eksak itu termasuk dalam kategori kuantitas. Kuantitas terbagi menjadi dua; 1) Kuantitas terhubung (kamm mutthasil), dan 2) Kuantitas terpisah (kamm munfashil). Bagian pertama, bisa saja ia bergerak, bisa juga tidak bergerak. Jika bergerak, maka itu ilmu astronomi. Jika terpisah, termasuk ilmu geometri. Adapun kuantitas terpisah, bisa saja ia memiliki kaitan penyusunan, bisa juga tidak. Jika memiliki kaitan, maka itu ilmu musik. Sedangkan jika tidak, maka itu ilmu numerik.

Kedua, Ilmu Eksak Turunan

Masing-masing dari keempat ilmu tersebut melahirkan satu ilmu turunan paling sedikit.

Pertama, ilmu numerik melahirkan ilmu penjumlahan dan mengurangan menggunakan sistem matematika India (al-jam’u wa al-tafrîq bi al-hind) dan ilmu al-jabar.

Kedua, ilmu geometri melahirkan ilmu pengukuran (al-misâhah), ilmu mekanika dan mesin penggerak (al-hiyal al-mutaharrikah), ilmu penarikan beban (jarr al-atsqal), ilmu timbangan dan neraca (al-awzân wa al-mawâzîn), ilmu alat perang (alât al-harb), ilmu optik dan cermin (al-manâzhir wa al-marâyâ), dan ilmu pengangkutan air (naql al-miyâh).

Ketiga, ilmu astronomi melahirkan ilmu bagan astronomi. Ilmu ini menggunakan kaidah ilmu numerik untuk menghitung gerak benda langit dan bagaimana tata cara bergeraknya. Ini kemudian nanti digunakan dalam menghitung terbitnya matahari, cahaya bulan, dan lain sebagainya. Dan ilmu ini juga akan melahirkan sistem perhitungan astronomis dan sistem kalender tertentu.

Keempat, ilmu musik melahirkan ilmu alat musik (orgân). Ini istilah yang digunakan filusuf kuno untuk menamai alat musik. Karena setiap alat musik memiliki kekhususan, sehingga membutuhkan kaidah tertentu dalam menggunakannya.

Klasifikasi Ilmu Metafisika

Ilmu metafisika terbagi menjadi dua; 1) Ilmu Metafisika Inti, dan 2) Ilmu Metafisika Turunan.

Pertama, Ilmu Metafisika Inti

Ilmu metafisika inti memiliki lima ilmu:

Pertama, al-‘umȗr al-‘ammah. Ini membahas tentang konsep abstrak-universal, seperti eksistensi, ketiadaan, kemungkinan, kepastian, kesatuan, dan sebab akibat. Ini juga menjadi pengantar ilmu kalam dalam mazhab ulama kalam, khususnya Ahlussunnah. Namun, antara mazhab kalam dan filsafat paripatetik memiliki banyak perbedaan, khususnya dalam beberapa detail kecil dan prinsip.

Kedua, prinsip universal. Prinsip universal ini membahas tentang dasar atau pengantar sebuah ilmu. Seperti mempelajari dasar ilmu eksak, ilmu alam, logika, dan lain sebagainya. Kendati sejak awal ilmu eksak dan ilmu alam bukan termasuk ilmu metafisika, tetapi prinsip dasar yang dipegang dalam ilmu ini bersifat metafisik. Seperti prinsip dalam ilmu alam: “Gerak dan diam itu sifat materi.” Prinsip ini sendiri bersifat metafisik. Karena prinsip itu tidak bisa kita indera, apalagi raba. Namun, objek yang menggunakan prinsip tersebut itu pasti bersifat fisikal.

Ketiga, afirmasi keberadaan wujud pertama dan mengesakan wujud pertama itu. Muara dari pembahasan ini adalah wujud pertama itu Esa, tidak ada duanya, keberadaannya wajib (wâjib al-wujȗd), dan selain-Nya muncul karena wujud pertama ini.

Kemudian, bagian ini juga membahas tentang sifat-Nya. Bukan bertujuan untuk menyatakan bahwa Wâjib Al-Wujȗd itu memiliki sifat, melainkan menyucikan-Nya dari sifat. Karena Dia itu satu, tidak memiliki keterbagian. Dan seperti kata Ibnu Sina, sesuatu yang tidak terbagi, tidak boleh memiliki makna lebih dari satu, apalagi banyak. Ini mendasari, kenapa filusuf tidak percaya bahwa Tuhan memiliki sifat ma’âni. Sedangkan Ahlussunnah tidak setuju dengan pandangan ini. Pembahasan ini bisa kita pahami jika melewati pembahasan al-wahdah wa al-katsrah di al-umȗr al-‘ammah dan prinsip tanzîh (penyucian) kedua mazhab.

Keempat, bagian ini fokus pada pembahasan afirmasi materi abstrak pertama (sebutan populernya: “akal”), di mana materi ini merupakan ciptaan pertama Tuhan. Ini adalah makhluk yang paling dekat dengan Tuhan dan menunjukkan bahwa dia itu menerima keterbagian (qismah) alias katsrah, termasuk membahas perbedaan tingkatan dan hierarkinya. Ini adalah tingkatan malaikat kerubim.

Kemudian, setelah materi pertama muncul, masuklah di bagian materi kedua. Materi kedua ini berbeda dengan yang pertama secara total. Di sinilah tingkatan malaikat yang mewakili Tuhan di langit, malaikat pemikul ‘Arsy, pengandali alam fisik, mengatur keterciptaan dan kehancuran alam.

Kelima, bagian ini membahas tentang substansi materil, baik di langit maupun di Bumi. Jadi, substansi abstrak ini memiliki otoritas dalam mengatur alam jasmani, baik di langit maupun di Bumi. Di sini kemudian akan dijelaskan bahwa Bumi akan berkaitan dengan langit. Langit berkaitan dengan malaikat yang mengaturnya. Malaikat yang mengaturnya berkaitan dengan malaikat yang bertugas dalam menyampaikan perintah Tuhan. Namun, mekanisme ini berlangsung begitu cepat.

Bagian metafisika kelima ini juga menjelaskan bahwa ciptaan Tuhan itu tidak memiliki kekurangan dan seimbang. Karena semua ciptaan itu berasal dari keniscayaan kebaikan mutlak. Adapun kejahatan atau kekurangan yang terjadi itu sebenarnya bukan dari dirinya sendiri, melainkan di sana ada hikmah dan kemaslahatan tertentu. Jadi, di balik kejahatan itu terdapat hikmah yang sebenarnya berujung kepada kebaikan.

Sampai di bagian ini, setidaknya kita mengetahui mengapa mereka memiliki pemahaman yang tidak direstui oleh ulama Ahlussunnah, terutama Imam Al-Ghazali (w. 505 H) dalam Tahâfut Al-Falâsifah. Karena mereka mengeluarkan statemen yang tidak memiliki dasar dalam syariat, khususnya dalam beberapa persoalan metafisika ini.

Ilmu metafisika yang seperti ini disebut dengan al-falsafah al-ulâ (filsafat pertama). Yang dimaksud dengan “pertama” di sini adalah tingkatan kemuliaannya. Karena nanti yang disebut dengan al-falsafah al-tsâniyyah (filsafat kedua) adalah filsafat alam.

Kedua, Ilmu Metafisika Turunan

Ilmu ini terbagi menjadi dua:

Pertama, membahas tentang ilmu seputar tata cara turunnya wahyu. Otomatis akan mencakup pembahasan seputar malaikat pembawa wahyu, dan bagaimana wahyu itu bisa menjadi sesuatu yang didengar dan dilihat. Kemudian, sosok yang disebut Nabi itu menerima wahyu. Dengan wahyu itu kemudian, Sang Nabi bisa memancarkan mukjizat dan memberitahukan tentang hal gaib.

Ilmu ini juga membahas tentang bagaimana kebaikan yang dilakukan oleh orang-orang bertakwa akan mendapatkan ilham yang serupa dengan wahyu. Termasuk membahas apa perbedaan antara karamah dan mukjizat? Apa itu roh kudus dan roh al-amîn?

Kedua, ilmu kebangkitan (al-ma’âd). Membahas bahwa badan itu tidak bisa lagi dibangkitkan ketika sudah hancur. Seseorang ketika sudah meninggal, ia akan menerima kebahagiaan dan kesengsaraan non-jasmani. Jiwa yang bertakwa akan mendapatkan kebahagiaan spiritual dan abadi yang melebihi kenikmatan dunia. Tapi, baik kenikmatan atau kesengsaran abadi, hal tersebut hanya bisa didapat melalui “akal” (hal abstrak). Adapun untuk kebangkitan jasmani, kita tidak bisa memahaminya seperti apa, kecuali jika itu datang dari syariat dan wahyu.

Setelah menjelaskan seluruh ilmu turunan dari filsafat, saatnya membahas ilmu yang menjadi pengantarnya. Ilmu tersebut adalah ilmu mantik (logika).

Klasifikasi Ilmu Mantik

Ilmu mantik adalah ilmu yang jika diamalkan, akan menjaga seseorang dari kesalahan berpikir. Ilmu ini membahas tentang tashawwur dan tashdîq yang mengantarkan kita sampai kepada hal yang tidak diketahui.

Namun, perlu dicatat bahwa klasifikasi yang kita bahas di sini adalah ilmu mantik yang belum ditertibkan oleh Imam Al-Ghazali dan Imam Fakhruddin Al-Razi, sehingga urutan pembahasannya memiliki perbedaan dengan ilmu mantik yang sekarang.

Ilmu mantik terbagi menjadi sembilan:

Pertama, bagian ini membahas tentang lafaz dan makna, termasuk lafaz mufrad dan murakkab. Ini dibahas dalam Isagoge karya Phorpyrius.

Perlu dicatat, bahwa ini kemudian mengantarkan kita ke dalam pembahasan al-kulliyyât al-khamsah. Namun, pembahasan ini tidak murni dari Aristoteles. Karena pembahasan ini datang untuk menjawab kesulitan yang dirasakan orang-orang ketika membaca Categoria (Al-Maqȗlât) karya Aristoteles.

Kedua, bagian ini membahas tentang konsep universal yang meliputi esensi dan akseiden. Kategori ini ada sepuluh. Seluruhnya dibahas dalam Categoria karya Aristoteles. Ini yang kemudian dikenal dengan al-maqȗlât al-‘asyarah.

Bagian kedua ini tidak kita temukan dalam ilmu mantik, karena dijadikan ilmu independen oleh Imam Al-Razi. Beliau dalam Syarh ‘Uyȗn Al-Hikmah menyebut bahwa ilmu al-maqȗlât ini tidak cocok dijadikan sebagai ilmu mantik. Lebih pas jika dijadikan bagian dari ilmu metafisika. Makanya menjadi ilmu tersendiri. Sedangkan ulama mutaqaddimîn, menjadikannya bagian dari ilmu mantik.

Ketiga, bagian ini membahas tentang proposisi, baik dalam bentuk afirmatif maupun negatif. Ini dibahas dalam Pori Armenias karya Aristoteles. Dalam ilmu mantik, sekarang dikenal dengan istilah qadhâya wa ahkâmuhâ.

Keempat, bagian ini membahas tentang penyusunan argumentasi yang terdiri dari proposisi sebagai premis. Bagian ini dibahas dalam Analytica Priora atau Al-Tahlîlât Al-Ulâ karya Aristoteles. Ini kemudian dikenal dengan pembahasan qiyâs.

Kelima, bagian ini membahas tentang argumentasi yang premisnya merupakan proposisi yang bersifat pasti dan meyakinkan. Ini dibahas dalam Analytica Posteriora atau Al-Tahlîlât Al-Tsâniyyah ditulis juga oleh Aristoteles. Ini kemudian dikenal dengan al-burhân. Tapi, pembahasan definisi (al-ta’rîf) masuk ke dalam bagian ini jika menggunakan struktur Aristotelian.

Keenam, bagian ini membahas juga tentang argumentasi yang premisnya tidak sekuat al-burhân, tetapi layak dipakai untuk berdebat dan bisa mematahkan argumen lawan. Karena tujuan argumen ini adalah menjinakkan lawan bicara. Ini dibahas dalam Topica yang juga karya Aristoteles. Ini kemudian dikenal dengan al-qiyâs al-jadaliy.

Ketujuh, bagian ini memabahas tentang cacat nalar dan berpikir dalam berargumentasi. Banyak juga menyinggung kesalahan berpikir akibat selalu bermain kata-kata. Ini dibahas dalam De Sophistics Elencis karya Aristoteles. Ini kemudian dikenal dengan al-safsathah.

Kedelapan, bagian membahas tentang argumentasi yang banyak menggunakan keindahan bahasa dan bagaimana menggunakannya di hadapan khalayak umum, termasuk bagaimana menggunakan kisah atau ceramah dalam mempengaruhi orang-orang. Ini dibahas dalam Rhetorica karya Aristoteles. Ini kemudian dengan al-qiyâs al-khitâbiy.

Kesembilan, bagian ini membahas tentang bagaimana berargumen dengan seni bahasa. Misalnya, berargumen menggunakan syair. Ini dibahas dalam Granitica (sebagian riwayat menyebut dibahas dalam Rhetorica) karya Aristoteles. Bagian ini kemudian dikenal dengan pembahasan al-qiyâs al-syi’riy.

Dari semua bagian ilmu mantik ini, seluruhnya bagian dari buku besar Aristoteles yang bertajuk Organon, kecuali tulisan Phorphyrius.

Selesailah klasifikasi ilmu ala Ibnu Sina. Ini adalah ilmu yang membawa Abbasiyyah kala itu menjadi mercusuar ilmu di dunia. Kemudian, seiring bergulirnya sejarah intelektual, seluruh ilmu ini kemudian mengalami evolusi, pengembangan, dan kemajuan, sehingga ilmu yang kita saksikan hari ini, akarnya selalu ada dalam ilmu yang dikembangkan para ilmuwan di masa lalu.

Jika Anda selesai membaca seluruh tulisan ini, maka Anda sudah mendapatkan 98% kandungan dari Risâlah Aqsâm Al-‘Ulȗm Al-‘Aqliyyah karya Ibnu Sina. Karena tulisan ini, sepenuhnya berpegang kepada risalah tersebut, ditambah dengan beberapa komentar yang berasal dari Syekh Ahmad Al-Syadzili, dan tentunya dengan sedikit tambahan dari penulis yang ditemukan dalam beberapa literatur yang tidak sempat disertakan seluruh daftar dan penggalan teksnya. Tapi, semoga bermanfaat.

Wallahu A’lam

Artikel Sebelumnya

Madrasah kalam Imam Al-Sanusi

Artikel Selanjutnya

Kebebasan, Moralitas, dan Tanggung Jawab; Telaah Filsafat Moral Syekh Hamdi Zaqzuq

Muhammad Said Anwar

Muhammad Said Anwar

Lahir di Makassar, Sulawesi Selatan. Mengenyam pendidikan Sekolah Dasar (SD) di MI MDIA Taqwa 2006-2013. Kemudian melanjutkan pendidikan SMP di MTs MDIA Taqwa tahun 2013-2016. Juga pernah belajar di Pondok Pesantren Tahfizh Al-Qur'an Al-Imam Ashim. Lalu melanjutkan pendidikan di Madrasah Aliyah Negeri Program Keagamaan (MANPK) Kota Makassar tahun 2016-2019. Kemudian melanjutkan pendidikan di Universitas Al-Azhar, Kairo tahun 2019-2024, Fakultas Ushuluddin, jurusan Akidah-Filsafat. Setelah selesai, ia melanjutkan ke tingkat pascasarjana di universitas dan jurusan yang sama. Pernah aktif menulis Fanspage "Ilmu Logika" di Facebook. Dan sekarang aktif dalam menulis buku. Aktif berorganisasi di Forum Kajian Baiquni (FK-Baiquni) dan menjadi Pemimpin Redaksi (Pemred) di Bait FK-Baiquni. Menjadi kru dan redaktur ahli di media Wawasan KKS (2020-2022). Juga menjadi anggota Anak Cabang di Organisasi Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU). Pada umur ke-18 tahun, penulis memililki keinginan yang besar untuk mengedukasi banyak orang. Setelah membuat tulisan-tulisan di berbagai tempat, penulis ingin tulisannya mencakup banyak orang dan ingin banyak orang berkontribusi dalam hal pendidikan. Kemudian pada umurnya ke-19 tahun, penulis mendirikan komunitas bernama "Ruang Intelektual" yang bebas memasukkan pengetahuan dan ilmu apa saja; dari siapa saja yang berkompeten. Berminat dengan buku-buku sastra, logika, filsafat, tasawwuf, dan ilmu-ilmu lainnya.

Artikel Selanjutnya
Kebebasan, Moralitas, dan Tanggung Jawab; Telaah Filsafat Moral Syekh Hamdi Zaqzuq

Kebebasan, Moralitas, dan Tanggung Jawab; Telaah Filsafat Moral Syekh Hamdi Zaqzuq

KATEGORI

  • Adab Al-Bahts
  • Al-‘Umȗr Al-‘Ammah
  • Biografi
  • Filsafat
  • Fisika
  • Ilmu Ekonomi
  • Ilmu Firaq
  • Ilmu Hadits
  • Ilmu Kalam
  • Ilmu Mantik
  • Ilmu Maqulat
  • Karya Sastra
  • Matematika
  • Nahwu
  • Nukat
  • Opini
  • Penjelasan Hadits
  • Prosa Intelektual
  • Sastra Indonesia
  • Sejarah
  • Tasawuf
  • Tulisan Umum
  • Ushul Fiqh

TENTANG

Ruang Intelektual adalah komunitas yang dibuat untuk saling membagi pengetahuan.

  • Tentang Kami
  • Tim Ruang Intelektual
  • Disclaimer
  • Kontak Kami

© 2021 Ruang Intelektual - Mari Berbagi Pengetahuan.

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password? Daftar

Buat Akun Baru!

Isi Form Di Bawah Ini Untuk Registrasi

Wajib Isi Log In

Pulihkan Sandi Anda

Silahkan Masukkan Username dan Email Anda

Log In
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Ilmu Bahasa Arab
    • Nahwu
    • Sharaf
    • Balaghah
    • ‘Arudh
    • Qafiyah
    • Fiqh Lughah
    • Wadh’i
  • Ilmu Rasional
    • Ilmu Mantik
    • Ilmu Maqulat
    • Adab Al-Bahts
    • Al-‘Umȗr Al-‘Ammah
  • Ilmu Alat
    • Ulumul Qur’an
    • Ilmu Hadits
    • Ushul Fiqh
  • Ilmu Maqashid
    • Ilmu Kalam
    • Ilmu Firaq
    • Filsafat
    • Fiqh Syafi’i
    • Tasawuf
  • Ilmu Umum
    • Astronomi
    • Bahasa Inggris
    • Fisika
    • Matematika
    • Psikologi
    • Sastra Indonesia
    • Sejarah
  • Nukat
    • Kitab Mawaqif
  • Lainnya
    • Biografi
    • Penjelasan Hadits
    • Tulisan Umum
    • Prosa Intelektual
    • Karya Sastra
    • Ringkasan Buku
    • Opini
    • Koleksi Buku & File PDF
    • Video

© 2021 Ruang Intelektual - Mari Berbagi Pengetahuan.