Ibn Hasanuddin As-Sajuki menulis dalam risalahnya “Setiap yang diperbuat dalam memenuhi kebutuhan(ekonomi) yang terpenting bagaimana halal dalam mendapatkan serta tidak merugikan juga yang terpenting manfaat yang dihasilkan”
Dari kutipan di atas bisa dipahami bagaimana tashawwur (gambaran) ekonomi Islam itu.
Ekonomi ialah kegiatan manusia dalam memenuhi kebutuhannya yang memiliki motif untuk memakmurkan hidup, kegiatan ekonomi muncul ketika manusia itu lahir. Kegiatan ekonomi adalah hal yang terpenting dalam kehidupan, tanpa ekonomi kegiatan politik tak akan berjalan. Hal ini bisa difahami ekonomi adalah hal yang tak bisa dipisahkan dalam kehidupan ini.
Dalam islam, ekonomi tak lepas namanya syariat untuk mengatur. Dari zaman Nabi Muhammad Saw. sudah nampak sekali bagaimana nabi memberi prinsip-prinsip dalam kegiatan memenuhi kebutuhan.
Dilihat dari aspek klasik peradaban Islam kegiatan ekonomi selalu berkaitan dengan fikih muamalah (ialah fiqh yang membahas hubungan dengan makhluk), fikih mualamah yang dimaksud hanya mencangkup transaksi di bidang ekonomi saja.
Dimulai zaman Nabi, sahabat, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in terlebih dari Imam Abu Hanifah (Penyusun Mazhab Manafiyah) beliau sudah membahas fiqiyah ekonomi di Kufah terkenal dengan akad salam. Pada masa klasik islam umumnya para fuqaha memahami ekonomi bisa dilihat pada sejarah peradaban islam, fuqaha memutuskan hukum dalam masalah muamalah transaksi ekonomi.
Banyak para ulama dan ilmuwan masa klasik peradaban islam yang menyumbangkan pemikiran dalam ekonomi terlebih khusus dalam ekonomi modern.
Bicara pemikir ekonom klasik Islam kita tak lepas dari tokoh-tokoh seperti Imam Abu Hanifah dan Imam Abu Yusuf (Ulama Hanafiyah), Ibn Khuldun (Ulama Malikiyah), Hujjah Al-Islam Imam Abu Hamid Al Ghazali (Ulama Syafi’iyah), Ibn Qudamah al-Maqdisi (Ulama Hanbali). Belakang kemudian muncul Ibn Taimiyah (atau yang dikenal Syaikh Al-Wahabiyah menjadi rujukan kaum Salafi-Wahabi) yang memiliki teori ekonomi yang dikenal price volatility atau dikenal naik turun harga pasar.
Dari sini bisa kita fahami dalam khazanah dunia islam memiliki banyak para pemikir ekonom dari zaman klasik, abad pertengahan, juga sampai kontemporer.
Menjadi seorang Ahli ekonomis islam harus memiliki keilmuan yang mempuni yang pasti harus menguasai ilmu ekonomi dan filsafat ekonomi. Terutama menguasai ilmu syariat (fikih, ushul fikih, qawaid al-fiqhiyyah, dan maqashid al-syariah) apalagi dalam memahami turats ulama harus mengusai ilmu alat (sharaf, nahwu, balaghah, mantik, dll) belum lagi mengusai ulumul aqliyat yang berkaitan dengan ushul dan yang terpenting tasawuf sebagai adab dalam aktivitas ekonomi. Paling tidak, minimal harus mendatangkan seorang ahli fikih bekerja dalam membahas ekonomi Islam.
Dalam keilmuan islam zaman kontemporer kata ekonomi dalam kamus bahasa arab sering sepadan dengan “iqhtishad” (اقتصاد). Penggunaan kata “iqtishad” dalam penyamaan kata “ekonomi” merupakan sesuatu yang masih baru di dunia islam dan pemaknaan yang dirujuk dari kata tersebut juga masih menjadi perdebatan hangat di kalangan ekonom Islam. Para ekonom berbeda pendapat. Pertama, ada yang mengartikan bahwa iqtishad hanya merupakan padanan kata dari istilah ekonomi Islam. Kedua, sebagian yang menafsirkan bahwa iqtishad adalah sebuah paradigma ekonomi yang merujuk pada ekonomi yang adil dan seimbang.
Kata “iqtishad” diterjemahkan menjadi ekonomi dalam kamus bahasa Arab sekarang. Istilah “Al-iqtishad al-Islamiy” berarti ekonomi Islam. Asal katanya dari iqtishad adalah qashada-yaqshudu-qashdan. Qashdu bermakna ‘al-wasth baina al-tharfain’ berarti ‘pertengahan antara dua sisi; tidak berlebihan dan tidak abai, tidak kikir dan tidak boros’.
Iqtishad dari bentuk mashdar dari iqtashada-yaqtashidu-iqtishadan-muqtashid-muqtashad yang berarti hemat, moderat, tidak berlebihan, seimbang, tegak, dan adil. Hal ini juga dalam hadits disebutkan:
السَّمْتُ الْحَسَنُ وَالتُّؤَدَةُ وَالِاقْتِصَادُ جُزْءٌ مِنْ أَرْبَعَةٍ وَعِشْرِينَ جُزْءًا مِنْ النُّبُوَّةِ
“Perangai yang baik, sikap kehati-hatian dan tidak berlebihan (iqtishad) merupakan bagian dari dua puluh empat bagian kenabian” (HR. Tirmidzi, Hadits Hasan Gharib).
Kita tarik kesimpulan, iqtishad bisa kita fahami yang berarti tawassuth (pertengahan), tawazun (keseimbangan), `adlu (keadilan), i`tidal (tegak, lurus, dan tidak sombong).
Namun memang masih menjadi perdebatan kalangan intelektual islam mengenai ketepatan kata “iqhtishad” jika di sepandankan dengan istilah ekonomi.
Zaman kontemporer, umat Islam pasti memerlukan para pakar ekonom Islam untuk kemaslahatan umat, sudah banyak bermunculan lembaga dan organisasi yang memajukan ekonomi Islam. Maka dari sekarang khususnya para pelajar dan santri sudah keharusan untuk mempelajari ilmu ekonomi ini adalah kewajiban (fardhu kifayah mulanya bisa saja nanti jadi fardhu ain), mengingat arus ekonomi kapitalis yang berjalan bertentangan dengan prinsip Islam seperti masalah ribawi dan rasionalitas ekonomi yang telah mengabaikan dimensi moral dan etika.
Wallahu a’lam
Referensi :
• Risalah Iqtishad Al-Sajukiyah, Ibn Hasanuddin Al-Sajuki
• Hukum Ekonomi Syariah, Prof. Dr. H. Zainuddin Ali, M.A.
• https://www.tazkiyatuna.com/iqtishad/