Salah satu ajaran atau diktum yang populer di kalangan akademisi Indonesia adalah Asy’ariyyah itu menjadikan pengikutnya jumud, tidak bisa memiliki nalar kritis, dan menganut paham fatalisme sebagaimana Jabariyyah. Akhirnya, salah satu tokoh terkenal di Indonesia menyatakan bahwa untuk memajukan Islam di Indonesia adalah dengan mengubah teologi Asy’ariyyah menjadi Muktazilah.
Baru-baru saya juga mendengar dari salah satu profesor ternama di Indonesia kalau Asy’ariyyah ketika ingin mengetahui Tuhan, tidak menggunakan akal. Lalu ini dijadikan sandaran penguat klaim kejumudan umat yang diakibatkan oleh Asy’ariyyah. Benarkah anggapan ini? Mari kita uji dengan literatur dari ulama Asy’ariyyah sendiri.
Akal dan Wahyu
Memang benar bahwa Asy’ariyyah tidak memberikan porsi terhadap akal lebih besar daripada wahyu. Hanya saja, porsi yang tidak besar bukan berarti menafikan akal, apalagi sampai membuat para pendakunya menjadi jumud.
Kenapa akal tidak digunakan sebagai aspek paling tinggi? Alasan dari mazhab Asy’ariyyah sederhana saja, jika kita sudah mengetahui segalanya dengan akal, lantas untuk apa nabi diutus dengan membawakan syariat? Juga, bagaimana kita men-tarjih-kan hal-hal yang bersifat sam’iyyat jika kita tidak menyeimbangkan akal dan wahyu?
Untuk men-tarjih-kan segala kemungkinan yang bersifat sam’iyyat itu dibutuhkan akal untuk mengafirmasi epistemologi dan keabsahan kitab suci, sehingga apapun yang datang dari kitab suci otomatis terafirmasi. Ini menggunakan teori lâzim wa malzȗm dalam ilmu logika. Dan cara ini dipakai oleh Asy’ariyyah.
Prof. Dr. Salim Abu Ashi, Pemikir, Guru Besar Universitas Al-Azhar, pernah menjelaskan bahwa kalau kita tidak menyeimbangkan antara akal dan wahyu, seperti memberikan porsi maksimal kepada wahyu, maka akan terjadi daur dan ini mustahil. Sedangkan jika kita mendewakan akal, bagaimana kita mengetahui hal-hal gaib lainnya? Dan apakah kita masih bisa dikatakan beriman jika menyimpan keraguan terhadap kebenaran Al-Qur’an? Jelas, jawabannya adalah menyeimbangkan akal dan wahyu.
Ini kemudian ditegaskan dalam salah satu tulisan beliau di kitabnya yang berjudul Asy’ariyyun Ana tentang menyeimbangkan akal dan wahyu:
الأولى: دور العقل أمام مصدري القرآن والسنة, يتمثل في الكشف عن أنه كلام الله, وأن محمدا رسول الله, وذلك جهة أن صحة النقل متوقة على صدر المخبر, وصدقه متوقفة على ثبوت النبوة المتوقفة بدورها على المعجزة, المتوقفة على العقل لا نقل, وإلا لتوقف النقل على النقل, وهو دور فاسد
“Pertama: otoritas akal dalam menyikapi Al-Qur’an dan Sunnah, itu membuktikan kebenaran eksistensi kalam Allah dan Muhammad adalah utusan-Nya. Ini sisi kebenaran riwayat (naqli). Namun, ini bergantung juga kepada kebenaran sumber informasinya (shadr al-mukhbir). Kebenarannya juga bergantung kepada afirmasi kenabian Muhammad Saw. dengan otoritas mukjizat-Nya. Kebenaran mengenai kenabian-Nya dibuktikan dengan akal, bukan dengan riwayat. Jika riwayat bergantung kepada riwayat, maka akan terjadi daur” (Muhammad Salim Abu ‘Ashiy, Asy’ariyyun Ana, Kairo: Dar Al-Haram, Hal 39).
Dalam buku yang sama, beliau juga menegaskan kalau sudah ada ijma’ kalau riwayat akan selamanya satu suara dengan akal sehat. Maka kalau kita menolak kebenaran yang ditangkap oleh akal, maka kita telah menolak kebenaran. Juga, kaitan antara akal dan wahyu itu saling melengkapi (‘alaqah al-takamul wa al-ta’akhiy).
Pembuktian
Kali ini saya akan fokus mengafirmasi bahwa Asy’ariyyah juga justru sangat kuat dalam sektor rasionalitas. Saya akan mulai dari pembuktian rasionalitas dengan membuka sedikit isi dari kitab Syarh Al-Mawâqif karya Imam Sayyid Syarif Al-Jurjani:
(وكرم بنى اّدم) نوع الإنسان على غيره (بالعقل الغريزي) أي بالقوة المستعدة لادراك المعقولات التي جبلت عليها فطرتهم ويسمى عقلا هيولانيا
“(Bani Adam menjadi mulia) [Maksud dari terma tersebut adalah] specia manusia yang lebih mulia dari selainnya (dengan akal yang natural) [Maksudnya] dengan (akal) yang bersifat potensial yang siap menalar hal-hal yang bisa dinalar [yang di mana akal tersebut] dibentuk oleh fitrah manusia. Hal tersebut dinamakan dengan akal materil. (Sayyid Syarif Al-Jurjani, Syarh Al-Mawâqif li Qâdhi ‘Adhud Al-Din Abdul Rahman Al-Iji, Kairo: Al-Maktabah Al-Azhariyyah li Al-Turats, 2011, Vol: I, Hal 9-10).
Ini baru bagian awal dari kitab tersebut. Di sini penulis sengaja membuka dengan menyinggung masalah akal karena pembahasan serta pembuktian akan banyak berbicara dengan argumen rasional. Juga, penulis menyinggung istilah ilmu kategori (al-maqȗlât), yakni al-‘aql al-hayȗlâni yang berarti corak penjelasan yang akan datang bersifat rasional. Ini juga menunjukkan bahwa bangunan premis yang dipakai akan bersifat logis-filosofis.
Seperti dalam mengafirmasi keberadaan Tuhan atau mengetahui keberadaan Tuhan, justru Asy’ariyyah menggunakan akal. Tak terkecuali Maturidiyyah dan Muktazilah, melakukan hal yang sama:
(الموقف الخامس في الإلهيات) التى هي المقصد الأعلى في هذا العلم (وفيه سبعة مراصد) لا خمسة كما وقع في بعض النسخة (المرصد الأول في الذات وفيه مقاصد) ثلاثة (المقصد الأول في اثبات الصانع وللقوم فيه مسالك خمسة (المسلك الأول للمتكلمين) قد علمت أن العالم إما جوهر أو عرض وقد يستدل) على إثبات الصانع (بكل واحد منهما إما بإمكانه أو بحدوثه)…
“(Al-mauqif kelima: ilahiyyat) ini adalah maqshad yang paling utama dalam ilmu ini [ilmu kalam] (dalam mawqif ini terdapat tujuh marâshid) bukan lima sebagaimana pada beberapa naskah lainnya. (Al-marshad pertama; [pembahasan] tentang dzat dan di dalamnya terdapat beberapa maqâshid) tiga (al-maqshad pertama: tentang afirmasi Tuhan dan [metode argumentasi] ada beberapa kelompok, di dalamnya terdapat lima masâlik (al-maslak pertama: [argumentasi] ulama kalam) Anda telah mengetahui bahwa alam itu [unsurnya] jauhar dan ‘aradh. Inilah yang dijadikan argumentasi) keberadaan Tuhan (yang setiap dari keduanya kalau bukan bersifat mungkin, pasti bersifat baru [hudȗts])…” (Sayyid Syarif Al-Jurjani, Syarh Al-Mawâqif li Qâdhi ‘Adhud Al-Din Abdul Rahman Al-Iji, Kairo: Al-Maktabah Al-Azhariyyah li Al-Turats, 2011, Vol: V, Hal 2).
Jika Anda tidak paham maksud dari terma al-mauqif, al-maqshad, al-marshad, dan al-maslak, itu hanyalah istilah untuk bab, sub-bab, dan sub-sub bab dalam Syarh Al-Mawâqif. Bisa dibilang, bagian ini hanya menjelaskan sistematika pembahasan dalam kitab tersebut. Tapi, dari sistematika itu kita bisa menarik benang merah bahwa Asy’ariyyah sendiri dalam mengafirmasi keberadaan Tuhan, mereka menggunakan nalar sistematis-rasional.
Mana sisi argumentasinya? Kalau kita melihat bagian akhirnya, penulis menyentuh tentang kebaruan alam (huduts al-‘alam) plus mungkinnya alam (imkan al-alam) dan beliau juga telah menjelaskan panjang lebar mengenai filsafat ontologi dan epistemologi dalam jilid-jilid sebelumnya yang mencakup tentang penjelasan sesuatu baru dan tidak. Sebab, yang saya kutip di atas adalah jilid kelima. Ini berarti penulis sudah merumuskan empat jilid saja untuk menyusun premis akan keberadaan Tuhan, kenabian, dan kebenaran akhirat, termasuk tentang kebaruan esensi (jauhar) dan aksiden (‘aradh). Bagian ini adalah sesi argumentasinya: kebaruan alam.
Mungkin akan ada yang mengatakan: “Apakah hanya kebaruan dan keberadaan alam yang bisa membuktikan keberadaan Tuhan?” Jangan salah, bobot dari maksud argumen ini tidak sesingkat namanya; kebaruan alam. Untuk menjelaskan maksud “kebaruan”, “alam”, dan “kebaruan alam” itu membutuhkan waktu yang panjang dan penalaran kuat. Imam Sanusi dalam Syarh Al-Aqidah Al-Wustha menjelaskan tujuh bobot penting dalam afirmasi itu:
الأول: إثبات زائد على الأجرام
الثاني: إبطال قيامه بنفسه
الثالث: إبطال انتقاله
الرابع: إبطال كمونه وظهوره
الخامس: إثبات استحالة عدم القديم
السادس: إثبات كون الأجرام لا تنفك عن ذلك الزائد
السابع: إثبات استحالة حوادث لا أول لها
“Pertama: mengafirmasi keberadaan “tambahan” pada jirm (sesuatu yang bertempat tapi tidak berinang pada dzat atau esensi lain –red).
Kedua: menolak keberadaan (aksiden) yang ada dengan sendirinya.
Ketiga: menolak keberpindahan (aksiden).
Keempat: menolak ketersembunyian dan kejelasan (aksiden secara bersamaan).
Kelima: mengafirmasi bahwa ketiadaan qadîm adalah sebuah kemustahilan.
Keenam: mengafirmasi bahwa jirm itu tidak terpisah dari aspek aksiden-eksternalnya (‘aradh).
Ketujuh: mengafirmasi kemustahilan sesuatu yang baru tanpa awal”. (Abu Abdullah Muhammad bin Yusuf Al-Sanusi, Syarh Al-Aqîdah Al-Wusthâ, Tahqiq: Anis Muhammad Adnan Al-Syarfawi, Damaskus: Dar Al-Taqwa, Hal 210).
Ketujuh hal tersebut merupakan hal yang niscaya ketika mengafirmasi keberadaan alam sebagai sesuatu yang baru. Jika disingkat, segala sesuatu selain Tuhan itu tersusun atas esensi dan aksiden. Segala yang tersusun dari keduanya maka pasti baru. Segala selain Tuhan itu disebut dengan alam (tidak harus berkaitan dengan kosmos), maka alam itu baru. Juga Tuhan ada sebagai entitas yang qadîm karena kalau yang baru itu ada, pasti ada yang mengadakan.
Ini sekelumit atau sebagian kecil saja dari cara ulama Asy’ariyyah mendatangkan argumentasi terkait eksistensi Tuhan dan kebaruan alam, walaupun tidak lengkap. Tak terkecuali masalah teologi lainnya. Karena untuk memahami secara utuh bagaimana Asy’ariyyah berargumen, harus memahami deretan ilmu rasional; 1) Logika. 2) Kategori. 3) Debat. 4) Masalah Umum (Al-Umȗr Al-‘Ammah). Jika pengantarnya bersifat rasional-ilmiah, maka kesimpulan yang dilahirkan juga bersifat demikian. Itulah Asy’ariyyah, tidak kalah rasional oleh Muktazilah.
Versus
Kalau melihat perbandingan mazhab Asy’ariyyah dan Muktazilah, mereka punya konsep yang berbeda dalam masalah ontologi dan epistemologi. Secara ringkas, bisa kita lihat dalam sebuah kitab yang berjudul Al-Madkhal ila Al-Umȗr Al-‘Ammah karya Syekh Ahmad Syadzili Al-Azhari. Misalnya dalam membahas tentang “ketiadaan”, apakah ketiadaan itu bisa disebut dengan “sesuatu” atau tidak? Masing-masing dari mereka memiliki argumen.
Tidak kalah juga Asy’ariyyah dengan sejumlah kitab menanggapi konsep tanzîh yang menafikan sifat-sifat ma’ani. Dan mereka mengatakan bahwa Tuhan mengetahui dengan dzat-Nya (alim bi al-dzat). Apakah jawabannya dengan argumen rasional? Jelas, itu kita bisa lihat juga dalam Al-Aqîdah Al-Kubrâ karya Imam Al-Sanusi, bahwa dzat dan sifat merupakan dua hal berbeda. Tidak mungkin dzat adalah sifat. Ini akan melanggar prinsip non-kontradiksi (qânȗn ‘adam al-tanâqudh) dalam logika dasar.
Begitu juga dalam masalah kewajiban Tuhan dalam berbuat baik. Muktazilah menyatakan demikian karena tidak mungkin Tuhan melakukan sesuatu yang buruk. Sementara Asy’ariyyah melihat bahwa kalau Tuhan wajib berbuat baik, berarti keberadaan sesuatu yang jahat bukan dari Tuhan. Mustahil ada sesuatu yang tidak diciptakan Tuhan. Asy’ariyyah melihat kalau Tuhan tidak wajib berbuat baik, karena Tuhan itu absolut. Bantahan seperti ini jelas masuk akal dan rasional, bagaimana mungkin Tuhan dikatakan absolut sementara dibatasi oleh “nilai baik” menurut akal itu.
Masih banyak lagi perdebatan-perdebatan antara kedua mazhab ini. Tentu keberadaan dialektika seperti ini tidak bisa menutupi bahwa Asy’ariyyah adalah mazhab yang sangat rasional juga. Sebab, bagaimana mungkin Asy’ariyyah tidak dikatakan rasional, sementara yang dikritik secara ilmiah adalah mazhab yang rasional juga? Sehingga klaim bahwa Asy’ariyyah menghambat nalar kritis merupakan klaim kosong dan tidak terbukti. Karena kalau kita membaca kitan-kitab Asy’ariyyah atau ingin menyelam di dalam, mengasah nalar menjadi sebuah keniscayaan.
Adapun tuduhan-tuduhan lain kepada Asy’ariyyah seperti menganut ajaran fatalisme ala Jabariyyah, menolak filsafat secara utuh melalui Imam Al-Ghazali, dan lain sebagainya akan kita bahas pada tulisan khusus.
Wallahu a’lam


