Ruang Intelektual
  • Login
  • Daftar
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Ilmu Bahasa Arab
    • Nahwu
    • Sharaf
    • Balaghah
    • ‘Arudh
    • Qafiyah
    • Fiqh Lughah
    • Wadh’i
  • Ilmu Rasional
    • Ilmu Mantik
    • Ilmu Maqulat
    • Adab Al-Bahts
    • Al-‘Umȗr Al-‘Ammah
  • Ilmu Alat
    • Ulumul Qur’an
    • Ilmu Hadits
    • Ushul Fiqh
  • Ilmu Maqashid
    • Ilmu Kalam
    • Ilmu Firaq
    • Filsafat
    • Fiqh Syafi’i
    • Tasawuf
  • Ilmu Umum
    • Astronomi
    • Bahasa Inggris
    • Fisika
    • Matematika
    • Psikologi
    • Sastra Indonesia
    • Sejarah
  • Nukat
    • Kitab Mawaqif
  • Lainnya
    • Biografi
    • Penjelasan Hadits
    • Tulisan Umum
    • Prosa Intelektual
    • Karya Sastra
    • Ringkasan Buku
    • Opini
    • Koleksi Buku & File PDF
    • Video
Ruang Intelektual
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil

Mengenal Mazhab Muktazilah (Seri Muktazilah Bag. 1)

Oleh Muhammad Said Anwar
27 September 2022
in Ilmu Kalam
Mengenal Mazhab Muktazilah (Seri Muktazilah Bag. 1)

source: https://www.pexels.com/id-id/pencarian/islam%20empire/

Bagi ke FacebookBagi ke TwitterBagi ke WA

Sejak pertengahan akhir masa khulafā al-rāsyidīn, fitnah di tengah umat Islam semakin membengkak. Mulai dari peristiwa terbunuhnya khalifah ketiga; Utsman bin ‘Affan (w. 35 H) di tangan orang-orang yang termakan propaganda, meletusnya Perang Jamal (36 H), sampai keadaan semakin keruh di Perang Shiffin (37 H) yang menyebabkan Islam terpecah menjadi tiga golongan; Khawarij[1], kelompok Khalifah Ali bin Abi Thalib Ra. (w. 40 H), dan kelompok yang berpihak kepada Mu’awiyah bin Abu Sufyan Ra. (w. 60 H).

Khawarij muncul dengan sikap khas yang mudah mengkafirkan pelaku dosa besar. Sedangkan anti-tesis dari Khawarij adalah Murjiah[2] (ekstrim) dengan sikapnya yang terlalu memanjakan pelaku dosa besar dengan menganggap imannya sama dengan iman mereka yang tidak melakukan dosa besar.

Kemudian muncul juga Jabariyyah[3] yang mengamini bahwa setiap tindakan manusia itu dikendalikan Tuhan secara mutlak (fatalism), juga anti-tesisnya yang bernama Qadariyyah[4] yang muncul dengan konsep keabsolutan perbuatan manusia (free will), Tuhan tidak memiliki campur tangan dalam perbuatan manusia.

Tidak kalah penting dengan Muktazilah yang juga muncul pada abad pertama dan diprakarsai oleh Washil bin Atha’ (w. 131 H). Semuanya dimulai ketika Washil bin Atha’ memisahkan diri dari gurunya Imam Hasan Al-Bashri (w. 110 H). Washil memilih jalannya sendiri karena berbeda dengan gurunya mengenai hukum pelaku dosa besar. Imam Hasan Al-Bashri menyatakan bahwa pelaku dosa besar ini menjadi fasik. Sedangkan Washil bin Atha’ memperkenalkan satu konsep baru: Manzilah baina manzilatain. Secara literal, maknanya satu tempat di antara dua tempat. Maksud dari istilah Washil adalah pelaku dosa besar berada di antara iman dan kufur[5].

Pada masa pemerintahan Al-Ma’mun (786-833 M), Muktazilah mengadakan satu ujian yang dikenal dengan istilah mihnah. Tujuannya untuk filterisasi ulama, siapa saja yang mengamini ideologi Muktazilah dan siapa saja yang menolaknya. Yang menolak akan mendapatkan hukuman dari penguasa. Ideologi yang diujikan adalah khalq al-qur’ān atau kemakhlukan Al-Qur’an. Ini berlanjut sampai masa Al-Watsiq (842-847 M).

Setelah masa itu berlalu, muncul juga Imam Abu Hasan Al-Asy’ari (w. 324 H) yang saat itu salah satu cikal bakal pembela Ahlussunnah, walau masa mudanya harus hidup dalam lingkaran Muktazilah. Tak terkecuali ayah tirinya, Abu Ali Muhammad bin Abdul Wahab Al-Jubba’i (w. 303 H)[6] yang juga merupakan pembesar Muktazilah.

Kebersamaan Imam Abu Hasan dan ayahnya, tidak semerta-merta membuat beliau menjadi pembesar Muktazilah. Dr. Jamal Faruq Al-Daqqaq, Dekan Fakultas Dakwah Universitas Al-Azhar, meragukan sumber-sumber yang menyatakan Imam Abu Hasan pernah menjadi salah satu pembesar Muktazilah[7]. Hal ini juga didukung oleh Ibnu ‘Asakir (w. 499 H) bahwa justru perdebatan Imam Abu Hasan Al-Asy’ari dan ayahnya sangat terkenal dalam buku-buku sejarah[8].

Muktazilah memiliki ajaran-ajaran yang khas dan beda dari Asy’ariyyah, seperti perbuatan hamba diciptakan oleh hamba itu sendiri, menolak pemahaman melihat Tuhan di akhirat, Tuhan wajib berbuat baik, perihal baik dan buruk diketahui akal murni, Al-Qur’an makhluk, Tuhan tidak memiliki sifat, dan lain sebagainya[9]. Kemudian, Asy’ariyyah juga berdiri dengan konsep yang bertolakbelakang dengan Muktazilah. Mazhab Asy’ariyyah juga memiliki metodologi dan caranya sendiri dalam mempertahankan pendapatnya.

BacaJuga

Madrasah kalam Imam Al-Sanusi

Ilmu Akidah untuk Pemula; Kebaruan Alam (Bag. 4)

Ilmu Akidah untuk Pemula; Hukum Akal (Bag. 3)

Ilmu Akidah untuk Pemula; Kewajiban Pertama (Bag. 2)

Salah satu ciri khas Muktazilah adalah corak berpikir rasional. Hanya saja, karena menganggap akal sebagai kasta tertinggi dalam menimbang sesuatu, sampai mereka sepakat dalam hal tersebut. Namun, untuk referensi utama dalam signifikasi asas argumen, mereka berbeda pendapat[10].

Wallahu a’lam


Catatan Kaki

[1] Dalam pandangan Imam Abdul Karim Al-Syahrastani, Khawarij adalah kelompok yang keluar dari pemimpin yang sah. Baik ia ada pada masa sahabat ataupun setelahnya. (Lihat: Abdul Karim Al-Syahrastani, Milal wa Niḥal, Kairo: Mu’assasah Al-Halabi wa Syarakah li Nasyr wa Tauzi’, Hal 114).

[2] Murji’ah berasal dari kata irjā’ yang memiliki dua makna. Pertama, mengakhirkan. Ini sebagaimana yang disandarkan pada ayat yang terdapat pada Q.S. Al-A’raf: 111. Karena mereka mengakhirkan perbuatan dibanding niat dan akad. Kedua, memberikan harapan. Sebab, kelompok Murji’ah memiliki ajaran bahwa dosa itu tidak mencelakai iman seseorang. Ini menjadi harapan akan adanya iman pada diri seseorang. Makna yang cocok dipakai dalam kelompok Murji’ah ini adalah makna yang pertama, sedangkan makna keduanya adalah zahirnya saja. Imam Abdul Karim Al-Syahrastani memberikan dua penjelasan mengenai penamaan kelompok Murji’ah ini. Pertama, kelompok ini memiliki ajaran bahwa pelaku dosa besar di akhirat nanti ditangguhkan keputusannya, apakah dia berada di surga atau neraka. Kedua, ajaran bahwa penangguhan Imam Ali bin Abi Thalib Kw. sebagai khalifah pertama. (Abdul Karim Al-Syahrastani, Milal wa Niḥal, Kairo: Ibda’ li Al-I’lam wa Al-Nasyr, Hal 119).

Adapun sebab kemunculannya, para penulis mazhab dan golongan Islam menyatakan bahwa sebab utama munculnya Murji’ah adalah ketika Khawarij mengafirkan khulafā’ al-rasyidīn, orang-orang yang mengakui tahkīm (arbitrase), dan Dinasti Umayyah, ditambah sebagian Syi’ah yang mengamini hal tersebut, maka Murji’ah datang untuk mengharmonisasi semuanya. Di sinilah Murji’ah menyatakan: “Semua urusan mereka dikembalikan kepada Allah”. (Aminah Nashir, Mausū’ah Al-Firaq wa Al-Mażāhīb fī Al-‘Ālam Al-Islāmiy, Kairo: Al-Majlis Al-A’la li Syu’un Al-Islamiyyah, Hal 649).

[3] Jabariyyah berasal dari kata jabr yang berarti ‘paksaan’. Hakikat Jabariyyah adalah menafikan perbuatan hamba dan menisbatkan perbuatan tersebut kepada Allah. Kelompok ini ada dua bentuk. Pertama, Jabariyyah Utuh (khāliṣah), mereka yang tidak mempercayai bahwa manusia memiliki perbuatan ataupun kekuatan (qudrah) untuk melakukan perbuatan. Kedua, Jabariyyah Pertengahan (mutawassiṭah), mereka yang percaya bahwa manusia memiliki kemampuan, tapi tidak memberikan dampak (gairu mu’aṡirah). (Abdul Karim Al-Syahrastani, Milal wa Niḥal, Kairo: Ibda’ li Al-I’lam wa Al-Nasyr, Hal 74).

[4] Qadariyyah berasal dari kata qadr yang berarti kuasa. Secara istilah, terma Qadariyyah digunakan untuk kelompok atau golongan yang meyakini bahwa perbuatan manusia adalah ciptaan manusia itu sendiri. Juga, maksiat dan kafirnya manusia tidak memiliki kaitan dengan takdir Allah.

Pertama kali Qadariyyah muncul pada abad pertama Hijriyyah yang dikenal dengan nama Al-Qadariyyah Al-Ulā. Mereka mengingkari keabsolutan ilmu Allah, dengan kata lain mereka menyatakan bahwa Allah tidak mengetahui sesuatu sebelum sesuatu itu ada. Ketika ada, barulah Allah mengetahuinya. Inilah yang kemudian diungkapkan oleh Ma’bad Al-Jahimi (w. 80 H) sebagai tokoh sentral kelompok ini: “Lā qadr wa al-amr unf”. Maknanya, manusia sendiri yang menghendaki perbuatannya dan manusia juga yang memunculkannya dengan kemampuannya sendiri. Sedangkan Allah tidak menciptakan perbuatan itu secara azali, dan Allah tidak menghendaki keberadaannya. Maka Allah tidak mengetahui perbuatan manusia kecuali setelah menciptakannya. (Ahmad Abdul Rahman Sayeh, Mausū’ah Al-Firaq wa Al-Mażāhīb fī Al-‘Ālam Al-Islāmiy, Kairo: Al-Majlis Al-A’la li Syu’un Al-Islamiyyah, Hal 520-521).

[5] Lihat: Zuhdi Hasan Jarullah, Al-Mu’tazilah, Kairo: Al-Maktabah Al-Azhariyyah li Al-Turats, Hal 2-3.

[6] Lihat: Abu Hasan Al-Asy’ari, Al-Luma’ fī Radd ‘alā Ahl Al-Zaig wa Al-Bida’, Tahqiq: Hasan Al-Syafi’i, Kairo: Dar Al-Hukama’ li Al-Nasyr, Hal 28-30.

[7] Ada tiga alasan penolakan Dr. Jamal Faruq terhadap anggapan tersebut. Pertama, seandainya Imam Abu Hasan Al-Asy’ari pernah menjadi ulama Muktazilah, siapa yang pernah menjadi muridnya? Hal ini tidak ditemukan dalam literatur Muktazilah. Kedua, seandainya Imam Abu Hasan Al-Asy’ari pernah membela Muktazilah, adakah buah pemikiran dalam karya atau setidaknya nukilan yang menunjukkan hal tersebut? Ini juga tidak ditemukan. Ketiga, seandainya Imam Abu Hasan Al-Asy’ari pernah menjadi ulama Muktazilah, adakah bukti bahwa beliau pernah menjadi bagian dari Muktazilah? Hal itu juga tidak ditemukan. Bahkan dalam kitab Ṭabaqāt Al-Mu’tazilah yang ditulis oleh Ahmad bin Yahya Al-Murtadha, tidak ditemukan nama beliau. Jika ada yang mengatakan nama beliau tidak dimasukkan karena membelot dari ajaran Muktazilah, maka kita tidak akan pernah mendapati Ibnu Rawandi (w. 324 H) sebagai mantan ulama Muktazilah. Sumber: https://islam.nu.or.id/sirah-nabawiyah/benarkah-imam-abu-al-hasan-al-asy-ari-mantan-ulama-mutazilah-yqX6d.

[8] Lihat: Ibnu ‘Asakir, Tabyin Każib Al-Muftari, Beirut: Dar Al-Kutub Al-Arabi, Hal 381.

[9] Lihat: ‘Ammar Benhammudah, Atsar Al-Mu’tazilah fi Al-Fikr Al-Islāmiy Al-Hadīṡ, Maroko: Dar Dhiya’ Al-Markaz Al-Tsaqafi Al-‘Arabi, Hal 20-21.

[10] ‘Imad Khafaji, Manāhij Al-Tafkīr fi Al-‘Aqīdah: Baina Al-Nashiyyin wa Al-‘Aqliyyin, Kairo: Dar Al-Hukama’ li Al-Nasyr, Vol I, Hal 67.

Muhammad Said Anwar

Muhammad Said Anwar

Lahir di Makassar, Sulawesi Selatan. Mengenyam pendidikan Sekolah Dasar (SD) di MI MDIA Taqwa 2006-2013. Kemudian melanjutkan pendidikan SMP di MTs MDIA Taqwa tahun 2013-2016. Juga pernah belajar di Pondok Pesantren Tahfizh Al-Qur'an Al-Imam Ashim. Lalu melanjutkan pendidikan di Madrasah Aliyah Negeri Program Keagamaan (MANPK) Kota Makassar tahun 2016-2019. Kemudian melanjutkan pendidikan di Universitas Al-Azhar, Kairo tahun 2019-2024, Fakultas Ushuluddin, jurusan Akidah-Filsafat. Setelah selesai, ia melanjutkan ke tingkat pascasarjana di universitas dan jurusan yang sama. Pernah aktif menulis Fanspage "Ilmu Logika" di Facebook. Dan sekarang aktif dalam menulis buku. Aktif berorganisasi di Forum Kajian Baiquni (FK-Baiquni) dan menjadi Pemimpin Redaksi (Pemred) di Bait FK-Baiquni. Menjadi kru dan redaktur ahli di media Wawasan KKS (2020-2022). Juga menjadi anggota Anak Cabang di Organisasi Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU). Pada umur ke-18 tahun, penulis memililki keinginan yang besar untuk mengedukasi banyak orang. Setelah membuat tulisan-tulisan di berbagai tempat, penulis ingin tulisannya mencakup banyak orang dan ingin banyak orang berkontribusi dalam hal pendidikan. Kemudian pada umurnya ke-19 tahun, penulis mendirikan komunitas bernama "Ruang Intelektual" yang bebas memasukkan pengetahuan dan ilmu apa saja; dari siapa saja yang berkompeten. Berminat dengan buku-buku sastra, logika, filsafat, tasawwuf, dan ilmu-ilmu lainnya.

RelatedPosts

Madrasah kalam Imam Al-Sanusi
Ilmu Kalam

Madrasah kalam Imam Al-Sanusi

Oleh N. Arifin. H.
29 Desember 2024
Ilmu Akidah untuk Pemula; Kebaruan Alam (Bag. 4)
Ilmu Kalam

Ilmu Akidah untuk Pemula; Kebaruan Alam (Bag. 4)

Oleh Muhammad Said Anwar
23 September 2024
Ilmu Akidah untuk Pemula; Hukum Akal (Bag. 3)
Ilmu Kalam

Ilmu Akidah untuk Pemula; Hukum Akal (Bag. 3)

Oleh Muhammad Said Anwar
20 September 2024
Ilmu Akidah untuk Pemula; Kewajiban Pertama (Bag. 2)
Ilmu Kalam

Ilmu Akidah untuk Pemula; Kewajiban Pertama (Bag. 2)

Oleh Muhammad Said Anwar
17 September 2024
Ilmu Akidah untuk Pemula; Pendahuluan (Bag. 1)
Ilmu Kalam

Ilmu Akidah untuk Pemula; Pendahuluan (Bag. 1)

Oleh Muhammad Said Anwar
4 September 2024
Artikel Selanjutnya
Penamaan Muktazilah (Seri Muktazilah Bag. 2)

Penamaan Muktazilah (Seri Muktazilah Bag. 2)

Berijab Kabul dengan Hidup

Berijab Kabul dengan Hidup

Mengapa Kita Menulis?

Mengapa Kita Menulis?

KATEGORI

  • Adab Al-Bahts
  • Al-‘Umȗr Al-‘Ammah
  • Biografi
  • Filsafat
  • Ilmu Ekonomi
  • Ilmu Firaq
  • Ilmu Hadits
  • Ilmu Kalam
  • Ilmu Mantik
  • Ilmu Maqulat
  • Karya Sastra
  • Matematika
  • Nahwu
  • Nukat
  • Opini
  • Penjelasan Hadits
  • Prosa Intelektual
  • Sejarah
  • Tasawuf
  • Tulisan Umum
  • Ushul Fiqh

TENTANG

Ruang Intelektual adalah komunitas yang dibuat untuk saling membagi pengetahuan.

  • Tentang Kami
  • Tim Ruang Intelektual
  • Disclaimer
  • Kontak Kami

© 2024 Karya Ruang Intelektual - Mari Berbagi Pengetahuan

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password? Daftar

Buat Akun Baru!

Isi Form Di Bawah Ini Untuk Registrasi

Wajib Isi Log In

Pulihkan Sandi Anda

Silahkan Masukkan Username dan Email Anda

Log In
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Ilmu Bahasa Arab
    • Nahwu
    • Sharaf
    • Balaghah
    • ‘Arudh
    • Qafiyah
    • Fiqh Lughah
    • Wadh’i
  • Ilmu Rasional
    • Ilmu Mantik
    • Ilmu Maqulat
    • Adab Al-Bahts
    • Al-‘Umȗr Al-‘Ammah
  • Ilmu Alat
    • Ulumul Qur’an
    • Ilmu Hadits
    • Ushul Fiqh
  • Ilmu Maqashid
    • Ilmu Kalam
    • Ilmu Firaq
    • Filsafat
    • Fiqh Syafi’i
    • Tasawuf
  • Ilmu Umum
    • Astronomi
    • Bahasa Inggris
    • Fisika
    • Matematika
    • Psikologi
    • Sastra Indonesia
    • Sejarah
  • Nukat
    • Kitab Mawaqif
  • Lainnya
    • Biografi
    • Penjelasan Hadits
    • Tulisan Umum
    • Prosa Intelektual
    • Karya Sastra
    • Ringkasan Buku
    • Opini
    • Koleksi Buku & File PDF
    • Video

© 2024 Karya Ruang Intelektual - Mari Berbagi Pengetahuan