Ketika kita ingin pergi ke suatu tempat, maka kita harus memiliki gambaran tentang tempat yang ingin kita kunjungi. Gambaran ini bisa berupa jalan, ciri-ciri tempat, maupun esensi tempat yang ingin dituju. Jika tidak, bukan berarti kita mustahil menuju tempat itu, mungkin saja secara tidak sengaja. Tapi, kemungkinan untuk tercapainya tujuan itu sangat kecil. Kita lebih mungkin untuk tidak sampai, dibanding mungkin untuk sampai.
Hal yang sama berlaku dengan ilmu pengetahuan yang akan dipelajari. Kita harus memiliki gambaran utuh atau paling tidak, gambaran umum tentang ilmu yang akan kita pelajari. Jika tidak, konsep pengetahuan yang kita punya saat kita belajar adalah konsep “patah”, alias tidak utuh. Gambaran umum pengetahuan ini diistilahkan dengan muqaddimah al-‘ilm oleh para ulama. Ini berlaku kepada seluruh ilmu secara umum dan ilmu kalam secara khusus.
Tulisan kali ini akan terfokus pada tiga poin krusial terkait ilmu kalam; definisi, objek kajian, dan fungsi. Namun, perlu digarisbawahi, bahwa ilmu memiliki sepuluh dasar yang diistilahkan dengan al-mabâdi’ al-‘asyarah. Kita hanya memetik tiga poin krusial karena poin inilah hal paling substansial dan intim dari sepuluh poin itu.
Definisi
Definisi ada dua jenis; esensial (hadd) dan aksidental (rasm). Jika yang pertama menitikberatkan definisi pada objek kajian ilmu, maka bagian kedua fokus kepada fungsi, manfaat, atau tujuan ilmu.
- Definisi esensial ilmu kalam:
علم يبحث عن المعلوم من حيث إثبات العقائد الدينية أو وسائلها
“Ilmu yang membahas tentang al-ma’lȗm dari segi (sebagai) afirmator akidah agama atau wasilah afirmasi akidah.” (Mahmud Abu Daqiqah, Qaul Sadîd fi ‘Ilm Al-Tauhîd, Kairo: Universitas Al-Azhar, Hal 10).
Definisi ini masih sukar untuk dipahami, walaupun diklaim komprehensif (jâmi’ wa mâni’) oleh sebagian ulama kalam. Untuk memahaminya, kita akan mematahkan beberapa kata dan frasa untuk memperjelas maksud dari definisi ini.
Pertama, kata “Ilmu…” ilmu yang dimaksud adalah ilmu hâdits (yang ada setelah mengalami ketiadaan) dan bukan ilmu qadîm (ilmu yang bersifat azali dan ada tanpa pernah mengalami ketiadaan). Karena ilmu Tuhan tidak terbagi menjadi beberapa pembahasan, sedangkan ilmu selain Tuhan bisa terbagi. Kemudian, ilmu hâdits ini yang termasuk dalam kategori dari kata “ilmu” yang disebut dalam definisi ini.
Ilmu yang dimaksud adalah disiplin yang sudah disusun secara sistematis (fan mudawwan). Maka ilmu yang bermakna mengetahui (idrâk) maupun kemampuan natural (malakah), tidak termasuk dalam ilmu ini.
Kedua, frasa “Yang membahas tentang…” Ini menunjukkan bahwa definisi ini termasuk kategori definisi esensial. Sebab, apa yang dibahas oleh ilmu itu menunjukkan setengah dari esensi ilmu. Mengapa setengah, bukan seluruhnya? Karena ilmu memiliki dua unsur krusial; objek dan perspektif. Jika sebuah definisi menyebutkan objek ilmu tanpa menyebutkan perspektif ilmu itu, maka ini masih tergolong setengah dari esensi ilmu.
Jika ada yang mengatakan objek ilmu adalah esensi ilmu itu sendiri, maka bagaimana cara membedakan ilmu nahwu, sharaf, dan balaghah yang objeknya adalah al-kalâm al-‘arabi? Kita tidak mungkin mengatakan nahwu adalah sharaf, begitu juga sebaliknya. Maka, aspek lain yang membedakan ilmu itu dengan yang lainnya adalah perspektif yang mencakup mekanisme dan metode.
Ketiga, kata “al-ma’lȗm” ini merujuk kepada segala hal yang bisa diketahui (mâ yashihhu an yu’lam). Sesuatu yang diketahui itu terbagi menjadi dua; ada dan tidak ada. Ada juga pembagian ketiga; hâl (antara ada dan tidak ada) bagi yang berpendapat demikian. Tentang al-ma’lȗm ini sudah kita bahas dalam salah satu tulisan seputar al-umȗr al-‘ammah.
Keempat, frasa “dari segi…” ini menjadi penguat dari poin kedua; dua aspek ilmu. Ini setengah lagi dari esensi ilmu. Dengan adanya frasa ini, maka ilmu sudah utuh (tanpa melihat disiplin tertentu).
Kelima, frasa “afirmasi akidah agama”. Di sini ada tiga bagian kritis; 1) Afirmasi. 2) Akidah. 3) Agama. Yang dimaksud dengan afirmasi adalah penetapan atau pengakuan terhadap sesuatu. Jika dihubungkan dengan akidah, maka afirmasi yang dimaksud adalah bagaimana agar sesuatu yang disebut akidah itu diakui secara positif.
Masing tentang afirmasi, yang menjadi tugas utama dari ulama kalam adalah mengafirmasi akidah agama dengan ragam argumentasi detail yang akan dibahas dalam ilmu kalam. Aktivitas afirmasi ini juga yang mengambil porsi besar dalam ilmu kalam. Ini juga menjadi alasan kenapa banyak kitab ilmu kalam menjadi sulit. Karena proses afirmasi ini jumlahnya banyak nan mendalam, khususnya dalam ruang argumentasi.
Selain itu, tugas lain yang dimiliki ulama kalam adalah memahami pemikiran lintas mazhab dan agama untuk mempertahankan “afirmasi” ini. Karena ketika agama diserang oleh syubhat, maka membantah syubhat adalah pilihan. Dan membantah syubhat dimulai dari memahami syubhat itu sendiri.
Adapun keberadaan terma “akidah” sebagai pembatas bahwa pembahasan hanya berputar dalam masalah akidah. Maka selain dari akidah seperti fikih, tasawuf, dan lain selebihnya tidak termasuk ke dalam titik sentral, bahkan pembahasan ilmu kalam secara umum. Ini yang pertama. Kedua, ini menunjukkan bahwa kita tidak berbicara tentang ilmu yang bersifat verbal (‘amaliy), tapi ilmu yang bersifat teoritis (nazhariy) dan praktis (tathbîqiy).
Sedangkan adanya kata “agama” itu dinisbatkan kepada agama yang dibawakan oleh seluruh Nabi. Karena semua Nabi membawakan agama dan ajaran akidah yang sama. Namun, mereka berbeda dari segi syariat yang dibawakan.
Dari tiga bagian kritis ini, bisa ditarik bahwa tugas ilmu kalam adalah afirmasi ajaran kepercayaan agama yang dibawakan oleh seluruh Nabi secara umum dan Nabi Muhammad Saw. secara khusus. Perlu dicatat bahwa afirmasi ini hanya terbatas menggunakan argumen qath’i, baik rasional (‘aqliy) maupun transmitif (naqliy). Alasannya, akidah atau keyakinan kita terhadap agama, tidak boleh salah. Maka dari itu, informasi atau sesuatu yang menjadi premis dari akidah harus sesuatu yang tidak bisa salah; qath’i. Sedangkan informasi zhanni, masih memuat kemungkinan salah walaupun kecil. Karena adanya kemungkinan ini, ulama kalam tidak menganggapnya sebagai bahan absah untuk berargumen.
Tapi, perlu diakui bahwa sesuatu yang bersifat zhanni, baik itu riwayat ahad maupun argumentasi rasional yang tidak sampai tahap demonstratif (burhân), pada dasarnya benar dan di saat yang sama memuat kemungkinan salah. Qath’iy itu menempati predikat yang sama dengan yaqîn dalam istilah ahli mantik dan ‘ilm dalam istilah ulama kalam. Hal ini bersinggungan dengan pembahasan tingkatan pengetahuan yang sudah pernah dibahas dalam salah satu tulisan di ilmu mantik.
Keenam, frasa “atau wasilah afirmasi agama” ini menunjukkan kalau ilmu kalam termasuk ilmu maqâshid atau ilmu inti dalam agama Islam. Ilmu maqâshid merupakan kategori ilmu yang menjadi titik sentral dalam agama Islam, seperti fikih, tasawuf, dan akidah atau kalam. Maka, dibutuhkan sesuatu yang menjadi pengantar atau ilmu lain yang menjadi penunjangnya untuk bisa memahami kategori itu secara detail.
Jika kategori ilmu maqâshid butuh kepada pengantar, maka ilmu yang jadi pengantar itu disebut dengan ilmu wasâ’il. Terkhusus dalam ilmu kalam, yang menjadi pengantarnya ada beberapa ilmu; mantik, kategori (al-maqȗlât), debat, dan filsafat umum (al-‘umȗr al-‘ammah). Tanpa deretan ilmu ini, maka kita hanya bisa memahami ilmu kalam sekadarnya, bukan apa adanya.
- Definisi deskriptif ilmu kalam:
علم (بأمور -الجرجاني) يقتدر معه على إثبات العقائد الدينية بإيراد الحجج ودفع الشبه
“Ilmu yang dengannya kita mampu untuk mengafirmasi akidah agama dengan mendatangkan argumen dan menghadang syubhat” (Al-Iji, Al-Mawâqif, Beirut: ‘Alim Al-Kutub, Hal 7).
Definisi ini berbicara tentang fungsi dari ilmu kalam. Namun, ada beberapa hal yang menjadi catatan.
Pertama, ada frasa “dengannya kita mampu untuk…” yang menunjukkan bahwa ketika kita mengamalkan ilmu ini, maka kita bisa melakukan sesuatu. Jadi, walaupun, kita mengetahui ilmu ini tapi tidak mengindahkan kaidahnya, maka kita tidak akan mendapatkan manfaatnya.
Kedua, frasa “afirmasi akidah agama” hal ini sudah dijelaskan pada poin kelima di definisi esensial ilmu kalam.
Ketiga, frasa “dengan mendatangkan argumen…” menunjukkan bahwa afirmasi secara utuh itu tidak bisa terjadi tanpa adanya argumen. Namun, bagaimana dengan adanya orang awam atau orang yang tidak mampu berargumen tapi beriman dengan ajaran agama Islam? Maka, kita perlu membedakan dua hal; afirmasi utuh akidah dan berakidah (beriman). Afirmasi utuh itu membutuhkan pembahasan dan argumentasi mendalam. Atau lebih mudahnya, afirmasi utuh bisa kita pahami dengan “memahami persoalan kalam atau akidah secara utuh.” Sedangkan berakidah (beriman), tidak semua orang beriman melalui argumen. Ada banyak jalan untuk beriman, argumen hanya salah satu dari jalan itu.
Pun, adanya argumen yang terlontar tidak menjamin sasarannya akan percaya, bahkan beriman. Keimanan itu urusan personal, apakah ingin menerima atau tidak. Sedangkan, ilmu kalam berfokus untuk mendatangkan argumen rasional nan logis akan kebenaran agama, tanpa bertanggung jawab atas keimanan orang lain.
Kemudian, argumen yang digunakan secara umum ada dua; demonstratif (burhân) dan dialektis (khithâbiy). Argumen yang pertama terdiri dari dua atau lebih premis yang bersifat yakin. Sedangkan yang kedua terdiri dari premis yang bersifat zhann. Argumen demonstratif adalah dialektika utama dalam ilmu kalam, karena argumennya disusun dengan cara akademik dan menggunakan bahasa akademik. Argumen ini yang banyak memenuhi literatur ilmu kalam.
Adapun argumen kedua, kurang digunakan oleh para ulama kalam. Karena ilmu akidah memiliki postulat yang bersifat yaqîn dan argumen dialektis bersifat zhann. Namun, jika ilmu kalam disampaikan ke tengah masyarakat awam, maka argumen yang digunakan adalah jenis argumen kedua ini; dengan bahasa yang tidak terlalu ketat dan berat. Ini mengindahkan sabda Nabi Saw.:
أمرت أن أخاطب الناس على قدر عقولهم
“Saya diperintahkan untuk berbicara kepada manusia dengan kadar kemampuan akal mereka.” (HR. Al-Dailami: 1611).
Keempat, frasa “dan menghadang syubhat…” ini menunjukkan bahwa ketika ajaran Islam telah diafirmasi dengan deretan penjelasan argumentatif, maka potensi untuk membantah syubhat itu terbuka. Yang dimaksud dengan syubhat adalah sesuatu yang menyerupai argumen absah, tapi dia tidak absah.
Membantah syubhat diletakkan di bagian kedua untuk menunjukkan bahwa hal yang lebih penting dan prioritas dari sekadar membantah syubhat adalah afirmasi. Pun, bantahan tidak bisa didatangkan jika tidak mengetahui asas akidah. Bagaimana caranya membela sesuatu yang tidak kita ketahui dengan benar?
Kelima, walaupun definisi ini hanya menyebutkan dua saja manfaat dari mempelajari ilmu kalam, bukan berarti manfaat lainnya ternafikan. Hanya saja, menunjukkan bahwa dua manfaat ini yang paling dominan didapatkan.
Sebenarnya masih ada banyak lagi definisi lain yang didatangkan ulama dengan redaksi yang berbeda, seperti yang dilakukan oleh Imam Al-Sanusi dan Ibnu ‘Urfah. Tapi, dua definisi ini sudah cukup untuk memberikan gambaran umum dan ini juga definisi yang populer.
Objek Kajian
Sebelum masuk lebih lanjut ke dalam objek kajian ilmu kalam, perlu dicatat bahwa objek kajian dari sebuah ilmu adalah aksiden esensial (al-‘awâridh al-dzâtiyyah). Sederhananya, ini adalah kekhususan yang dimiliki oleh ilmu dan sifatnya esensial. Dia bukan esensi ilmu itu sendiri, melainkan aksidennya, bukan juga selain ilmu itu sendiri.
Jika merujuk pada definisi pertama, maka kita bertemu pada satu istilah yang disebut dengan al-ma’lȗm yang menjadi objek kajian ilmu kalam. Ini mencakup segala yang ada dan segala yang tidak ada. Tapi, dibatasi dengan satu perspektif; bertujuan untuk mengafirmasi akidah agama Islam atau menjadi wasilah untuk afirmasi itu.
Al-ma’lȗm bukan esensi ilmu. Karena ilmu satu hal, al-ma’lȗm (sesuatu yang diketahui) adalah hal lain. Namun, al-ma’lȗm dari segi perspektif yang disebutkan di atas, tidak dimiliki selain ilmu kalam. Makanya kita bisa mengatakan bahwa al-ma’lȗm bukan esensi ilmu kalam, bukan juga selain ilmu kalam.
Dalam sebagian literatur ilmu kalam, ada yang secara gamblang menyebut Dzat Allah Swt. yang menjadi titik sentral pembahasan ilmu kalam. Begitu juga Nabi Saw. dan segala yang diberitakan melalui keduanya. Ada yang keberatan dengan mendatangkan hadis:
تفكروا في آلاء الله ولا تتفكروا في الله
“Pikirkanlah ciptaan Allah dan jangan pikirkan Dzat Allah” (HR. Al-Thabrani: 6319).
Padahal, tidak ada satupun ulama kalam Asy’ariyyah dan Maturidiyyah yang membahas Dzat Allah dalam kitab kalam. Pun, ketika mereka membahas bab ketuhanan (ilahiyyat), yang dibahas adalah sifat Allah, bukan Dzat. Ini seperti yang ditulis oleh Imam Al-Amir dalam Hâsyiyah Al-Amîr ‘ala Ithâf Al-Murîd bi Jauharah Al-Tauhîd tentang frasa “Dzat Allah” dalam objek kajian ilmu kalam:
قوله: (ذات الله)؛ أي: من حيث إنها قديمة مخالفة للحوادث… إلى آخره
“Ucapannya (mushannif Ithâf Al-Murîd): (Dzat Allah)‒potongan definisi ilmu tauhid‒; yakni dari segi Dia itu qadîm, berbeda dari makhluk, dan seterusnya.” (Al-Amir Al-Kabir, Hasyiyah Al-Amîr ‘ala Ithâf Al-Murîd bi Jauharah Al-Tauhîd, Damaskus: Dar Al-Taqwa, Vol: I, Hal: 308).
Kalau kita jeli melihat frasa yang digunakan oleh Imam Al-Amir, maka kita akan melihat patahan diksi “dari segi..”. Ini menunjukkan bahwa meskipun digunakan diksi “Dzat Allah” tapi yang dimaksud “Allah sebagai”. Dengan kata lain, kita tidak membahas Dzat Allah apa adanya, tapi membahas Allah sebagai entitas qadîm, beda dari makhluk, kekal mutlak, dan lain sebagainya.
Seandainya pihak keberatan menerima ini, mereka akan mengatakan bahwa ulama kalam berusaha membahas hakikat sifat Allah, padahal yang mengetahui sifat Allah adalah Allah sendiri. Jika mereka berkata demikian, maka Imam Al-Amir sudah menjawab ini:
قوله: (وصفاته)؛ أي: من حيث تقسيمها لنفسي وسلبي ومعان ومعنوية, والمتعلق لعام التعلق وخاصه, وقديمه وحادثه..
“Ucapannya (mushannif Ithâf Al-Murîd): (Sifat Allah)‒potongan definisi ilmu tauhid‒; yakni dari segi klasifikasi (sifat) menjadi nafsiyyah, salbiyyah, ma’ani, dan ma’nawiyyah. (Juga, dari segi) ta’alluq umum dan khusus, tentang qidam dan hudȗtsnya (ta’alluq sifat itu).” (Al-Amir Al-Kabir, Hasyiyah Al-Amîr ‘ala Ithâf Al-Murîd bi Jauharah Al-Tauhîd, Damaskus: Dar Al-Taqwa, Vol: I, Hal: 308).
Kalaupun mereka menerima ini, mungkin ada pertanyaan; jika memang ulama kalam tidak membahas hakikat sifat, lantas kenapa ada definisi sifat dalam kitab mereka? Bukankah mereka mendefinisikan berdasarkan hakikat? Ulama kalam tidak pernah mendefinisikan sifat Allah dengan definisi analitik atau esensial yang mengungkap hakikat sifat Allah. Mereka hanya mendefinisikan dengan deskripsi yang berdasar pada ayat dan hadis mutawatir, tanpa menyentuh hakikat sifat. Dengan kata lain, ulama kalam menggunakan rasm dalam berbicara sifat, bukan hadd. Maka, tuduhan bahwa ulama kalam membicarakan hakikat sifat Allah tidak bisa diterima.
Justru, ulama kalam sendiri yang mengafirmasi bahwa ketidaktahuan kita terhadap hakikat Allah adalah pengetahuan; pengetahuan bahwa kita tidak mengetahui hakikat Allah. Maka, perlu digarisbawahi bahwa pembahasan yang ada dalam ilmu kalam itu terfokus terhadap apa yang wajib, mustahil, dan boleh kepada Allah maupun utusan-Nya. Bukan hakikat Allah. Ini kembali menegaskan apa yang telah diafirmasi pada paragraf sebelumnya.
Dari objek kajian ini, lahirlah tiga isu atau bab besar dalam ilmu kalam; ilahiyyat (ketuhanan), nubuwwat (kenabian), dan sam’iyyât (hal gaib). Ada juga yang mencukupkan pada pembahasan ketuhanan dan kenabian. Alasannya, jika sudah membenarkan apa yang datang dari Allah dan Rasul-Nya, maka kita pasti akan mempercayainya. Ini seperti yang dilakukan oleh Imam Al-Sanusi pada Al-Hafîdah.
Namun, ulama menambahkan pembahasan sam’iyyat sebagai pelengkap (takmîlan) akan bab ilmu kalam. Ini juga sebagai upaya mencegah distorsi terhadap konsep agama, seperti anggapan bahwa dajjal adalah raksasa yang bermata tiga. Padahal, dajjal merupakan manusia keturunan anak Adam yang diberikan istidrâj dan muncul di akhir zaman.
Dari segi urutan, tentu memulai dari pembahasan ketuhanan memiliki alasan rasional. Sebab, bagaimana caranya percaya akan keberadaan Nabi jika sejak awal tidak percaya akan keberadaan Tuhan? Dan bagaimana caranya percaya persoalan akhirat jika tidak percaya bahwa Nabi itu ada dan mustahil berbohong? Sistematika seperti ini sangat berpengaruh juga dalam berdebat dengan kaum ateis, sebagaimana yang pernah kami tulis dalam salah satu tulisan.
Ulama kalangan muta’akhirîn kemudian menambahkan pembahasan rasionalitas (‘aqliyyat) dalam ilmu kalam sebagai pengantar bab ketuhanan, seperti al-umȗr al-‘ammah dan al-maqȗlât. Alasannya, postulat yang kita percayai sebelum percaya wahyu sebagai sumber kebenaran adalah akal. Karena untuk mengafirmasi bahwa wahyu adalah sumber kebenaran otoritatif, diperlukan akal untuk itu. Jika kita mengafirmasi wahyu dengan wahyu, maka akan terjadi daur. Ini sebagaimana yang telah dibuktikan kemustahilannya dalam salah satu tulisan.
Tapi, bukan berarti ulama Asy’ariyyah dan Maturidiyyah menuhankan akal. Melainkan, adil terhadap akal dan menunjukkan bahwa tidak ada ajaran agama yang bertentangan dengan akal. Mereka tidak zalim terhadap akal, sebagaimana yang dilakukan kaum tekstualis dan tidak juga zalim terhadap wahyu, sebagaimana yang dilakukan kaum liberal. Mereka memberikan porsi pas terhadap akal dan wahyu. Maka tidak mengherankan jika kedua mazhab ini mengkaji hakikat, ruang, dan batas bagi akal dan wahyu. Bagi kedua mazhab ini, jika akal adalah kebenaran, maka wahyu juga kebenaran. Kebenaran tidak akan menolak kebenaran yang lain, melainkan saling menguatkan.
Manfaat dan Tujuan
Jika kita berbicara tentang asas ilmu, manfaat dan tujuan, alias visi ilmu itu menjadi hal yang tidak terpisahkan. Perbedaannya jelas dan tidak perlu dibahas.
Manfaat ilmu kalam itu bisa dibagi menjadi dua; 1) Manfaat dunia. 2) Manfaat akhirat. Manfaat dunia itu berupa perbuatan kita bisa dipenuhi dengan nilai-nilai tauhid dan mendapatkan ketenangan. Semisal ketika ditikung nikah oleh orang lain dalam masalah perjodohan. Kita bisa tenang dengan meyakini bahwa si dia bukan jodoh kita dalam realitas hakiki (fi nafs al-amr), melainkan ada orang tepat yang belum sempat kita lamar. Begitu juga ketika doa tidak dikabulkan, kita bisa yakin bahwa doa itu akan digantikan dengan yang lebih baik kemudian hari atau diganti dengan yang terbaik di akhirat. Ketenangan seperti ini berdampak positif untuk psikologi manusia. Sedangkan manfaat akhirat yang bisa didapatkan adalah selamat dari siksa neraka karena syirik dan karena buruknya akidah.
Ini bisa menjadi jawaban bagi orang yang menduga bahwa ilmu kalam atau akidah itu tidak ada kaitannya dengan kehidupan dunia. Justru dengan meyakini prinsip dasar keimanan dengan penghayatan yang dalam, kita bisa hidup di dunia dengan tenang.
Dalam kehidupan juga, kita bisa dengan ikhlas melakukan sesuatu karena ajaran agama. Sebab, kita meyakini bahwa dengan ikhlas, kita bisa mendapatkan sesuatu yang lebih baik daru Tuhan. Tentu, ketenangan ini bisa kita dapatkan setelah melakukan banyak afirmasi, sampai tahap afirmasi bahwa apapun yang disampaikan wahyu, baik dari Al-Qur’an dan hadis sebagai sebuah kebenaran, maka kita akan menerima ikhlas sebagai aktivitas vertikal-horizontal yang logis.
Sedangkan tujuan ilmu ini, ingin mengeluarkan kita dari taklid dalam akidah. Sebab, ada banyak ayat yang memerintahkan untuk berpikir. Tidak ada orang yang bernalar sehat menolak keberadaan Tuhan, apalagi dengan deretan argumen rasional. Selain itu, iman orang yang bertaklid dalam akidah itu diperselisihkan. Ada yang mengatakan dia kafir karena tidak berpikir. Ini pandangan Muktazilah. Sedangkan Ahlussunnah mengatakan dia tetap beriman. Namun, ada yang berpendapat, walaupun beriman, dia berdosa karena tidak menggunakan akalnya untuk beriman.
Kenapa harus menggunakan akal? Karena dengan menggunakan akal, kita bisa yakin dengan kritis. Yakin yang dimaksud, bukan “sekadar yakin” dalam penggunaan istilah umum masyarakat Indonesia. Yakin dalam perspektif ulama kalam adalah pengetahuan yang bersifat tegas, sesuai dengan realita, dan bisa dibuktikan dengan argumen. Dan ajaran yang ada dalam Islam, tidak ada yang bertolak belakang dengan hukum akal. Ini agar kita tidak mudah ragu terhadap ajaran agama dan keteguhan hati semakin kuat. Hal ini bisa terjadi jika afirmasi akidah selesai dilakukan.
Tujuan selanjutnya adalah membantah syubhat. Ini sebagaimana yang terdapat dalam definisi deskriptif di atas. Tentu ada banyak tudingan miring terhadap agama, seperti agama mengajarkan kekerasan, Nabi itu pembohong, akhirat hanya dongeng, dan lain sebagainya. Untuk membantah ini, perlu untuk mendalami ilmu kalam dan ilmu yang menjadi pengantarnya. Jika tidak, kita tidak bisa membantah. Kalaupun memaksakan diri untuk membantah, argumen yang dibangun itu lemah dan sangat mudah dibantah.
Tujuan seperti ini sangat diperlukan hari ini. Karena orang yang memahami agama Islam sampai seluk-beluknya sangat terbatas. Mana lagi tradisi dialektika keilmuan Islam dalam tatanan masyarakat yang perlahan mulai terkubur dengan kebodohan. Maka dari itu, ilmu ini diperlukan untuk melawan kebodohan masyarakat terhadap ajaran agama dan memunculkan kembali mutiara keilmuan itu.
Wallahu a’lam