Pernahkah Anda berpikir, kenapa rukun Islam hanya lima? Kenapa bukan sepuluh? Kenapa kalam terbagi menjadi tiga? Kenapa kemungkinan yang dihasilkan positif dan negatif hanya empat? Dan lain sebagainya. Jika tiga, apa kaitan tentang konsep universal dan partikularnya?
Pada tulisan-tulisan sebelumnya, saya sudah menyinggung bagian ini. Istilah untuk menentukan batas tertentu tertentu itu disebut hashr. Hashr, bisa diartikan sebagai batas. Ada definisi yang dipakai oleh Imam Al-Jurjani dalam kitab Al-Ta’rifât–nya:
عبارة عن إيراد الشيء على عدد معيين
“Sebuah istilah tentang sesuatu (yang berupa kesatuan) yang dibagi menjadi jumlah tertentu (terbatas)”.
Untuk lebih memhami definisi tersebut, anggaplah Anda menemukan makhluk yang bernama meja. Ternyata ketika Anda perhatikan, meja ini memiliki pembagian menjadi beberapa bagian seperti papan, kayu, kaki meja, dan catnya. Nah, yang menjadi pertanyaan lagi, ini pembagiannya seperti apa? Atau lebih jelasnya, pembagian ini bentuknya kull dan ajza’ (keseluruhan/satuan dan bagian-bagian) ataukah kulliy dan juz’iy (konsep universal dan partikular)? Jika demikian, apa alasannya batasnya seperti itu?
Dengan kata lain, ketika kita melihat sebuah satuan lalu kita ingin membaginya ke beberapa bagian, maka pembagiannya itu ada beberapa jenis dan ada juga sebab-sebabnya mengapa hanya sekian atau segitu saja. Apa saja itu? Jawaban dari pertanyaan itu akan kita temukan pada tulisan ini.
Tentang hashr ini, kita bisa melihatnya dengan dua aspek; 1) Dari segi asal usulnya. 2) Dari segi sebab pembagiannya.

- Berdasarkan Jenisnya (𝒃𝒊’𝒕𝒊𝒃𝒂𝒓 nau’ihi)
Hashr ini terbagi dua lagi, yaitu; 1) Kulliy dan Juz’iy. 2) Kull dan Ajza’. Anda juga akan diperkenalkan istilah-istilah seperti kulliy dan juz’iy, kull dan ajza’ yang sekilas mirip tapi sebenarnya berbeda.
- 𝑲𝒖𝒍𝒍𝒊𝒚 𝒌𝒆 𝑱𝒖𝒛’𝒊𝒚
Untuk kedua istilah ini akan dibahas lebih lanjut di bab khususnya. Ini hanya sebagai pengantar saja.
Kulliy ini berarti universal. Biasanya kita mendapati definisi kulliy ini berbunyi:
ما يفهم من نفس تصوره معنى الاشتراك
“Sesuatu yang dipahami esensinya, bersamaan dengan makna paralel yang terkandung di dalamnya”.
Untuk lebih memahaminya, saya menulis di sebuah perangkat yang bernama handphone. Handphone ini memiliki banyak merek, seperti Samsung, Asus, Iphone, Xioami, dan lain-lain. Nah, handphone ini mencakup merek-merek tersebut, maka handphone ini namanya kulliy, karena diberlakukan konsep universal kepada individu-individu (afrad yang ada di bawahnya).
Contoh lainnya lagi, manusia. Manusia ini mencakup beberapa orang, seperti Anto, Agus, Naufal, Fathan, dan lain sebagainya. Manusia ini menjadi kulliy karena diberlakukan kepadanya konsep universal yang mengandung beberapa individu.
Kemudian juz’iy, ini berarti partikular. Biasanya kita mendapati definisi:
ما لا يفهم من نفس تصوه معنى الاشتراك
“Sesuatu yang esensinya tidak dipahami secara universal (tapi, dipahami partikular)”.
Jika sebelumnya sesuatu itu diberlakukan padanya konsep universal, maka kali ini adalah partikularnya. Untuk memahaminya, kita bisa melihat contoh-contoh seperti ketika disebutkan manusia, maka mancakup banyak orang, seperti Fathan, Anto, Agus, dan lain sebagainya. Jika manusia adalah kulliy (universal), maka cakupannya (afrad-nya) disebut dengan juz’iy (partikular).
Seperti smartphone misalnya, diberlakukan padanya konsep universal yang mencakup Samsung, Iphone, Asus, Xiaomi, dan lain-lain, yang di mana masing-masing dari individu-individu (afrâd) ini dinamakan dengan juz’iy, sedangkan smartphone itu adalah kulliy.
Kulliy dan juz’iy ini menjadi satu pasang karena meninjau esensi dari segi makna universal dan partikularnya, sekali lagi, makna. Maka, pembagian kulliy ke juz’iy–nya adalah membagi konsep universal ke partikular. Seperti handphone yang universal tadi kita munculkan pembagiannya ke makna partikular seperti mereknya.
- 𝑲𝒖𝒍𝒍 𝒌𝒆 𝑨𝒋𝒛𝒂’
Perbedaan kull dan ajza’, dan kulliy dan juz’iy adalah sudut pandangnya. Jika kulliy dan juz’iy meninjau dari makna universal dan partikular, maka kull dan ajza’ meninjau dari segi satuan dan bagian-bagiannya. Untuk memahaminya, akan dijelaskan pada tulisan berikut ini.
Kull bisa dipahami sebagai “sesuatu yang utuh”. Sedangkan definisinya:
ما يتركّب من الأجزاء
“Sesuatu yang tersusun dari ajza’ (bagian-bagian)”.
Misalnya pada contoh sebelumnya. Jika contoh sebelumnya smartphone ditinjau dari segi makna universalnya (kulliy) maka kita akan melihat smartphone itu adalah sebuah satuan yang terdiri atas bagian-bagian. Smartphone itu terdiri dari LCD, RAM, baterai, memori, dan lain sebagainya. Smartphone inilah yang disebut satuan (kull), karena terdiri atas bagian-bagian.
Misalnya lagi, manusia. Manusia itu adalah satuan yang terdiri atas bagian-bagian. Bagian-bagian itu adalah tangan, kaki, kepala, mata, dan lain sebagainya. Manusia ini disebut kull karena terdiri dari bagian-bagian.
Tidaklah terbentuk manusia jika tidak ada bagian-bagiannya, sebagaimana smartphone. Begitu pula Islam yang tidak terbentuk jika rukun-rukunnya tak terpenuhi.
Jadi, kull ini tidak keluar dari definisi, yaitu sesuatu yang tersusun dari bagian-bagian (ajza’).
Adapun ajza’ merupakan jamak dari juz’ yang bermakna bagian. Ajza’ ini didefinisikan dengan:
ما يتركّب منها الكل
“Sesuatu yang darinya tersusun kull (satuan)”
Kita bisa melihat contoh sebelumnya seperti manusia yang merupakan satuan yang terdiri atas bagian-bagian. Bagian-bagiannya itu seperti tangan, kaki, kepala, mata, dan lain-lain. Bagian-bagian inilah yang disebut ajza’.
Atau sama dengan contoh sebelumnya, seperti smartphone. Smartphone itu terdiri dari bagian-bagian seperti LCD, RAM, memori, baterai, dan lain-lain. Bagian inilah yang disebut dengan ajza’ atau kalau satu bagian saja disebut dengan juz’.
Islam juga begitu, harus ada bagian-bagian tertentu untuk membentuk kesatuan Islam. Maka, bagian-bagian atau rukun-rukunnya itu disebut dengan ajza’ (bagian-bagian) Islam.
Maka, bagian ini menunjukkan bahwa satuan itu dibagi dari satuan (kull) kepada bagian-bagian (ajza’). Seperti handphone yang tadinya kull kita munculkan pembagiannya ke LCD, RAM, memori, baterai, dan lain-lain.
Bagaimana membedakan kulliy, kull, juz’iy, dan juz’iyyah? Sederhananya, kita melihat kembali. Jika kita meninjau dari segi konsep, maka itu bagiannya kulliy dan juz’iy. Sedangkan, jika kita melihat dari segi satuan dan bagian-bagiannya maka itu adalah bagiannya kull dan ajza’.
- 𝑫𝒂𝒓𝒊 𝑺𝒆𝒈𝒊 𝑺𝒆𝒃𝒂𝒃 𝑷𝒆𝒎𝒃𝒂𝒈𝒊𝒂𝒏𝒏𝒚𝒂 (𝒃𝒊’𝒕𝒊𝒃𝒂𝒓 𝒕𝒂𝒒𝒔î𝒎𝒊𝒉𝒊)
Setelah kita mengetahui bahwa sesuatu itu terbagi baik dalam bentuk kulliy juz’iy maupun kull dan ajza’, maka kita akan melihat lagi, kenapa hanya segitu saja banyaknya? Misalnya bilangan terbagi menjadi genap dan ganjil, kenapa hanya dua itu? Kenapa tidak lebih? Maka sebab-sebabnya itu ada tiga; 1) ‘Aqliy. 2) Istiqrâ’iy. 3) Wadh’iy.
- ‘𝑨𝒒𝒍𝒊𝒚
‘Aqliy berarti secara akal. Kalau disatukan dengan judul pembahasan ini, maka secara sederhana bisa dikatakan “Sesuatu yang dibatasi berdasarkan jangkauan akal“. Untuk memahami maksudnya, saya akan memberi contoh sederhana. Ada berapa kemungkinan yang dihasilkan dari plus dan minus? Jawabannya hanya empat:
– Plus + Plus
– Plus + Minus
– Minus + Plus
– Minus + Minus
Pertanyaan berikutnya, kenapa hanya empat? Bukan tujuh? Jawabannya adalah batasnya memang seperti itu yang bisa dijangkau oleh akal. Biasanya kita menjawab dengan “Hashr ‘aqliyyah” untuk pertanyaan seperti ini.
Misalnya lagi, kenapa dalâlah hanya sebatas lafaz (lafzhiyyah) dan tanpa lafaz (ghairu lafzhiyyah)? Jawabannya karena kemungkinan-kemungkinan tersebut, secara akal hanya dua. Akal tidak menerima jika ada penunjukan selain dari kedua jenis dalalah itu.
Jadi, pembagian-pembagian atau kemungkinan-kemungkinan tersebut memang hanya seperti itu yang akal bisa jangkau, maka sampai begitu juga pembagian atau kemungkinan yang dihasilkan.
- 𝑰𝒔𝒕𝒊𝒒𝒓𝒂’𝒊𝒚
Istiqra’ berarti penelitian. Kalau disatukan maknanya dengan bagian ini, maka maknanya “Sesuatu yang dibatasi berdasarkan penelitian“. Untuk memahaminya, kita bisa melihat contoh yang kerap kita dapati. Misalnya, kenapa rukun Islam hanya lima? Bukan empat? Juga, bukan delapan supaya banyak kan? Jawabannya, berdasarkan penelitian para ulama dari Al-Qur’an dan Hadits, lalu lahirlah kesimpulan, memang hanya lima rukun Islam.
Misalnya lagi, di dunia ada berapa bahasa? Anggaplah umat manusia saat ini hanya menemukan enam ratus bahasa setelah melalui berbagai penelitian dan perjalanan panjang. Ada lagi pertanyaan baru, mengapa hanya enam ratus saja? Bukan tujuh ratus? Karena memang hasil penelitian umat manusia hanya enam ratus yang ditemukan. Dengan kata lain, batas bahasa -berdasarkan penelitian umat manusia- hanya ada enam ratus saja.
Jika Anda belajar nahwu, Anda menemukan pembagian kalam yang tiga; 1) Isim. 2) Fi’il. 3) Harf. Pertanyaannya, mengapa hanya tiga saja? Bukan empat? Jawabannya, berdasarkan penelitian para ulama melalui Al-Qur’an, hadits, syair-syair Arab, dan melalui naskah-naskah kuno Arab, memang hanya tiga itu saja lalu itulah yang disepakati.
Meskipun ada ulama yang membagi menjadi empat dengan menambahkan isim fi’il, maka tidak bertentangan dengan yang tiga bagian tersebut. Mengapa? Karena sama-sama hasil penelitian. Tapi, kalau berbicara mana yang kuat dan lebih bisa dipertanggungjawabkan, itu hal lain yang tidak bisa kita bahas saat ini.
Jadi, hashr yang istiqra’ ini, membatasi sesuatu berdasarkan jauhnya penelitian. Kalau ditemukan hanya tiga pembagian sesuatu, maka hanya dikatakan batasnya memang hanya tiga pembagiannya. Mengapa? Sekali lagi, itu hasil dari penelitian.
- 𝑾𝒂𝒅𝒉’𝒊𝒚
Wad’h itu berarti peletakan atau meletakkan. Maksudnya, memang ada yang letakkan seperti itu (ini Anda temukan pembahasan rincinya di pembahasan wadh’i secara tuntas). Jika kita gabung dengan bagian ini, maka maknanya “Sesuatu yang terbatas karena batasnya memang ditentukan oleh pihak atau otoritas yang membatasi“.
Misalnya, kenapa ketika seseorang menulis opini harus terdiri dari lima paragraf? (1 paragraf pembuka, 3 paragraf isi, dan 1 paragraf penutup dan kesimpulan). Karena sesuai dengan keinginan pihak yang menetapkan seperti itu. Bukan karena penelitian ataupun jangkauan akal, tapi sesuai keinginan yang meletakkan jumlah seperti itu.
Contoh lainnya, kalau kita membuka beberapa kitab nahwu dasar, hanya ditemukan empat saja tanda fi’il. Memangnya hanya empat? Dan kenapa hanya empat? Jawabannya, sesuai keinginan yang meletakkan itu. Tidak peduli apapun alasannya, yang jelas poin untuk bagian ini, memang batas pembagian sesuatu itu, sesuai dengan keinginan yang meletakkannya.
Kesimpulannya, hashr ini merupakan batas dari pembagian dari satuan. Kemudian, satuan ini terbagi menjadi beberapa bagian. Bentuk pembagian ini, ada dua kemungkinannya, kalau bukan kulliy ke juz’iy, maka kull ke ajza’. Adapun sebab-sebabnya, ada tiga; 1) ‘Aqliy. 2) Istiqra’iy. 3) Wadh’iy.
Wallahu a’lam