Pada tulisan sebelumnya sudah dijelaskan jenis-jenis luzum, di sana juga kita mengetahui seperti apa syarat-syarat dalâlah iltizamiyyah. Kali ini, saya akan membahas seperti apa keterkaitan antar dalâlah. Apakah ketika dalâlah muthabaqiyyah itu harus ada dalalah tadhammuniyyah dan iltizamiyyah? Atau tidak?
Sebelum lanjut terlalu dalam, saya mengingatkan anda untuk membaca bagian sebelumnya, Anda harus menguasainya dengan baik dan harus fokus. Karena bagian ini membutuhkan penalaran yang lebih.
Sebelum itu, kita akan sedikit menyinggung lafaz yang ditinjau dari segi makna. Lafaz bisa ditinjau dari segi dzat (bentuk) dan dari segi makna. Untuk yang pertama, kita akan membahasnya secara khusus di bab lafaz, sedangkan untuk lafaz yang ditinjau dari segi makna, dibahas di sini, karena memiliki keterkaitan yang sangat erat dan memiliki pengaruh dengan dalalah ini.

Lafaz, bisa memiliki makna bagian. Ketika lafaz memiliki makna bagian, maka itu namanya murakkab. Seperti misalnya rumah. Rumah itu memiliki bagian seperti pintu, jendela, lantai, dinding, dan lain sebagainya. Lafaz rumah yang ada di sini itu murakkab, sedangkan pintu, jendela, dinding, dan lain sebagainya adalah makna bagian dari rumah. Tapi, anggaplah rumah tidak memiliki makna bagian, artinya dapur, lantai, dinding, dan pintu itu, bukan bagian dari rumah tapi satu-kesatuan dengan rumah, maka lafaz seperti ini namanya basith (simpel).
Jadi, kita sudah menangkap ada lafaz yang murakkab, ada juga yang basith. Apa kaitannya dengan dalalah? Coba perhatikan, ketika lafaz itu basith, maka dalalah muthabaqah tidak mengandung dalalah tadhammuniyyah dan iltizamiyyah. Sedangkan ketika murakkab, maka dalalah muthabaqah itu “bisa” mengandung dalalah tadhammuniyyah dan dalalah iltizamiyyah atau hanya dalalah iltizamiyyah saja.
Untuk memudahkan, silahkan lihat bagan yang ada bersama nomor-nomor urutannya.

- 𝑰𝒍𝒕𝒊𝒛𝒂𝒎𝒊𝒚𝒚𝒂𝒉 + 𝑻𝒂𝒅𝒉𝒂𝒎𝒎𝒖𝒏𝒊𝒚𝒚𝒂𝒉 = 𝑴𝒖𝒕𝒉𝒂𝒃𝒂𝒒𝒂𝒉 (𝑱𝒊𝒌𝒂 𝒂𝒅𝒂 𝒂𝒏𝒂𝒌, 𝒎𝒂𝒌𝒂 𝒊𝒃𝒖𝒏𝒚𝒂 𝒑𝒂𝒔𝒕𝒊 𝒂𝒅𝒂).
Dalalah iltizamiyyah dan dalalah tadhammuniyyah itu meniscayakan dalalah muthabaqah. Mengapa? Jika dalalah muthabaqah adalah sosok ibu yang mengandung, maka dalalah tadhammuniyyah dan iltizamiyyah adalah janin yang dikandung oleh ibu tersebut. Jika ibu tersebut tidak ada, maka janinnya juga tidak ada. Jika ada janin, maka sosok ibu yang mengayomi janin itu ada. Begitupula dalalah iltizamiyyah dan dalalah tadhammuniyyah ada, maka sudah pasti ada dalalah muthabaqah.
Misalnya kata rumah. Rumah ini mencakup dapur, kamar mandi, dan lain sebagainya. Nah, bagian-bagian dari rumah seperti dapur dan kamar, tidak akan ada kecuali ada rumah.
- 𝑴𝒖𝒕𝒉𝒂𝒃𝒂𝒒𝒂𝒉 = 𝑻𝒂𝒅𝒉𝒂𝒎𝒎𝒖𝒏𝒊𝒚𝒚𝒂𝒉 & 𝑰𝒍𝒕𝒊𝒛𝒂𝒎𝒊𝒚𝒚𝒂𝒉 (𝑺𝒐𝒔𝒐𝒌 𝒘𝒂𝒏𝒊𝒕𝒂, 𝒃𝒊𝒔𝒂 𝒎𝒆𝒎𝒊𝒍𝒊𝒌𝒊 𝒂𝒏𝒂𝒌, 𝒃𝒊𝒔𝒂 𝒋𝒖𝒈𝒂 𝒕𝒊𝒅𝒂𝒌).
Dalalah muthabaqah bisa mengadakan dalalah tadhammuniyyah dan dalalah iltizamiyyah, tapi tidak harus. Artinya, dalalah muthabaqah, bisa ada sendiri tanpa harus mengadakan dalalah tadhammuniyyah dan iltizamiyyah. Kembali lagi ke analogi sebelumnya, jika muthabaqah adalah seorang ibu, mungkinkah sosok ibu itu tidak mengandung janin? Ya, bisa saja. Terserah si ibu itu, dia mau mengandung atau tidak. Begitu pula dalalah muthabaqah, terserah dia mau mengandung atau tidak. Tapi apakah bisakah muthabaqah itu mengandung keduanya? Iya, tentu bisa tapi tidak harus. Muthabaqah bisa hidup tanpa adanya tadhammuniyyah dan iltizamiyyah.
- 𝑴𝒖𝒕𝒉𝒂𝒃𝒂𝒒𝒂𝒉 = 𝑻𝒂𝒅𝒉𝒂𝒎𝒎𝒖𝒏𝒊𝒚𝒚𝒂𝒉, 𝒕𝒂𝒏𝒑𝒂 𝒊𝒍𝒕𝒊𝒛𝒂𝒎𝒊𝒚𝒚𝒂𝒉 (𝑺𝒐𝒔𝒐𝒌 𝒊𝒃𝒖, 𝒃𝒊𝒔𝒂 𝒎𝒆𝒎𝒊𝒍𝒊𝒉 𝒎𝒂𝒖 𝒑𝒖𝒏𝒚𝒂 𝒅𝒖𝒂 𝒂𝒏𝒂𝒌 𝒂𝒕𝒂𝒖 𝒔𝒂𝒕𝒖 𝒔𝒂𝒋𝒂).
Jika sebelumnya muthabaqah bisa mengadakan tadhammuniyyah dan iltizamiyyah, maka bagian ini hanya mengadakan dalalah tadahammuniyyah saja, tidak dengan iltizamiyyah.
Ini tidak lepas dari pembahasan sebelumnya tentang dalalah bayyin bi ma’na al-akhash. Karena secara akal, sangat memungkinkan ada lafaz yang memiliki makna utuh (muthabaqah) dan juga makna bagian (tadhammuniyyah) tapi, tidak memiliki lazim yang masuk kategori luzum bi ma’na al-akhash (iltizamiyyah), kalau tidak masuk kategori ini, maka tidak bisa menjadi dalalah iltizamiyyah, meskipun ada luzum-nya. Namun, tidak memenuhi syarat dalalah iltizamiyyah.
Misalnya kata rumah, memiliki makna utuh, memiliki juga makna bagian. Tapi, tidak memiliki makna lazim yang masuk dalam kategori bayyin bi ma’na al-akhash. Jika disebut api lalu terlintas panas, terus kalau disebut rumah, apa yang terlintas? Tidak ada. Walaupun bisa dilazimkan dengan hal-hal lain, tapi tidak masuk kategori luzum bayyin bi ma’na al-akhash. Maka dari itu, sangat mungkin ada dalalah muthabaqah, ia meniscayakan dalalah tadhammuniyyah, tapi tidak dengan dalalah iltizamiyyah. Karena luzumnya tidak memenuhi syarat dalalah iltizamiyyah yang luzumnya harus bayyin bi ma’na al-akhash.
Seperti sosok ibu, ia bebas memilih mau punya satu atau dua anak. Dalalah muthabaqah juga demikian, ia bebas memilih mau dalalah tadhammuniyyah dan iltizamiyyah, bahkan tidak memilih untuk tidak memiliki juga tidak masalah. Namun, dalam konteks ini, ia hanya memilih punya satu anak saja.
- 𝑻𝒂𝒅𝒉𝒂𝒎𝒎𝒖𝒏 𝒕𝒊𝒅𝒂𝒌 𝒎𝒆𝒏𝒊𝒔𝒄𝒂𝒚𝒂𝒌𝒂𝒏 𝒊𝒍𝒕𝒊𝒛𝒂𝒎, 𝒃𝒆𝒈𝒊𝒕𝒖𝒑𝒖𝒍𝒂 𝒔𝒆𝒃𝒂𝒍𝒊𝒌𝒏𝒚𝒂.
Pada bagian-bagian sebelumnya kita telah melihat bahwasanya selalu saja ketika ada dalalah tadhammuniyyah, maka ada iltizamiyyah atau sebaliknya. Sebenarnya, tidak demikian. Di poin ketiga, kita menyaksikan kalau tadhammuniyyah, bisa ada tanpa dalalah iltizamiyyah, begitu juga dalalah iltizamiyyah bisa ada tanpa muthabaqah.
Bisa saja ada lafaz, memiliki makna utuh (muthabaqah), memiliki luzum (Iltizamiyyah), tapi tidak memiliki bagian (tadhammun). Misalnya, ketika disebutkan api, maka terlintas di akal anda “api secara utuh” (muthabaqah) dan panasnya (iltizamiyyah). Namun, tidak memiliki bagian (tadhammun).
Saya rasa contoh ini tidak tepat, tapi poin yang ingin saya sampaikan, lafaz itu bisa saja memiliki makna utuh, juga lazim, tapi tidak meniscayakan makna bagian. Ya, tadhammun tidak harus ada gara-gara adanya iltizam, begitu pula iltizam yang tidak harus ada gara-gara adanya tadhammun.
- 𝑴𝒖𝒕𝒉𝒂𝒃𝒂𝒒𝒂𝒉 (𝑺𝒐𝒔𝒐𝒌 𝒘𝒂𝒏𝒊𝒕𝒂 𝒕𝒂𝒏𝒑𝒂 𝒂𝒏𝒂𝒌).
Pada poin-poin sebelumnya, kita melihat yang pasti ada itu adalah muthabaqah. Mengapa? Karena muthabaqah ini ibarat seorang wanita yang bisa memilih punya anak maupun tidak. Sedangkan yang bisa tidak ada adalah tadhammun dan iltizamiyyah. Pada bagian awal juga menyinggung tentang lafaz yang dibagi dari segi makna, bisa basith, bisa juga murakkab.
Jika seorang wanita melahirkan anak, maka statusnya sudah menjadi ibu. Begitu pula lafaz, ketika memiliki bagian makna, maka dia murakkab, seperti status seorang ibu. Sedangkan jika wanita belum memiliki anak, maka ia tidak menyandang sebutan “ibu”. Begitu pula lafaz, ketika ia tidak memiliki bagian makna, maka lafaz itu “basith” seperti wanita yang belum menyandang status ibu.
Maka wanita tanpa anak itu, bisa hidup. Sedangkan anak tanpa ibu, itu mustahil. Maka muthabaqah ini adalah wanita yang hidup tanpa anak.
Jika lafaz itu basith, maka tentu dia tidak memiliki bagian makna. Maka ketika lafaz memiliki keadaan seperti itu, maka sesuai dengan yang dimaksud dengan bagian kelima ini, muthabaqah yang ada sendiri tanpa ada makna bagian (tadhammun), juga lazim (iltizamiyyah).
Para teolog menghadirkan istilah jauhar al-fard, ini adalah istilah sekaligus lafaz yang memiliki makna utuh (muthabaqah), tapi tidak dengan makna bagian (tadhammun), tidak juga lazim (iltizamiyyah). Karena kata teolog, jauhar fard itu adalah sebuah esensi yang terkecil dan tidak terbagi (al-juz alladzi lâ yatajazza). Untuk jauhar ini, ada pembahasan khususnya beserta pembagiannya, tapi anda cukup tahu bahwa ada esensi yang tidak terbagi.
Tapi, di samping itu ulama berbeda pandangan mengenai hal ini. Seperti Imam Fakhruddin Al-Razi, yang memiliki pandangan bahwa ketika ada sesuatu yang dibayangkan, maka pasti ada sesuatu yang lain yang menyertai sesuatu itu, dan setidaknya kita tau bahwa sesuatu yang dibayangkan, bukan sesuatu yang lain atau dengan kata lain, dia bukan selain dia. Beliau ingin mengatakan kalau dalalah muthabaqah itu, selalu bersama dalalah iltizamiyyah.
Namun, pandangan ini dibantah karena tidak selamamya luzum itu masuk dalam kategori bayyin bi ma’na al-akhash, yang merupakan syarat dari dalalah iltizamiyyah. Bayangan kita terhadap sesuatu yang menyertai sesuatu, sedangkan yang menyertai sesuatu ini, menunjukkan bahwa sesuatu itu, bukan sesuatu yang lain.
Seolah-olah Imam Fakhruddin Al-Razi ingin mengatakan kalau syarat paling penting dalam luzum itu adalah bayyin, baik itu bermakna lebih umum (bil ma’na al-a’am) maupun bermakna lebih khusus (bil ma’na al-akhash).
Sementara, sebagaimana yang telah dijelaskan bahwa para ahli mantik sepakat kalau yang dijadikan dasar dalam ilmu mantik adalah luzum bayyin bil ma’na al-akhash. Sedangkan luzum bayyin bil ma’na al-a’am tidak bisa dijadikan dasar dalam ilmu mantik.
Jika anda melihat contoh-contoh dan beberapa analogi di atas, ada beberapa yang saya akui tidak sepenuhnya akurat. Tapi, melalui contoh-contoh itu, anda bisa memahami konsep-konsep dalam bab dalalah ini. Juga, bab dalalah ini bukan bagian dari ilmu mantik, begitu juga lafaz. Tapi dengan kedua bab ini, kita bisa memahami jantung dari ilmu mantik.
Wallahu a’lam