Ada sebuah klaim yang menyatakan bahwa mantik aristotelian dikritik habis-habisan oleh ulama Islam, khususnya Syekh Ibnu Taimiyyah –Rahimahullah-. Bahkan, ada dua buku yang ditulis khusus oleh beliau yang bertajuk Al-Radd ‘ala Al-Manthiqiyyin (Kritik Terhadap Logikawan) dan Intishâr li Ahl Al-Atsar yang dikenal dengan sebutan Naqd Al-Manthiq (Kritik Terhadap Mantik), di samping ada beberapa pandangan beliau di Majmȗ’ Al-Fatâwâ. Tulisan-tulisan beliau inilah yang dijadikan sebagai pijakan dasar untuk mengkritisi ilmu mantik.
Syekh Ibnu Taimiyyah sebagai seorang ulama, jelas kita hormati beliau. Sebab, beliau punya banyak jasa dalam pengetahuan dan tentu kita tidak meragukan bahwa beliau merupakan sosok berilmu. Salah satu sikap kita kepada orang berilmu adalah hormat. Akan tetapi, jika kita berbicara tentang kebenaran, tentu marwah kebenaran di atas otoritas apapun. Karena kebenaran tidak dikuasai oleh otoritas tertentu dan kebenaran itu independen. Jika kita hidup dalam dunia akademisi, jelas sikap kritis dengan asas skeptis metodis adalah sebuah keharusan kepada siapapun. Tak terkecuali Syekh Ibnu Taimiyyah. Bermuamalah dengan Syekh Ibnu Taimiyyah sebagai ulama dan pengkaji harus kita pisahkan. Sebab, dalam tulisan kali ini beliau adalah seorang pengkaji di balik hujanan argumennya. Maka dari itu, kita akan mencoba untuk “berdiskusi” dengan Syekh Ibnu Taimiyyah.
Sebagai pembanding, saya akan menghadirkan argumentasi Syekh Said Fodah dalam buku beliau yang bertajuk Tad’îm Al-Manthiq (Konsolidasi Ilmu Mantik) yang diekstrak ke bahasa Indonesia. Berhubung beliau memiliki otoritas dalam ilmu rasional. Hanya saja, saya tidak menyebutkan teks aslinya, melainkan memasukkan konteks ke dalam tulisan saja. Dengan kata lain, apapun yang menjadi pembanding ucapan Syekh Ibnu Taimiyyah, sebagian besarnya berasal dari tulisan Syekh Said Fodah dan beberapa tambahan yang perlu.
Kali ini, kita akan mencoba membuat dua garis besar pembahasan dalam tulisan ini; Pertama, sikap Syekh Ibnu Taimiyyah terhadap ilmu mantik secara umum. Kedua, Syekh Ibnu Taimiyyah memberikan isyarat terhadap ilmu mantik modern.
Bagian Pertama: Sikap Syekh Ibnu Taimiyyah
Sikap Syekh Ibnu Taimiyyah bisa kita lihat melalui dua lini; sikap umum dan khusus. Sikap umum yang dimaksud adalah tanggapan umum beliau. Sementara sikap khusus adalah isi kritikan beliau terhadap mantik aristotelian secara detail yang meliputi bab definisi, proposisi, bahkan sampai silogisme. Sikap khusus ini terlukis secara utuh dalam dua buku beliau yang penulis sebutkan di atas. Tapi, kita tidak akan larut pada sikap kedua beliau, karena akan banyak memakan banyak waktu. Maka, kita akan fokus ke sikap beliau secara umum.
Dalam Majmu’ Al-Fatâwâ beliau menulis:
أما ” كتب المنطق ” فتلك لا تشتمل على علم يؤمر به شرعا وإن كان قد أدى اجتهاد بعض الناس إلى أنه فرض على الكفاية وقال بعض الناس: إن العلوم لا تقوم إلا به كما ذكر ذلك أبو حامد فهذا غلط عظيم عقلا وشرعا. أما ” عقلا ” فإن جميع عقلاء بني آدم من جميع أصناف المتكلمين في العلم حرروا علومهم بدون المنطق اليوناني. وأما ” شرعا ” فإنه من المعلوم بالاضطرار من دين الإسلام أن الله لم يوجب تعلم هذا المنطق اليوناني على أهل العلم والإيمان. وأما هو في نفسه فبعضه حق وبعضه باطل والحق الذي فيه كثير منه أو أكثره لا يحتاج إليه والقدر الذي يحتاج إليه منه فأكثر الفطر السليمة تستقل به والبليد لا ينتفع به والذكي لا يحتاج إليه ومضرته على من لم يكن خبيرا بعلوم الأنبياء أكثر من نفعه؛ فإن فيه من القواعد السلبية الفاسدة ما راجت على كثير من الفضلاء وكانت سبب نفاقهم وفساد علومهم. وقول من قال إنه كله حق كلام باطل بل في كلامهم في الحد والصفات الذاتية والعرضية وأقسام القياس والبرهان ومواده من الفساد ما قد بيناه في غير هذا الموضع وقد بين ذلك علماء المسلمين.
“Adapun buku-buku ilmu mantik, itu tidak diisi dengan ilmu yang diperintahkan oleh syariat. Kalaupun ada yang berijtihad bahwa itu (mempelajari ilmu mantik) merupakan fardhu kifayah dan ia menyatakan: ‘Tidak ada ilmu yang eksis tanpanya’ sebagaimana yang disebutkan oleh Abu Hamid (Imam Al-Ghazali), maka itu salah besar secara akal dan syara’. Secara akal, semua orang berakal yang merupakan bagian dari mutakallimin, ilmunya terpisah dari mantik Yunani (dan tidak butuh ilmu mantik untuk memisahkannya). Dari sudut pandang syara’, secara aksiomatik dalam agama Islam, Allah tidak pernah mewajibkan belajar ilmu mantik Yunani, baik kepada orang berilmu maupun orang beriman. Adapun esensi mantik, sebagiannya benar, sebagiannya lagi batil. Yang benar di dalamnya itu banyak dan sebagian besar mantik itu tidak dibutuhkan. Dan yang dibutuhkan dalam takaran besar adalah fitrah sehat yang tidak ada dalam bayang-bayang mantik Yunani. Tidak ada gunanya bagi orang bodoh, tidak pula dibutuhkan orang cerdas. Mudarratnya ada pada orang-orang yang tidak menerima ilmu dari para Nabi yang lebih banyak manfaatnya. Di dalamnya (ilmu mantik) terdapat kaidah rancu yang tidak dipublikasi oleh orang-orang baik, juga ilmu mantik merupakan sebab kemunafikan dan rusaknya ilmu mereka. Maka, pendapat yang menyatakan bahwa ilmu mantik seluruhnya benar, maka itu adalah pendapat yang batil. Bahkan, pikiran-pikiran tentang definisi, sifat dzat, aksiden, jenis-jenis silogisme, argumen demonstratif, materi silogisme, merupakan bagian dari (sesuatu yang) rusak yang sudah kita jelaskan di tempat lain dan sudah juga dijelaskan oleh ulama muslim (mengenai kerancuannya).” (Ibnu Taimiyyah, Majmu’ Fatâwa, Beirut: Dar Kutub Al-‘Ilmiyyah, Vol: V, Hal 122).
Kalau kita membaca uraian di atas, akan serat dengan klaim. Sehingga kita harus menguji klaim-klaim yang didatangkan. Kita akan membagi menjadi beberapa poin lalu menguliti satu per satu dengan pisau analisa netral pada setiap klaimnya.
Klaim Pertama: Tidak Ada Perintah Belajar Ilmu Mantik
Kalau kita membaca ulang klaim Syekh Ibnu Taimiyyah, maka kita akan bertemu pada bagian lain yang membahas juga tentang bentuk silogisme:
أما ” البرهان ” فصورته صورة صحيحة وإذا كانت مواده صحيحة فلا ريب أنه يفيد علما صحيحا…
“Adapun argumen demonstratif, formatnya benar jika materi dari formatnya juga benar. Maka tidak diragukan kalau silogisme yang seperti ini menghasilkan kemajuan pengetahuan…” (Ibnu Taimiyyah, Majmu’ Fatâwa, Beirut: Dar Kutub Al-‘Ilmiyyah, Vol: V, Hal 119).
Setelah bagian ini disebutkan oleh Syekh Ibnu Taimiyyah, beliau memberikan pengecualian kalau silogisme itu keliru dalam dua bentuk; Pertama, silogisme tersebut tidak bisa memberikan bukti bahwa materi yang dicakup itu pasti. Kedua, jika silogisme diklaim sebagai satu-satunya sumber kebenaran. Tapi, pada poin kedua ini, beliau tetap mengakui kalau silogisme memberikan pengetahuan yang sifatnya yakin jika yang menghalanginya tidak ada (mâni’).
Namun, kalau kita melihat bagaimana ulama ushul dalam menggunakan silogisme induktif dalam meramu hukum, maka ulama ushul pasti melihat apakah materi yang dimasukkan ke silogisme itu sudah benar secara realis atau tidak. Juga ulama kalam ketika membangun argumen melalui silogisme, materinya berangkat dari istiqrâ’ (logika induktif). Biasanya, untuk membuktikan klaim secara komprehensif atau sebagian besar yang digunakan ulama kalam, pasti sesi pembuktian dilakukan secara panjang lebar.
Ini menunjukkan bahwa silogisme yang disasar oleh Syekh Ibnu Taimiyyah dalam kedua poin tersebut adalah silogisme yang tidak diamalkan oleh ulama ushul maupun ulama kalam. Ini pertama. Selanjutnya, ini menunjukkan sikap inkonsistensi terhadap klaim beliau sendiri; “Ilmu mantik tidak diisi dengan ilmu yang diperintahkan oleh syariat (untuk dipelajari)”. Sebab, dua poin setelah klaim bahwa argumen demonstratif akan cacat jika memenuhi dua poin yang disebutkan beliau. Jika tidak, maka sama saja beliau menganggap bahwa inti dari ilmu mantik menunjukkan kepada kebenaran.
Juga, hal aksioma dalam agama, Tuhan memerintahkan kita untuk berjalan menuju ilmu yang benar. Sementara, Syekh Ibnu Taimiyyah sendiri menyatakan kalau silogisme itu benar jika tidak ada cacat pada premisnya. Maka, ilmu mantik diperintahkan agama untuk dipelajari.
Negasi Logikawan Kemungkinan Besar Salah
Hal ini terlihat dalam klaim beliau:
هذا موضع ينبغي للمؤمن أن يتيقنه ويعلم أن هؤلاء القوم وغيرهم إنما ضلوا غالبا من جهة ما نفوه وكذبوا به لا من جهة ما أثبتوه وعلموه
“Ini adalah titik di mana seharusnya orang-orang beriman itu meyakini dan mengetahui bahwa kebanyakan orang-orang sesat itu dari sisi negasi dan pendustaan terhadapnya (titik ini). Bukan mengafirmasi ataupun diketahui” (Ibid).
Bagian ini adalah lanjutan dari klaim pertama. Karena ini disebutkan pada paragraf baru setelah beliau menyebutkan kedua poin penting itu. Di sini ada hal niscaya yang muncul dari klaim beliau; Pertama, hal yang diafirmasi oleh logikawan. Kedua, hal yang dinegasikan logikawan. Orang sesat karena menafikan sesuatu, sedangkan orang tidak sesat karena mengafirmasi sesuatu. Kalau beliau sudah mengakui bahwa ilmu mantik masih mengandung kebenaran, lantas bagaimana mungkin beliau berkata pada bagian lain bahwa ilmu ini tidak diperintahkan untuk dipelajari?
Selain itu, pernyataan beliau diperkuat dengan ungkapan beliau sendiri dalam mengungkapkan sikapnya terhadap ilmu mantik;
وأما هو في نفسه فبعضه حق وبعضه باطل
“Adapun ia (ilmu mantik), sebenarnya sebagiannya benar dan sebagiannya lagi batil”.
Ini menunjukkan bahwa beliau sendiri mengakui bahwa dalam ilmu mantik terdapat kebenaran.
Klaim Kedua: Kritik Terhadap Imam Al-Ghazali
Bagian yang dikritik oleh Syekh Ibnu Taimiyyah terhadap Imam Al-Ghazali adalah ketika beliau menyatakan bahwa ilmu mantik adalah asas bagi ilmu lainnya. Menurut Syekh Ibnu Taimiyyah, hal tersebut tertolak kalau menggunakan argumen rasional maupun syara’. Kita akan mencoba melihat sekali lagi, bagaimana jika kita membangun dialektika antara Syekh Ibnu Taimiyyah dan Syekh Said Fodah.
Argumentasi Rasional
Menurut Syekh Ibnu Taimiyyah, akal semua orang sifatnya independen dari ilmu mantik dan ketika orang-orang memisahkan ilmunya dari ilmu mantik, mereka tidak butuh ilmu mantik Yunani. Syekh Said Fodah mengkritisi pandangan Syekh Ibnu Taimiyyah dalam beberapa fragmen:
Pertama, Aristoteles termasuk orang berakal. Tapi, Aristoteles memisahkan ilmu yang diinisiasinya dengan ilmu mantik, menggunakan ilmu mantik yang disusunnya juga.
Kedua, Syekh Ibnu Taimiyyah sudah tahu, bahkan beliau sendiri menulis dalam buku-bukunya bahwa ulama kalam itu memiliki pendirian yang terpisah dari ilmu mantik, seperti dalam kitabnya Imam Fakhruddin Al-Razi, Imam Atsiruddin Al-Abhari, dan lain-lain. Juga, ketika mereka memisahkan ilmu kalam yang ditulisnya menggunakan ilmu mantik. Tapi, kenapa Syekh Ibnu Taimiyyah hanya sibuk mengkritisi ilmu mantik, tapi tidak menunjukkan kesalahan ilmu kalam yang terpengaruh dari ilmu mantik? Ini juga sekaligus akan membuktikan kesesatan yang lahir dari ilmu mantik. Namun, jika ternyata ada ilmu yang masih bergantung dengan ilmu mantik, tentu klaim Syekh Ibnu Taimiyyah menjadi batal.
Ketiga, para filusuf seperti Ibnu Sina, Al-Kindi, dan lain-lain ketika mereka menyusun ilmu dan filsafatnya masing-masing, mereka menggunakan mantik untuk menegaskan eksistensi ilmu dan filsafatnya secara independen.
Pemisahan ilmu itu butuh ilmu mantik. Sebab, sebuah ilmu butuh kerangka sistematis, istilah, dan mekanisme tersendiri. Misalnya, untuk memperkenalkan esensi ilmu yang bersangkutan, maka dibutuhkan definisi, klasifikasi, dan lain-lain. Untuk menjelaskan istilah khusus pada suatu ilmu, butuh definisi. Untuk menjalankan fungsi dari tiap bagian bab, butuh dengan tashdîq. Semua ini merupakan bagian dari ilmu mantik. Pada akhirnya, semuanya menggunakan mantik.
Perlu dicatat, jika yang dimaksud oleh Syekh Ibnu Taimiyyah dalam klaimnya “Orang-orang berakal tidak mempelajari ilmu mantik” adalah mereka tidak mempelajari ilmu mantik yang ditulis oleh orang Yunani, maka perlu diingat bahwa yang disasar di sini adalah bukan buku mantik yang ditulis oleh orang Yunani. Melainkan, kaidah ilmu mantik baik yang tertulis dalam buku maupun tidak.
Salah satu hal yang maklum dalam dunia Islam bahwa ulama Islam sudah banyak menulis buku mantik. Kaidah-kaidah yang sudah dibakukan dalam dunia Islam itulah yang digunakan oleh banyak ilmuwan Barat dalam bidang keilmuannya. Karena adanya buku mantik dalam dunia Islam, kita tidak punya lagi hajat untuk membaca buku mantik yang ditulis oleh orang Yunani. Maka lahirlah satu poin penting, pemisahan ilmu yang dilakukan oleh ulama Islam, butuh kepada kaidah mantik, tanpa butuh kepada buku-buku mantik Yunani. Mungkin, kita butuh tulisan khusus untuk menjelaskan perbedaan ilmu mantik sebelum dibersihkan dari pemikiran Yunani, ilmu mantik yang digunakan ulama Islam, khususnya ushuliyyun dan mutakallimun. Ini semua perlu dipeta-petakan, agar eksistensi ilmu mantik dengan beragam sifatnya semakin jelas. Semoga ada waktu untuk itu.
Akan tetapi, jika yang dimaksud oleh Syekh Ibnu Taimiyyah adalah semua orang berakal tidak butuh kepada esensi kaidah mantik untuk membuat ilmu itu terpisah dari ilmu lain, alias membuatnya menjadi independen, maka jelas klaim ini langsung tertolak. Alasannya, syakl pertama dalam silogisme dibutuhkan oleh manusia tanpa terkecuali. Adapun membahas tentang maddah atau materi yang dipakai dalam menyusun premis hanyalah wasilah. Kerusakan pada wasilah, tidak menafikan kebenaran format silogisme yang ada. Dari segi ini, klaim beliau menjadi batal.
Argumentasi Syariat
Syekh Ibnu Taimiyyah mengklaim bahwa Allah tidak mewajibkan hamba-Nya untuk belajar ilmu mantik. Hal ini kemudian dianggap kecacatan berpikir oleh Syekh Said Fodah karena beberapa alasan:
Pertama, jika Syekh Ibnu Taimiyyah menilai mantik tidak wajib dipelajari karena tidak adanya nash secara sarih yang menyebutkannya, maka klaim haram juga batal karena tidak ada nash yang menyebut keharamannya secara sarih. Karena bisa saja sesuatu itu disyariatkan melalui keumuman dan kemutlakan nash dan bisa juga melalui qiyas. Tidak harus ada nash yang menyebutkan secara eksplisit.
Kedua, jika seandainya Syekh Ibnu Taimiyyah baru menyatakan sesuatu itu disyariatkan jika ada nashnya secara eksplisit, maka ini meniadakan keumuman nash dan menafikan qiyas. Padahal, kedua hal ini merupakan sesuatu yang maklum di tengah ulama.
Ketiga, jika seandainya Syekh Ibnu Taimiyyah, paling minimal menyatakan ada sepercik kebenaran dalam ilmu mantik, maka beliau tidak bisa mengingkari bahwa sepercik kebenaran itu disyariatkan untuk dipelajari. Bagaimana mungkin syariat mengharamkan pemeluknya untuk berjalan menuju kebenaran?
Maka di sini jelas, klaim beliau tentang tidak wajibnya mempelajari ilmu mantik tertolak.
Klaim Ketiga: Sebagiannya Benar dan Sebagiannya Batil
Syekh Ibnu Tamimiyyah menulis:
وأما هو في نفسه فبعضه حق وبعضه باطل
“Adapun ia (ilmu mantik), sebenarnya sebagiannya benar dan sebagiannya lagi batil”
Ketika beliau menyebut diksi “fi nafsihi” yang dimaksud adalah hakikatnya; apa adanya dan sebagaimana adanya. Artinya, beliau menyasar esensi ilmu mantik. Apa esensi ilmu mantik? Esensi ilmu mantik adalah kumpulan kaidah dan hukum yang jika diikuti manusia, maka manusia akan terjaga dari kesalahan. Ini esensi ilmu mantik. Jika memang makna yang seperti ini disasar oleh beliau, maka beliau tidak bisa lagi melayangkan klaim bahwa ilmu mantik itu sebagiannya benar dan sebagiannya salah. Sebab, bagaimana sesuatu yang salah menjauhkan dari kesalahan? Justru sesuatu yang menjauhkan dari kesalahan adalah kebenaran. Jika sesuatu yang menjauhkan dari kesalahan adalah kebenaran, maka ilmu mantik secara mutlak benar. Bagaimana mungkin suatu kebenaran tidak sesuai dengan syariat? Ini jika kita melihat esensi kaidah berpikir.
Adapun jika kita melihat kaidah yang tertuang dalam bentuk tulisan dalam buku, maka tentu kita tidak bisa menyatakan bahwa semua yang tertulis itu benar secara mutlak. Sebab, sesuatu yang tertulis merupakan pantulan dari sesuatu yang lain, baik itu konkrit ataupun abstrak. Bisa saja pantulan tulisan itu tidak mencerminkan bayangan sempurna. Kita bisa saja menemukan kesalahan dalam penulisan kaidah, entah kesalahan dalam mengemas isi kaidahnya atau menggunakan redaksi yang kurang tepat. Namun, kesalahan dalam tulisan tidak meniscayakan kesalahan pada hakikat ilmu mantik itu. Karena letak kesalahannya bukan pada ilmu mantiknya tapi terletak pada media antara esensi ilmu mantik dan wujud tulisan.
Analoginya, ada orientalis yang menulis tentang Islam. Tapi, wajah Islam yang dikemas dalam tulisannya merupakan wajah buruk dan kental dengan terorisme. Apakah wajah Islam yang dilukiskan itu bisa merepresentasikan Islam sebagaimana adanya? Jelas, tidak. Sesuatu ada menurut esensinya adalah satu hal. Sementara ekspresi atau penjelasan mengenai sesuatu melalui tulisan merupakan hal yang lain; butuh verifikasi ulang (tahqiq).
Di sini kita perlu bedakan dua titik kritis; esensi kaidah mantik dan kaidah mantik yang tertulis. Yang pertama sudah dibahas pada paragraf di atas. Sedangkan yang kedua juga sibahas pada paragraf setelahnya. Masing-masing bagian memiliki konsekuensinya masing-masing.
Kesimpulannya, klaim Syekh Ibnu Taimiyyah terhadap esensi ilmu mantik yang mengandung kebenaran dan selebihnya mengandung kebatilan menjadi tertolak.
Klaim Keempat: Kalaupun Ilmu Mantik itu Benar, Maka Tidak Dibutuhkan
Syekh Ibnu Taimiyyah menulis:
وأما هو في نفسه فبعضه حق وبعضه باطل والحق الذي فيه كثير منه أو أكثره لا يحتاج إليه
“Adapun esensi mantik, sebagiannya benar, sebagiannya lagi batil. Yang benar di dalamnya itu banyak dan sebagian besarnya itu tidak dibutuhkan”
Kita perlu menguji klaim “Yang benar itu banyak dan sebagian besarnya tidak dibutuhkan”. Jika ini ditujukan kepada orang awam, ini dilihat lagi. Apakah yang dimaksud adalah detail-detail kecil ilmu mantik atau secara umum. Jika yang dimaksud adalah bagian detail kecil, maka kita bisa saja mengiyakan klaim beliau. Akan tetapi jika yang dimaksud adalah secara umum, maka kita perlu menolaknya. Sebab, hukum dasar berpikir itu diterima oleh orang awam, semisal dua hal yang kontradiktif tidak mungkin bersatu. Kaidah seperti ini jelas dibutuhkan.
Adapun jika yang dimaksud adalah ilmu mantik ini tidak dibutuhkan pada banyak waktu dan konteks, ini perlu diperinci. Jika yang dimaksud adalah orang yang menjurus dalam ilmu ‘aqliyyat (rasional), jelas mereka selalu butuh mantik untuk setiap waktu. Adapun jika yang dimaksud adalah orang awam, jelas mereka butuh pada sebagian kulliyât saja. Tapi, kalau kita mau lebih teliti melihat realitas, sebenarnya mereka juga menggunakan ilmu mantik dalam bentuk implementatif tanpa mempelajarinya.
Klaim Kelima: Orang Lebih Membutuhkan Fitrah Sehat
Berdasarkan klaim beliau di Majmȗ’ Al-Fatâwâ, orang tidak membutuhkan ilmu mantik walaupun dalam ilmu mantik itu sendiri benar. Tapi, orang lebih membutuhkan fitrah yang sehat. Kita perlu menguji lagi pemikiran beliau secara netral dan objektif.
Jika yang beliau maksud dalam frasa “fitrah sehat” itu adalah esensi kaidah mantik yang tidak terekstrak dalam bentuk tulisan, maka klaim beliau tentang independensi mantik dari fitrah sehat perlu dipertanyakan. Bagaimana mungkin fitrah sehat itu sendiri adalah esensi kaidah mantik, sementara beliau memisahkan itu? Pemisahan itu terdapat di teks:
والحق الذي فيه كثير منه أو أكثره لا يحتاج إليه والقدر الذي يحتاج إليه منه فأكثر الفطر السليمة تستقل به
“Dan kebenaran yang terdapat di dalam ilmu mantik, banyak atau lebih, tidak dibutuhkan. Justru yang dibutuhkan adalah fitrah sehat yang independen dari ilmu mantik”.
Dari mana kemungkinan bahwa yang beliau maksud dari fitrah sehat adalah esensi ilmu mantik itu sendiri? Jawabannya, esensi kaidah ilmu mantik itu tidak bisa ditolak oleh akal secara aksiomatik. Misalnya membedakan antara komputer dan garpu, itu menggunakan kaidah mendasar dalam ilmu mantik; qânȗn al-dzâtiyyah (hukum identitas). Jika hal aksiomatik seperti ini dinyatakan sebagai fitrah sehat yang terdapat dalam naluri manusia, maka untuk apa beliau menyatakan “tastaqillu bihi” (independen dari ilmu mantik)? Ini kemungkinan pertama.
Kemungkinan kedua, jika ternyata yang dimaksud fitrah sehat itu independen dari ilmu mantik yang tertulis dalam buku mantik, lalu setelah itu dinyatakanlah bahwa buku mantik itu bukanlah ilmu mantik itu sendiri, melainkan dia hanya pantulan dari esensi ilmu mantik. Akan tetapi ilmu mantik itu sendiri merupakan esensi kaidah yang digunakan manusia saat dia berpikir, terlepas tertulis dalam buku atau tidak, maka perlu dipertanyakan, jika memang beliau mengakui ilmu mantik seperti ini, lantas untuk apa beliau membedakannya dari fitrah sehat? Padahal, kebutuhan terhadap ilmu mantik sendiri diakui implementasinya saat berpikir.
Adapun jika yang dimaksud dengan fitrah sehat adalah sesuatu yang terpisah dari esensi ilmu mantik secara independen dan tidak butuh terhadap penalaran apapun, maka semua orang berakal menolaknya. Sebab, untuk apa ada akal jika tidak digunakan? Dan kenapa manusia tidak diberikan fitrah sehat tanpa akal saja jika demikian?
Klaim Keenam: Ilmu Mantik Dalang Kerusakan
Klaim ilmu mantik sebagai dalang kerusakan terdeteksi di tulisan beliau:
وكانت سبب نفاقهم وفساد علومهم
“Dan kaidah-kaidah ilmu mantik itu merupakan sebab kemunafikan dan kerusakan”.
Perlu kita ketahui bersama bahwa relasi sebab-akibat itu harus bersifat luzumiyyah alias niscaya. Seandainya sebab-akibat itu diulang, maka akan menghasilkan kesimpulan yang sama atau kemungkinan besar sama. Jika ternyata relasinya ittifaqiyyah atau sekadar kebetulan saja, maka ini tidak bisa dijadikan pegangan. Misalnya ada orang yang setiap harinya jalan-jalan keliling kota dan sehari sebelum ujian pun demikian. Tapi, ketika hasil ujiannya keluar, dia lulus. Apakah kita bisa menyatakan bahwa sebab kelulusannya adalah aktivitas keliling kotanya yang rutin? Tentu tidak. Adapun kelulusannya, hanya kebetulan. Seandainya itu diulangi, tidak ada yang bisa menjamin kelulusannya.
Begitu juga dalam ilmu hadis. Jika ada ulama hadis yang terkontaminasi akidah tajsîm atau mengikuti pemikiran akidah yang menyimpang, maka kita tidak bisa menyatakan bahwa penyebab terjadinya hal tersebut adalah karena belajar ilmu hadis, tapi ada hal lain yang lebih relevan, seperti buruknya dalam berpikir atau mentadabburi ilmu akidah. Juga, dalam ilmu mantik demikian. Jika ada keburukan yang timbul dari sana, jelas bukan karena ilmu mantiknya, tapi ada sesuatu yang lain dan lebih relevan menjadi sebabnya. Bisa saja karena daya nalarnya yang kurang, kurang mengindahkan kaidah atau ketentuannya, dan lain-lain.
Kurang lebih demikian “analisa lewat” mengenai sikap Syekh Ibnu Taimiyyah terhadap ilmu mantik secara umum. Semoga Allah mengampuni dan merahmati Syekh Ibnu Taimiyyah dan semoga Allah menjaga dan memanjangkan umur Syekh Said Fodah.
Bagian Kedua: Isyarat Mantik Modern
Pada uraian di atas, kita sudah melihat bagaimana sikap beliau terhadap ilmu mantik. Tak lain adalah menolaknya. Tapi, sadar atau tidak, kita juga temukan tulisan beliau di buku yang sama untuk memperbarui metode ilmu mantik dengan metode empiris dan eksperimental. Ini bisa kita lihat bersama pada ungkapan beliau:
وأيضا فإذا كان لا بد فيه من مقدمة كلية فإن كانت نظرية افتقرت إلى الأخرى وإن كانت بديهية فإذا جاز أن يحصل العلم بجميع أفرادها بديهية فما المانع أن يحصل ببعض الأفراد وهو أسهل.
“Juga, jika memang silogisme itu harus tersusun dengan premis universal, bisa saja dia spekulatif dan butuh kepada sesuatu yang lain (yaitu pembuktian) ataupun aksiomatik. Jika silogisme itu dapat menginisiasi pengetahuan baru untuk seluruh individu yang tercakup di dalamnya, maka tidak ada juga yang menghalangi untuk mengetahui pada sebagiannya dan itu lebih mudah”. (Ibnu Taimiyah, Majmȗ’ Al-Fatâwâ, Beirut: Dar Kutub Al-‘Ilmiyyah, Vol: V, Hal 119).
Dalam tulisan beliau, secara tersirat beliau memberikan “inspirasi” agar nantinya mantik tidak hanya sibuk melihat format silogisme, tapi juga mempertimbangkan materi atau maddah yang digunakan dalam silogisme. Karena selain menghasilkan pengetahuan yang sifatnya universal, tentu sesuatu yang universal harus layak diterima pada seluruh individunya, dalam hal ini juz’iyyât-nya. Pada salah satu tulisan lalu juga, saya sempat menyinggung hal yang membedakan antara mantik modern dan klasik. Namun, pada akhirnya keduanya saling melengkapi.
Prof. Dr. Muhammad Anwar Hamid ‘Isa, Guru Besar Prodi Akidah-Filsafat Universitas Al-Azhar, memiliki sikap tersendiri dalam melihat kritikan Syekh Ibnu Taimiyyah terhadap ilmu mantik. Itu bisa kita lihat dalam tulisan beliau:
إذا كان المسلمون الأوائل من أمثال الحسن بن الهيثم, وابن الحيان, وأبي بكر الرازي ساروا في طريق المنهج العلمي ووضعوا لبناته بطريقة الصحيحة فإن ابن تيمية رحمه الله سار على نفس الدرب حيث كتب في نقض المنطق القديم وفي الرد على المنطيقين بطريقة منهجية صحيحة. فهو لم يهاجم المنطق القديم لمجرد الهجوم, ولم يعتبره عديم الفائدة لا يفيد كثيرا في تقدم العلوم إلا بعد درسه وصار فيه أعلم من المنطقيين أنفسهم, ووضع على يده على ما فيه من وهاء وإهمال للواقع وانعدام للتجربة التى هي أساس التقدم.
“Jika para (ilmuwan) muslim awal seperti Hasan bin Haitsam, Ibnu Hayyan, dan Abu Bakar Al-Razi sibuk dalam mengimplementasikan metodologi ilmiah dan membuat inovasi untuk generasi selanjutnya, maka Syekh Ibnu Taimiyyah -Rahimahullah- juga berada di jalan yang sama. Itu ketika beliau menulis buku ‘Naqd Al-Manthiq Al-Qadîm’ dan ‘Al-Radd ‘ala Al-Manthiqiyyin’ dengan metodologi yang benar. Beliau tidak mengkritik ilmu mantik klasik dengan argumentasi nol. Beliau tidak menganggap ilmu mantik tidak memiliki manfaat sama sekali (akan tetapi, beliau melihat) ilmu mantik (klasik) itu tidak memberikan banyak kontribusi dalam kemajuan pengetahuan, kecuali setelah mendalami ilmu mantik dan menjadi orang yang lebih tahu ilmu mantik dibandingkan para logikawan itu sendiri. Beliau juga mendatangkan hal ini (kritik) karena melihat dalam ilmu mantik yang abai terhadap realitas dan tidak melakukan eksperimen. Padahal itulah yang menjadi asas kemajuan pengetahuan. (Muhammad Anwar Hamid ‘Isa, Nazharât fi Al-Manthiq Al-Hadîts wa Manâhij Al-Bahts, Kairo: Universitas Al-Azhar, Hal 19).
Walaupun beliau mengkritisi ilmu mantik, bukan berarti kritikan beliau sama sekali tidak memberikan kontribusi apapun. Seperti yang kita lihat, justru beliau memberikan kontribusi dalam ilmu mantik modern, walau secara tersirat dan mungkin tidak pernah dikehendaki beliau. Tapi, bukan berarti dikritiknya ilmu mantik klasik lantas hal tersebut juga menghapus relevansinya. Akan tetapi ada bagian-bagian tertentu yang butuh perbaikan sehingga datanglah mantik modern sebagai solusi; khususnya pada bagian silogisme yang mencari “puzzle”-nya yang hilang.
Wallahu a’lam