Ruang Intelektual
  • Login
  • Daftar
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Ilmu Bahasa Arab
    • Nahwu
    • Sharaf
    • Balaghah
    • ‘Arudh
    • Qafiyah
    • Fiqh Lughah
    • Wadh’i
  • Ilmu Rasional
    • Ilmu Mantik
    • Ilmu Maqulat
    • Adab Al-Bahts
    • Al-‘Umȗr Al-‘Ammah
  • Ilmu Alat
    • Ulumul Qur’an
    • Ilmu Hadits
    • Ushul Fiqh
  • Ilmu Maqashid
    • Ilmu Kalam
    • Ilmu Firaq
    • Filsafat
    • Fiqh Syafi’i
    • Tasawuf
  • Ilmu Umum
    • Astronomi
    • Bahasa Inggris
    • Fisika
    • Matematika
    • Psikologi
    • Sastra Indonesia
    • Sejarah
  • Nukat
    • Kitab Mawaqif
  • Lainnya
    • Biografi
    • Penjelasan Hadits
    • Tulisan Umum
    • Prosa Intelektual
    • Karya Sastra
    • Ringkasan Buku
    • Opini
    • Koleksi Buku & File PDF
    • Video
Ruang Intelektual
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil

Kulliy Keempat: Khassah

Oleh Muhammad Said Anwar
16 Oktober 2023
in Ilmu Mantik
Kulliy Keempat: Khassah

Source: https://urd.ac.ir/en/faculties/philosophy/department-of-islamic-philosophy-and-kalam/

Bagi ke FacebookBagi ke TwitterBagi ke WA

Pada tiga kulliy sebelumnya, kita telah membahas kulliy yang berkaitan dengan esensinya saja. Sekarang kita membahas bagian kulliy yang bersifat aksidental, yaitu khasshah.

Setiap sesuatu itu pasti memiliki kekhususan, entah kekhususannya hanya satu atau lebih, tapi kekhususan ini berada di luar esensi sesuatu itu[1].

Seperti “tertawa” bagi manusia, ini adalah kekhususan manusia. Tanpa tertawa, kita masih bisa membayangkan seperti apa esensi manusia. Makanya, tertawa ini digolongkan sebagai kekhususan dan sifatnya aksidental[2].

Contoh lain “berbusana kokoh” bagi orang muslim. Apakah muslim tidak lagi menjadi muslim ketika tidak berbusana kokoh? Tentu keislamannya masih tetap ada. Tapi, ketika kita melihat orang berbusana kokoh, tentu kita semua langsung tahu kalau orang tersebut adalah muslim. Sebab, berbusana kokoh itu hanya dipakai oleh muslim, bukan yang lain. Tapi, bukan berarti saat dia tidak menggunakan busana kokoh, dia bukan muslim. Itu berarti, busana kokoh ini adalah kekhususan yang melekat pada esensi muslim.

Sampai di sini, kita tahu secara singkat bahwa kekhususan itu adalah sesuatu yang bersifat non-esensial (aksidental) dan jika kekhususan itu tidak ada, maka esensi itu masih tetap ada. Bagaimana jika ada dua esensi berbeda, memiliki kekhususan yang sama? Ini akan terjawab jika kita menilik dengan baik definisi yang diberikan oleh Imam Al-Ghazali dalam Mi’yâr Al-‘Ilm:

كلي تحمل على ما تحت حقيقة واحدة فقط حملا غير ذاتي

“Khasshah adalah kulliy yang diberlakukan pada sesuatu yang berada di bawah satu esensi saja dengan keberlakuan non-esensial.”

Maksudnya begini, khasshah ini hanya berlaku bagi satu esensi saja. Maka dari pertanyaan di atas tadi, sudah terjawab bahwa yang namanya keunikan atau kekhususan itu hanya dimiliki oleh satu esensi saja. Jika lebih, maka bukan khasshah lagi namanya.

BacaJuga

Mengenal Hukum Kontradiksi dan Ketentuannya

Kulliy Ketiga: Fashl

Kulliy Kedua: Nau’

Psychology Proof Fallacy

Seperti tertawa tadi, itu hanya dimiliki oleh manusia (manusia di sini satu esensi) dan tidak dimiliki oleh selain manusia seperti binatang dan tumbuhan. Buktinya, kita tidak pernah lihat kucing, biawak, ular tertawa. Begitu juga bunga raflesia, mawar, dan lain-lain, tidak ada yang pernah kita lihat tertawa, hanya manusia saja satu-satunya esensi yang bisa tertawa.

Timbul pertanyaan baru, bagaimana ada orang dan pacarnya itu sama-sama bisa tertawa? Padahal kita tahu bahwa orang itu dan pacarnya adalah dua orang berbeda. Dan bukankah sebelumnya kita sudah bersepakat bahwa khasshah ini hanya berlaku pada satu esensi saja. Jawabannya, orang ini dan pacarnya adalah dua orang yang memiliki identitas berbeda, tapi secara esensi, mereka tetap manusia. Ini berarti, khasshah ini berlaku bagi individu yang banyak, dengan syarat hakikatnya sama. Jika berbeda, maka tidak bisa disebut sebagai khasshah.

Selanjutnya, khasshah ini memiliki dua pembagian; 1) Dinisbatkan kepada esensinya dan 2) Berdasarkan keberlakuannya terhadap individunya.

Bagan Al-Kulliyyat Al-Khamsah
  • Dinisbatkan kepada Esensinya

Untuk bagian ini, terbagi lagi menjadi dua:

– Khassah Nau’iyyah

Khasshah ini berarti disandarkan kepada nau’. Seperti berbicara dan menjadi imam, itu disandarkan kepada manusia. Karena hanya manusia yang bisa berbicara dan bisa menjadi imam. Tentu manusia adalah nau’ dari haiwân. Karena disandarkan kepada nau’, maka namanya menjadi khasshah nau’iyyah.

– Khassah Jinsiyyah

Khasshah ini berarti disandarkan kepada jins. Seperti menyandarkan berjalan kepada haiwân. Karena hanya haiwân saja yang bisa berjalan. Khasshah yang disandarkan kepada jins, jadilah ia khasshah jinsiyyah.

Pohon Porfiri

Di sini, kita perlu mencatat satu hal bahwa khasshah yang berlaku untuk jins, pasti berlaku untuk nau’. Tapi khasshah yang berlaku untuk nau’, tidak berlaku bagi jins. Semisal, “tertawa” yang disandarkan kepada manusia (nau’). Dia tidak bisa disandarkan kepada haiwân (jins), sebab haiwân itu mencakup selain manusia seperti kodok, ikan, dan lain-lain. Jika berlaku bagi haiwân, otomatis berlaku juga bagi cakupannya.

Sebaliknya, “berjalan” disandarkan kepada “haiwân” (jins) itu berlaku bagi nau’ juga. Tapi, tidak bisa disandarkan kepada nau’. Mengapa? Jika sesuatu yang awalnya disandarkan kepada jins lalu disandarkan kepada nau’, otomatis ketika itu dia tidak menjadi khasshah, tapi ‘aradh ‘amm. Mengapa tidak menjadi khasshah? Sebab, kita sudah sepakati dari awal, bahwa apa yang berlaku bagi jins, pasti berlaku bagi nau’. Artinya, manusia adalah salah satu nau’ haiwân, tapi ada juga nau’ lain, yakni binatang.

Maka otomatis, di sini ada dua kemungkinan; 1) Penyandaran ini ingin diberlakukan hanya untuk manusia. 2) Diberlakukan sesuai maknanya. Jika yang pertama, maka konsekuensinya, kita tidak menyandarkan “berjalan” kepada binatang yang pada kenyataannya mereka bisa juga berjalan. Maka tentu ini batal. Jika yang kedua, maka kita harus melihat fakta, bahwa bukan hanya manusia bisa berjalan, tapi juga binatang lain bisa begitu. Maka khasshah di sini batal, karena sebagaimana definisi, khasshah hanya berlaku bagi satu hakikat atau esensi. Sedangkan esensi manusia (haiwân nâthiq) dan binatang (haiwân ghairu nâthiq/hassâs) itu berbeda. Jika lebih, maka batal. Tidak mungkin kalau ini kosong (sebab khasshah tidak cocok dipakai di sini), harus ada istilah yang mengisinya, yakni ‘aradh ‘amm.

  • Berdasarkan Keberlakuannya Terhadap Esensinya

Bagian ini terbagi menjadi dua lagi:

– Khassah Lâzimah (Bil Quwwah)

Khasshah ini berarti mencakup semua individu yang ada di bawahnya. Seperti “bersastra” jika disandarkan kepada “manusia”, maka di sini menjadi khasshah lâzimah. Mengapa disebut mencakup semua individu, sedangkan kita tahu, tidak semua orang bisa bersastra? Karena di sini kita hanya berbicara potensi (bil quwwah), semua orang memiliki potensi untuk bersastra, walaupun secara aktual tidak semua manusia bisa melakukan itu.

Maka di sini, “bersastra” itu berlaku bagi seluruh individu manusia. Sebab, seluruh manusia tanpa terkecuali memiliki potensi untuk bersastra.

– Khassah Mufâriqah (Bil Fi’il)

Bedanya dengan yang sebelumnya, ini tidak mencakup seluruh individu. Misalnya “bersastra” disandarkan kepada manusia. Buktinya, tidak semua manusia bisa bersastra dan kalau pun bisa, mereka tidak melakukan itu secara terus-menerus.

Kenapa dikatakan tidak berlaku bagi seluruh individu, padahal sebelumnya sudah dijelaskan bahwa bersastra itu berlaku untuk semua manusia karena mereka semua memiliki potensi untuk itu? Jawabannya, kita sekarang sedang berbicara tentang aktual (bil fi’il) bukan lagi potensi. Secara potensi, memang bersastra itu berlaku bagi semua manusia, tapi secara faktual tidak. Itulah kenapa untuk pembagian ini, dikatakan “tidak berlaku untuk seluruh individu”. Maka itulah, khasshah mufariqah ini tidak berlaku untuk semua manusia.

Wallahu a’lam


𝑭𝒐𝒐𝒕𝒏𝒐𝒕𝒆:

[1] Kita telah mengetahui bahwa dalam tradisi pertanyaan, ketika menggunakan kata “ayy” berarti menanyakan pembeda dari sesuatu (Baca: Footnote Al-Kulliyyat Al-Khamsah: Jins).

Definisi khasshah dan fashl itu sama-sama menggunakan kata “أى” (ayy). Kita bisa melihat definisi fashl dan khasshah yang disebutkan oleh Dr. Yusuf Mahmud dalam bukunya Al-Manthiq Al-Shûriy:

الفصل: هو الكلي المقول على كثيرين في جواب أى شيء هو في ذاته

“Fashl: Kulliy yang diberlakukan terhadap (individu) yang banyak untuk menjawab pertanyaan “apa (أى) yang membedakan dia dalam dzatnya?”

الخاصة: هو الكلي المقول على كثيرين في جواب أى شيء هو في عرضه

“Khasshah: Kulliy yang diberlakukan terhadap (individu) yang banyak untuk menjawab pertanyaan “apa (أى) yang membedakan dia pada aksidennya?”

Tapi, apa yang membedakan fashl dan khasshah?

Pertama, sebagaimana definisi di atas bahwa fashl itu ada dalam esensi, sedangkan khasshah itu tidak ada dalam esensi. Seperti misalnya berpikir (fashl), dia itu ada dalam esensi manusia. Manusia tidak akan ada tanpa adanya berpikir. Sedangkan tertawa (khasshah) itu ada di luar esensi. Kita masih bisa membayangkan manusia tanpa tertawa.

Kedua, kita tidak akan bisa membayangkan esensi tanpa fashl. Adapun khasshah, kita bisa membayangkan esensi tanpanya. Misalnya berpikir tadi, kita tidak bisa membayangkan manusia tanpa berpikir itu, sebab dia bagian dari esensi. Esensi utuh tidak terbentuk tanpa adanya fashl. Sedangkan kita masih bisa membayangkan esensi tanpa tertawa.

Ketiga, fashl itu tidak dipertanyakan. Sedangkan khasshah masih dipertanyakan. Ada kaidah yang berbunyi:

ما جاء في الأصل لا يسأل عنه

“Sesuatu yang datang dalam bentuk asalnya, tidak ditanyakan lagi.”

Kita semua tahu, setelah membaca tulisan yang lalu mengenai fashl, kita mengetahui bahwa fashl itu salah satu bagian dari esensi. Bagian dari esensi adalah asal dari esensi itu, maka bagian dari esensi itu tidak perlu dipertanyakan. Sedangkan khasshah, bukan bagian dari esensi, maka dari itu, dia bukan asal dari esensi. Karena dia bukan asal, sebagaimana kaidah di atas, khasshah itu dipertanyakan.

[2] Khasshah itu sifatnya aksidental, berarti dia ada di luar esensi. Karena dia di luar esensi, maka kalau kita melihat Pohon Porfiri, dia tidak ada di dalam. Sebab, Pohon Porfiri itu membicarakan esensi, bukan aksiden. Tapi, kita tetap menggunakan Pohon Porfiri untuk memudahkan kita memahami peta pembahasan al-kulliyyat al-khamsah ini.

Muhammad Said Anwar

Muhammad Said Anwar

Lahir di Makassar, Sulawesi Selatan. Mengenyam pendidikan Sekolah Dasar (SD) di MI MDIA Taqwa 2006-2013. Kemudian melanjutkan pendidikan SMP di MTs MDIA Taqwa tahun 2013-2016. Juga pernah belajar di Pondok Pesantren Tahfizh Al-Qur'an Al-Imam Ashim. Lalu melanjutkan pendidikan di Madrasah Aliyah Negeri Program Keagamaan (MANPK) Kota Makassar tahun 2016-2019. Kemudian melanjutkan pendidikan di Universitas Al-Azhar, Kairo tahun 2019-2024, Fakultas Ushuluddin, jurusan Akidah-Filsafat. Setelah selesai, ia melanjutkan ke tingkat pascasarjana di universitas dan jurusan yang sama. Pernah aktif menulis Fanspage "Ilmu Logika" di Facebook. Dan sekarang aktif dalam menulis buku. Aktif berorganisasi di Forum Kajian Baiquni (FK-Baiquni) dan menjadi Pemimpin Redaksi (Pemred) di Bait FK-Baiquni. Menjadi kru dan redaktur ahli di media Wawasan KKS (2020-2022). Juga menjadi anggota Anak Cabang di Organisasi Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU). Pada umur ke-18 tahun, penulis memililki keinginan yang besar untuk mengedukasi banyak orang. Setelah membuat tulisan-tulisan di berbagai tempat, penulis ingin tulisannya mencakup banyak orang dan ingin banyak orang berkontribusi dalam hal pendidikan. Kemudian pada umurnya ke-19 tahun, penulis mendirikan komunitas bernama "Ruang Intelektual" yang bebas memasukkan pengetahuan dan ilmu apa saja; dari siapa saja yang berkompeten. Berminat dengan buku-buku sastra, logika, filsafat, tasawwuf, dan ilmu-ilmu lainnya.

RelatedPosts

Mengenal Hukum Kontradiksi dan Ketentuannya
Ilmu Mantik

Mengenal Hukum Kontradiksi dan Ketentuannya

Oleh Muhammad Said Anwar
30 Juni 2024
Kulliy Ketiga: Fashl
Ilmu Mantik

Kulliy Ketiga: Fashl

Oleh Muhammad Said Anwar
9 Oktober 2023
Kulliy Kedua: Nau’
Ilmu Mantik

Kulliy Kedua: Nau’

Oleh Muhammad Said Anwar
2 Oktober 2023
Psychology Proof Fallacy
Ilmu Mantik

Psychology Proof Fallacy

Oleh Muhammad Said Anwar
1 Oktober 2023
Kulliy Pertama: Jins
Ilmu Mantik

Kulliy Pertama: Jins

Oleh Muhammad Said Anwar
16 Agustus 2023
Artikel Selanjutnya
Aku dan Mereka, Kita Semua adalah Machiavelli

Aku dan Mereka, Kita Semua adalah Machiavelli

Tuhan Berbahasa Arab?

Tuhan Berbahasa Arab?

Memahami Sifat Kalam

Memahami Sifat Kalam

KATEGORI

  • Adab Al-Bahts
  • Al-‘Umȗr Al-‘Ammah
  • Biografi
  • Filsafat
  • Ilmu Ekonomi
  • Ilmu Firaq
  • Ilmu Hadits
  • Ilmu Kalam
  • Ilmu Mantik
  • Ilmu Maqulat
  • Karya Sastra
  • Matematika
  • Nahwu
  • Nukat
  • Opini
  • Penjelasan Hadits
  • Prosa Intelektual
  • Sejarah
  • Tasawuf
  • Tulisan Umum
  • Ushul Fiqh

TENTANG

Ruang Intelektual adalah komunitas yang dibuat untuk saling membagi pengetahuan.

  • Tentang Kami
  • Tim Ruang Intelektual
  • Disclaimer
  • Kontak Kami

© 2024 Karya Ruang Intelektual - Mari Berbagi Pengetahuan

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password? Daftar

Buat Akun Baru!

Isi Form Di Bawah Ini Untuk Registrasi

Wajib Isi Log In

Pulihkan Sandi Anda

Silahkan Masukkan Username dan Email Anda

Log In
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Ilmu Bahasa Arab
    • Nahwu
    • Sharaf
    • Balaghah
    • ‘Arudh
    • Qafiyah
    • Fiqh Lughah
    • Wadh’i
  • Ilmu Rasional
    • Ilmu Mantik
    • Ilmu Maqulat
    • Adab Al-Bahts
    • Al-‘Umȗr Al-‘Ammah
  • Ilmu Alat
    • Ulumul Qur’an
    • Ilmu Hadits
    • Ushul Fiqh
  • Ilmu Maqashid
    • Ilmu Kalam
    • Ilmu Firaq
    • Filsafat
    • Fiqh Syafi’i
    • Tasawuf
  • Ilmu Umum
    • Astronomi
    • Bahasa Inggris
    • Fisika
    • Matematika
    • Psikologi
    • Sastra Indonesia
    • Sejarah
  • Nukat
    • Kitab Mawaqif
  • Lainnya
    • Biografi
    • Penjelasan Hadits
    • Tulisan Umum
    • Prosa Intelektual
    • Karya Sastra
    • Ringkasan Buku
    • Opini
    • Koleksi Buku & File PDF
    • Video

© 2024 Karya Ruang Intelektual - Mari Berbagi Pengetahuan