Pada tulisan sebelumnya telah dibahas bahwa tashdiq itu memiliki empat unsur, yaitu:
- Maudhu’ (Objek penghukuman)
- Mahmul (Atribut penghukuman)
- Nisbah (Keterkaitan antara Maudhu‘ dan Mahmul)
- Wuqu‘ atau al-hukm (Penghukuman atau mengiyakan bahwa maudhu‘ dan mahmul memang berkaitan)
NB: Ingat baik-baik unsur ini secara berurutan. Karena ini menjadi titik pembahasan. Jika anda belum paham maksud keempatnya, silahkan baca tulisan sebelumnya.
Namun seputar konsep ini, ada perbedaan ulama tentang “yang mana sebenarnya disebut hukum (tashdiq)? Apakah bagian yang ke empat (wuqu’) saja? Ataukah semuanya?”
Di sini ada dua kubu, pertama Imam Fakr Din al-Râzi (w. 606 H) dan al-Hukamâ’ (para filusuf). Imam Fakr Din al-Razi berpendapat kalau sesuatu yang disebut hukum itu adalah apabila keempat unsur itu terpenuhi (murakkab).
Jadi, kalau ada sebuah frasa lalu keempatnya terpenuhi, maka itulah namanya hukum (tashdiq). Namun, kalau ada salah satunya hilang, maka bukan lagi tashdiq namanya. Analogi yang terkenal adalah salat dan wudhu.
Salat itu sudah jelas syarat sahnya adalah wudhu. Ketika salah satu syarat sah salat tidak terpenuhi, maka batallah salat itu. Begitu pula dengan tashdiq, ketika keempatnya tidak terpenuhi, atau salah satu dari keempatnya tidak terpenuhi, maka batallah tashdiq itu.
Sedangkan menurut para hukama‘, hukum (tashdiq) itu adalah unsur keempat tashdiq tadi (konsep simpel atau basîth), karena penghukuman itu, ada di sana. Misalnya, anda mengatakan “kamu itu cantik”. Ketika anda meng-iya-kan (mengamini keterkaitan antara maudhu’ dan mahmul) bahwa si kamu itu benar-benar cantik, maka sikap peng-iya-an itulah tashdiq.
Jika unsur keempat itu adalah tashdiq, maka ketiga unsur sebelumnya adalah syarat saja. Karena tidak mungkin ada sebuah penghukuman kalau tidak ada yang mau dihukumi ataupun atribut penghukuman. Kalaupun keduanya sudah ada tapi tidak ada keterkaitan, bagaimana mungkin bisa di-iya-kan atau di-tidak-kan? Harus dulu ada keterkaitan lalu ada penghukuman.
Keterkaitan juga bisa ada ketika ada maudhu‘ dan mahmul mahluk. Karena hal yang berkaitan, pasti ada dua hal atau lebih. Tidak mungkin hanya satu lalu dikatakan berkaitan. Berkaitan dengan apa? Pasti itu muncul di benak kita ketika membicarakan “keterkaitan”. Harus ada yang me-ngaitkan dan ada yang di-kaitkan.
Maka dengan ini, menurut para hukama‘, tashdiq adalah unsur keempat saja. Adapun contoh tentang salat dan wudhu, itu juga digunakan oleh madzhab ini. Jika salat bisa batal karena tidak terpenuhi syarat, apakah yang ia lakukan bukan salat? Tentu salat, tapi salat yang batal. Begitu pula dengan tashdiq, apabila tidak terpenuhi keempatnya, maka tashdiq juga namanya, tapi tidak sempurna (fasid).
Kesimpulannya, Imam al-Razi dan para hukama‘ berbeda pendapat tentang tashdiq. Imam al-Razi mengatakan bahwa tashdiq itu harus terpenuhi keempatnya. Kalau tidak, bukan tashdiq namanya. Sedangkan para hukama‘ mengatakan bahwa tashdiq itu hanya bagian keempat di unsur itu saja. Selebihnya adalah syarat. Namun, mereka sepakat bahwa tashdiq yang sempurna, apabila terpenuhi keempat unsur itu.
Wallahu a’lam.



