Pada tulisan kali ini, penulis akan membahas paradigma orang yang menuding ilmu mantik dengan tuduhan yang tidak-tidak. Ini tidak lepas dari tulisan-tulisan sebelumnya. Jika diringkas, kurang lebih tudingan kepada ilmu mantik itu:
1. Islam menganjurkan menggunakan akal, tapi bukan berarti akal itu menjadi patokan utama kebenaran. Yang menjadi patokan pertama adalah Al-Quran dan sunah. Karena akal merupakan patokan utama ketika belajar mantik, maka belajar mantik itu tidak diperbolehkan karena melanggar patokan kebenaran.
2. Ahli filsafat itu adalah ahli mantik. Dan mantik merupakan ilmu tentang permainan kata. Permainan kata tidak kita pelajari karena tidak mengantarkan kita sampai kepada kebenaran.
3. Ahli logika selalu menyimpulkan sesuatu dengan kata “berarti”, “maka”, dan “bukankah”. Mereka tidak menyimpulkan berdasarkan Firman Allah dan Sabda Nabi.
4. Mengklaim bahwa Imam Syafi’i berkata kalau ahli mantik itu zindik.
5. Orang yang menjadi gila karena belajar ilmu mantik, terutama setelah membaca buku Imam Al-Ghazali dan Ibnu ‘Arabi.
6. Orang yang bermantik itu tidak salat. Karena kalau orang sudah belajar mantik, akan mencari eksistensi tuhan.
Islam Mengajarkan Kita Berpikir
Ada banyak ayat yang bertebaran dalam Al-Quran yang memerintahkan kita untuk berpikir. Bahkan dalam bentuk singgungan “afalâ tatafakkarûn? afalâ ta’qilûn?” (Tidakkah engkau berpikir? Tidakkah engkau berakal?). Bagian ini, penulis sepakat dengan yang mengatakan Islam mengajarkan kita untuk senantiasa berpikir. Tapi, penulis tidak sepakat dengan yang mengatakan bahwa ilmu mantik tidak perlu dipelajari. Mengapa? Alasannya, jika kita diperintahkan untuk berpikir, maka wasilah untuk sampai kepada pemikiran yang benar itu pasti tidak haram. Karena wasilah menuju sesuatu itu juga diperhitungkan. Seperti pacaran, mengapa diharamkan? Karena membuka pintu menuju zina bahkan kemungkinannya itu besar.
Akal memang salah satu tolak ukur kebenaran, tapi bukan tolak ukur pertama menurut Mazhab Asy’ariyyah, melaikan menurut Muktazilah. Mazhab Asy’ariyyah adalah kelompok yang mendahulukan wahyu dalam masalah kebenaran. Karena jika seandainya kebenaran cukup dengan akal, maka untuk apa Nabi Muhammad Saw. diutus? Tapi pendapat ini dibantah oleh Mazhab Maturidiyyah bahwa tidak semua kebenaran itu ada dalam wahyu (tanpa menafikan bahwa wahyu adalah kebenaran absolut). Ada yang tidak dijelaskan secara eksplisit dan itu bisa dijelaskan dengan akal. Dengan kata lain, akal dan wahyu itu bisa jalan secara berdampingan. Kita butuh akan fungsi akal. Karena tanpa akal, kita tidak bisa mencerna isi wahyu itu apalagi mengetahui kebenaran di dalamnya.
Perlu penulis tegaskan bahwa orang yang belajar mantik tidak ada keterkaitan logisnya dengan menjadikan akal sebagai tolak ukur kebenaran paling utama. Karena ada yang belajar ilmu mantik dan menjadikan akal sebagai tolak ukur pertama, ada juga tidak. Selain itu sang pengklaim sudah mengatakan dari awal kalau Islam mengajarkan penganutnya untuk menggunakan akal. Jika menggunakan akal diajarkan Islam, maka pasti Islam juga menginginkan penganutnya untuk sampai kepada kesimpulan yang benar. Lantas bagaimana orang bisa sampai kepada kesimpulan benar jika wasilah untuk sampai ke sana saja diblok?
Jika dikatakan orang bisa sampai kepada kesimpulan benar tanpa mantik, berapa banyak yang bisa seperti itu? Mungkin untuk orang yang amat cerdas dan sudah sejak dini terlatih berpikir kritis itu sah-sah saja kalau tidak belajar mantik. Tapi, faktanya banyak orang yang tidak bernasib seperti itu. Maka tidak sah-sah saja kalau mereka tidak belajar mantik dan mau sampai kepada kesimpulan yang benar.
Jika melihat fakta historis seperti Mazhab Muktazilah yang sesat dan mereka merupakan orang yang sangat condong menggunakan akal, lalu fakta ini dijadikan dalil pengharaman ilmu mantik, maka ini juga tertolak. Alasannya, mereka menggunakan kaidah yang benar tapi salah dalam menggunakan materi dalam kaidah itu. Jadi, untuk sampai kepada kebenaran tidak hanya berhenti sampai menggunakan kaidah benar saja, tapi juga menggunakan materi yang benar. Bahkan, dalam ushul fikih pun ada kasus seperti itu, benar dalam penggunaan kaidah tapi keliru dalam memasukkan materi ke dalam kaidah itu. Ini pernah disinggung penulis dalam salah satu tulisan.
Mantik: Ilmu Permainan Kata
Orang bijak adalah orang yang menilai sesuatu itu sesuai dengan hakikat sesuatu yang dia nilai, bukan melalui informasi simpang siur yang tidak bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya, seperti informasi yang datang melalui pembenci dan pecinta. Kalau kita berkesimpulan bahwa ilmu mantik adalah ilmu yang bertujuan untuk mempermainkan kata-kata, tentu ini keliru. Sebab, mantik sendiri hadir untuk melawan orang yang bermain-main kata. Ini bisa kita lihat dalam sejarah ilmu mantik ketika Socrates melawan kaum sofis yang kerap bermain dengan retorikanya.
Hakikat ilmu mantik itu membahas tentang pengetahuan tashawwur dan tashdiq agar orang bisa menghasilkan pengetahuan baru melalui perbendaharaan pengetahuannya saat ini. Ini penulis sudah bahas pada tulisan lalu.
Kalau kita berkesimpulan bahwa ilmu mantik adalah ilmu tentang permainan kata, itu ibarat kita sendiri menciptakan sebuah kasus lalu kita sendiri yang membasmi kasus itu. Dalam kajian sesat pikir, ada yang diistilahkan dengan strawman fallacy, di mana sesat pikir itu karena kesalahpahaman yang dia sendiri ciptakan. Contohnya dalam kasus ini, ilmu mantik digambarkan sebagai ilmu tentang permainan kata. Ini sudah kesalahpahaman. Kemudian, menciptakan bantahan terhadap kesalahpahaman itu kalau permainan kata-kata tidak mengantarkan kepada kebenaran. Asal mula kesalahan itu ketika mengatakan ilmu mantik adalah ilmu tentang permainan kata-kata.
Sesat pikir semacam ini ibarat ingin menembak musuh yang ada di Barat, tapi tembakannya mengarah ke Timur. Jelas sasarannya tidak kena, jauh meleset dari sasaran. Maka, sebelum menembak, kita harus membidik sasaran dengan tepat. Dalam kasus ini tentu memahami konsep yang ingin kita kritik dengan baik. Kritik memang boleh, tapi bukan berarti kita asal-asalan.
Ahli Mantik itu Tidak Menyimpulkan Sesuai Al-Quran dan Hadis
Ada salah satu video yang penulis dapatkan di Youtube yang kalau penulis tangkap, sang pengklaim ingin jika segala sesuatu itu disimpulkan dengan Al-Quran dan Hadis. Itu jika dugaan penulis benar. Jika penulis salah paham, maka kemungkinan lainnya, sang pengklaim ingin segala sesuatu harus melibatkan Al-Quran dan Hadis dalam penyimpulan itu. Atau kemungkinan lain, yakni tidak menggunakan Al-Quran dan Hadis dalam menyimpulkan, tapi ini mustahil menurut penulis, karena akan meruntuhkan pendapatnya sendiri.
Untuk poin pertama dan kedua, kita harus tahu bahwa Al-Quran dan Hadis itu berisi dalil-dalil umum yang mencakup seluruh aspek kehidupan dan dalil-dalil khusus yang mencakup sebagian masalah. Dengan kata lain, dalil khusus itu terbatas. Sedangkan dalil umum itu banyak cakupannya. Tentunya untuk mengetahui di mana cakupan suatu masalah yang parsial dalam hal syariat, tentu kita menggunakan ushul fikih. Ini juga tetap berlandaskan Al-Quran dan Hadis.
Adapun jika persoalannya di luar masalah agama, tentu ilmu-ilmu memiliki otoritas masing-masing dalam pembahasannya. Misalnya ilmu fisika bertugas menjelaskan tentang hantaran listrik, medan magnet, dan lain-lain. Ilmu biologi bertugas membahas tentang persilangan gen, rekayasa genetika, kloning manusia, dan lain-lain. Tentu ini membutuhkan ilmu logika yang selalu menggunakan silogisme, baik itu kategorik ataupun hipotesis yang selalu menggunakan kata “jika”, “maka, “bukankah”, “berarti”, dan lain-lain.
Tapi, tampaknya sang pengklaim anti dengan kata-kata itu seperti yang ada dalam video tersebut. Okelah jika ini dikritik dengan “yang dimaksud itu kan masalah agama“. Baiklah, kita tentu harus menguji konsistensi sang pengklaim, maka kita akan membahas masalah agama. Misalnya saja dalam ruang lingkup fikih, ada hal-hal yang tidak ada hukumnya secara eksplisit dalam teks suci? Misalnya bir, wisky, dan lain-lain. Bagaimana caranya menghindari kata-kata tersebut dalam menyimpulkan hukum dari kasus-kasus ini?
Sebenarnya ulama Ahlussunnah dari kalangan Asy’ariyyah itu ketika berbicara hukum, pasti menggunakan dalil apalagi atas nama agama. Lebih-lebih dalam masalah akidah, mereka tidak menggunakan dalil kecuali dia itu qath’i tsubut seperti Al-Quran dan Hadis Mutawatir. Jika larangan menggunakan mantik itu berlaku dalam konteks ini, tentu penulis tidak setuju karena menyimpulkan sebuah hukum tanpa kata-kata yang disebutkan pengklaim itu mustahil.
Tapi, jika yang dimaksud sang pengklaim itu adalah orang yang berbicara atas nama agama tapi sama sekali tidak menggunakan dalil, apalagi dalam masalah fikih dan akidah, tentu penulis sepakat dengan sang pengklaim dalam konteks ini. Karena referensi paling otoritatif dalam agama adalah dalil-dalil dari teks suci, sedangkan akal itu seperti mesin yang membantu mengupas isi teks-teks suci itu.
Ahli Mantik itu Zindik?
Dalam video yang sama, di sana diklaim bahwa Imam Syafi’i berkata “barangsiapa yang bermantik, maka dia zindik“. Tentu tuduhan yang seperti ini harus dibuktikan kebenarannya, misalnya menampilkan referensi di mana Imam Syafi’i berkata demikian. Karena kaidah mengatakan:
إن كنت ناقلا فالصحة # إن كنت مدعيا فالدليل
Jika anda menukil, maka pastikan nukilan anda itu benar.
Jika anda menuduh, maka datangkanlah bukti.
Jika anda mengatakan ahli mantik itu zindik, maka anda harus membuktikan di mana sisi kezindikan itu. Karena jika klaim itu tidak dibuktikan, dia hanyalah sebuah bualan dan omong kosong saja. Jika Imam Syafi’i mengatakan demikian, apakah anda sudah memastikan nukilan itu benar dan sesuai konteks yang diinginkan Imam Syafi’i? Apalagi kalau kita melihat dari tahun 150 sampai 204 Hijriah itu adalah fase di mana Muktazilah berkembang. Jangan-jangan yang dimaksud Imam Syafi’i adalah Muktazilah kan? Itu sama kasusnya ketika Imam Syafi’i mencela ahli kalam, yang dimaksud adalah Muktazilah yang isi doktrinnya berbau filsafat Yunani. Tentu ini, sekali lagi memerlukan pembuktian.
Orang Belajar Mantik itu Jadi Gila?
Masih pada video yang sama, sang pengklaim juga mengatakan kalau dia menyaksikan orang yang dia kenal itu membaca kitab-kitab Imam Al-Ghazali dan Ibnu ‘Arabi. Kalau kemungkinan ya penulis sendiri mengiyakan kalau kemungkinan itu ada. Tapi, yang namanya kemungkinan itu bukan sesuatu yang pasti. Bukan berarti kalau ada satu kasus, maka yang lain harus sama dengan kasus ini.
Pada kasus lain, ada orang gila gara-gara membaca buku filsafat itu menjadi gila atau nyeleneh. Tapi, apakah membaca buku filsafat itu menjadi penyebab utama orang menjadi gila dan nyeleneh? Tentu tidak. Buktinya, kita melihat Grand Syekh Ahmad Thayyib, sebagai sosok Guru Besar di Al-Azhar dan merupakan jebolan jurusan akidah-filsafat. Apakah beliau tidak membaca buku-buku filsafat? Tentu beliau membacanya. Apakah beliau bermasalah akalnya? Tidak, kita malahan melihat beliau sekarang menjadi sosok Grand Syekh yang memimpin Al-Azhar. Seandainya akal beliau bermasalah, maka sudah pasti beliau tidak menjadi Grand Syekh. Tapi, kita sendiri menyaksikan kalau beliau menjadi seorang alim yang luar biasa. Ini berarti membaca buku-buku filsafat bukanlah sebab seseorang menjadi gila, tapi ada yang salah dalam proses belajarnya.
Sama dengan kasus orang yang membaca karya Imam Al-Ghazali dan Ibnu ‘Arabi yang bercorak filsafat dan tasawuf, itu tidak membuat orang gila. Tapi, itu karena kesalahan yang terjadi dalam proses belajar orang yang bersangkutan. Banyak guru-guru di Al-Azhar yang sudah menyelesaikan buku dari orang-orang ternama itu, tapi mereka masih membawakan pengajian bahkan mengajar di kuliah. Dengan kata lain, membaca karya kedua imam besar ini satu hal, sedangkan kegilaan yang dialami seseorang hal yang lain. Tidak ada keterkaitan rasionalnya.
Orang Bermantik itu Sudah Tidak Salat?
Ini merupakan kisah tambahan dari sang pengklaim kalau orang yang belajar mantik itu akan menjadi orang yang tidak salat. Seolah-olah sang pengklaim ingin mengatakan kalau orang belajar mantik, maka dia menjadi orang yang goyah keyakinannya, sebagaimana klaim di atas yang sudah dijawab. Penulis tidak tahu apakah kisah yang dibawakan ini benar-benar nyata atau tidak, yang jelas terlepas dari itu penulis fokus kepada kerangka yang dibangun sang pengklaim.
Penulis tidak tahu mantik seperti apa yang dimaksudkan sang pengklaim, karena penulis sedang berbicara tentang mantik yang bermakna metodologi, bukan mantik sebagai produk pemikiran (yang aslinya adalah filsafat produk pemikiran). Kalau mantik dimaksudkan untuk produk pemikiran, ini sudah dibahas oleh penulis pada tulisan pertama pada tema yang sama.
Jika kasusnya seperti ini, menurut penulis, bukan karena mantik. Tapi, karena produk pemikiran yang dia dapatkan. Dan ini lagi-lagi terlepas dari mantik yang dimaksudkan penulis. Karena mantik itu murni menata cara berpikir yang benar. Kesesatan seperti itu bisa terjadi ketika orang membaca buku-buku filsafat yang berkutat pada produk pemikiran. Penulis mengakui kalau di sana memang berbahaya jika tidak memiliki ilmu alat yang kuat. Tidak jarang kawan yang berada di kampus-kampus menjadi korban karena masuk di sana tanpa bekal ilmu yang memadai. Ini sudah dibahas oleh penulis juga pada tulisan yang lalu.
Akhirul kalam, ini daftar syubhat-syubhat yang penulis dapatkan sependek pencarian. Penulis yakin, masih ada syubhat seputar ilmu ini sehingga orang menjadi paranoid dan alergi pada ilmu yang sebenarnya mereka tidak ketahui dengan baik. Dan yang pasti tulisan ini masih punya banyak celah dan kekurangan, karena jika ingin mau ditunggu sempurna, maka tulisan ini tidak akan pernah jadi. Jika anda merasa ada hal-hal yang kontradiksi pada kritikan yang dilontarkan penulis, maka pada hakikatnya anda sudah bermantik tanpa disadari. Karena menolak terjadinya dua hal yang kontradiktif itu bagian hukum dasar dalam berpikir yang ada dalam ilmu mantik.
Wallahu a’lam