• Tentang Kami
  • Tim Ruang Intelektual
  • Disclaimer
  • Kontak Kami
Selasa, November 11, 2025
Ruang Intelektual
  • Login
  • Daftar
  • Ilmu Bahasa Arab
    • Nahwu
    • Sharaf
    • Balaghah
    • ‘Arudh
    • Qafiyah
    • Fiqh Lughah
    • Wadh’i
  • Ilmu Rasional
    • Ilmu Mantik
    • Ilmu Maqulat
    • Adab Al-Bahts
    • Al-‘Umȗr Al-‘Ammah
  • Ilmu Alat
    • Ulumul Qur’an
    • Ilmu Hadits
    • Ushul Fiqh
  • Ilmu Maqashid
    • Ilmu Kalam
    • Ilmu Firaq
    • Filsafat
    • Fiqh Syafi’i
    • Tasawuf
  • Ilmu Umum
    • Astronomi
    • Bahasa Inggris
    • Fisika
    • Matematika
    • Psikologi
    • Sastra Indonesia
    • Sejarah
  • Nukat
    • Kitab Mawaqif
  • Lainnya
    • Biografi
    • Penjelasan Hadits
    • Tulisan Umum
    • Prosa Intelektual
    • Karya Sastra
    • Ringkasan Buku
    • Opini
    • Koleksi Buku & File PDF
    • Video
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Ilmu Bahasa Arab
    • Nahwu
    • Sharaf
    • Balaghah
    • ‘Arudh
    • Qafiyah
    • Fiqh Lughah
    • Wadh’i
  • Ilmu Rasional
    • Ilmu Mantik
    • Ilmu Maqulat
    • Adab Al-Bahts
    • Al-‘Umȗr Al-‘Ammah
  • Ilmu Alat
    • Ulumul Qur’an
    • Ilmu Hadits
    • Ushul Fiqh
  • Ilmu Maqashid
    • Ilmu Kalam
    • Ilmu Firaq
    • Filsafat
    • Fiqh Syafi’i
    • Tasawuf
  • Ilmu Umum
    • Astronomi
    • Bahasa Inggris
    • Fisika
    • Matematika
    • Psikologi
    • Sastra Indonesia
    • Sejarah
  • Nukat
    • Kitab Mawaqif
  • Lainnya
    • Biografi
    • Penjelasan Hadits
    • Tulisan Umum
    • Prosa Intelektual
    • Karya Sastra
    • Ringkasan Buku
    • Opini
    • Koleksi Buku & File PDF
    • Video
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Ruang Intelektual
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Utama Opini

Blak-Blakan Seputar Pendidikan

Muhammad Said Anwar Oleh Muhammad Said Anwar
11 Oktober 2021
in Opini
Waktu Baca: 9 menit baca
Bagi ke FacebookBagi ke TwitterBagi ke WA

Beberapa waktu lalu, tepatnya bulan kemerdekaan, saya sempat bincang-bincang dengan kawan saya tentang problematika yang ada di Indonesia. Di samping pembahasan yang begitu panjang, kita juga sadar kalau saat ini kita bukan apa-apa dan apapun ide yang kita munculkan, itu tidak akan didengar. Tapi, saya lagi-lagi teringat dengan ungkapan Bung Karno kalau pemuda yang kumpul-kumpul membincang bangsa dan negara itu jauh lebih baik, daripada kutu buku yang memikirkan dirinya sendiri. Kita juga tidak pernah tahu, jika meninggalkan perbincangan dengan secuil ide itu dalam bentuk tulisan, mungkin akan dibaca beberapa generasi ke depan, mungkin puluhan tahun yang akan datang atau kapan-kapanlah, kita tidak pernah tahu itu, walaupun generasi sekarang masih rendah minat bacanya.

Kadang, teman saya itu menangis kalau memikirkan problematika di Indonesia yang seolah tidak ada ujung dan problem solving-nya. Dia sangat bersedih atas porak-porandanya negeri yang dia cintai. Itu menurut pengakuannya sendiri. Tapi, ketika kami memunculkan sebuah pertanyaan besar yang jawabannya kita tidak tahu sampai mana ujungnya, “apa penyebab semua ini?” Karena kita yakin semua hal di alam semesta ini ada dari ketiadaan, termasuk keadaan di Indonesia. Setelah lama berbincang, kami sampai pada satu kesimpulan yang sama “pendidikan”. Artinya, jika pendidikan suatu bangsa itu buruk, konsekuensi pastinya adalah SDM-nya akan ikut buruk juga.

Pendidikan dan masalah-masalahnya di negara kita yang begitu luas dan populasinya sampai masuk dalam urutan tertinggi di dunia, tentu sangat kompleks. Belum lagi melihat beberapa aspek yang perlu kita tinjau, seperti adanya kepentingan, cuan, dan hal-hal yang sangat signifikan dengan berlangsungnya pendidikan itu sendiri.

Mengapa Pendidikan?

Seluruh hal dalam aspek kehidupan kita itu ibarat batang pohon yang akan menumbuhkan beragam manfaat bagi manusia. Tentunya ada yang menjadi akarnya, yaitu pendidikan. Hal-hal yang ada di dunia ini seluruhnya itu berasal dari perbuatan dan perbuatan lahir dari konsep yang dibubuhkan oleh pikiran. Tempat mendidik pikiran yang pasti kita jalani adalah sekolah dan kuliah. Tapi, saya lebih fokus membahas kepada sekolah saja, karena saya tidak tahu seperti apa dunia kuliah di Indonesia.

Kalau kita ingin menyorot tujuan pendidikan itu sendiri, mungkin kita akan berbeda-beda. Tapi saya pribadi memiliki jawaban sendiri, yakni membantu kehidupan kita agar menjadi lebih baik. Baik itu kehidupan dunia (ilmu-ilmu umum), maupun kehidupan setelah dunia (ilmu akhirat atau ilmu agama).

Tapi, jika kita ingin bertanya-tanya, apakah seluruh aspek kehidupan kita sudah terbantu dengan sekolah atau pendidikan kita? Dalam hal sekolah, mungkin ada. Tapi, tidak signifikan. Artinya relevansi pendidikan kita dan kehidupan kita itu tidak begitu baik. Mengapa harus relevan? Karena pendidikan sudah sejak awal dirancang untuk membantu kehidupan kita. Dengan kata lain, jika pendidikan kita tidak relevan dengan kehidupan, maka kehidupan kita tidak akan terbantu.

Problematika kehidupan itu akan terus bergerak dan berkembang seiring berkembangnya zaman. Pendidikan kita juga harus bergerak untuk menjawab persoalan dan memperbaiki masanya. Para filusuf dan para mujtahid itu menjawab persoalan-persoalan yang ada pada zamannya. Mengapa? Karena mereka sudah sejak awal menuntut dirinya agar terbuka dan merenungi realita yang ada kemudian menjawab persoalan di sana. Seandainya mereka tidak melihat relevansi teori dan realita, maka mereka tidak menjawab apa-apa terhadap masalah di zamannya.

Bagian Absurd

Ada satu kesempatan di mana saya berbicara kepada adik saya di Indonesia, tak lain membincang bagaimana berjalannya sekolah. “Bagaimana sekolahmu?” Tanyaku. “Ya begitu-begitu aja” kata adik saya. Ketika saya menguji pemahamannya, dia tidak mendapatkan apa-apa kecuali tugas yang dia tidak tahu mau diapakan. Bagi saya ini absurd. Mengapa? Jika seseorang disuruh berjalan kaki dan tidak diberitahu tujuannya apa, kira-kira motivasinya untuk berjalan apa? Tidak ada. Sebab motivasi itu bisa muncul ketika orang mengetahui tujuannya. Alih-alih membuat siswa semakin rajin, malahan membuat siswa itu semakin malas.

Kasus lain, ada seorang teman yang mengeluh disuruh menulis sebuah makalah di atas kertas dan harus ditulis tangan beserta segenap format yang tidak dibutuhkan dan tidak esensial. Ini juga absurd. Mengapa? Sekarang zaman sudah masuk era digital. Di mana orang-orang harusnya itu dilatih dalam skill IT atau ke-komputer-an, khususnya hal-hal yang fundamental seperti Microsoft Word dan Excel. Tapi faktanya, mereka hanya disuruh menulis dan harus tulis tangan. Biar apa? Saya tidak tahu. Menurutnya sih agar rajin. Tapi, kalau alasan agar rajin, kenapa mereka tidak diberi kebebasan untuk mengembangkan dirinya sesuai minatnya atau hal-hal yang berfaidah lainnya? Dan tindakan seperti itu hanya membunuh kreativitas siswa. Mengapa? Karena itu sekali lagi, hanya mempertahankan tradisi lama yang tidak relevan di zaman sekarang dan harusnya kita tahu bahwa memanfaatkan hal baru bisa memunculkan ide baru. Tidak lucu sih kalau ada yang dikira ide baru dalam dunia tulis tangan tapi zaman memandang itu kuno.

Sudah menjadi pengetahuan juga kalau ada guru-guru tertentu yang hanya datang untuk mengabsen dan keluar kelas. Kalau pun tidak langsung keluar kelas, mereka memberi tugas tanpa menjelaskan apa-apa kepada muridnya. Akhirnya apa? Murid-murid itu mengerjakan tugas, tapi mereka tidak paham, apa yang mereka kerjakan. Mereka ibarat orang buta yang dipaksa berjalan. Maka bisa dikatakan, murid itu menghabiskan waktu, tenaga, dan tintanya untuk hal yang tidak ada gunanya untuk masa depannya. Padahal waktu itu bisa dia gunakan untuk mengetahui hal baru, tenaganya bisa dipakai untuk hal-hal yang lebih berfaedah atau mengembangkan diri, dan tintanya bisa dia gunakan untuk menuangkan gagasan-gagasan yang mengubah dunia.

Kenapa kita membincang bagian absurd ini? Karena jika orang sudah melakukan hal absurd, manfaatnya apa? Jika manfaatnya sama sekali tidak ada, maka bisa dikatakan selama ini, bertahun-tahun kita kosong dengan pendidikan, tidak ada hal yang wow selama ini kita lakukan. Tidak lain hanya duduk di bangku dan menunggu nilai saja, itupun keabsahan nilai itu patut kita ragukan beserta eksistensinya. Setidaknya, kita menyadari hal itu dulu. Jika kita tidak menyadari, maka kita tidak tahu apa yang ingin kita perbaiki.

Apakah Kita Memiliki Visi dalam Pendidikan?

Entahlah, saya sendiri tidak tahu kalau pendidikan kita memiliki visi. Mungkin saja memiliki visi yang bagus, kurikulum yang bagus, tapi tidak ada dukungan dari segenap pihak guru. Kira-kira kalimat yang saya dengar dulu “sekolah membuat kita untuk jadi pintar” atau “sekolah ingin mencetak generasi yang lebih baik”. Ini yang selalu dianggap sebagai visi pendidikan itu.

Jawaban-jawaban seperti itu sudah klise dan banyak dari kita menganggap itu adalah sebuah kebohongan. Mengapa? Karena kita sendiri menyaksikan dengan kedua bola mata kita kalau masih banyak orang yang sudah bersekolah selama dua belas tahun tapi tidak tahu ingin jadi apa dan apa yang harus mereka lakukan ke depannya. Jika demikian, mungkin visi itu benar-benar tidak ada atau jika ada, maka visi itu gagal. Ini tentu sangat prihatin dan membutuhkan uluran tangan seluruh elemen yang ada di Indonesia, termasuk pemerintah, penyelenggara, dan pemikir pendidikan itu sendiri.

Apakah kita memiliki landasan falsafah pendidikan? Kita harus mengidentifikasi dulu. Dalam buku Contemporary Curriculum yang ditulis oleh John D. McNeil, dinyatakan bahwa ada empat falsafah pendidikan yang dipakai saat ini.

1. Humanistic Curriculum

Kurikulum ini memiliki anggapan kalau masing-masing orang memiliki keunikan dan keistimewaan masing-masing. Sederhananya, sekolah-sekolah yang menganut filsafat seperti ini, mereka memiliki jalan ninja sendiri untuk mencetak kader-kadernya di masa depan dan mereka tahu harus apa nanti di masa depan. Yang membentuk sistem itu, bukan pemerintah, tapi dari sekolah yang bersangkutan.

2. Social Reconstruction Curriculum (Progressive Curriculum)

Kurikulum ini memiliki filsafat kalau saat ini adalah masa lalu dan hari esok adalah masa depan. Masa lalu itu bukan untuk dipertahankan tapi untuk dimajukan. Jadi, mereka memiliki cara sendiri untuk membentuk masa depannya dan memiliki ideologi kritik. Mereka akan mengkritisi masa sekarang dan akan membangun inovasi-inovasi baru.

3. Systemic Curriculum

Ini adalah kurikulum yang dibentuk oleh pemerintah dan sistem yang dibuat itu sangat mendetail. Mulai dari atas sampai bawah itu sudah ada standarnya. Murid-murid dan guru-guru memiliki standar yang jelas dalam sekolah itu.

4. Academic Curriculum

Ini adalah sekolah atau falsafah yang mendorong orang untuk menjadi spesialisasi tertentu sesuai dengan bidang yang diminatinya. Karena falsafah ini memiliki pandangan kalau ikan diajari terbang itu hanya membuat ikan itu mati.

Kalau kita ingin mencari di mana kurikulum kita, kita bisa melirik ke semua poin-poin itu dulu.

  • Pertama, pada beberapa sekolah, keunikan anak-anak itu dibunuh. Maksudnya, mereka punya bakat alami yang terpendam, tapi bakatnya itu tidak dihargai di sekolah. Maka bisa dikatakan kalau kita tidak sedang di poin pertama.
  • Kedua, kita bisa melihat sekolah-sekolah kita yang masih mempertahankan tradisi lama, yakni menulis tangan dengan dalih agar supaya rajin. Bahkan yang harusnya menulis tangan hanya untuk memperbaiki tulisan dan untuk belajar tulis tangan itu sampai terbawa di SMA yang harusnya dibentuk tata cara berpikirnya. Maka kita sudah gagal di poin kedua.
  • Ketiga, kita bisa melihat ketidakjelasan standar kemampuan di sekolah-sekolah, baik itu sektor siswa, maupun guru. Akhirnya, murid yang seharusnya berada pada posisi tertentu, malahan tidak di sana. Guru juga begitu, masih banyak guru-guru yang tidak kita tahu keahliannya di mana. Akhirnya, siapapun bisa menjadi guru. Dampaknya, guru tidak dihargai lagi karena melihat kualitasnya yang menurun. Maka kita bisa katakan kalau kita juga tidak ada di poin ketiga.
  • Keempat, kita bisa melihat kalau semua orang itu harus pintar memanjat pohon. Padahal di antara kita ada seperti burung garuda, merpati, ikan, dan lain-lain. Dengan kata lain, kita yang memiliki keahlian dan keunikan yang berbeda, disuruh menjadu satu pribadi dan satu keahlian. Akal akan mengatakan itu mustahil. Mengapa? Dalam salah satu kaidah berpikir, kita tidak bisa mengatakan A adalah B. A tetaplah A. Dia memiliki identitas dan pribadi sendiri yang berbeda dari yang lainnya. Kaidah ini sudah pernah saya paparkan dalam salah satu tulisan. Artinya, kita juga tidak berada pada filsafat yang keempat ini.

Lantas, kita berada di mana? Saya tidak tahu. Jika keempatnya adalah eksistensi pendidikan, maka kita sama sekali tidak memiliki eksistensi itu, sayang sekali. Ini lagi-lagi menjadi tugas bagi kita bersama untuk memikirkan falsafah pendidikan kita.

Apakah Pemerintah Kambing Hitamnya?

Tentu tidak sepenuhnya pemerintah. Selaku Mentri Pendidikan, Nadiem Makarim dalam wawancaranya mengakui kalau memasukkan ide ke kurikulum itu tidak cukup. Alasannya sederhana, memasukkan ide ke kurikulum itu tidak cukup, tapi membutuhkan implementasi dari pihak-pihak yang ada di bawah. Masalahnya adalah kurikulum itu sudah dirumuskan tapi pihak atau oknum tertentu yang ada dalam tubuh pendidikan itu sendiri tidak menjalankan kurikulum yang dibentuk. Akhirnya, kurikulum itu hanya sebatas teori saja.

Sebenernya, untuk saat ini pemerintah tidak sepenuhnya menjadi kambing hitam, tapi ada juga pihak-pihak tertentu yang tidak serius menjalankan fungsi pendidikan itu sebagaimana mestinya. Akhirnya, pendidikan itu begitu-begitu saja. Ada yang menjadi koruptor, ada juga yang mementingkan egonya.

Percaya atau tidak, ladang basah untuk melampiaskan hasrat egoisme dan politik adalah pendidikan. Ada guru yang pernah cerita kepada saya kalau ada buku cetak yang sebenarnya bukan untuk memahamkan siswa, tapi buku cetak itu ditulis untuk dijual saja. Tidak lebih dari itu. Bahkan, ada juga yang ingin menempati jabatan tinggi agar leluasa untuk korupsi.

Selain itu, preman-preman sistem itu ada dalam tubuh pendidikan. Maksudnya, jika ada orang yang benar-benar tulus dalam memajukan pendidikan, niat mereka itu akan terhalangi oleh mereka yang sangat ingin mementingkan keuangannya. Mereka akan ditahan untuk bergerak lebih. Mengapa? Karena yang di atasnya adalah orang-orang serakah dan egois, mementingkan perut sendiri dibanding orang lain.

Sebagaimana yang diungkapkan oleh Kiai Abdi Kurnia dalam salah satu statusnya, kalau dalam tubuh organisasi keagamaan itu sebenarnya ada orang-orang tulus. Tapi, orang-orang ini terhalangi niatnya oleh orang-orang egois yang berada di atas dan sekelilingnya. Akhirnya, niat tulus itu sisa dipendam dan terkubur dalam pikiran, seolah tidak pernah ada. Itu lagi-lagi karena serakah, egois, dan haus kekuasaan saja.

Kecerdasan Intelektual, Bukan Satu-Satunya

Ada teori yang dicetuskan oleh Haward Gardner dalam bukunya Intelligence Reframed: Multiple Intelligence yang membagi kecerdasan dalam 9 bentuk; 1) Kecerdasan logika-matematika. 2) Kecerdasan linguistik. 3) Kecerdasan interpersonal. 4) Kecerdasan interpresional. 5) Kecerdasan musik. 6) Kecerdasan kinetik-jasmani. 7) Kecerdasan visual-spasial. 8) Kecerdasan naturalis. 9) Kecerdasan eksistensial.

Dari sembilan kecerdasan yang ada di dunia, hanya beberapa saja yang ada di sekolah. Akibatnya, orang yang sibuk pada satu kecerdasan saja, dalam hal ini intelektual, akan melupakan hal-hal penting dalam hidup ini. Misalnya saja, kecerdasan interpersonal. Dalam negosiasi, kecerdasan interpersonal ini dibutuhkan. Begitu juga dalam organisasi, memimpin rapat, bergaul dengan orang, dan lain-lain.

Kecerdasan intelektual tanpa aksi, itu seperti manusia yang kehilangan satu kakinya. Karena intelektual melahirkan konsep, sedangkan di luar kecerdasan itu menjadikannya eksis. Jika konsep atau pemikiran tidak ada pergerakannya, maka kita tidak pernah tahu kalau konsep seperti itu pernah ada di dunia ini. Dengan kata lain, kecerdasan intelektual tanpa kecerdasan lain, itu hanya mengubur kita bersama pengetahuan kita suatu saat nanti.

Tapi, bukankah kita melihat kepincangan itu biasa-biasa saja? Misalnya, ada orang pintar banget tapi ucapan-ucapannya selalu kotor dan jorok. Jelas, kalau kita memakai akal sehat, maka kita akan memandang itu sebagai suatu kepincangan. Socrates pernah mengatakan kalau ada orang yang tindak-tanduknya bertentangan dengan ilmunya, maka dia bodoh. Sebab, dia melakukan sesuatu yang bertentangan dengan ilmunya. Siapapun yang ada di sana, termasuk saya sendiri yang penuh salah ini, juga akan dikatakan salah jika demikian.

Paul Joseph Goebbels pernah memunculkan teori propaganda yang mempengaruhi banyak orang. Kurang lebih begini “Sebarkan kebohongan berulang-ulang kepada publik. Kebohongan yang berulang-ulang akan membuat publik percaya bahwa kebohongan itu adalah kebenaran“. Apa kaitannya dengan pembahasan kita? Kaitannya, kita selalu menganggap benar yang biasa. Tapi, tidak membiasakan kebenaran. Kita menganggap benar jika ada orang pintar atau banyak ilmunya mengatakan sesuatu yang tidak-tidak. Padahal, kesalahan tetaplah kesalahan. Kenapa kita menganggap itu benar? Karena kita menyaksikannya berulang-ulang. Sesuatu yang dilakukan berulang-ulang, akan menjadi biasa, terlepas itu baik atau buruk.

Mengapa di Indonesia korupsi itu seolah menjadi budaya di kalangan elit? Karena korupsi itu sudah biasa dan dilakukan berulang-ulang. Banyak hal-hal yang aslinya buruk tapi diulang-ulang menjadi kebenaran. Kebenaran yang dimaksud bukanlah kebenaran hakiki, tapi kebenaran ilusif.

Begitu juga di dunia pendidikan kita, selalu menganggap nilai adalah dewa, ranking satu adalah tuhan, dan intelektual harus, selebihnya tidak, sebagai sebuah keharusan. Mengapa? Tuntutan dan penghargaan itu berulang-ulang kita saksikan pada hal-hal itu saja. Akhirnya mindset kita tersugesti untuk mengikuti tuntutan itu secara tidak sadar. Akhirnya, kalau ada hal-hal baik di luar intelektual, itu tidak akan dihargai. Mengapa? Karena sejak awak kita sudah terprogram untuk tidak menghargai dan menganggap itu semua sebagai hal bodoh.

Apa Yang Harus Kita Lakukan?

Melihat pendidikan kita yang terpuruk, bukanlah alasan untuk tidak mengembangkan diri. Sebab, mengembangkan diri tidak mengenal ruang dan waktu. Kita bisa mengembangkan diri di mana saja dan kapan saja. Cobalah untuk selalu mencoba hal baru, khususnya yang tidak diajarkan di sekolah. Sebab, kehidupan jauh lebih kompleks daripada deretan teori di sekolah.

Kita harus tetap optimis kalau serusak apapun pendidikan kita, masih bisa diperbaiki. Memperbaiki sesuatu itu tidak bisa langsung baik, seperti membalikkan telapak tangan. Kalau bukan orang-orang dari generasi sekarang yang akan memperbaikinya, maka yang datang adalah generasi yang ke depannya. Tapi, yang perlu kita ingat, jika kita menggantungkan sesuatu kepada orang lain, maka kita menggantungkan itu kepada kemungkinan. Kenapa kita tidak mulai dari diri kita saja kan?

Selain itu, kita tetap menggunakan akal sehat kita agar tidak membenarkan yang salah dan tidak menyalahkan yang benar. Kita belajar menjadi pribadi yang independen dan kritis agar kita bisa memastikan ilmu yang kita terima.

Memperbaiki negara kita dimulai dari memperbaiki pendidikannya. Kalau bukan kita yang memperbaiki negara kita, siapa lagi?

Wallahu a’lam

Tags: filsafatkritikpendidikan
Artikel Sebelumnya

Syubhat Seputar Mantik (6)

Artikel Selanjutnya

Empat Macam Wujud

Muhammad Said Anwar

Muhammad Said Anwar

Lahir di Makassar, Sulawesi Selatan. Mengenyam pendidikan Sekolah Dasar (SD) di MI MDIA Taqwa 2006-2013. Kemudian melanjutkan pendidikan SMP di MTs MDIA Taqwa tahun 2013-2016. Juga pernah belajar di Pondok Pesantren Tahfizh Al-Qur'an Al-Imam Ashim. Lalu melanjutkan pendidikan di Madrasah Aliyah Negeri Program Keagamaan (MANPK) Kota Makassar tahun 2016-2019. Kemudian melanjutkan pendidikan di Universitas Al-Azhar, Kairo tahun 2019-2024, Fakultas Ushuluddin, jurusan Akidah-Filsafat. Setelah selesai, ia melanjutkan ke tingkat pascasarjana di universitas dan jurusan yang sama. Pernah aktif menulis Fanspage "Ilmu Logika" di Facebook. Dan sekarang aktif dalam menulis buku. Aktif berorganisasi di Forum Kajian Baiquni (FK-Baiquni) dan menjadi Pemimpin Redaksi (Pemred) di Bait FK-Baiquni. Menjadi kru dan redaktur ahli di media Wawasan KKS (2020-2022). Juga menjadi anggota Anak Cabang di Organisasi Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU). Pada umur ke-18 tahun, penulis memililki keinginan yang besar untuk mengedukasi banyak orang. Setelah membuat tulisan-tulisan di berbagai tempat, penulis ingin tulisannya mencakup banyak orang dan ingin banyak orang berkontribusi dalam hal pendidikan. Kemudian pada umurnya ke-19 tahun, penulis mendirikan komunitas bernama "Ruang Intelektual" yang bebas memasukkan pengetahuan dan ilmu apa saja; dari siapa saja yang berkompeten. Berminat dengan buku-buku sastra, logika, filsafat, tasawwuf, dan ilmu-ilmu lainnya.

Artikel Selanjutnya

Empat Macam Wujud

KATEGORI

  • Adab Al-Bahts
  • Al-‘Umȗr Al-‘Ammah
  • Biografi
  • Filsafat
  • Fisika
  • Ilmu Ekonomi
  • Ilmu Firaq
  • Ilmu Hadits
  • Ilmu Kalam
  • Ilmu Mantik
  • Ilmu Maqulat
  • Karya Sastra
  • Matematika
  • Nahwu
  • Nukat
  • Opini
  • Penjelasan Hadits
  • Prosa Intelektual
  • Sastra Indonesia
  • Sejarah
  • Tasawuf
  • Tulisan Umum
  • Ushul Fiqh

TENTANG

Ruang Intelektual adalah komunitas yang dibuat untuk saling membagi pengetahuan.

  • Tentang Kami
  • Tim Ruang Intelektual
  • Disclaimer
  • Kontak Kami

© 2021 Ruang Intelektual - Mari Berbagi Pengetahuan.

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password? Daftar

Buat Akun Baru!

Isi Form Di Bawah Ini Untuk Registrasi

Wajib Isi Log In

Pulihkan Sandi Anda

Silahkan Masukkan Username dan Email Anda

Log In
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Ilmu Bahasa Arab
    • Nahwu
    • Sharaf
    • Balaghah
    • ‘Arudh
    • Qafiyah
    • Fiqh Lughah
    • Wadh’i
  • Ilmu Rasional
    • Ilmu Mantik
    • Ilmu Maqulat
    • Adab Al-Bahts
    • Al-‘Umȗr Al-‘Ammah
  • Ilmu Alat
    • Ulumul Qur’an
    • Ilmu Hadits
    • Ushul Fiqh
  • Ilmu Maqashid
    • Ilmu Kalam
    • Ilmu Firaq
    • Filsafat
    • Fiqh Syafi’i
    • Tasawuf
  • Ilmu Umum
    • Astronomi
    • Bahasa Inggris
    • Fisika
    • Matematika
    • Psikologi
    • Sastra Indonesia
    • Sejarah
  • Nukat
    • Kitab Mawaqif
  • Lainnya
    • Biografi
    • Penjelasan Hadits
    • Tulisan Umum
    • Prosa Intelektual
    • Karya Sastra
    • Ringkasan Buku
    • Opini
    • Koleksi Buku & File PDF
    • Video

© 2021 Ruang Intelektual - Mari Berbagi Pengetahuan.