Pada sore hari, saya bersama teman melintasi tempat yang sangat ramai, ada yang pergi berbelanja, ada juga yang sama seperti saya, jalan-jalan juga, dan lain-lain. Tiba-tiba, ada perempuan di jalan cantik menawan yang mencuri perhatian kami. Meskipun hanya lewat beberapa detik saja, tapi bayangannya begitu lekat di akal. Setelah itu, saya berkata kepada teman “cewek yang lewat tadi, cantik ya ternyata“. Kemudian, pada suatu kesempatan saya menuliskan kata “cewek” itu di sini, tepat yang anda baca sekarang.
Dari cerita singkat itu, kita bisa mengajukan beberapa pertanyaan, apakah cewek yang lewat itu berada di alam nyata? Tanpa perlu berpikir lama, kita bisa menjawab kalau memang cewek itu ada di alam nyata. Keberadaan seperti ini, para filusuf dengan istilah “𝒘𝒖𝒋𝒖𝒅 𝒌𝒉â𝒓𝒊𝒋𝒊𝒚” atau eksistensi yang berada di alam nyata. Segala sesuatu di dunia ini, memiliki wujud tersebut.
Sandal yang saya pakai, handphone yang saya genggam, teman yang saya temani jalan, semuanya wujud khâriji atau biasa juga disebut sebagai wujud ‘ain.
Tapi, beberapa setelah itu, wujud wanita cantik tadi, sudah tidak ada depan mata saya dan kawan saya, tapi bayang-bayangnya masih ada di akal kita. Keber-ada-an yang hanya ada di akal ini disebut dengan “𝒘𝒖𝒋𝒖𝒅 𝒅𝒛𝒊𝒉𝒏𝒊𝒚” atau eksistensinya hanya ada di akal, bukan di alam nyata.
Terkait dengan wujud kedua ini, ada perdebatan panjang antara para mutakallimun dan para filusuf, apakah wujud dzihni ini, bisa dikatakan benar-benar ada di alam nyata? Para mutakallimun memgatakan tidak, sedangkan para filusuf mengatakan iya. Ini tidak akan saya bahas pada sesi ini, karena bukan tempatnya. Yang jelas, kita tahu bahwa wujud dzihni seperti ini konsepnya dan ada perbedaan pendapat.
Sederhananya begini, wujud dzihni itu hanyalah “pantulan” dari wujud khârijiy. Jika anda membayangkan semua benda yang ada di alam semesta ini, maka saat itu juga, ia menjadi wujud dzihniy.
Setelah saya membayangkan cewek cantik tadi, saya mulai melafazhkan kepada teman “cewek yang lewat tadi, cantik ya ternyata“. Saya sudah mengeluarkan lafazh “cewek” kepada teman saya, dan lafazh ini juga termasuk wujud. Wujud apa? Yang jelas bukan wujud khârijiy dan wujud dzihniy. Para mutakallimun menyebutnya dengan “𝒘𝒖𝒋𝒖𝒅 𝒍𝒂𝒇𝒛𝒉𝒊𝒚” atau wujud yang hanya sebatas pelafalan saja. Sebenarnya, dia hanyalah metafora saja, bukan lagi wujud yang sesungguhnya.
Setelah kita melihat, bahwa setiap wujud tadi, bisa ada dalam alam nyata (wujud khârijiy), bisa juga hanya sebatas bayangan (wujud dzihniy), juga bisa dilafalkan (wujud lafzhiy), dan ternyata juga bisa ditulis. Sekarang saya menuliskan, dan pada tulisan sesi ini, anda sudah berkali-kali membaca kata “cewek“. Tulisan ini juga wujud, tapi disebut dengan “𝒘𝒖𝒋𝒖𝒅 𝒌𝒉𝒂𝒕𝒕𝒊𝒚/𝒌𝒂𝒕𝒃𝒊𝒚” atau wujud yang hanya berupa tulisan saja.
Mahmud Abu Daqîqah menegaskan bahwa wujud khattiy ini hanyalah metafora saja (wujud majâzi), sementara wujud yang benar-benar wujud adalah wujud khârijiy.
Para filusuf menyebutkan wujud-wujud ini dengan istilah “marâtib al-Wujud” (tingkatan-tingkatan wujud). Apapun yang berada di alam nyata, maka wujudnya disebut wujud khârijiy (wujud eksternal/alam luar). Kemudian, ketika kita hanya membayangkan wujud itu, maka ia menjadi wujud dzihniy (wujud rasio). Lalu ketika kita melafalkan sesuatu itu, maka menjadi wujud lafzhi (wujud verbal). Dan selanjutnya, ketika dituliskan, maka menjadi wujud khattiy (wujud tekstual).
Timbul pertanyaan, Tuhan memiliki keempat wujud itu atau tidak? Jawaban paling singkat, tidak. Karena keempat wujud ini hanya berlaku pada hal-hal mumkinât (kontigen) saja. Dengan kata lain, keempat wujud ini, hanya berlaku pada alam. Tidak berlaku bagi Tuhan. Tuhan sudah dikeluarkan dari wujud ini, sebagaimana ketika kita membahas maqûlat al-‘Asyarah, Tuhan tidak termasuk dalam kategori apapun.
Mengapa? Jika Tuhan memiliki wujud khârijiy, maka secara Tidak langsung, kita membatasi Tuhan dengan alam yang terbatas ini. Jika Tuhan memiliki wujud dzihniy, maka Tuhan sudah serupa dengan sesuatu yang ada di akal kita, sedangkan Tuhan tidak serupa dengan apapun. Wujud dzihniy itu, berkaitan dengan esensi (mâhiyyah), sedangkan Tuhan tidak memiliki esensi.
Tapi, itu tergantung bagaimana kita menerjemahkan atau menkonsepsikan “wujud khârijiy” ini. Jika kita menerjemahkan wujud khârijiy ini sebagai sesuatu yang ada di alam semesta, sudah tentu kita berkata tidak, sebab Tuhan tidak bertempat. Tapi, kalau kita memahami keberlakuan wujud khârijiy bagi Tuhan sebagai sesuatu yang berdiri sendiri, tidak bertempat, tidak berarah, tidak ada di dalam maupun di luar alam, maka bisa saja kita berkata iya. Tuhan memiliki wujud khârijiy dengan “konsep yang demikian”. Tuhan memiliki wujud yang independen, bukan sekedar imajinasi.
Lalu bagaimana dengan wujud lafzhi dan wujud khattiy? Seperti yang sudah dijelaskan, jika keduanya hanya metafora saja, tidak menunjukkan wujud asli. Ketika saya mengatakan “cewek” dan menuliskan kata “cewek” maka keduanya tidak membentuk wujud aslinya. Lafazh ya lafazh, tulisan ya tulisan.
Tuhan tidaklah bukan sesuatu yang terlafalkan, bukan sesuatu yang tertuliskan, bukan juga sesuatu yang terbayangkan, bukan juga sesuatu yang ada di alam semesta ini, tapi Dia adalah wujud yang independen, tidak berada di dalam alam semesta, tidak juga di luar alam, tidak berarah, juga tidak bertempat.
Kesimpulannya, wujud itu ada empat; 1) Wujud khârijiy, yang keberadaannya ada di alam nyata. 2) Wujud dzihniy, yang keberadaannya ada di akal. 3) Wujud lafzhi, yang sebatas pelafalan saja. 4) Wujud khattiy/katbiy. Wujud yang benar-benar hakiki adalah yang pertama. Wujud dzihniy, wujudnya diperselisihkan oleh para mutakallimun dan filusuf, sedangkan wujud lafzhiy dan khattiy, hanyalah metafora saja, bukan wujud asli (wujud majâzi).
Wallahu a’lam.