Sejak dulu sampai sekarang, orang kalau mendengar kata “filsafat” itu seolah-olah mereka melihat kecoa terbang yang mengejar, mau lari sekencang-kencangnya tanpa ada pertimbangan sama sekali. Mulai dari SMP sampai kuliah, filsafat selalu menjadi bahasan pelbagai kalangan dan dipandang sebagai dunia yang horror. Saya juga dulu termasuk korban alergi terhadap filsafat. Itu terjadi ketika SMA, guru saya itu memunculkan jurus filsafatnya dengan pertanyaan “Allah itu di mana?“. Seusai kelas itu, teman-teman saya mulai membincang pertanyaan-pertanyaan nyeleneh dari guru saya itu “itu pasti filsafat” dan dibalas oleh teman saya yang satunya lagi “memang filsafat itu rumit!” Saya yang hanya dengar-dengar waktu itu, langsung menanamkan mindset bahwa filsafat itu pasti rumit dan sulit. Saat itu juga, gambaran saya tentang filsafat itu berkutat seputar ketuhanan. Tidak lebih.
Belum lagi ditambah isu-isu bahwa orang itu gila gara-gara belajar filsafat dengan narasinya yang aneh-aneh. Saya semakin menjadi percaya kalau filsafat itu memang sesuatu yang rumit dan tidak harus dipelajari. Lebih baik belajar ilmu bahasa Arab saja. Tapi apa yang terjadi? Awal-awal saya menyentuh ilmu nahwu dan saraf juga terasa rumit. Artinya, bukan hanya filsafat yang rumit, ada juga yang lain. Saya bertanya-tanya, jika filsafat itu dijauhi karena kerumitannya, lantas kenapa orang berbondong-bondong belajar nahwu yang rumit itu?
Kemudian, ketika saya masuk kelas dua SMA, saya penasaran, seperti apa filsafat yang ditakuti orang itu? Saya membeli buku “Filsafat Islam” yang ditulis oleh Prof. Sirajuddin Zar. Di sinilah saya mengenal tokoh-tokoh pemikir muslim, seperti Ibnu Rusyd, Ibnu Sina, Al-Kindi, Al-Farabi, Fakhruddin Al-Razi dan lain sebagainya. Dan saya juga melihat sendiri kalau filsafat itu terkesan rumit karena pembawaan penulis dengan diksinya yang rumit.
Kemudian muncul statement dalam buku itu “filsafat adalah induknya ilmu” sejujurnya, ungkapan itu sangat ambigu bagi saya yang dangkal waktu itu. Lucunya, saya memahami kalau dimaksud “ibu” di sana adalah “paling sulit”. Padahal itu tidak ada keterkaitannya sama sekali. Di sini ketertarikan dalam filsafat itu belum ada, tapi penasaran semakin besar.
Pada semester berikutnya, saya membeli buku dengan tema psikologi dan logika. Di awal-awal buku itu, dijelaskan kalau ilmu yang bersangkutan itu memiliki hubungan erat dengan filsafat. Karena ilmu tersebut berada di bawahnya filsafat, sedangkan filsafat adalah ibunya. Padahal, keadaan saya waktu melihat psikologi itu jauh lebih rumit lagi, tapi kenapa filsafat yang menjadi ibunya? Banyak istilah-istilah aneh dan tidak pernah saya dengar sebelumnya ada dalam buku itu. Berarti ibu di sini, bukan yang paling sulit. Tapi, makna lain.
Belakangan, penasaran saya itu baru terjawab ketika bincang-bincang dengan seorang teman yang sealmamater MAPK, tapi dia sektor Jember yang memperkenalkan saya dengan teman ayahnya yang dari almamater sama, Dr. Fahruddin Faiz. Saya mendengarkan dulu cuplikan-cuplikan videonya di Youtube, itu beliau kedengaran luwes dan enak caranya menyampaikan. Kemudian, saya mencoba mendengarkan pelajaran filsafat yang beliau bawakan dengan durasi dua jam-an. Apa yang terjadi? Klaim-klaim kosong tentang filsafat rumit, horror, dan lain-lain itu terpatahkan dengan sendirinya. Mengapa? Beliau menggunakan bahasa dan contoh yang lumrah dalam kehidupan dan semenjak itu saya merasa filsafat mudah dimengerti.
Sebelum berangkat di Mesir, saya menemukan uraian mengenai logika, kalam, dan filsafat yang sederhana dari Muhammad Nuruddin (Mahasiswa Pancasarjana Al-Azhar, Jurusan Akidah-Filsafat). Apalagi melihat biografinya, saya tertarik membaca tulisan-tulisannya yang mudah dipahami.
Sebuah Riset
Di Mesir, saya selalu membawakan materi-materi yang berkaitan dengan ilmu logika. Terhitung sampai sekarang, sudah ada 10 kali saya membawakan materi itu. Tapi, ada bagian yang mengejutkan ketika teman seangkatan saya berkata “ternyata ilmu mantik itu mudah ya“. Padahal, materi yang saya bawakan itu isinya tidak beda dengan buku-buku rumit yang saya dapatkan, tapi kenapa hasilnya beda?
Saya teringat dengan uraian Ahmad Thoha Faz (Founder Matematika Detik) bahwa sejatinya ilmu itu sudah ada dalam diri kita. Hanya saja, ketika ilmu itu diubah dan diolah menjadi istilah-istilah aneh dan tidak kita kenali, di sana kita merasakan kesulitan. Padahal, makna yang diinginkan istilah-istilah itu sebenarnya sudah ada dalam diri kita.
Misalnya saja, ketika anda melihat asap menggumpal hitam dan dalam ukuran besar, kira-kira apa yang menyebabkan asap itu? Ya, kita akan menjawab bahwa penyebabnya adalah api. Sesederhana itu, karena ada dalam kehidupan kita. Tapi bagaimana kalau saya mengubahnya, seperti menyebut asap sebagai dâl dan api adalah madlûl, dan penunjukannya disebut dengan dalâlah? Di sini kita mulai merasakan ada kesulitan. Mengapa? Istilah-istilah itulah yang menciptakan kesan susahnya suatu ilmu. Padahal istilah-istilah itulah yang merupakan bentuk penjabaran dari kejadian-kejadian di kehidupan kita. Artinya, mereka ada di sekeliling kita, tapi mata akal kita kurang tajam dalam melihat itu.
Tapi kalau mau tidak mau, harus diakui bahwa salah satu kelemahan manusia adalah tidak bisa langsung melihat hakikat itu. Karena kelemahan ini, banyak manusia yang hanya fokus pada pembawaan, retorika, permainan kata, dan intonasi. Bukan kepada apa inti yang ada dalam ucapan itu. Untuk membuktikan itu, mudah saja.
“Aku haus, ambilkan aku minum”
“Kamu gak lihat aku ini sedang haus?”
“Bagusnya kalau air di gelas ini diisi, sayang”
Coba perhatikan tiga kalimat itu, apakah beda? Kalau dilihat sekilas memang berbeda, tapi sesuatu yang disampaikan itu sebenarnya sama. Semuanya minta air untuk diminum. Tapi, manusia seringkali terjebak dalam bentuk penyampaian itu. Ini sebab mengapa kita merasakan ilmu itu sulit. Karena kita melihat deretan istilah aneh-aneh itu, bukan apa yang mau disampaikan ilmu itu. Muncullah satu istilah “bukan tentang apa yang kau katakan, tapi bagaimana cara engkau menyampaikan”.
Filsafat itu Sulit?
Saya memiliki seorang teman. Ketika dia mau ke Universitas Al-Azhar, dia dicekoki informasi bahwa Fakultas Bahasa Arab itu sulit dan mengerikan. Apa yang terjadi? Dia awalnya tidak memilih Fakultas Bahasa Arab, mau memilih tafsir. Eh, ujung-ujungnya malah memilih fakultas yang disebut-sebut sebagai jurusan tersulit sepanjang masa. Tapi, ketika nilai ujiannya keluar, dia mendapat nilai yang sangat tinggi.
Kasus lain, ada beberapa orang yang saya ajar ilmu logika. Saya melakukan suatu percobaan, yakni mempraktikkan satu materi yang belum mereka sentuh. Dan materi ini adalah yang paling susah kata orang-orang. Saya mencoba membangun kalimat-kalimat yang seperti ini: “Jomblo itu sengsara, semua orang yang sengsara masuk neraka. Maka jomblo itu masuk neraka“. Mereka sontak tertawa. Artinya apa? Seandainya saya kasi tahu bentuk-bentuk istilahnya waktu itu juga, maka mereka tidak tertawa, dengan kata lain mereka tidak paham ditambah schock dengan istilah-istilah yang mereka nilai tinggi. Tapi, mereka tertawa, artinya mereka paham maksud susunan itu. Tiba-tiba ada satu orang angkat suara “ini bab tashdiqât kan?” Setelah pertanyaan itu dilontarkan, ada yang memberi kesan kalau “lah, tidak usah dulu materi yang tinggi dulu, kita tidak paham, mending bab ini saja dulu“. Padahal, tertawanya mereka membuktikan kalau mereka paham isi bab tinggi itu.
Saya bisa simpulkan kalau orang-orang yang berkutat pada penamaan, istilah, dan sejenisnya, mereka jugalah yang merasakan kesulitan yang ada dalam ilmu itu. Mengapa? Karena mereka sibuk pada lafaz atau kata yang mengantarkan kepada makna atau sesuatu yang diinginkan ilmu yang bersangkutan, bukan kepada maksud atau inti yang diinginkan ilmu itu sendiri.
Mengapa Orang Memandang Sulit Filsafat?
Sederhananya, ada beberapa kemungkinan yang menyebabkan hal itu terjadi:
1. Sibuk Pada Kerumitan Istilah, Bukan ke Isi Istilah
Seperti yang saya singgung di atas kalau orang-orang itu lebih banyak berkutat pada istilah atau kosakata rumit, bukan kepada hal-hal yang diinginkan filsafat itu sendiri. Yang diinginkan filsafat itu, kita bisa bersikap bijaksana, berpikir kritis, dan mengenal produk-produk pemikiran.
2. Anggapan Lingkungan
Seperti kasus teman saya yang dicekoki kalau Fakultas Bahasa Arab itu adalah fakultas tersulit. Akhirnya banyak orang yang percaya kalau fakultas bahasa Arab adalah fakultas yang sulit. Padahal sebagian mereka yang percaya bahwa itu fakultas tersulit, adalah mereka yang bukan berlatarbelakang Fakultas Bahasa Arab. Artinya, mereka hanya percaya tapi tidak pernah mencoba. Bagaimana mungkin kita bisa percaya spoiler film dari orang yang tidak pernah nonton film?
Seperti kata Erik Pevernagie, percaya itu mudah, berpikir itu sulit. Tapi berpikir kenapa kita percaya itu lebih sulit lagi. Kebanyakan orang itu hanya percaya, tidak pernah mencari tahu tentang apa yang mereka percayai. Akhirnya mereka terjebak pada kepercayaan yang mereka buat sendiri, seolah-olah mereka tahu apa yang mereka percayai.
Selain itu, ucapan itu diulang-ulang oleh banyak kalangan dan turun-temurun. Akhirnya, mereka menganggap itu benar. Sesuatu yang diulang-ulang walaupun itu salah, maka sesuatu itu akan dianggap benar. Maka jangan heran kenapa di Barat populasi islamophobia itu tumbuh. Kurang lebih, mereka juga bermasalah di bagian ini.
3. Tidak Mengetahui Kerelatifan Mudah dan Sulit
Kalau mau jujur-jujuran, mudah dan susah itu relatif. Artinya, ada satu hal yang mudah bagi kita, tapi bagi orang lain tidak. Mungkin ada yang merasa melukis itu sangat mudah, tapi ada juga yang merasa kalau melukis itu susah. Ada juga yang merasa matematika itu sulit karena belum belajar, tapi setelah belajar malahan bilang kalau matematika itu gampang. Artinya, kesulitan itu tidak terletak dalam ilmu itu sendiri, tapi terletak pada pikiran dan keadaan masing-masing orang.
Mungkin orang merasa sulit belajar filsafat karena tidak terbiasa dengan kata-kata yang digunakan para filusuf dalam menyampaikan gagasannya. Bisa saja menganggap filsafat itu susah karena sulit mengakses istilah-istilah ilmu yang ada di sana. Tapi ada juga yang merasa itu mudah karena sudah mengetahui inti dan apa yang diinginkan istilah dan ilmu itu. Bisa saja mereka merasa mudah karena pada hakikatnya ilmu itu ada di sekitarnya, dalam artian dia memiliki keakraban dengan ilmu itu sendiri.
4. Tidak Mengenali Filsafat itu Sendiri
Seandainya ada orang dicekoki doktrin kalau berpikir adalah hal yang sulit, mungkin orang akan percaya. Tapi sadar atau tidak, di saat mereka menganggap berpikir itu susah, mereka juga menggunakan pikiran untuk menangkap informasi kalau “berpikir itu susah”. Artinya, mereka memusuhi sesuatu yang tidak mereka kenal, sementara yang mereka musuhi itu menjadi sahabatnya.
Sama seperti kasus filsafat, mereka memusuhi filsafat tapi mereka bersikap sopan kepada orang tua dan gurunya. Padahal, filsafat mengajarkan sikap bijaksana, salah satunya bersikap sopan santun. Tahu harus apa dan mengambil sikap yang tepat, itu sebenarnya sudah berfilsafat. Tapi orang-orang tidak tahu kalau filsafat juga bisa sampai mengalir sejauh itu.
Kenapa Orang Alergi dengan Filsafat?
Salah satu jawaban yang paling dekat adalah kesulitan dan kerumitannya yang dibuat-buat. Ini sudah dijawab. Tapi, yang paling banyak di Indonesia adalah menganggap filsafat itu menjadi penyebab orang bisa menjadi atheis. Bahkan kalau ditanya ambil jurusan apa dan dijawab ambil akidah-filsafat, jawaban banyak orang itu tidak jauh-jauh dari “mau jadi atheis ya?“. Ini sempat saya singgung pada salah satu tulisan yang lalu.
Memang benar, ada kasus di mana orang menjadi tidak percaya Tuhan lagi setelah belajar filsafat. Tapi perlu kita ingat, bukan berarti hanya gara-gara ada satu atau dua kasus, kita langsung main pukul rata kalau filsafat itu sepenuhnya menjadi penyebab orang atheis. Sama seperti satu orang muslim melakukan bunuh diri, bukan berarti Islam yang menjadi pelakunya, saya sudah membahasnya pada salah satu tulisan yang lalu juga.
Tapi, kita juga harus tahu, dia belajar filsafat yang mana? Apakah filsafat sebagai metodologi berpikir atau produk pemikiran? Jika filsafat sebagai metodologi berpikir, saya ragu jika ini yang membuat orang sesat. Mengapa? Karena ini membahas “cara” berpikir atau kerangka berpikir saja, tidak membahas keyakinan atau pemikiran tertentu. Kalau yang dimaksud adalah filsafat sebagai produk pemikiran, ya mungkin saja ada menjadi atheis di sini. Karena filsafat yang menjadi produk pemikiran, itu mengandung subjekivitas yang punya pemikiran juga ada yang menjadi faktor-faktor pendorong munculnya suatu ide atau pemikiran. Ini biasanya ditandai dengan kata “menurut”. Seperti “kebenaran menurut Aristoteles“, “Ada menurut Plato“, dan lain-lain.
Artinya, orang yang belajar filsafat lantas menjadi atheis, bukan karena filsafat itu sendiri, tapi karena dia tidak memiliki filter untuk memisahkan hal-hal yang bisa diambil dan mana tidak. Dengan kata lain, cara belajarnya itu tidak beres. Filter itu adalah ilmu-ilmu rasional, khususnya muslim, dibentengi dengan ilmu akidah. Ini pernah saya singgung dalam salah satu tulisan yang lalu juga.
“Jadi, seperti apa sih filsafat itu sebenarnya?” Sederhanaya, filsafat mencakup segala aspek. Saking luasnya, sampai hari ini belum ada yang bisa mendefinisikan filsafat itu dengan definisi esensial. Mungkin nanti-nantilah kita akan membahas filsafat itu pada lain kesempatan.
“Eh, tapi kan bagaimana kita belum tahu filsafat itu mudah atau sulit” Bagaimana mungkin kita bisa menghukumi suatu film sebagai film bagus atau jelek, kalau filmnya sendiri belum kita nonton? Bagaimana cara kita menghukumi filsafat sebagai sesuatu yang mudah atau sulit, sementara filsafat itu sendiri tidak kita tahu? Jangan biasakan menghukumi sesuatu yang tidak diketahui.
Wallahu a’lam