Sewaktu saya masih di kelas bahasa, di sini kami belajar bahasa Arab dan guru kami waktu itu, Duktur (sebutan untuk guru di universitas) Miftah Fayez, menekankan banyak interaksi antara guru dan murid. Pastinya pakai bahasa Arab agar kami terbiasa. Tapi, mulai awal sampai beberapa waktu mendatang, yang kebanyakan bicara adalah orang Nigeria dan ada satu lagi negara yang saya lupa namanya. Bukannya orang Indonesia tidak diberi kesempatan, tapi banyak orang Indonesia yang takut berbicara. Kemudian, saya menemukan satu hal yang menjadi pertanyaan besar waktu itu, “di kelas ini, ada banyak orang Indonesia (bahkan mayoritas), tapi kenapa hanya dari negara tertentu saja yang berani speak up? Ada gerangan kah?”. Selain itu, saya menemukan banyak orang Indonesia yang bisa dibilang individualis. Padahal, setahu saya, Indonesia itu memiliki ciri khas yang banyak bersosial, kenapa tradisi yang mengakar itu perlahan berubah kan? Artinya, secara tersirat, ada sesuatu yang mengubahnya. Mana mungkin ada sesuatu yang berubah tanpa ada yang mengubahnya kan?
Pada satu waktu, saya mencoba berbicara dengan orang Indonesia. Saya hanya ingin tahu, apakah dia memiliki phobia atau tidak? Ternyata, setelah saya selidiki beberapa orang, kebanyakan dari mereka sebenarnya memiliki jiwa sosial yang baik. Artinya, dari segi potensi bergaul, dia cepat mendapatkan teman. Tapi dia tidak sama sekali terbesit untuk memulai lebih dulu untuk membuka komunikasi. Padahal ada di tempat yang di sekitarnya itu orang-orang yang dia kenal. Bahkan dalam forum diskusi, masih ada beberapa yang takut berbicara, padahal di forum itu adalah orang-orang yang “seharusnya” sudah akrab. Di sini, saya memiliki satu hipotesa “jika sejak awal ketidakterbukaan ini muncul, bagaimana mungkin tiba-tiba saja dia memiliki jiwa sosial yang baik?” Artinya, sebelum dia memiliki ketidakterbukaan, dia orang terbuka awalnya. Itu karena ada indikasi kuat, yakni jiwa sosial yang baik.
Sebelumnya, apa itu bully? Sederhananya, bully adalah perbuatan yang merugikan orang lain yang dilakukan sekali atau berkali-kali dengan sengaja. Dari kata “merugikan” jelas kita tahu ini sudah buruk, ditambah dengan kata “sengaja”. Sudah tahu itu buruk, eh malah dilakukan lagi, bahkan dijadikan tradisi.
Sampai pada satu kesempatan, ada yang membahas mengenai hal-hal yang membuat orang tidak terbuka, salah satunya adalah bully. Karena saya salah satu korban yang sudah sembuh dari dampak itu, entah kenapa saya terkoneksi pada satu hal “bully yang menjadi dampaknya. Alasannya, hampir semua orang yang saya temui mengatakan bahwa dia korban”. Kalaupun hal-hal yang saya sampaikan kebenarannya tidak bisa sampai ke ranah objektif, setidaknya lebih kuat sedikit dari subjektif, yakni intersubjektif.
Tadi pagi, saya sempat membuat story yang bertemakan “rekonstruksi”, isinya saya mengkritisi kebijakan yang saya pandang tidak terlalu penting dan sekolah harus meninjau ulang, seperti razia rambut. Tiba-tiba, ada teman yang membalas “Pembullyan itu tidak dilirik sama sekali” saya mengira kalau saya sudah kelar membahas sedikit bagian dari rekonstruksi, ternyata yang lebih urgen adalah ketika hal yang penting itu tidak dilirik sama sekali.
Saya pribadi menganggap dampak bully ini adalah hal yang subjektif. Sebab, ada orang yang merasa biasa-biasa saja, ada juga yang menganggap ini serius. Kita tentunya tidak bisa mengkomparasikan sikap kita yang bodo amat terhadap orang yang sejak lahir memiliki sikap peka terhadap lingkungan (letak ketidakbolehannya adalah perbandingan yang tidak apple to apple). Juga, mereka sulit untuk menjadi orang bodo amat dan jika dibully, mereka orang yang sangat berpotensi mengalami luka psikis. Dulu saya sendiri adalah orang yang sangat rentan terkena dampak itu, karena saya sendiri memang diajarkan dan dilatih untuk menjadi peka sejak kecil. Dulu saya tidak bisa melawan, jadi rentanlah kena bully. Sekarang, sulit, soalnya saya sudah memiliki tiga klan dan kekuatan. Jadi saya tidak merasa takut lagi kalau di bully. Coba saja kalau berani wkwk.
Mengapa penting? Saya hanya ingin mengajukan satu pertanyaan, apakah masalah mental itu penting? Jika jawabannya tidak, maka saya perlu berargumen dulu bahwa masalah mental itu penting.
Kita semua sepakat, bahwa menyakiti atau hal-hal yang membahayakan nyawa itu adalah hal buruk. Semua hal buruk itu harus dihindari. Maka, menyakiti atau hal-hal yang membahayakan nyawa itu adalah hal yang yang harus dihindari.
Hal-hal yang berkaitan dengan luka mental, itu bisa menyebabkan kita memiliki sikap untuk menyakiti dan membahayakan nyawa. Selain itu, hal ini bisa merusak mindset. Kita juga sepakat, ini adalah hal-hal buruk yang harus dijauhi. Jika ini akibat dari suatu perbuatan, maka kita harus menghindari sebabnya. Karena jika kita rela dengan sebab, maka kita juga rela terhadap akibatnya. Maka jika kita tidak rela terhadap akibat, maka seharusnya kita tidak rela juga terhadap sebabnya.
Di sini juga, saya meletakkan bully sebagai “sebab” terhadap luka dan masalah mental. Sebab, saya sendiri sudah menemukan bukti-bukti itu. Seperti penelitian, membedah diri, bahkan sampai observasi di lapangan. Saya memiliki data-datanya. Namun, perlu dicatat bahwa yang berkaitan dengan mental, tidak selalu dikatakan sebagai orang yang tidak waras atau gila. Orang tidak waras dan gila ini, adalah “salah satu” (bukan satu-satunya) yang mengalami masalah mental yang serius. Artinya, yang waras dan tidak gila pun, bisa dikategorikan sebagai orang yang mengalami luka mental.
Selain itu, luka mental, dampaknya bersangkutan dengan masa-masa yang akan datang. Saya tidak mengatakan bahwa ini hanya dua atau tiga hari sebagaimana luka fisik, tapi bisa saja berpuluh-puluh tahun, atau narasi lebih mudahnya “hidup anda bisa didominasi dengan luka mental” atau “hidup anda itu lebih banyak menderitanya”. Sedangkan luka fisik, waktu satu bulan sudah tergolong lama sudah sembuh. Maka, atas dasar ini, saya mengatakan “luka mental itu sangat urgen diperhatikan”. Jika kita sudah sepakat, maka saya bisa menyusun argumen selanjutnya dengan silogisme kategorik:
- Premis 1: Bully itu menyebabkan luka mental
Premis 2: Semua yang menyebabkan luka mental, harus mendapat perhatian khusus
Konklusi: Bully itu, harus mendapatkan perhatian khusus
Selain data empiris, ada beberapa juga yang menyatakan bahwa kasus bully ini tidak mendapat perhatian khusus. Parahnya, itu dianggap sebagai hal biasa yang tidak perlu diperhatikan. Bagi para korban, ini adalah anggapan yang tidak tepat. Soalnya, jika iseng semata, kenapa sampai membunuh karakter kan? Dan perbuatan ini bisa menular lalu dianggap sebagai hal lazim. Dalam filsafat sosiologi, sesuatu yang keseringan dilakukan, maka itu dianggap lazim dan benar, walaupun perbuatan itu salah. Tingkatan kebenarannya juga intersubjektif. Buktinya, seiring kita berusaha menghentikan bully ini, malahan kita dianggap sebagai orang yang alay, alasannya itu sudah kebiasaan.
Kalau mau dipikir, apakah kebiasaan itu tolak ukur benar? Ternyata tidak. Tidak semua kebiasaan itu benar. Solusi yang saya tawarkan dalam hal ini adalah seharusnya kita membiasakan kebenaran, bukan membenarkan kebiasaan. Inilah alasan kenapa kita harus kembali meninjau ulang dan merekonstruksi tindakan-tindakan yang dianggap biasa.
Bully memang ada dua jenis secara umum; 1) Verbal. 2) Non-Verbal. Yang verbal ini seperti mengintimidasi, melakukan hal-hal yang berkaitan dengan kekerasan, megata-ngatai, dan lain-lain. Adapun yang non-verbal itu seperti mengasingkan atau menganggap orang itu tidak ada. Walaupun diam atau pasif saja, bukan berarti sesuatu yang pasif tidak memberikan dampak. Diam juga bukan berarti memiliki makna, dia memiliki berjuta makna, tapi selalu jatuh kepada makna yang tidak baik.
Menurut hipotesa saya, ada beberapa hal yang bisa mengundang perbuatan bully:
1. Lingkungan dan Relasi
Kalau mau dipikir lebih jeli lagi, sebanarnya tidak selamanya pelaku itu menjadi pelaku karena dorongan dari dirinya sendiri, tapi bisa karena dorongan dari luar. Seperti misalnya relasi pertemanannya yang tukang bully. Kita semua tahu bahwa manusia adalah makhluk sosial. Karena sifat “sosial”-nya, maka manusia sangat mudah dibentuk karakternya oleh lingkungan. Jika dia bergaul dengan para wibu, lambat laun dia akan menjadi wibu juga. Kalau dia bergaul dengan orang yang gemar berbicara yang buruk, maka dia juga akan demikian. Tak terkecuali perbuatan bully.
Si pelaku, bisa saja awalnya bukan orang yang suka membully. Tapi karena disuruh teman atau merasa tidak enak kalau tidak ikutan, ya terpaksa saat itu juga dia harus ikut menjadi pelaku. Bagi saya, yang seperti ini, tidak kuat prinsip hidupnya. Masih hidup di bayang-bayang “ikut-ikutan dengan orang”.
Lingkungan ini juga mencakup adanya keluarga toxic yang mempengaruhi pikiran si pelaku. Memang pertengkaran atau hal-hal tidak mengenakkan terjadi di keluarga. Tapi dampaknya kepada si pelaku, dia yang sudah mengenal dengan baik visualisasi perbuatan keluarganya, akhirnya dia bawa keluar kepada teman-temannya.
2. Sikap yang Tidak Bertanggung Jawab
Untuk lebih memperjelas maksud poin ini, saya bisa memberikan anda contoh. Misalnya kenapa pengguna akun fake itu lebih garang? Karena ketika dia sudah mengekspresikan kebebasannya, entah itu baik atau buruk, pasti dia terlepas dari tanggung jawab. Mengapa? Identitasnya tidak kita ketahui. Atau ada juga yang pakai akun asli, karena persoalan jarak, mereka berani melakukan hal buruk terhadap kita. Mengapa? Karena dia tidak menerima konsekuensi perbuatannya. Coba misalnya di dunia nyata, kenapa ragu coba berbuat buruk? Karena pasti si pelaku berpikir, kalau melakukan hal itu, sama saja bunuh diri. Pelakunya bisa diapakan sampai hilang harga dirinya.
Begitu juga pelaku bully. Kebanyakan kasus yang saya temui, mereka ada dalam sebuah geng. Kenapa tidak sendiri saja kan? Karena kalau sendiri, ya bisa-bisa dia sendirian yang dituntut. Bedanya kalau satu geng, mereka punya kesempatan untuk lari dari tanggung jawab juga. Dengan kata lain, mereka melempar tanggung jawab itu kepada orang lain.
3. Kesempatan
Biasanya kesempatan ini bisa dilihat seperti kebetulan menemukan teman atau siapapun yang dengan pasti kita tahu mereka tidak bisa membalas ketika diapa-apain. Ya, karena ini adalah kesempatan untuk menuangkan kejahilan atau -mungkin- dendam ketika menjadi korban, maka jadilah perbuatan bully ini.
Tapi, apa saja sih dampaknya?
Apakah sekedar luka mental? Iya, jangan mengira luka mental itu hanya satu jenisnya, ada banyak. Salah satunya, trauma sampai dewasa. Di sinilah sebab kenapa banyak orang di usianya yang sudah dewasa masih takut dikritik, takut speak up, dan takut-takut lainnya. Akhirnya jadi pendiam dan individualis.
Selain itu, luka mental menyebabkan luka pada dua hal; 1) Hari Ini. 2) Hari yang Akan Datang. Bedanya dengan luka fisik, hanya melukai satu hal saja, yakni saat itu juga. Kalau pun menyebabkan luka terhadap hal-hal yang akan mendatang, paling hanya beberapa hari. Tapi, jika dikaitkan dengan bully verbal, maka yang kena itu ada dua; 1) Luka Fisik. 2) Luka Psikis. Luka fisik disebabkan fisik itu, dan luka psikis disebabkan perilaku. Kita tidak berbicara dalam konteks luka permanen. Itu lain cerita lagi.
Ada beberapa masukan dari teman-teman ketika saya meminta pendapat mereka mengenai “jika kalian korban, apa dampaknya bagi kalian?”. Ada beberapa jawaban yang saya bisa kutip:
“...sejak saat itu, saya cenderung introvert, takut bersosialisasi, dan cenderung overthinking sama orang lain, karena takut diperlakukan sama dengan pembully-pembully itu…” ungkap salah satu teman via WhatsApp pada 05:41 CLT.
Tak sampai di sana, ada juga yang mengungkapkan “…saya yang awalnya pendiam terus baik gitu, mudah kasihan sama orang, jarang bersosial, setelah dibully cukup lama, saya jadi agak kasar waktu itu, jadi lebih apatis, tidak mudah simpati sama orang” di WhatsApp pada 08:07 CLT.
Tak jarang juga mereka yang hilang percaya diri, takut berargumen, takut dikomentari, bahkan memberikan saran pun takut. Alasannya takut dibully. Senior saya saja ada yang takut menulis status di WhattsApp-Nya. Katanya, takut dikomentari dan dikritik. Ini indikasi besar kalau dia sedang trauma. Belakangan, saya dapat informasi kalau indikasi itu memang benar. Dia akui kalau dia trauma.
Jenis-jenis bully itu juga macam-macam yang mereka alami:
“Dikeroyok satu kelas, dicambuk pakai lidi, diperas” ungkap salah satu audiens.
“…saat itu bisa dibilang saya murid paling pintar, suka dicontek secara paksa, buku diambil dan diumpetin, kalau nggak, bakal dipukul rame-rame…” ungkap audiens lain. Di sini, kita bisa melihat, betapa buruknya perbuatan bully ini.
Pada pengamatan lanjutan saya, bully ini kemudian diisi dengan doktrin. Saya sempat jadi korban dan pelaku. Ya, karena saya tidak lupa bahwa saya adalah pelaku, maka saya bertanggungjawab juga untuk melepas doktrin-doktrin tertentu. Tidak lain, dengan cara membuat argumen tandingan.
Jika dikatakan “untuk apa sih mengadu-adu, cengeng banget! Sudah bertahun-tahun menjadi korban, dan tidak ada yang melakukan pengaduan.” Maka bantahan saya, jika mengadu-adu dianggap sebagai hal terlarang, kenapa perbuatan bully ini tidak boleh diadukan kan? Seandainya ini perbuatan baik, lantas kenapa takut diadukan? Lalu, jika ada perbuatan bertahun-tahun terus dilakukan lalu dikatakan benar, lantas kenapa perbudakan dan penjajahan di atas bumi itu ditiadakan? Padahal perbuatan itu sudah bertahun-tahun dilakukan. Jika dibantah “lah, masih ada kok perbuatan yang sudah bertahun-tahun dan baik dilakukan turun-temurun“. Maka bantahannya, adanya perbuatan baik dalam rentang waktu bertahun-tahun itu tidak lantas meniadakan adanya kemungkinan buruk. Ada kaidah: “terangkatnya satu kemungkinan, tidak meniscayakan ketiadaan kemungkinan lain itu pada kasus berbeda“. Artinya, jika dimaksudkan adalah perbuatan baik, ya ada perbuatan baik yang diwariskan. Tapi faktanya, ada juga perbuatan buruk (bukan dalam perbuatan yang sama) tetap juga diwariskan. Berarti, perbuatan yang diwariskan dari segi etika, memiliki dua kemungkinan: 1) Baik. 2) Buruk. Maka dari itu, perbuatan yang diwariskan tidak bisa menjadi tolak ukur kebenaran. Berarti harus dipertimbangkan ulang dong.
Kurang lebih demikian bantahan terhadap orang yang menganggap perbuatan aduan adalah perbuatan yang buruk. Jika dikatakan lagi “tidak semua orang yang bisa ditempati mengadu” maka jawaban saya, ya memang. Tidak semua orang ditempati mengadu, berarti hanya orang-orang yang memiliki otoritas mendengar aduan itu. Dengan kata lain, aduan akan tetap berjalan dengan memperhatikan beberapa hal. Semisal di pesantren, jika terjadi pembullyan, maka tempat mengadu adalah orang yang ada di pesantren itu juga. Semisal pembina atau pimpinan, di sana kita bisa mengadu. Bukan kepada orang yang tidak berhak dan tidak memiliki otoritas.
Tentang perbuatan yang diadukan itu sebenarnya ada kategorinya. Secara umum, yang bisa diadukan adalah perbuatan buruk yang merugikan dan jika tidak diadukan, maka perbuatan itu akan terus berjalan.
Pesan-Pesan
Teruntuk para korban, silahkan mengadu jika kalian adalah korban. Kalau pun kalian dihadang oleh para pelaku untuk mengadu, ingatlah ini “mereka tidak punya alasan rasional untuk membenarkan perbuatannya“. Kalau pun kalian sudah mengadu, sebenarnya mereka takut jika mengulangi perbuatannya. Dan ingat juga, kalian bisa bangkit. Nanti kapal dikatakan tenggelam jika tidak bangkit dari air itu. Ada banyak korban yang kini menjadi orang sukses. Teruslah mencoba hal baru, carilah apresiasi. Karena keadaan kalian menuntut kalian mencari apresiasi dan tentunya kalian butuh tempat yang tepat. Seperti mobil klasik, jika kalian pergi ke toko mobil, maka harganya murah. Tapi jika ditempat orang yang mengoleksi mobil, harganya bisa mahal karena langkanya barang klasik itu. Mobil pun, butuh tempat yang tepat.
Teruntuk orang tua dan semua institusi, jangan menganggap perbuatan ini sebagai perbuatan kecil dan tidak berdampak serius. Sebagai korban dan mewakili suara para korban, ini perbuatan yang serius. Kita mengamini ada banyak hal-hal kecil yanh bisa berdampak terhadap hal-hal besar dan penting. Perbuatan ini terlihat kecil nan sederhana, tapi dampaknya itu sampai berimbas terhadap karakter dan masa depan para korban yang tentunya kita sepakati sebagai sesuatu yang “penting”. Dengarkanlah mereka ketika mengadukan soal ini. Jangan sampai mereka kehilangan rasa aman dan tempat berlindung lalu bebannya dia simpan untuk dirinya. Kita harus tahu bahwa berbagi cerita atau curhat, itu bisa mengurangi beban itu. Walaupun tidak kurang, setidaknya ada maslahat, yakni berkurangnya beban.
Terakhir, teruntuk para pelaku, saya tahu kalian masih minim edukasi untuk hal-hal yang berkenaan dengan mental dan topik bully. Itulah mengapa kalian melakukan itu. Kalau kalian merasa susah untuk menghentikannya, mulailah perlahan. Tidak harus instan. Juga, kalian butuh bimbingan atau orang yang sering menegur, plus jangan lupa setiap sebelum tidur, lakukan evaluasi dan refleksi, apakah kalian yakin, perbuatan kalian itu punya alasan? Tapi, jika kalian bersikeras tetap ingin melakukan, coba datangkan argumen yang rasional untuk melegalisasi perbuatan kalian.
“Tapi kan, mereka kalau dalam proses edukasi pun masih bermasalah, gak peduli dengan yang disampaikan”
“Hmm, itu sih masalah lain lagi, brother”
Salam Akal Sehat!