Ruang Intelektual
  • Login
  • Daftar
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Ilmu Bahasa Arab
    • Nahwu
    • Sharaf
    • Balaghah
    • ‘Arudh
    • Qafiyah
    • Fiqh Lughah
    • Wadh’i
  • Ilmu Rasional
    • Ilmu Mantik
    • Ilmu Maqulat
    • Adab Al-Bahts
    • Al-‘Umȗr Al-‘Ammah
  • Ilmu Alat
    • Ulumul Qur’an
    • Ilmu Hadits
    • Ushul Fiqh
  • Ilmu Maqashid
    • Ilmu Kalam
    • Ilmu Firaq
    • Filsafat
    • Fiqh Syafi’i
    • Tasawuf
  • Ilmu Umum
    • Astronomi
    • Bahasa Inggris
    • Fisika
    • Matematika
    • Psikologi
    • Sastra Indonesia
    • Sejarah
  • Nukat
    • Kitab Mawaqif
  • Lainnya
    • Biografi
    • Penjelasan Hadits
    • Tulisan Umum
    • Prosa Intelektual
    • Karya Sastra
    • Ringkasan Buku
    • Opini
    • Koleksi Buku & File PDF
    • Video
Ruang Intelektual
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil

Simbol Keagamaan, Kesucian yang Dihinakan

Oleh Muhammad Said Anwar
9 November 2021
in Opini
Simbol Keagamaan, Kesucian yang Dihinakan
Bagi ke FacebookBagi ke TwitterBagi ke WA

Belakangan, di Indonesia mulai marak aliran dan paham tertentu melalui jaringan anak muda yang masih polos. Pasalnya, anak muda polos atau orang awam yang tidak tahu apa-apa jelas tidak bisa membedakan mana benar dan mana yang salah. Sebagai orang yang polos, apapun yang dianggap benar menurut lingkungan, pasti dia anggap benar juga. Bagaimana tidak, bagaimana caranya menghukumi sesuatu salah jika yang benar pun tidak diketahui? Justru barometer salahnya sesuatu adalah menyimpang dari kebenaran itu sendiri.

Indonesia sebagai negara mayoritas Islam terbesar di dunia secara otomatis menganggap benar apapun yang berkaitan dengan Islam. Tapi, kalau kita mau pikir, secara akal sangat mudah mengidentikkan hal-hal yang buruk dengan agama. Misalnya, bom bunuh diri dengan memberikan perbuatan itu dengan sebutan “Jihad” lalu dibungkus dengan segenap firman Tuhan ditambah lagi dengan tafsiran dangkal. Jadilah paham itu memasuki sendi-sendi masyarakat.

Pada dasarnya, simbol-simbol agama itu bersih dan harus dihormati. Tapi muncul pihak-pihak yang mengotori simbol agama itu sendiri. Akhirnya simbol-simbol yang kita hormati ini mulai kita ragukan. Sebab, bisa saja kita menaruh hormat ternyata di balik tirai simbol itu adalah kesesatan. Benarlah kata Ibnu Rusyd bahwa agama itu jualan paling laku dan laris. Maka bungkuslah kebatilan itu dengan agama sehingga orang mengira itu benar. Frasa “mengira itu benar” sendiri menunjukkan bahwa sesuatu yang dikira benar itu adalah kesalahan.

Sebuah Kaidah

Di lingkungan penulis pribadi, ada kaidah yang terkenal: Al-‘ibrah bi al-ma’na la bi al-lafzh (yang diperhitungkan adalah makna dari suatu kata, bukan bentuk kata itu sendiri). Contoh sederhananya, saya menyebut “sendok” tapi yang dimaksud adalah “garpu”. Atau yang lebih familiar pacaran syar’i tapi isinya maksiat. Bagaimana mungkin syariat itu sendiri merestui sebuah maksiat?

Permainan kata seperti itu berlaku juga di kalangan masyarakat. Buktinya, ada orang yang mengkritisi kelompoknya dianggap melawan Allah seolah-olah kelompoknya itu merupakan representasi dari Tuhan. Firaun geleng-geleng kepala melihat orang yang tingkahnya seperti itu. Atau mengatakan segala tindak-tanduknya adalah full sunnah. Seolah-olah perbuatannya adalah cerminan dari Nabi Saw. makanya kalau mereka dikritisi, langsung marah-marah.

Seorang anak muda yang nalarnya jernih, sama kuatnya dengan semangatnya harusnya belajar memperluas wawasan dan mengasah nalar. Karena orang yang nalarnya lemah akan ditipu. Adakah orang ditipu dan di saat bersamaan dia merasa dirinya ditipu? Seandainya dia tahu dan nalarnya sehat, pasti akan menyelamatkan dirinya. Itu jika nalarnya sehat.

Pernah dengar ada kejadian “radikalisme di balik pesantren”? Ya, bisa saja mereka sudah menyadari bahwa pesantren sudah memiliki image yang baik di tengah masyarakat. Makanya nama pesantren itu dipakai. Yang menjadi titik fokus kita, bukan pesantrennya tapi paham rusaknya itu yang bermasalah. Atau kalau kita menarik lebih jauh ke belakang, di sana ada Ibnu Muljam yang merupakan sosok penghafal Al-Qur’an, tapi tega-teganya sampai berani mengalirkan darah salah satu sahabat yang mulia, Sayyidina Ali bin Abi Thalib sekaligus sepupu Rasulullah Saw.

BacaJuga

Hari Kemerdekan; Babak Baru Penjajahan

Pesulap Merah dan Pola Pikir Masyarakat

Penista Agama yang Sesungguhnya

Si Paling Benar

Simbol pesantren dan penghafal Al-Qur’an sekarang kerap dipakai untuk memasukkan paham mereka. Padahal Rasulullah Saw. sendiri mengajarkan kepada kita sebagai umatnya bahwa ada orang yang membaca Al-Qur’an tapi bacaan itu hanya sampai di tenggorokan saja, tidak turun ke hati. Tidak pernahkah anda bertanya-tanya, kenapa orang hanya mengampanyekan Al-Qur’an, tidak pernah mengampanyekan belajar agama mulai dari membentuk malakah sampai mendalami turats para ulama? Apa gerangan?

Semangat yang Mengalahkan Ilmu

Ingat bom bunuh diri yang terjadi di berbagai lokasi? Kita bisa bertanya, seberapa besar semangat mereka dalam menunaikan ajarannya? Melebihi kita! Jangankan harta, nyawa pun mereka berani korbankan demi menunaikan ajarannya. Seberapa semangat dan berani kita menunaikan ajaran yang kita anggap benar? Jauh di bawah mereka yang berani mengorbankan nyawa.

Lagi dan lagi, nasihat sosok guru di pondok selalu saja terlantunkan “Ilmu yang tidak diamalkan, bak pohon tanpa buah. Sedangkan perbuatan tanpa ilmu, akan terjerumus dalam kesesatan”. Seseorang yang tidak berpikir dulu, pasti lebih banyak tindakannya daripada mereka yang berpikir. Kalimat ini memang selalu dipakai oleh orang yang suka aksi dan suka berpikir. Karena mereka yang suka aksi, menganggap dirinya realistis sedangkan yang berpikir dulu dianggap “terlambat realistis”.

Sekali lagi, kalau kita ingin berpikir, kita akan menemukan bahwa perbuatan itu tidak lepas dari dua; Pertama, kuantitas. Kedua, kualitas. Kita bisa membandingkan, mendingan mana, perbuatan yang sedikit tapi berkualitas atau perbuatan banyak tapi tidak berkualitas? Dan kualitas perbuatan kita ditentukan seberapa kokoh konsep yang kita susun sebelumnya. Pada akhirnya, kita diharuskan berpikir sebelum bertindak. Tidak terkecuali belajar. Sebab, belajar itu fase di mana kita menyusun konsep-konsep perbuatan kita. Kalau sudah belajar, perbuatan yang sedikitnya saja sudah luar biasa, apalagi kalau banyak perbuatannya. Sebab, berdasar ilmu.

Kalau pun orang belajar ilmu agama, tetap saja ada penyakitnya, mau tampil di tengah masyarakat. Memang benar, jalan menuju kebenaran itu sederhana, tapi dibuat rumit oleh keinginan yang terlalu ingin cepat eksis.

Pendangkalan Massal

Pendangkalan nalar itu juga atas nama agama. Orang dilarang bertanya kenapa dan kenapa, walaupun itu dalam ranah ta’aqquli (yang bisa dirasionalkan). Memang benar kita harus sami’na wa atha’na apa yang dikatakan oleh guru. Tapi, bertanya-tanya dengan kata “kenapa” selalu dianalogikan dengan Bani Israil yang bertanya terus kepada Nabi Musa As. ketika disuruh sesuatu. Padahal, analogi ini keliru. Mengapa? Sebab, Bani Israil menanyakan hal yang sudah jelas dan jika mereka bertanya, maka mereka akan dibuat sulit oleh Allah. Bedanya, mahasiswa atau pelajar bertanya itu karena bisa saja ada kejanggalan atau ketidakjelasan dan itu tidak membuat mereka semakin sulit jika mereka tahu jawabannya.

Ini menjadi penyebab kenapa simbol agama itu perlahan dihinakan dengan dipakai membungkus kebatilan tertentu. Kalau murid-murid para tukang doktrin itu bertanya, mereka akan dikecam “cukup taati saja!”. Akhirnya, murid-murid ini manut-manut saja apa yang dikatakan gurunya. Itu belum lagi faktor dari guru itu sendiri: anti-kritik.

Solusi dan Saran

Hendaknya para pemuda itu belajar ilmu agama pada orang yang memang layak menyandang status guru itu. Dengan kata lain, pelajar harus mampu menyeleksi tempat orang-orang yang akan dia datangi untuk belajar. Dalam belajar agama, tentu kita langsung datang ke orang yang paling hebatlah atau ulama yang terpandanglah keilmuannya.

Selain itu, pemuda harusnya belajar mengasah nalar dan tidak mudah tertipu dengan simbol-simbol keagamaan tertentu. Karena sekarang orang sangat mudah mengatasnamakan agama untuk memenuhi kepentingannya. Juga, anak muda yang masih panas darahnya, jangan terlalu semangat sampai lupa akan berpikir dan mempertimbangkan sesuatu. Bertindak memang penting, tapi berpikir sebelum bertindak jauh lebih penting.

Tags: berpikirnalar sehatradikalisme
Muhammad Said Anwar

Muhammad Said Anwar

Lahir di Makassar, Sulawesi Selatan. Mengenyam pendidikan Sekolah Dasar (SD) di MI MDIA Taqwa 2006-2013. Kemudian melanjutkan pendidikan SMP di MTs MDIA Taqwa tahun 2013-2016. Juga pernah belajar di Pondok Pesantren Tahfizh Al-Qur'an Al-Imam Ashim. Lalu melanjutkan pendidikan di Madrasah Aliyah Negeri Program Keagamaan (MANPK) Kota Makassar tahun 2016-2019. Kemudian melanjutkan pendidikan di Universitas Al-Azhar, Kairo tahun 2019-2024, Fakultas Ushuluddin, jurusan Akidah-Filsafat. Setelah selesai, ia melanjutkan ke tingkat pascasarjana di universitas dan jurusan yang sama. Pernah aktif menulis Fanspage "Ilmu Logika" di Facebook. Dan sekarang aktif dalam menulis buku. Aktif berorganisasi di Forum Kajian Baiquni (FK-Baiquni) dan menjadi Pemimpin Redaksi (Pemred) di Bait FK-Baiquni. Menjadi kru dan redaktur ahli di media Wawasan KKS (2020-2022). Juga menjadi anggota Anak Cabang di Organisasi Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU). Pada umur ke-18 tahun, penulis memililki keinginan yang besar untuk mengedukasi banyak orang. Setelah membuat tulisan-tulisan di berbagai tempat, penulis ingin tulisannya mencakup banyak orang dan ingin banyak orang berkontribusi dalam hal pendidikan. Kemudian pada umurnya ke-19 tahun, penulis mendirikan komunitas bernama "Ruang Intelektual" yang bebas memasukkan pengetahuan dan ilmu apa saja; dari siapa saja yang berkompeten. Berminat dengan buku-buku sastra, logika, filsafat, tasawwuf, dan ilmu-ilmu lainnya.

RelatedPosts

Hari Kemerdekan; Babak Baru Penjajahan
Opini

Hari Kemerdekan; Babak Baru Penjajahan

Oleh Muhammad Said Anwar
17 Agustus 2022
Pesulap Merah dan Pola Pikir Masyarakat
Opini

Pesulap Merah dan Pola Pikir Masyarakat

Oleh Muhammad Said Anwar
5 Agustus 2022
Penista Agama yang Sesungguhnya
Opini

Penista Agama yang Sesungguhnya

Oleh Muhammad Said Anwar
9 Juli 2022
Si Paling Benar
Opini

Si Paling Benar

Oleh fachryalhidayah
1 Juni 2022
Menjawab “Katanya”
Opini

Menjawab “Katanya”

Oleh fachryalhidayah
27 Mei 2022
Artikel Selanjutnya
Cara Menumbuhkan Cinta

Cara Menumbuhkan Cinta

Surga dan Neraka yang Sebenarnya

Surga dan Neraka yang Sebenarnya

Matinya Kepakaran

Matinya Kepakaran

KATEGORI

  • Adab Al-Bahts
  • Al-‘Umȗr Al-‘Ammah
  • Biografi
  • Filsafat
  • Ilmu Ekonomi
  • Ilmu Firaq
  • Ilmu Hadits
  • Ilmu Kalam
  • Ilmu Mantik
  • Ilmu Maqulat
  • Karya Sastra
  • Matematika
  • Nahwu
  • Nukat
  • Opini
  • Penjelasan Hadits
  • Prosa Intelektual
  • Sejarah
  • Tasawuf
  • Tulisan Umum
  • Ushul Fiqh

TENTANG

Ruang Intelektual adalah komunitas yang dibuat untuk saling membagi pengetahuan.

  • Tentang Kami
  • Tim Ruang Intelektual
  • Disclaimer
  • Kontak Kami

© 2024 Karya Ruang Intelektual - Mari Berbagi Pengetahuan

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password? Daftar

Buat Akun Baru!

Isi Form Di Bawah Ini Untuk Registrasi

Wajib Isi Log In

Pulihkan Sandi Anda

Silahkan Masukkan Username dan Email Anda

Log In
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Ilmu Bahasa Arab
    • Nahwu
    • Sharaf
    • Balaghah
    • ‘Arudh
    • Qafiyah
    • Fiqh Lughah
    • Wadh’i
  • Ilmu Rasional
    • Ilmu Mantik
    • Ilmu Maqulat
    • Adab Al-Bahts
    • Al-‘Umȗr Al-‘Ammah
  • Ilmu Alat
    • Ulumul Qur’an
    • Ilmu Hadits
    • Ushul Fiqh
  • Ilmu Maqashid
    • Ilmu Kalam
    • Ilmu Firaq
    • Filsafat
    • Fiqh Syafi’i
    • Tasawuf
  • Ilmu Umum
    • Astronomi
    • Bahasa Inggris
    • Fisika
    • Matematika
    • Psikologi
    • Sastra Indonesia
    • Sejarah
  • Nukat
    • Kitab Mawaqif
  • Lainnya
    • Biografi
    • Penjelasan Hadits
    • Tulisan Umum
    • Prosa Intelektual
    • Karya Sastra
    • Ringkasan Buku
    • Opini
    • Koleksi Buku & File PDF
    • Video

© 2024 Karya Ruang Intelektual - Mari Berbagi Pengetahuan