Belakangan, di Indonesia mulai marak aliran dan paham tertentu melalui jaringan anak muda yang masih polos. Pasalnya, anak muda polos atau orang awam yang tidak tahu apa-apa jelas tidak bisa membedakan mana benar dan mana yang salah. Sebagai orang yang polos, apapun yang dianggap benar menurut lingkungan, pasti dia anggap benar juga. Bagaimana tidak, bagaimana caranya menghukumi sesuatu salah jika yang benar pun tidak diketahui? Justru barometer salahnya sesuatu adalah menyimpang dari kebenaran itu sendiri.
Indonesia sebagai negara mayoritas Islam terbesar di dunia secara otomatis menganggap benar apapun yang berkaitan dengan Islam. Tapi, kalau kita mau pikir, secara akal sangat mudah mengidentikkan hal-hal yang buruk dengan agama. Misalnya, bom bunuh diri dengan memberikan perbuatan itu dengan sebutan “Jihad” lalu dibungkus dengan segenap firman Tuhan ditambah lagi dengan tafsiran dangkal. Jadilah paham itu memasuki sendi-sendi masyarakat.
Pada dasarnya, simbol-simbol agama itu bersih dan harus dihormati. Tapi muncul pihak-pihak yang mengotori simbol agama itu sendiri. Akhirnya simbol-simbol yang kita hormati ini mulai kita ragukan. Sebab, bisa saja kita menaruh hormat ternyata di balik tirai simbol itu adalah kesesatan. Benarlah kata Ibnu Rusyd bahwa agama itu jualan paling laku dan laris. Maka bungkuslah kebatilan itu dengan agama sehingga orang mengira itu benar. Frasa “mengira itu benar” sendiri menunjukkan bahwa sesuatu yang dikira benar itu adalah kesalahan.
Sebuah Kaidah
Di lingkungan penulis pribadi, ada kaidah yang terkenal: Al-‘ibrah bi al-ma’na la bi al-lafzh (yang diperhitungkan adalah makna dari suatu kata, bukan bentuk kata itu sendiri). Contoh sederhananya, saya menyebut “sendok” tapi yang dimaksud adalah “garpu”. Atau yang lebih familiar pacaran syar’i tapi isinya maksiat. Bagaimana mungkin syariat itu sendiri merestui sebuah maksiat?
Permainan kata seperti itu berlaku juga di kalangan masyarakat. Buktinya, ada orang yang mengkritisi kelompoknya dianggap melawan Allah seolah-olah kelompoknya itu merupakan representasi dari Tuhan. Firaun geleng-geleng kepala melihat orang yang tingkahnya seperti itu. Atau mengatakan segala tindak-tanduknya adalah full sunnah. Seolah-olah perbuatannya adalah cerminan dari Nabi Saw. makanya kalau mereka dikritisi, langsung marah-marah.
Seorang anak muda yang nalarnya jernih, sama kuatnya dengan semangatnya harusnya belajar memperluas wawasan dan mengasah nalar. Karena orang yang nalarnya lemah akan ditipu. Adakah orang ditipu dan di saat bersamaan dia merasa dirinya ditipu? Seandainya dia tahu dan nalarnya sehat, pasti akan menyelamatkan dirinya. Itu jika nalarnya sehat.
Pernah dengar ada kejadian “radikalisme di balik pesantren”? Ya, bisa saja mereka sudah menyadari bahwa pesantren sudah memiliki image yang baik di tengah masyarakat. Makanya nama pesantren itu dipakai. Yang menjadi titik fokus kita, bukan pesantrennya tapi paham rusaknya itu yang bermasalah. Atau kalau kita menarik lebih jauh ke belakang, di sana ada Ibnu Muljam yang merupakan sosok penghafal Al-Qur’an, tapi tega-teganya sampai berani mengalirkan darah salah satu sahabat yang mulia, Sayyidina Ali bin Abi Thalib sekaligus sepupu Rasulullah Saw.
Simbol pesantren dan penghafal Al-Qur’an sekarang kerap dipakai untuk memasukkan paham mereka. Padahal Rasulullah Saw. sendiri mengajarkan kepada kita sebagai umatnya bahwa ada orang yang membaca Al-Qur’an tapi bacaan itu hanya sampai di tenggorokan saja, tidak turun ke hati. Tidak pernahkah anda bertanya-tanya, kenapa orang hanya mengampanyekan Al-Qur’an, tidak pernah mengampanyekan belajar agama mulai dari membentuk malakah sampai mendalami turats para ulama? Apa gerangan?
Semangat yang Mengalahkan Ilmu
Ingat bom bunuh diri yang terjadi di berbagai lokasi? Kita bisa bertanya, seberapa besar semangat mereka dalam menunaikan ajarannya? Melebihi kita! Jangankan harta, nyawa pun mereka berani korbankan demi menunaikan ajarannya. Seberapa semangat dan berani kita menunaikan ajaran yang kita anggap benar? Jauh di bawah mereka yang berani mengorbankan nyawa.
Lagi dan lagi, nasihat sosok guru di pondok selalu saja terlantunkan “Ilmu yang tidak diamalkan, bak pohon tanpa buah. Sedangkan perbuatan tanpa ilmu, akan terjerumus dalam kesesatan”. Seseorang yang tidak berpikir dulu, pasti lebih banyak tindakannya daripada mereka yang berpikir. Kalimat ini memang selalu dipakai oleh orang yang suka aksi dan suka berpikir. Karena mereka yang suka aksi, menganggap dirinya realistis sedangkan yang berpikir dulu dianggap “terlambat realistis”.
Sekali lagi, kalau kita ingin berpikir, kita akan menemukan bahwa perbuatan itu tidak lepas dari dua; Pertama, kuantitas. Kedua, kualitas. Kita bisa membandingkan, mendingan mana, perbuatan yang sedikit tapi berkualitas atau perbuatan banyak tapi tidak berkualitas? Dan kualitas perbuatan kita ditentukan seberapa kokoh konsep yang kita susun sebelumnya. Pada akhirnya, kita diharuskan berpikir sebelum bertindak. Tidak terkecuali belajar. Sebab, belajar itu fase di mana kita menyusun konsep-konsep perbuatan kita. Kalau sudah belajar, perbuatan yang sedikitnya saja sudah luar biasa, apalagi kalau banyak perbuatannya. Sebab, berdasar ilmu.
Kalau pun orang belajar ilmu agama, tetap saja ada penyakitnya, mau tampil di tengah masyarakat. Memang benar, jalan menuju kebenaran itu sederhana, tapi dibuat rumit oleh keinginan yang terlalu ingin cepat eksis.
Pendangkalan Massal
Pendangkalan nalar itu juga atas nama agama. Orang dilarang bertanya kenapa dan kenapa, walaupun itu dalam ranah ta’aqquli (yang bisa dirasionalkan). Memang benar kita harus sami’na wa atha’na apa yang dikatakan oleh guru. Tapi, bertanya-tanya dengan kata “kenapa” selalu dianalogikan dengan Bani Israil yang bertanya terus kepada Nabi Musa As. ketika disuruh sesuatu. Padahal, analogi ini keliru. Mengapa? Sebab, Bani Israil menanyakan hal yang sudah jelas dan jika mereka bertanya, maka mereka akan dibuat sulit oleh Allah. Bedanya, mahasiswa atau pelajar bertanya itu karena bisa saja ada kejanggalan atau ketidakjelasan dan itu tidak membuat mereka semakin sulit jika mereka tahu jawabannya.
Ini menjadi penyebab kenapa simbol agama itu perlahan dihinakan dengan dipakai membungkus kebatilan tertentu. Kalau murid-murid para tukang doktrin itu bertanya, mereka akan dikecam “cukup taati saja!”. Akhirnya, murid-murid ini manut-manut saja apa yang dikatakan gurunya. Itu belum lagi faktor dari guru itu sendiri: anti-kritik.
Solusi dan Saran
Hendaknya para pemuda itu belajar ilmu agama pada orang yang memang layak menyandang status guru itu. Dengan kata lain, pelajar harus mampu menyeleksi tempat orang-orang yang akan dia datangi untuk belajar. Dalam belajar agama, tentu kita langsung datang ke orang yang paling hebatlah atau ulama yang terpandanglah keilmuannya.
Selain itu, pemuda harusnya belajar mengasah nalar dan tidak mudah tertipu dengan simbol-simbol keagamaan tertentu. Karena sekarang orang sangat mudah mengatasnamakan agama untuk memenuhi kepentingannya. Juga, anak muda yang masih panas darahnya, jangan terlalu semangat sampai lupa akan berpikir dan mempertimbangkan sesuatu. Bertindak memang penting, tapi berpikir sebelum bertindak jauh lebih penting.