Ruang Intelektual
  • Login
  • Daftar
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Ilmu Bahasa Arab
    • Nahwu
    • Sharaf
    • Balaghah
    • ‘Arudh
    • Qafiyah
    • Fiqh Lughah
    • Wadh’i
  • Ilmu Rasional
    • Ilmu Mantik
    • Ilmu Maqulat
    • Adab Al-Bahts
    • Al-‘Umȗr Al-‘Ammah
  • Ilmu Alat
    • Ulumul Qur’an
    • Ilmu Hadits
    • Ushul Fiqh
  • Ilmu Maqashid
    • Ilmu Kalam
    • Ilmu Firaq
    • Filsafat
    • Fiqh Syafi’i
    • Tasawuf
  • Ilmu Umum
    • Astronomi
    • Bahasa Inggris
    • Fisika
    • Matematika
    • Psikologi
    • Sastra Indonesia
    • Sejarah
  • Nukat
    • Kitab Mawaqif
  • Lainnya
    • Biografi
    • Penjelasan Hadits
    • Tulisan Umum
    • Prosa Intelektual
    • Karya Sastra
    • Ringkasan Buku
    • Opini
    • Koleksi Buku & File PDF
    • Video
Ruang Intelektual
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil

“Ini Bukan Manhaj Al-Azhar, Anakku!”

Oleh Muhammad Said Anwar
8 November 2021
in Tulisan Umum
“Ini Bukan Manhaj Al-Azhar, Anakku!”
Bagi ke FacebookBagi ke TwitterBagi ke WA

Cerita dimulai ketika saya masuk di majmu’ah (sebutan untuk ruangan di universitas) dua. Sebelum-sebelumnya, saya hanya masuk di majmu’ah satu, tidak tahu-menahu apa yang terjadi di majmu’ah dua. Kebetulan di Al-Azhar tidak menggunakan sistem absen, maka mahasiswa bebas masuk di rungan mana saja, tingkat mana saja, bahkan jurusan mana saja (saya pribadi pernah mencoba masuk di kelas jurusan lain, hehe. Tapi itu asyik banget!).

Tujuan saya masuk di majmu’ah dua, hanya ingin saja mengikuti mata kuliah syubhȃt haula al-hadȋts (syubhat-syubhat seputar hadis). Dosennya bernama Dr. Sameh Abdullah. Ternyata oh ternyata, ada tugas yang diberikan kepada mahasiswa, yaitu membaca 30 halaman dan memahami bacaannya. Itu harus dibuktikan dalam bentuk tulisan dengan bahasanya sendiri.

“Siapa yang sudah selesai mengerjakan tugas?” tanya dosen. Ternyata hanya dua orang yang ada di ruangan itu mengerjakan tugas. Saya paniklah, tidak tahu apa-apa, ditambah makhluk yang bernama tugas itu seperti mitos, selalu disebut-sebut tapi tidak pernah ada. Tapi kali ini sudah betulan ada. Untungnya saya tidak ditagih, saya cuman mendengarkan mahasiswa lain yang ditanya beragam pertanyaan.

“Ya Allah!” seru dosen itu dengan nada kecewa “Jika kalian datang jauh-jauh dari negara kalian ke Al-Azhar hanya mengharapkan ijazah, mendingan kalian pulang saja!”. Kelas itu seketika menjadi hening. Saking heningnya, angin-angin yang berhembus di jendela itu, bisa kedengaran di ruangan itu. “Sekali lagi, jika kalian datang ke sini dan hanya mengharapkan ijazah, mendingan kalian pulang! Ini ucapan hakiki, bukan majas!”.

Kemudian, dosen itu diam sebentar lalu bertanya kepada segenap mahasiswa yang ada di kelas itu “Sekarang, saya ingin tahu. Apa yang kalian lakukan selama ini?”. Kemudian dosen menunjuk salah satu mahasiswa “Hei kau! Apa yang kamu lakukan selama ini? Maksud saya, apa yang kamu lakukan di rumah di luar waktu kuliah”. Dengan gugup, mahasiswa itu menjawab “Saya membaca”. Dosen itu dengan cepat merespon “Berapa jam?” lalu dijawab oleh mahasiswa tadi “Dua jam”. “Apa?! Hanya dua jam saja? Itukah alasanmu tidak mengerjakan tugas?”. Dengan gugup, mahasiswa itu menjawab “S-Saya juga belajar di luar itu, Duktur. Saya belajar di Syekh Salim Abu ‘Ashiy juga”. Kemudian dosen ini masih mencari kejelasan “Apakah kamu sudah menamatkan Sullam Al-Munawraq (kitab mantik dasar)?”. Kemudian, mahasiswa ini menjawab “Iya, duktur”. Konteks kenapa dosen bertanya demikian, karena dosen tahu kalau Syekh Salim sedang mmabahas kitab Syarah Khubishi yang di mana pembacanya harus mengkhatamkan kitab Sullam Al-Munawraq dulu.

“Baiklah, apakah kamu menghafal Sullam?” tanya dosen. Mahasiswa ini agak lama diam sampai dosen bertanya dengan pertanyaan yang sama, “Apakah kamu sudah menghafalnya?”. Dengan gugup, mahasiswa ini menjawab “I-iya duktur”. Di sini kemudian mahasiswa itu dites “Coba baca bab qadhȃyȃ! (proposisi)”. Dia membaca dua bait dari bab itu dengan tersendak-sendak, mungkin karena sedang dalam keadaan gugup. Kemudian, dosen itu menyuruh lagi “Baik, coba bab qiyȃs! (silogisme)”. Mahasiswa itu membaca satu syatr dari bab itu dan dosen itu membantunya membaca. Tapi juga berhenti sampai satu bait ditambah satu syatr.

“Baik, tadi kamu mengatakan kalau kamu membaca di rumah selama dua jam dan menghadiri pengajian juga kan? Berapa lama kamu ikut majelis?” tanya dosen. Mahasiswa itu menjawab “Dua jam juga, Duktur”. Dosen itu mengapresiasi kegiatan itu “Itu sangat bagus, Nak! Kamu memang harus hadir di majelis ilmu”. Pindah ke bagian berikutnya, dosen ini kemudian masuk ke bagian pembahasan tentang syubhȃt yang mengatakan bahwa hadis itu tidak sesuai dengan realita. Di bagian ini dosen bercerita tentang ada seorang sunni pindah ke syi’i hanya karena dia takluk dengan penjelasan-penjelasan Syi’ah mengenai ideologinya. Kemudian dosen menyinggung lagi kalau kita tidak akan bisa membantah pemikiran-pemikiran nyeleneh di luar sana kalau ilmu kita tidak matang.

“Yang menjadi masalah sekarang adalah ada penuntut ilmu tapi tidak datang ke sini menuntut ilmu, hanya datang mencari ijazah. Apa artinya ijazah jika ilmunya tidak ada?” kata dosen itu dengan menohok. Kemudian dosen ingin menguji, kemampuan mahasiswanya “Ini ada buku, saya ingin tahu apakah kalian paham apa yang kalian baca atau hanya melihat huruf saja. Coba baca satu bait saja di buku ini, lalu jelaskan apapun yang kalian pahami dari sana. Saya akan memberikan kalian waktu”. Ada mahasiswa wafid (pendatang/asing) itu ditunjuk untuk membaca dengan suara lantang. Setelah membaca dengan sangat lancar, dia ditanya “Apa yang kamu pahami?”. Dia diam membisu, tidak bisa menjawab apapun. Kemudian, dosen ini melanjutkan ke orang Mesir di kelas. Beliau ingin membuktikan bahwa orang bahasa induknya adalah bahasa Arab sekalipun, belum tentu bisa paham literatur Arab. Di sinilah saya menyaksikan lagi, orang yang sehari-harinya berbahasa Arab, tidak paham literatur Arab itu sendiri. Sampai beberapa mahasiswa lain diuji juga hasilnya sama. Kecuali ada satu orang yang bisa menjelaskan itu, tapi saya tidak mendengar dengan baik penjelasannya.

BacaJuga

Nabi dan Ayat: Laisa Kamitslihi Syai’

Masisir, Jangan Sampai Tergelincir!

Nahi Mungkar, Ada Seninya!

Esensi Berpikir dan Urgensinya

Dosen itu tertawa lalu mengatakan “Bisa disimpulkan, kalau ketika kalian membaca, belum tentu paham. Selain itu al-‘ibrah bi al-fahm la bi al-waqt (yang diperhitungkan adalah pemahaman kita terhadap yang kita baca, bukan seberapa lama kita membaca). Jadi, selama ini bagaimana kalian membaca? Apalagi jika kalian memiliki kesulitan dalam memahami kosakata tertentu?”. Kemudian, ada beberapa mahasiswa menjawab dengan metodenya masing-masing. Ada yang mengatakan langsung membaca satu paragraf dan mengulanginya lagi kalau tidak paham. Kalau tidak paham lagi, maka akan merujuk ke kamus-kamus bahasa dan istilah. Ada juga yang mengatakan, bahwa dia sudah membaca Al-Muwattha’ karya Imam Malik. Kalau dia membaca, dia mencari di kamus dan bertanya kepada para guru besar yang dipercaya ilmunya. Dan satu lagi, ada yang mengatakan kalau tidak paham, dia akan beralih ke Youtube.

Masing-masing cara itu dikritisi. Yang mengatakan membaca saja dengan mengulang-ulangi, apakah memahami sesuatu yang baru? Jawabannya tidak. Dia hanya memahami dan mengarang sendiri makna yang terkandung dalam teks tertentu. Buktinya, dia hanya membaca di sana, berputar di sana. Kemudian, yang membuka kamus itu juga tidak lolos dari kritikan. Sebab, membuka kamus memang ada rentetan makna di sana, tapi apakah kita punya alasan kuat, kenapa hanya satu makna dan harus dia diambil dalam kata itu? Apakah kita punya alasan untuk me-rajih-kan itu? Tidak juga. Begitu juga kalau Youtube, kita tidak tahu siapa yang kita dengar, apakah ilmunya terpercaya atau tidak? Bagus-bagus kalau dapat Syekh Al-Azhar yang menjelaskan itu, kalau tidak? Ya begitulah. Adapun bertanya kepada Syekh atau guru besar, itu tidak dikritisi. Sebab, tidak memahami sesuatu dan butuh penjelasan buku itu memang wajar adanya, dan kasusnya sedikit.

“Tahukah kalian, bahwa yang kalian lakukan itu tidak sesuai dengan manhaj Al-Azhar!”. Sekali lagi, dosen itu mengulangi dengan diksi penuh ketegasan “Demi Dzat yang jiwaku berada di genggaman-Nya, kalian membaca tidak dengan manhaj Al-Azhar! Saya yang mengatakan itu!” kata dosen itu.

Dosen ini mulai menceritakan bagaimana kesesatan-kesesatan itu bisa terjadi dalam membaca dan mengajarkan kami jurus rahasia Al-Azhar dalam menaklukkan turats (kitab klasik) para ulama. Kata beliau, sebelum membaca yang harus kita lakukan adalah membentuk malakah. Apa itu malakah? Dia adalah pengetahuan yang mendarah-daging dan sudah sangat melekat dengan diri kita. Di sini ada tiga tahapan yang harus ditempuh oleh seorang penunut ilmu. Pertama, Al-Malakah Al-Tahshiliyyah. Kedua, Al-Malakah Al-Istikhrajiyyah. Ketiga, Al-Malakah Al-Istihdhariyyah.

Beliau menguraikan tiap-tiap bagian itu. Bagian pertama, berisi ilmu bahasa dan ilmu rasional. Ilmu bahasa itu berisi ilmu nahwu, sharf, balaghah, dan adab (sastra). Untuk orang yang bahasa induknya bukan bahasa Arab atau wafidin, maka ditambah dengan ilmu al-ma’ȃjim (ilmu tentang tata cara menggunakan kamus). Kemudian, ilmu rasional itu berisi empat: ilmu mantik, debat, wad’h, dan kategori. Setelah menguasai ini, maka kita masuk ke gerbang menuju fase kedua, yaitu Al-Malakah Al-Ta’shiliyyah yang berisi tiga ilmu: ushul hadis, ushul tafsir, dan ushul fiqh. Sebenarnya, orang baru bisa menjawab “bagaimana caramu membaca?” setelah selesai menuntaskan malakah ini.

Bagian kedua itu apa? Itu adalah bagian di mana seseorang sudah bisa menguraikan ucapan-ucapan para ulama di dalam karyanya. Di sinilah titik di mana orang benar-benar bisa membaca karya ulama-ulama dulu itu. Kemudian, bagian terakhir itu adalah di mana ilmu-ilmu tersebut benar-benar ada dalam diri seseorang. Beliau mencontohkan Syekh Hasan Al-Syafi’i yang ilmu itu seolah menyatu dengan dirinya. Dosen sampai bilang “Kalau kalian bertanya kepada beliau tentang ayat atau hadis apapun, beliau pasti menjawabnya” itu dikarenakan malakah yang dimiliki beliau itu sudah amat dalam dan mendarah-daging. Jadi, tugas pertama seorang penuntut ilmu adalah membentuk malakah.

Syekh Salim Abu ‘Ashiy dalam salah satu majelisnya menjelaskan kalau fungsi berguru (talaqqi) itu untuk membentuk malakah. Nanti, malakah ini membantu kita memahami karya-karya ulama. Dengan kata lain, kita belajar depan guru itu agar supaya kita bisa membentuk akal sehat kita, tidak tersesat ketika membaca. Ternyata membaca itu bukan bawaan lahir, tapi sesuatu yang harus dipelajari caranya (muktasab). Coba lihat, kesesatan-kesesatan itu muncul dari mana? Dari membaca sendiri dan berguru pada orang yang salah. Tidak ada itu ceritanya orang yang bersanad ilmunya menjadi sesat dan menyesatkan.

Saking pentingnya yang namanya membentuk akal, sampai Syekh Husam Ramadhan membuat program “500 tahun”. Maksudnya, beliau merekam kajian-kajiannya secara sistematis lalu disebarkan di Youtube sehingga orang-orang bisa mengikuti apa yang disampaikan beliau.

Sepulang dari kuliah, saya bertemu guru saya yang merupakan salah satu murid dekat Syekh Ali Jum’ah. Beliau bercerita tentang usaha pelemahan Al-Azhar itu sendiri. Beliau mengatakan “mereka sudah ketahuan dengan penampilan-penampilan lama mereka, maka dari itu mereka memakai baju kita, bahasa kita, kacamata kita, agar supaya kita mengira bahwa mereka bagian dari kita.”. Beliau juga terus terang bahwa mereka sebenarnya orang yang jauh dari Al-Azhar tapi memakai orang penyambung lidah dari dalam. Akhirnya, mereka yang sudah terlanjur mengikat mahasiswa yang awalnya ingin belajar di Al-Azhar itu diracuni oleh pemikiran mereka. Kita bisa bertanya-tanya, apa gerangan kenapa Al-Azhar diserang sampai memasuki pilar-pilar manhaj-nya? Miliaran dana dipakai untuk menggunakan orang-orang tertentu masuk untuk merusak? Jika ada kesesatan, di mana bukti kesesatan itu? Semua orang bisa mengklaim, tapi tidak semua orang bisa membuktikan.

Tags: al-azhardosenkuliah
Muhammad Said Anwar

Muhammad Said Anwar

Lahir di Makassar, Sulawesi Selatan. Mengenyam pendidikan Sekolah Dasar (SD) di MI MDIA Taqwa 2006-2013. Kemudian melanjutkan pendidikan SMP di MTs MDIA Taqwa tahun 2013-2016. Juga pernah belajar di Pondok Pesantren Tahfizh Al-Qur'an Al-Imam Ashim. Lalu melanjutkan pendidikan di Madrasah Aliyah Negeri Program Keagamaan (MANPK) Kota Makassar tahun 2016-2019. Kemudian melanjutkan pendidikan di Universitas Al-Azhar, Kairo tahun 2019-2024, Fakultas Ushuluddin, jurusan Akidah-Filsafat. Setelah selesai, ia melanjutkan ke tingkat pascasarjana di universitas dan jurusan yang sama. Pernah aktif menulis Fanspage "Ilmu Logika" di Facebook. Dan sekarang aktif dalam menulis buku. Aktif berorganisasi di Forum Kajian Baiquni (FK-Baiquni) dan menjadi Pemimpin Redaksi (Pemred) di Bait FK-Baiquni. Menjadi kru dan redaktur ahli di media Wawasan KKS (2020-2022). Juga menjadi anggota Anak Cabang di Organisasi Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU). Pada umur ke-18 tahun, penulis memililki keinginan yang besar untuk mengedukasi banyak orang. Setelah membuat tulisan-tulisan di berbagai tempat, penulis ingin tulisannya mencakup banyak orang dan ingin banyak orang berkontribusi dalam hal pendidikan. Kemudian pada umurnya ke-19 tahun, penulis mendirikan komunitas bernama "Ruang Intelektual" yang bebas memasukkan pengetahuan dan ilmu apa saja; dari siapa saja yang berkompeten. Berminat dengan buku-buku sastra, logika, filsafat, tasawwuf, dan ilmu-ilmu lainnya.

RelatedPosts

Nabi dan Ayat: Laisa Kamitslihi Syai’
Tulisan Umum

Nabi dan Ayat: Laisa Kamitslihi Syai’

Oleh Dwi Amrah
26 September 2024
Masisir, Jangan Sampai Tergelincir!
Tulisan Umum

Masisir, Jangan Sampai Tergelincir!

Oleh Abdul Mughni Mukhtar
4 Juli 2024
Nahi Mungkar, Ada Seninya!
Tulisan Umum

Nahi Mungkar, Ada Seninya!

Oleh Muhammad Said Anwar
21 Juni 2024
Esensi Berpikir dan Urgensinya
Tulisan Umum

Esensi Berpikir dan Urgensinya

Oleh Abdul Mughni Mukhtar
12 Maret 2024
Dimensi Rasional Isra’ Mi’raj
Tulisan Umum

Dimensi Rasional Isra’ Mi’raj

Oleh Muhammad Naufal Nurdin
17 Februari 2024
Artikel Selanjutnya
Simbol Keagamaan, Kesucian yang Dihinakan

Simbol Keagamaan, Kesucian yang Dihinakan

Cara Menumbuhkan Cinta

Cara Menumbuhkan Cinta

Surga dan Neraka yang Sebenarnya

Surga dan Neraka yang Sebenarnya

KATEGORI

  • Adab Al-Bahts
  • Al-‘Umȗr Al-‘Ammah
  • Biografi
  • Filsafat
  • Ilmu Ekonomi
  • Ilmu Firaq
  • Ilmu Hadits
  • Ilmu Kalam
  • Ilmu Mantik
  • Ilmu Maqulat
  • Karya Sastra
  • Matematika
  • Nahwu
  • Nukat
  • Opini
  • Penjelasan Hadits
  • Prosa Intelektual
  • Sejarah
  • Tasawuf
  • Tulisan Umum
  • Ushul Fiqh

TENTANG

Ruang Intelektual adalah komunitas yang dibuat untuk saling membagi pengetahuan.

  • Tentang Kami
  • Tim Ruang Intelektual
  • Disclaimer
  • Kontak Kami

© 2024 Karya Ruang Intelektual - Mari Berbagi Pengetahuan

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password? Daftar

Buat Akun Baru!

Isi Form Di Bawah Ini Untuk Registrasi

Wajib Isi Log In

Pulihkan Sandi Anda

Silahkan Masukkan Username dan Email Anda

Log In
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Ilmu Bahasa Arab
    • Nahwu
    • Sharaf
    • Balaghah
    • ‘Arudh
    • Qafiyah
    • Fiqh Lughah
    • Wadh’i
  • Ilmu Rasional
    • Ilmu Mantik
    • Ilmu Maqulat
    • Adab Al-Bahts
    • Al-‘Umȗr Al-‘Ammah
  • Ilmu Alat
    • Ulumul Qur’an
    • Ilmu Hadits
    • Ushul Fiqh
  • Ilmu Maqashid
    • Ilmu Kalam
    • Ilmu Firaq
    • Filsafat
    • Fiqh Syafi’i
    • Tasawuf
  • Ilmu Umum
    • Astronomi
    • Bahasa Inggris
    • Fisika
    • Matematika
    • Psikologi
    • Sastra Indonesia
    • Sejarah
  • Nukat
    • Kitab Mawaqif
  • Lainnya
    • Biografi
    • Penjelasan Hadits
    • Tulisan Umum
    • Prosa Intelektual
    • Karya Sastra
    • Ringkasan Buku
    • Opini
    • Koleksi Buku & File PDF
    • Video

© 2024 Karya Ruang Intelektual - Mari Berbagi Pengetahuan