Beberapa waktu yang lalu, salah satu kawan di Facebook yang notabenenya merupakan ateis, melontarkan statement klasik yang sebenarnya sudah dibantah “Agama itu dogma!”. Tapi, ungkapan ini berulang-ulang muncul di permukaan dan celakanya yang menanggapi ini adalah orang awam yang tidak kuat dasarnya, alih-alih menruntuhkan argumen orang-orang ateis itu, malahan semakin membuat mereka yakin kalau argumen mereka benar.
Memangnya kenapa kalau agama itu dogma? Seolah saja kalau kita ini hanya “manut-manut” saja, tidak mampu membuktikan keyakinan yang sudah kita klaim sejak awal sebagai suatu kebenaran itu benar. Sebelum jauh menjawab klaim itu, kita bisa bertanya begini “Memangnya yang dimaksud itu agama apa dulu?”, sebab kalau kita sebagai muslim merasa demikian, sebenarnya kita keliru. Sebab Islam sendiri bukan agama dogma sebagaimana yang diklaim sebagai orang-orang. Kalau agama lain, mungkin saja, tapi saya tidak tahu agama apa. Tapi Islam, sekali lagi saya tegaskan kalau Islam itu memiliki argumentasi yang amat kokoh, tahan dari tantangan zaman yang ratusan bahkan ribuan tahun lamanya. Buktinya apa? Anda harus membaca tulisan ini sampai selesai jika anda ingin saya berikan petunjuk ke sana.
Dalam pengantar kitab Al-Qaul Sadȋd fi ‘Ilm Al-Tauhid karya Prof. Dr. Mahmud Abu Daqiqah, Guru Besar Fakultas Ushuluddin, Universitas Al-Azhar itu menerangkan kalau manfaat mempelajari ilmu ini akan membawa kita dari yang mula-mulanya taklid menjadi yakin. Apa yang dimaksud taklid? Apa yang dimaksud yakin? Ini tentu kita perjelas dulu.
Ketika kita ditanya “Apakah kalian percaya kalau tuhan itu benar-benar ada?” kita akan menjawab “Ya, kami percaya itu.” tapi kalau sudah ditanya mana buktinya? Kenapa kalian percaya? Mungkin jawaban yang keluar adalah ”Ya kami tidak tahu, cuman sekedar ikut-ikutan saja apa yang diajarkan orang tua dan guru di sekolah”. Sikap ikut-ikutan ini disebut sebagai taklid. Kalau kita saat ini hanya sekedar ikut-ikutan saja, maka kita itu disebut sebagai muqallid.
Beda halnya jika kita mampu menyuguhkan bukti yang amat kuat. Misalnya kita mengatakan kalau alam semesta ini tidak mungkin ada begitu saja, pasti ada dari ketiadaan. Dan tidak mungkin juga kalau penciptaan itu beregresi tanpa batas, maka harus ada satu sebab awal yang tidak disebabkan, itulah tuhan. Karena kalau tidak, maka ada dua hal yang terjadi, yakni daur[1] dan tasalsul[2]. Dan keduanya mustahil. Maka yang harus terjadi adalah yang harus menurut akal, yakni keberadaan tuhan.
Ketika kita sudah mampu menyuguhkan argumentasi yang kokoh dan pemahaman yang kuat, saat itulah kita disebut yakin. Yakin dalam ilmu kalam itu adalah pengetahuan kita tentang sesuatu dengan tegas, sesuai dengan realita, dan butuh kepada pembuktian. Tapi ketika di Indonesia disebut yakin, maka yang terlintas di akal kita adalah taklid. Yakin yang dimaksudkan ulama kalam itu, bukan yakin versi orang Indonesia, yakin percaya ala kadarnya. Tapi, yakin yang dimaksud adalah yakin seperti yang penulis sebutkan dalam perspektif ulama kalam.
Dengan kata lain, ketika kita belajar ilmu kalam, perlahan-lahan kita yang awalnya sekedar ikut-ikutan, menjadi yakin sepenuhnya dan tidak menemukan titik celah dalam keyakinan kita. Setiap persoalan dalam akidah, bisa dibuktikan secara rasional. Klaim tentang eksistensi tuhan, ada. Mengafirmasi kebenaran informasi yang dibawakan oleh para Nabi, itu juga memiliki bukti. Kebenaran kitab suci tentang masalah fisik dan metafisik, sudah dibuktikan juga. Bahkan keberadaan neraka, surga, hari akhir yang diinformasikan itu juga ada buktinya dan termaktub dalam warisan ulama kita. Yang masalah, apakah kita mau membaca atau tidak?
Beberapa abad yang lalu, ada Syarh Al-Mawaqif, Syarh Al-Maqashid, Abkar Al-Afkar, dan lain-lain sudah menjawab persoalan seputar akidah. Tidak tanggung-tanggung, Syarh Al-Maqashid yang tebalnya itu lima jilid, tidak langsung membahas inti ilmu akidah. Tapi, memulai dulu dari filsafat epistemologi dan ontologi yang kita kenal dengan al-umur al-‘ammah dan ilmu kategori yang dikenal dengan istilah al-maqulat al-‘asyarah (ten categories). Uniknya, kitab itu membahas pada jilid satu sampai empat mengenai hal-hal yang mendasari “kenapa kita percaya dan kenapa kita harus percaya yang gaib?” kemudian yang gaib itu dibahas, apa itu gaib? Apakah itu benar-benar ada? Apakah ada buktinya? Apakah status gaib itu meniadakan eksistensi secara utuh? Apa saja yang tergolong gaib? Bahkan, mereka yang suka meminta bukti sifatnya inderawi, sudah dijawab juga dalam karya-karya itu. Apakah bukti itu sebatas inderawi? Apakah tidak bisa dikatakan bukti jika sesuatu itu tidak dilihat? Ini juga sudah dijawab.
Tentu untuk sampai tingkatan itu, membutuhkan tahap belajar dan berpikir begitu panjang. Ini pernah saya bahas pada salah satu tulisan. Dan pada puncaknya, kita akan benar-benar percaya bahwa Islam adalah agama yang bisa dibuktikan kebenarannya dan tidak menemukan alasan untuk tidak percaya.
Sayangnya, belakangan ini, ilmu kalam distigma, disebut-sebut sebagai ilmu yang membuat orang zindik. Padahal kalau kita membaca aspek historis dari ilmu ini, kita akan mengetahui bagian mananya yang membuat orang zindik dan mana yang dicela. Ini kembali lagi kepada masing-masing, apakah kita sudah adil sejak berpikir atau belum? Jika kita memang adil dalam berpikir, maka seharusnya kita mencari “mana sih bagian yang dicela dan membuat zindik itu?”. Jangan-jangan tuduhan itu hanya dogma kan?
Penulis sendiri percaya kalau ilmu kalam memang memiliki “fase haram”. Tapi, kalau kita membaca lebih lanjut, fase itu sudah lewat. Maka sekarang bukan lagi fase haram itu mempelajari ilmu itu, tapi fase fardu kifayah. Mungkin pada lain waktu penulis akan mengupas syubhat yang dilontarkan sebagian kaum terhadap ilmu kalam dan filsafat.
‘Ala kulli hal, ilmu kalam memiliki kemanfaatan yang begitu besar dan memiliki jasa besar dalam keimanan kita. Awalnya yang sekedar percaya, bisa menjadi lebih percaya. Bahkan bisa melindungi diri dari serangan-serangan yang dapat melenturkan iman kita.
Wallahu a’lam
[1] Daur adalah keberadaan sesuatu yang di mana keberadaannya bergantung kepada sesuatu yang lain dan kebergantungannya itu akan terputar sampai kepada sesuatu yang pertama. Misalnya, Said itu ada karena orang tuanya ada. Orang tuanya ada karena orang tuanya ada. Lalu orang tuanya ada juga ada karena adanya Said. Bagaimana akal kita menerima ini? Maka atas dasar ini, daur itu mustahil.
[2] Tasalsul secara sederhana bisa disebut dengan regresi tanpa batas. Misalnya A disebabkan oleh B dan B disebabkan oleh C. C juga disebabkan dengan D. Begitu seterusnya. Akal akan terus mencari ujung dari sebab itu, tapi akal tidak bisa mengamini jika sesuatu itu tidak memiliki ujung sebab. Ini juga mustahil menurut akal kita. Bedanya dengan daur, dia itu sifatnya berputar, sedangkan tasalsul itu tidak demikian.