Membaca buku merupakan hal yang lazim bagi seorang mahasiswa. Bagaimana tidak, setiap kegiatannya selalu dekat dengan hal-hal yang berbau akademik, semisal penelitian, riset, dan lain-lain. Kemudian, buku mencapai tuntutan tersendiri untuk mencapai hal-hal tadi. Tapi, yang namanya buku tentu akan memakan waktu jika dibaca dan untuk menyelesaikan buku banyak itu, menurut banyak orang sangat susah.
Sebenarnya, membaca banyak buku itu mudah saja. Tapi, syarat dan ketentuan berlaku. Syarat inilah yang membuat orang-orang selalu bertanya kepada saya “Bagaimana kamu baca banyak buku, padahal buku itu tebal-tebal, belum lagi kamu itu banyak tugas?”. Inilah pertanyaan yang akan saya jawab secara tuntas di tulisan ini, melihat pertanyaan ini sudah berulang kali disampaikan. Mudah-mudahan bisa menjawab penasaran orang-orang yang bertanya, sehingga saya tidak perlu menjawab ulang dengan jawaban yang sama.
Aturan Pertama
Ingatlah bahwa tidak semua buku untuk dibaca habis kecuali buku yang dirancang untuk membentuk malakah kita. Kalaupun ada buku yang membentuk malakah, strategi juga dibutuhkan. Saya sudah banyak kali mengulangi kalimat ini, baik secara lisan maupun tulisan. Tapi, saya tidak menyampaikan alasan gamblangnya, kenapa tidak semua? Bukankah tulisan itu ada untuk dibaca? Iya, benar. Tapi, catat ini baik-baik: “Ada satu konteks, membaca justru membuang waktu”.
Anda tidak salah membaca bahwa kadang membaca itu membuang waktu. Tapi, bukannya membaca itu sudah baik untuk “menyelamatkan” waktu? Secara umum iya, tapi ada sisi gelap yang sering luput dari penjelasan. Yakni, membaca itu semestinya menghasilkan kebaruan bagi kita. Karena dikatakan bermanfaat jika di sana ada kebaruan yang didapatkan.
Jika Anda terlanjur membaca dengan metode huruf per huruf, jelas itu akan membuang waktu. Inilah konteks yang saya maksud, membaca tapi membuang waktu. Maka, lebih baik coba cara yang lebih efektif. Caranya, mencari bagian penting dari setiap paragraf. Kalau sudah dapat, silahkan dilanjutkan ke paragraf selanjutnya.
Saya akan berikan sebuah contoh kasus. Dalam ilmu akidah, ada satu isu bahwa kewajiban pertama bagi mukallaf adalah mengetahui Allah Swt. sebagai Tuhan. Isu ini sudah Anda pelajari di kitab akidah dasar. Tapi, kemudian hari Anda mendapatkan bacaan yang membahas itu. Sebelum memilih untuk melanjutkan untuk membaca atau meninggalkan, lihat dulu apakah isu yang dihadirkan sama persis dengan yang Anda baca ataukah memiliki penambahan. Kalau sama persis, lebih baik Anda langsung tinggalkan. Karena baca atau tidak, Anda tetap saja tahu bagian itu. Kalau ternyata ada yang baru, seperti membahas tentang perbedaan pendapat ulama mengenai kewajiban pertama, tentu melanjutkan menjadi sebuah pilihan yang tepat.
Aturan Kedua
Orang yang tidak pernah membaca, tidak akan pernah memiliki kemampuan membaca efektif. Saya tidak bermaksud merendahkan, tapi mengungkapkan hubungan sebab-akibat yang ada dari keadaan “tidak pernah membaca” itu. Cara agar memiliki kemampuan membaca efektif itu, tidak muluk-muluk. Apalagi kalau bukan mulai membaca? Ya, mungkin saja bagi sebagian orang kalau membaca dijadikan solusi terlalu klise. Tapi, kalau mau realistis, apa lagi kalau bukan itu kan?
Perlu dicatat juga bahwa yang saya maksud membaca di sini, bukan hanya sekadar membaca tok. Tidak. Tapi, membaca adalah langkah pertama untuk melatih kemampuan analisa dan mengakrabkan diri dengan medan bacaan. Sebab, kalau kita tidak punya pengetahuan mengenai medan tempur, bagaimana caranya membangun strategi efektif kan?
Selanjutnya, saya ingin menyatakan bahwa penguasaan Anda terhadap medan bacaan itu tidak langsung muncul begitu saja. Ada proses yang lama. Tapi, ketika Anda mendapatkan penguasaan itu, jelas itu akan membuat Anda bisa membedakan mana buku yang layak dibaca secara utuh, sebagian, atau bagian kecilnya saja. Ini akan membuat Anda mudah dalam membangun strategi pas dalam membaca. Kemampuan seperti itu akan tumbuh secara alamiah, tanpa memberikan tanda-tanda fisik. Anda akan tahu sendiri jika Anda sudah memiliki kemampuan itu.
Kalau Anda baru pemula dalam membaca, bahkan untuk membaca satu artikel seperti ini saja tidak tahan, sebaiknya miliki target kecil saja dalam membaca. Paling tidak, sekitar lima sampai sepuluh menit saja dalam sehari dan usahakan juga membangun konsistensi. Tidak perlu langsung banyak.
Aturan Ketiga
Anda bisa membaca efektif dalam satu latar belakang ilmu, bukan berarti Anda bisa membaca cepat di bidang ilmu lain. Ini terinspirasi dari Imam Al-Ghazali bahwa ketika kita menjadi ahli dalam satu bidang, bukan berarti kita menjadi ahli di bidang lain. Begitu juga tingkat “familiaritas”. Ketika saya terbiasa dengan dunia akidah dan filsafat, bukan berarti saya terbiasa dengan dunia kedokteran. Maka ketika saya bisa membaca cepat dalam dunia akidah, bukan berarti saya bisa membaca cepat juga dalam dunia kedokteran.
Bagaimana kalau tidak familiar dengan bidang apapun? Jawabannya satu; mulailah dari awal mengenal ilmu itu. Tentu, mulai dari mengenal dasar-dasar, postulat, mekanisme, dan lain-lain.
Saya pribadi di Al-Azhar tidak langsung bisa membaca cepat, apalagi membaca efektif nan strategis. Saya mulai belajar dari ulama-ulama di Al-Azhar dulu. Dari pembelajaran itu, saya mulai memahami dasar, istilah, mekanisme, mazhab ilmu akidah, dan lain-lain. Pun, itu setelah khatam beberapa kitab di satu ilmu secara serius. Setelah saya familiar, barulah saya membaca dan rasanya perlahan semakin mengalir. Kemudian, saya membiasakan baca buku akidah, akhirnya ada beberapa yang dibaca mengalir dan punya strategi sendiri. Tapi, ketika saya diajak berpindah ke beberapa bidang lain, saya tidak bisa menerapkan kemampuan membaca saya di bidang akidah dan filsafat, walaupun sama-sama bahasa Arab.
Ini menguatkan apa yang diajarkan oleh guru-guru di Al-Azhar, bahwa memiliki dasar dalam membaca itu sangat penting. Dasar yang dimaksud adalah pengetahuan asasi yang didapatkan melalui talaqqi. Benarlah apa yang dikatakan oleh Syekh Salim Abu ‘Ashiy, bahwa “membaca” bukan kemampuan bawaan lahir, tapi butuh proses lama.
Di antara hal yang perlu dicatat juga adalah semua ilmu memiliki atmosfernya masing-masing. Walaupun hidup dalam lokus yang sama; buku dan pengetahuan, tapi bukan berarti tingkat kebetahan itu sama.
Aturan Keempat
Salah satu hal yang saya anggap tabu adalah membeli buku tapi tidak tahu apa yang diinginkan buku itu. Sebelum saya tahu tentang life hack dunia literasi, saya membeli buku yang judulnya bagus saja. Iya, memang membeli buku itu bagus. Itu jauh lebih baik daripada mereka yang enggan membeli buku dan tidak punya proses apa-apa. Tapi, kalau kebiasaan itu dibiarkan, kita hanya akan membeli buku yang berpotensi menjadi pajangan di rumah tanpa ada nilai lebihnya.
Sekarang, saya punya kebiasaan sebelum membeli buku. Bahkan, kebiasaan ini saya ajarkan kepada junior-junior saya, agar uang mereka bisa lebih bermanfaat dan bukunya lebih berkualitas untuk diri mereka. Kebiasaan itu adalah mengenal buku yang ingin kita beli. Mengenal itu bukan berarti kita membaca sampai habis. Ibaratnya, Anda punya teman yang tidak Anda ketahui seluk-beluk hidupnya. Tapi, Anda kenal watak dan karakter umumnya. Begitu juga buku, Anda cukup kenal secara umum.
Mengenal buku secara umum itu, bisa dengan mencari tahu penulisnya. Karena dengan mengetahui penulis, sudah membantu kita menemukan puzzle dari pengetahuan itu. Minimal, kita tahu latar belakang pendidikan atau belajarnya. Pernah belajar di mana, sama siapa, dan berapa lama.
Tapi, ada juga penulis yang agak sukar ditemukan informasinya. Maka cara lain mengenali buku adalah melihat kata pengantar. Karena penulis yang secara terang-terangan menyebut visi-misi dan kenapa buku itu ditulis. Setidaknya, dengan mengetahui apa misi buku itu ditulis, kita bisa tahu gambaran umum buku itu ingin berjalan ke mana. Lalu, bagian ini bisa dibantu dengan membaca daftar isi. Karena daftar isi inilah yang akan memperjelas gambaran dan struktur pembahasan. Di sini, kita juga sudah bisa menyeleksi bagian yang ingin kita baca dan tidak.
Kalaupun pada akhirnya tidak semua kita baca, paling tidak kita bisa tahu kalau buku ini bisa membantu kita suatu hari nanti ketika dibutuhkan. Setidaknya keberadaan buku yang bersangkutan itu memiliki makna di rak buku, tidak hanya tinggal sebagai hiasan.
Aturan Kelima
Mengenal diri itu selalu harga mati. Di mana-mana, sebuah strategi itu dibangun atas kemungkinan dan manajemen risiko. Kalau kita tidak mengenal diri, kita tidak tahu kemungkinan seperti apa yang cocok bagi kita dan kita tidak tahu bagaimana memilih risiko yang tepat bagi diri kita.
Mengenal diri itu bukan berarti hanya tahu nama, tinggal di mana, dan lain sebagainya. Bukan identitas simbolis seperti itu yang dimaksud di sini. Tapi, mengenal diri dalam artian mengetahui potensi, kebutuhan, kelemahan, keinginan, dan lain-lain. Ini tidak hanya saya terapkan dalam membaca, tapi hampir dalam semua aktivitas sehari-hari.
Untuk sampai mengenal diri, tidak bisa sampai dalam sehari atau dua hari saja. Ada banyak waktu yang dibutuhkan untuk itu. Kadang, kita harus berhadapan dengan masalah lalu kita tahu bahwa kita sebenarnya punya karakteristik tertentu dalam menanggapi suatu hal. Juga, kita harus banyak refleksi tentang diri sendiri. Seperti yang saya katakan sejak awal, ini butuh proses.
Kalau Anda menduga orang efektif membaca tanpa bekal apa-apa, saya pastikan dugaan itu keliru. Ibaratnya, kemampuan kelas tinggi yang bisa dicapai jika sudah melewati banyak proses. Tidak mungkin ada orang bisa tiba-tiba menguasai sesuatu tanpa proses apapun. Dalam semua lini kehidupan hukum akal sebab-akibat akan tetap berlaku. Bagaimana mungkin sesuatu itu sekonyong-konyong ada tanpa sebab? Orang beriman, ateis, komunis, bahkan satanis pun akan menolak itu. Kecuali dia diberikan ilmu ladunni dari Allah langsung, ini lain cerita. Masalahnya, jika ini dijadikan landasan, hanya ada berapa persen dari sekian penduduk Bumi yang diberikan ilmu seperti itu?
Kurang lebih demikian hal-hal yang saya penuhi dalam membaca. Sebenarnya ada beberapa hal lain yang tidak sempat saya tuliskan. Karena ada hal-hal yang tidak bisa kita bahasakan, tapi kita paham “sesuatu” yang tidak terbahasakan itu. Ada bagian tertentu yang bisa dipahami orang bukan melalui penjelasan, tapi dari pengalaman langsung. Semoga bermanfaat.
Wallahu a’lam.