Saya sangat bersyukur bisa belajar kepada orang-orang yang memang benar-benar berilmu dan sanad keilmuannya tidak dipertanyakan lagi. Saya pribadi sudah merasakan berkah dari beliau-beliau itu. Kadang, ada yang saya ikuti sekian saja kajiannya, tapi manfaatnya bisa saya rasakan hampir mempengaruhi 1/3 hidup saya. Apalagi kalau sampai mengkhatamkan kajian dan mengulang-ulang, saya merasakan perubahan signifikan dalam hidup saya. Di sini, saya ingin menceritakan bagaimana saya yang memiliki kekuatan hafalan yang lemah, tidak kuat seperti teman-teman yang lain, bisa juga kok punya metode sendiri yang sangat berbeda dari kebanyakan orang. Tulisan ini saya buat, semata-mata tahadduts bi al-ni’mah dan bisa diambil manfaatnya.
Sebelumnya saya tahu manfaat menghafal itu seperti apa, walaupun hafalan memang harus ditemani pemahaman. Hafalan itu punya keistimewaan seperti menjaga keaslian informasi dan bisa menguatkan informasi, bahwa dia adalah informasi yang benar. Dengan hafalan, keaslian Al-Qur’an masih terjaga sampai sekarang. Namun, saya juga sadar kalau hafalan saya tidak sekuat kawan-kawan yang lain.
Kesadaran akan lemahnya hafalan itu dimulai saat saya masih duduk di bangku sekolah kelas 2 SMA. Memang hasil hafalan saya ya bisalah dibilang standar tapi prosesnya itu sangat memprihatinkan. Satu halaman Al-Qur’an saja, itu saya sampai minta ampun. Bisanya hanya setengah halaman. Tapi, saya waktu itu belum sadar kalau metode itu ada banyak, bisa kita sendiri yang mencarinya. Sampai ada satu daurah hafalan yang saya ikuti dan saya merasa terdesaklah, mana hafalan lemah, disuruh menyetor tiap hari. Akhirnya setelah saya membanting otak, ada cara yang mau saya coba, menggunakan terjemahan untuk menghafal. Walaupun tidak kuat-kuat amat, tapi alhamdulillah saya bisa menjadi orang yang keempat terbanyak hasil hafalannya dalam dua pekan itu. Tapi, saya belum punya kepuasan. Saya melihat orang yang disebut kuat hafalannya itu ya pokoknya mereka daya tangkapnya kuat. Jadi, yang tidak seperti itu, hafalannya lemah.
Setelah masa itu larut, saya kemudian berkenalan dengan ajaran leluhur Sulawesi, siri’ na pacce. Saya tidak bahas konsep itu secara rinci, secara umum siri’ itu rasa malu yang dimiliki oleh orang ketika berbuat salah. Saya sendiri malu kalau tidak berusaha, malu kalau melihat diri sendiri tercebur begitu saja dalam air, sedangkan saya sendiri tidak menginginkan itu. Rasanya, kalau seperti itu, diri dieksploitasi oleh ketidakmampuan dan kelemahan. Sedangkan Tuhan memuliakan makhluk-Nya dengan sebutan ahsan al-takwîn (sebaik-baik penciptaan). Karena Tuhan sudah menyebut demikian, berarti ada potensi insaniyyah (manusiawi) yang terkubur dalam dirinya yang perlu digali.
Sewaktu berkenalan dengan salah satu tokoh besar Turki, Bediuzzaman Said Nursi oleh salah satu senior besar, sekaligus penasehat kami, Ustaz Mahkamah Mahdi, beliau menjelaskan pemikiran Bediuzzaman yang menyatakan bahwa Allah itu tidak menginjak-injak nalar manusia. Dalam artian, Allah itu memerintahkan manusia untuk mencari kebenaran dengan menggunakan sebaik-baik potensinya, yaitu akal. Seandainya Allah mau menyusun bintang di langit sehingga berbentuk kalimat syahadat lalu disaksikan seluruh manusia, Allah bisa saja melakukan itu. Wong, secara akal saja itu diterima. Hanya saja, sekali lagi Allah memberikan nilai khusus kepada manusia yang beda dengan yang lainnya, yaitu berpikir. Dari sini, saya semakin bersemangat mencari kebenaran, termasuk apakah saya ini layak menghafal atau tidak? Ini melihat kekuatan hafalan saya yang cukup memprihatinkan.
Ada satu ilmu yang jarang terekspos keluar dan disambut baik oleh para filusuf muslim, ilmu al-maqȗlât al-‘asyarah (ten categories). Ada satu bagian yang fokusnya itu membahas potensi (bi al-quwwah) dan aktual (bi al-fi’l). Setiap manusia memang berpotensi menjadi penulis, secara akal itu mungkin. Kalau bahasa akademisinya, secara teori itu mungkin. Begitu juga hafalan, manusia sangat mungkin memiliki hafalan kuat secara akal. Berangkat dari kemungkinan ini, saya optimis mencari jawaban seperti apa yang cocok untuk saya.
Saya menemukan beberapa petunjuk, semisal dalam penyampaian Syekh Muhammad Said Ramadhan Al-Buthi. Kata beliau, caranya menghafal Al-Qur’an itu tidak dengan cara berusaha menghafalnya. Tapi dengan cara mulâzamah dengan Al-Qur’an. Waktu itu saya sedikit ngeh. Kemudian, ada pertanyaan baru muncul. Seandainya memang hafalan saya benar-benar lemah, lantas kenapa saya masih bisa ingat Al-Fatihah? Padahal, sejak SD sampai hari ini, saya tidak pernah menyiapkan waktu khusus untuk mengulangi hafalan Al-Fatihah itu sekian kali. Juga, saya mengingat nama-nama teman saya, jalan, momen tertentu, bahkan saya tidak pernah juga saya menyiapkan waktu untuk mengulangi semua itu. Di sini, saya sendiri menjawab kalau ingatan seperti itu bukan proses menghafal, tapi informasi yang sudah terlanjur ada. Masalahnya, kok bisa lupa kan? Berarti ada dua aspek yang saya lihat. Pertama, proses hafalan. Kedua, ketahanan hafalan.
Kemudian, ada petunjuk kedua. Saya mimpi bertemu Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari (Pendiri Nahdlatul Ulama) di Mesir. Saya meminta kepada beliau sebuah nasehat agar saya bisa memiliki ilmu yang kokoh. Jawaban beliau sederhana “Kenaliah penulis kitab, maka ilmumu akan kokoh” dan di saat itu saya melihat diri saya sedang belajar kepada beliau. Di sini, saya belum tahu, kenapa harus penulis? Jawabannya saya temukan setelah mengingat-ingat ketika belajar kepada salah satu pakar mazhab syafi’i, Dr. Azwar Kamaruddin. Ada bagian yang sukar dihafal orang, tapi saya mudah mengingatnya, sampai sekarang malahan. Itu adalah urutan tarjih kitab Imam Nawawi. Kenapa saya mengingatnya? Sesuai keadaan saat itu, beliau banyak memperkenalkan manhaj Imam Nawawi dalam mazhab. Seiring perkenalan itu, saya mudah mengingat ilmu yang ada kaitannya dengan Imam Nawawi. Selain itu, kalau kita mendalami suatu ilmu, kita akan mengenal banyak penulis dan pakar di sana. Ini mungkin bagian tersiratnya.
Singkatnya, jawabannya ada dua; Pertama, mulâzamah kepada pemilik ilmu. Kedua, mulâzamah kepada ilmu itu sendiri. Memang benar, mulâzamah kepada ilmu tidak sebatas membaca sekali, dars sekali, lalu setelah itu tinggalkan. Tapi, butuh mengulang. Kenapa mengulang? Karena yang harus dibentuk oleh seorang penuntut ilmu adalah malakah atau kemampuan alam bawah sadar akan ilmu itu. Ada penelitian yang saya lupa secara pasti lembaga apa yang saksikan. Namun, saya dapatkan informasinya dari video Agus Setiawan bahwa manusia itu baru bisa benar-benar mengingat dan hafal setelah lima kali mengulangi itu. Ini pertama. Kedua, yang namanya manusia kalau bersentuhan dengan pengetahuan baru, tidak ada jaminan kalau dia paham seluruhnya secara utuh. Dan saya rasa logis jika kita disuruh mengulang. Karena bagian yang tidak pahami itu, bisa kita pahami kalau dibaca ulang. Bahkan orang-orang yang tergolong murid Imam Syafi’i saja, mengulang kitab Al-Risâlah sampai lima ratus kali dan setiap satu pengulangan, ada ilmu yang didapatkan. Saya sendiri merasakan itu, ada beberapa turâts yang saya baca berulang-ulang, nanti belakangan baru paham bahkan menemukan “rahasia” yang tak kasat mata. Jadi, mengulang itu, selain mengokohkan yang sudah didapatkan sebelumnya, dia juga menambah yang baru.
Lalu, ini petunjuk yang membuat saya benar-benar sampai kepada metode saya adalah yang terakhir, saya mimpi bertemu Hujjatul Islam, Imam Abu Hamid Al-Ghazali. Saya mimpi melihat beliau datang ke rumah saya dan mengajari saya. Di antara pelajaran yang saya ingat dari beliau adalah “Kalau membaca, usahakan perhatikan apa yang kau baca”. Saya mengamalkan pesan-pesan yang disampaikan ini, mulai sering membaca, sering memperhatikan siapa mu’allif kitab, sampai membaca ulang. Alhamdulillah, memang benar, ilmu itu semakin melekat, seolah saya pernah berusaha hafal. Jadi, saya memang sejak awal harus memahami dulu, karena ini lebih memungkinkan. Setelah itu, baru saya mudah untuk mengingat.
Ada juga sebagian teman yang tidak ada niatan menghafal, tapi karena mereka memang punya kecintaan terhadap ilmu, sering berinteraksi dengan yang ada kaitannya dengan ilmu, maka dia terlihat sudah hafal sampai ujung. Kalau disuruh menjelaskan, dia jelaskan. Karena dia sering berinteraksi dengan ilmu, maka ilmu itu datang kepada dirinya. Sebagaimana Syekh Muhammad Said Ramadhan Al-Buthi, beliau hafal Al-Qur’an karena beliau menjadikan Al-Qur’an sebagai kebiasaannya. Sebagai bentuk usaha saya, saya tulis ulang pelajaran saya dengan bahasa saya sendiri. Karena menurut pengamatan saya sendiri, saya lebih bisa mengingat yang saya tulis dibanding ilmu yang saya abaikan. Dan syukurnya saya suka menulis.
Tapi, seingat dan seberkesan apapun ilmu itu, tetap saja potensi lupa itu tidak hilang dan tak jarang saya tergelincir dalam kesalahan juga. Apakah metode itu yang tidak cocok? Atau ternyata metode itu salah? Sampailah di puncak dalam salah satu pengajian Syekh Salim Abu ‘Ashiy tentang Al-Mu’atsir (yang memberikan dampak). Singkatnya, yang mengizinkan api itu membakar dan yang membakar pada hakikatnya adalah Allah, bukan api itu. Sebagaimana paham dan hafal, itu bukan murni metode dan usaha manusia, tapi izin Allah. Bahkan beliau bilang, kalau kita meyakini ada yan memberi dampak selain Allah, maka kita bisa terperosok jatuh dalam lubang kesyirikan‒ini selaras dengan yang dikatakan oleh Imam Al-Ghazali. Lantas untuk apa belajar dan berusaha kalau begitu? Di sinilah saya merubah pandangan saya mengenai belajar, yaitu kita berusaha karena sebagai hamba, kita harus taat kepada Allah yang memerintahkan kita berusaha. Adapun paham dan hafal, itu adalah bonus. Karena ini, saya merasa bersalah karena belajar karena ingin paham, karena pada akhirnya saya paham bukan karena diri, tapi karena Allah. Seandainya memang paham dan hafal dari diri sendiri, kenapa kita tidak bisa menjamin kalau kita bisa paham dan hafal setelah berusaha?
Juga, saya pernah berkonsultasi kepada salah satu senior besar sekaligus penasehat masalah usaha ini. Kata beliau, kaidahnya kita tidak menanyakan kenapa Allah berbuat sesuatu, tapi kitalah yang ditanya tentang apa yang kita lakukan. Kenapa? Menanyakan “kenapa” kepada Allah tentang apa yang dia perbuat sudah bermasalah. Karena pertanyaan “kenapa” itu, menanyakan sebab. Sedangkan Allah, perbuatannya tidak disebabkan oleh apapun, bahkan oleh tujuan itu sendiri. Karena kalau perbuatan Allah disebabkan oleh tujuan, maka perbuatan Allah itu terpenjara dalam tujuan dan itu mustahil. Maka pertanyaan “kenapa”, itu tidak logis jika ditanyakan kepada Allah mengenai apa yang Dia perbuat. Wong, bukannya Allah yang menciptakan sebab? Ujung-ujungnya, kita bermuara pada satu kesimpulan mengenai perintah itu, kita tunduk dan taat. Sebab, akal kita tidak akan mampu mengetahui hakikat perintah-Nya itu. Tapi, dengan iman kita membenarkan apa saja yang diperintahkan-Nya, ini ada argumennya juga.
Dalam perspektif akidah juga, Allah itu berbuat sesuai kehendak-Nya (fâ’il bi al-ikhtiyâr), tidak wajib melakukan suatu perbuatan, termasuk Allah tidak wajib memahamkan kita ketika kita belajar. Bukannya kita semua mengimani bahwa Allah itu Maha Absolut? Maka bukti keabsolutan-Nya, tidak ada kewajiban melakukan sesuatu‒sebagaimana pandangan Muktazilah bahwa Allah wajib berbuat baik. Namun, kita perlu ingat bahwa Allah itu Maha Adil dan Bijaksana dan tugas kita adalah berprasangka baik bepada Allah. Kenapa? Karena kita memang hanya bisa menduga, tidak bisa memastikan apa yang akan terjadi kemudian.
Maka berusaha mencari metode, berusaha belajar, dan usaha-usaha lainnya itu adalah tugas kita, kita harus lakukan sebaik-baiknya. Terlepas kita berhasil, gagal, paham, dan lain-lain itu, itu bukan urusan kita, tapi urusannya Al-Mu’atsir, Allah Swt.
Wallahu a’lam.