• Tentang Kami
  • Tim Ruang Intelektual
  • Disclaimer
  • Kontak Kami
Senin, November 10, 2025
Ruang Intelektual
  • Login
  • Daftar
  • Ilmu Bahasa Arab
    • Nahwu
    • Sharaf
    • Balaghah
    • ‘Arudh
    • Qafiyah
    • Fiqh Lughah
    • Wadh’i
  • Ilmu Rasional
    • Ilmu Mantik
    • Ilmu Maqulat
    • Adab Al-Bahts
    • Al-‘Umȗr Al-‘Ammah
  • Ilmu Alat
    • Ulumul Qur’an
    • Ilmu Hadits
    • Ushul Fiqh
  • Ilmu Maqashid
    • Ilmu Kalam
    • Ilmu Firaq
    • Filsafat
    • Fiqh Syafi’i
    • Tasawuf
  • Ilmu Umum
    • Astronomi
    • Bahasa Inggris
    • Fisika
    • Matematika
    • Psikologi
    • Sastra Indonesia
    • Sejarah
  • Nukat
    • Kitab Mawaqif
  • Lainnya
    • Biografi
    • Penjelasan Hadits
    • Tulisan Umum
    • Prosa Intelektual
    • Karya Sastra
    • Ringkasan Buku
    • Opini
    • Koleksi Buku & File PDF
    • Video
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Ilmu Bahasa Arab
    • Nahwu
    • Sharaf
    • Balaghah
    • ‘Arudh
    • Qafiyah
    • Fiqh Lughah
    • Wadh’i
  • Ilmu Rasional
    • Ilmu Mantik
    • Ilmu Maqulat
    • Adab Al-Bahts
    • Al-‘Umȗr Al-‘Ammah
  • Ilmu Alat
    • Ulumul Qur’an
    • Ilmu Hadits
    • Ushul Fiqh
  • Ilmu Maqashid
    • Ilmu Kalam
    • Ilmu Firaq
    • Filsafat
    • Fiqh Syafi’i
    • Tasawuf
  • Ilmu Umum
    • Astronomi
    • Bahasa Inggris
    • Fisika
    • Matematika
    • Psikologi
    • Sastra Indonesia
    • Sejarah
  • Nukat
    • Kitab Mawaqif
  • Lainnya
    • Biografi
    • Penjelasan Hadits
    • Tulisan Umum
    • Prosa Intelektual
    • Karya Sastra
    • Ringkasan Buku
    • Opini
    • Koleksi Buku & File PDF
    • Video
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Ruang Intelektual
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Utama Tulisan Umum

Haruskah Berakit-Rakit Dahulu?

Muhammad Said Anwar Oleh Muhammad Said Anwar
17 April 2023
in Tulisan Umum
Waktu Baca: 4 menit baca
Source: https://www.pexels.com/id-id/foto/fotografi-grayscale-dari-rantai-220237/

Source: https://www.pexels.com/id-id/foto/fotografi-grayscale-dari-rantai-220237/

Bagi ke FacebookBagi ke TwitterBagi ke WA

“Berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian” (Bersusah-susah dahulu, bersenang-senang kemudian) adalah pepatah yang diamini dan banyak diamalkan orang. Katanya, kalau orang mau sukses, harus bersusah-susah dahulu. Senangnya, nanti dinikmati belakangan.

Sejatinya, pemahaman itu tidak salah. Sebab, jika memang mau berhasil, ya siap-siap dengan kesulitan. Belajar itu susah, tidak semudah membalikkan telapak tangan. Belum lagi dalam melihat peluang-peluang yang ada, tidak mudah menaklukkan semuanya.

Namun, kalau kita tarik ke arena yang lebih universal, kita akan coba menanyakan “Benarkah kesulitan itu menjadi sebab keberhasilan?” atau kita ubah sedikit pertanyaannya, “Benarkah takaran kesulitan itu menjadi cerminan dari takaran keberhasilan?” Untuk menjawab itu, saya akan memberikan sebuah contoh.

Ada seorang teman yang dulunya kalau punya inspirasi, dia pasti eksperimen. Dalam eksperimennya itu, saya lihat dia sebagai sosok yang benar-benar maksimal; mengerahkan apapun yang dia punya. Tapi, masalahnya ada pada mekanisme praktiknya. Waktu itu, dia mau membuat proyektor mini yang memantulkan layar gawai. Akan tetapi, dia hanya memiliki tiga persediaan; layar gawai, lensa, dan kardus mini. Hasilnya, nihil. Tidak ada layar yang seperti di bayangannya itu karena pencahayaan yang kurang.

Dari usaha teman itu, saya belajar bahwa sulit atau tidaknya sesuatu, tidak selalu menjadi faktor primordial dalam keberhasilan sesuatu. Ada hal lain yang tidak dia penuhi; efektivitas. Iya, benar bahwa hal besar itu banyak yang datang dengan jerih payah yang tidak main-main. Tapi, apakah “asal” susah atau ada pertimbangan yang lebih efektif dan substansial? Ini yang menjadi titik masalah.

Teknis dan Eksplorasi

Sejak SMP sampai saat ini, saya sudah hidup dalam dunia administrasi; menjadi pelakunya. Administrasi itu saya temukan di banyak tempat. Ada di sekolah, organisasi, kantor atau lembaga birokrat, dan lain-lain. Proses seperti ini ada untuk kepentingan pendataan dan sebagai syarat yang harus dipenuhi sebelum mencapai tujuan tertentu.

Tidak ada yang salah dari administrasi birokrat. Karena administrasi birokrat itu bertujuan untuk menertibkan. Tapi, saya menyoroti beberapa hal di sebagian kasus. Kasus yang saya maksud itu seperti adanya permintaan berkas yang tidak masuk akal, tidak relevan, atau pengarahan yang tidak efisien. Seperti situs pendidikan tapi meminta data-data privasi yang tidak memiliki kaitan sama sekali. Akhirnya, lahirlah pertanyaan “Untuk apa? Apa setelahnya?”. Ini muncul dari kegelisahan: “Jangan sampai saya menggunakan waktu saya untuk hal yang tidak berguna.”

Contoh lainnya, ada orang rekrutmen magang desain grafis. Tapi, syarat atau teknis yang dibutuhkan tidak punya kaitan. Seperti harus lulus S1, harus menguasai Microsoft Word, Excel, PowerPoint, harus jago Corel Draw, harus mahir Adobe Premiere, harus berpengalaman menggunakan banyak software desain, dan lain sebagainya.

Jika melihat kasus di atas, kita dihadapkan dengan teknis yang tidak esensial tapi menyulitkan. Seperti administrasi di atas. Yang dituju lain, tapi jalan yang diberikan juga tidak memiliki relevansi. Begitu juga kasus rekrutmen magang desain grafis, yang diminta menjadi magang, tapi syaratnya tidak kalah absurd. Persyaratannya mau pekerja spek dewa, tapi job dan upah tidak selayaknya.

Kalau ditarik ke pertanyaan utama “Haruskah berakit-rakit dahulu?” dalam konteks ini tidak. Sebenarnya dua kasus tadi bisa menjadi sederhana, tanpa mengurangi benefit dari tujuan. Misalnya, masalah birokrasi tadi, tinggal minta saja berkas yang relevan dan dibutuhkan. Begitu juga masalah rekrutmen magang tadi, sisa diberikan syarat yang masuk akal dan berangkat dari pertimbangan job dan pendapatan.

Tidak lepas dari realitas pendidikan. Junior atau keluarga saya biasanya cerita bahwa di sekolah itu, harus menulis. Menulisnya pakai pulpen. Yang ditulis adalah buku cetak. Tujuannya, agar nanti hasil tulisan itu dipelajari dan diujiankan. Walaupun saya tidak setuju kalau ini disebut belajar, tapi hal seperti ini disebut sebagai belajar.

Iya, memang menulis itu susah, apalagi harus manual. Pertanyaannya, apa dampak yang dihasilkan kepada peserta didik? Tidak ada. Kalaupun ada, maka itu hanya melatih kecepatan menulis, alih-alih melatih pemahaman yang notabenenya esensi pendidikan. Kenapa tidak menggunakan mesin fotocopy saja atau beli buku cetak untuk dipelajari kan?

Kalau alasannya agar bisa memperbaiki tulisan, kenapa tidak dibuatkan kelas khusus atau mekanisme yang lebih logis lainnya? Akhirnya, anak-anak sekolah hanya menghabiskan tenaganya untuk membuang tinta, menuliskan buku-buku yang akan berdebu di rak tanpa tersentuh pembaca, dan umurnya bertahun-tahun untuk hal yang kurang, bahkan tidak berguna untuk masa depannya.

Jika kita mau berpikir sejenak, teknis itu hanyalah media untuk sampai kepada tujuan. Dalam tujuan inilah kita seharusnya menghabiskan waktu, bukan malahan menghabiskan hidup di media dan menikmati tujuan saat umur tidak memadai lagi untuk itu. Akhirnya, jika berpikirnya harus ribet di teknis, kita menyantap waktu yang harusnya kita gunakan menikmati tujuan di media.

Beberapa ulama tempat saya belajar ilmu alat mengajarkan kalau belajar ilmu alat itu tidak harusnya lama dihabiskan di sana. Kita harus secepatnya dan seefisien mungkin agar bisa mengkaji masalah-masalah yang dibahas di ranah aktual; maqâshid.

Sebuah Penyelesaian

Dahulu, saya diperkenalkan konsep “kerja keras” oleh lingkungan saya. Menurutnya, dengan kerja keras, kita bisa mendapatkan apa yang kita inginkan. Tapi, saya skeptis setelah bekerja keras dan banyak hasil yang nihil.

Kemudian, saya diperkenalkan konsep “kerja cerdas” saat menginjak umur 18-an tahun. Menurut konsep ini, percuma kerja keras tapi setiap tindakannya tidak efektif. Saya lagi-lagi skeptis dengan konsep ini, setelah melihat penganutnya yang hanya mengandalkan kecerdikannya dalam berpikir, tapi minim aksi. Sesempurna bagaimana pun sebuah idealisme, jika tidak ada usaha untuk mewujudkannya, itu hanya akan tetap menjadi idealisme yang bersemanyam di alam akal.

Sekarang, saya memilih konsep “kerja keras dan cerdas” sebagai bentuk kompromi dari kedua konsep itu. Konsep ini lahir karena peristiwa-peristiwa yang saya lihat tidak memeberikan jawaban yang memuaskan. Saat ini, konsep inilah yang memberikan jawabannya; memperhatikan aspek efektivitas, timing, dan usaha maksimal. Tidak menutup kemungkinan, suatu saat nanti ada jawaban yang lebih memuaskan.

Memahami Ulang “Berakit-Rakit Dahulu”

Dalam sebuah proses, yang menjadi titik sentralnya bukan kesulitannya‒seperti yang disinggung di atas‒tapi aspek efektivitasnya. Kesulitan itu adalah konsekuensi, bukan titik antiseden atau ruang kehendak kita. Kesulitan itu bukan hal kita rencanakan, tapi konsekuensi dari rencana kita.

Tapi, di sini mungkin ada pertanyaan. Bagaimana dengan kasus penelitian yang ribet? Maksudnya, mekanisme penelitian itu ribet. Tapi, karena ribetnya itu, kebenarannya semakin dipercaya, sebagaimana yang telah maklum dalam metodenya Francis Bacon.

Untuk menjawabnya, kita lagi-lagi kembali kepada prinsip yang disebutkan tadi, kesulitan hanyalah konsekuensi, bukan direncanakan. Metode penelitian itu ada agar memastikan sampel yang kita teliti itu memiliki kelayakan dan bisa dipertanggungjawabkan.

Tapi, untuk memastikan bahwa sampel itu layak dan prosedurnya sesuai dengan kaidah-kaidah ilmu logika, ditetapkanlah mekanisme tertentu yang kita sebut dengan metode. Sampai di sini, kesulitan itu tidak direncanakan sama sekali. Tapi, kesulitan itu menjadi konsekuensi dari kumpulan mekanisme tadi.

Adapun dalam konteks belajar dan berusaha, memang tidak mudah. Tapi, ketidakmudahan itu bukanlah titik paling esensial dari sebuah perjuangan. Apakah langkah-langkah yang diambil itu logis? Apakah efisien? Apakah peluangnya besar? Ini yang perlu dipertimbangkan. Setelah itu, barulah lakukan usaha semaksimal mungkin. Agar tidak menghabiskan waktu dan tenaga untuk hal yang nihil.

Wallahu a’lam

Artikel Sebelumnya

Untuk Sang Anak; Risalah Tauhid

Artikel Selanjutnya

Mendengar Tangis Hobbes Dalam Mimpi; Sebuah Kritik Moral Egoisme

Muhammad Said Anwar

Muhammad Said Anwar

Lahir di Makassar, Sulawesi Selatan. Mengenyam pendidikan Sekolah Dasar (SD) di MI MDIA Taqwa 2006-2013. Kemudian melanjutkan pendidikan SMP di MTs MDIA Taqwa tahun 2013-2016. Juga pernah belajar di Pondok Pesantren Tahfizh Al-Qur'an Al-Imam Ashim. Lalu melanjutkan pendidikan di Madrasah Aliyah Negeri Program Keagamaan (MANPK) Kota Makassar tahun 2016-2019. Kemudian melanjutkan pendidikan di Universitas Al-Azhar, Kairo tahun 2019-2024, Fakultas Ushuluddin, jurusan Akidah-Filsafat. Setelah selesai, ia melanjutkan ke tingkat pascasarjana di universitas dan jurusan yang sama. Pernah aktif menulis Fanspage "Ilmu Logika" di Facebook. Dan sekarang aktif dalam menulis buku. Aktif berorganisasi di Forum Kajian Baiquni (FK-Baiquni) dan menjadi Pemimpin Redaksi (Pemred) di Bait FK-Baiquni. Menjadi kru dan redaktur ahli di media Wawasan KKS (2020-2022). Juga menjadi anggota Anak Cabang di Organisasi Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU). Pada umur ke-18 tahun, penulis memililki keinginan yang besar untuk mengedukasi banyak orang. Setelah membuat tulisan-tulisan di berbagai tempat, penulis ingin tulisannya mencakup banyak orang dan ingin banyak orang berkontribusi dalam hal pendidikan. Kemudian pada umurnya ke-19 tahun, penulis mendirikan komunitas bernama "Ruang Intelektual" yang bebas memasukkan pengetahuan dan ilmu apa saja; dari siapa saja yang berkompeten. Berminat dengan buku-buku sastra, logika, filsafat, tasawwuf, dan ilmu-ilmu lainnya.

Artikel Selanjutnya
Mendengar Tangis Hobbes Dalam Mimpi; Sebuah Kritik Moral Egoisme

Mendengar Tangis Hobbes Dalam Mimpi; Sebuah Kritik Moral Egoisme

KATEGORI

  • Adab Al-Bahts
  • Al-‘Umȗr Al-‘Ammah
  • Biografi
  • Filsafat
  • Fisika
  • Ilmu Ekonomi
  • Ilmu Firaq
  • Ilmu Hadits
  • Ilmu Kalam
  • Ilmu Mantik
  • Ilmu Maqulat
  • Karya Sastra
  • Matematika
  • Nahwu
  • Nukat
  • Opini
  • Penjelasan Hadits
  • Prosa Intelektual
  • Sastra Indonesia
  • Sejarah
  • Tasawuf
  • Tulisan Umum
  • Ushul Fiqh

TENTANG

Ruang Intelektual adalah komunitas yang dibuat untuk saling membagi pengetahuan.

  • Tentang Kami
  • Tim Ruang Intelektual
  • Disclaimer
  • Kontak Kami

© 2021 Ruang Intelektual - Mari Berbagi Pengetahuan.

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password? Daftar

Buat Akun Baru!

Isi Form Di Bawah Ini Untuk Registrasi

Wajib Isi Log In

Pulihkan Sandi Anda

Silahkan Masukkan Username dan Email Anda

Log In
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Ilmu Bahasa Arab
    • Nahwu
    • Sharaf
    • Balaghah
    • ‘Arudh
    • Qafiyah
    • Fiqh Lughah
    • Wadh’i
  • Ilmu Rasional
    • Ilmu Mantik
    • Ilmu Maqulat
    • Adab Al-Bahts
    • Al-‘Umȗr Al-‘Ammah
  • Ilmu Alat
    • Ulumul Qur’an
    • Ilmu Hadits
    • Ushul Fiqh
  • Ilmu Maqashid
    • Ilmu Kalam
    • Ilmu Firaq
    • Filsafat
    • Fiqh Syafi’i
    • Tasawuf
  • Ilmu Umum
    • Astronomi
    • Bahasa Inggris
    • Fisika
    • Matematika
    • Psikologi
    • Sastra Indonesia
    • Sejarah
  • Nukat
    • Kitab Mawaqif
  • Lainnya
    • Biografi
    • Penjelasan Hadits
    • Tulisan Umum
    • Prosa Intelektual
    • Karya Sastra
    • Ringkasan Buku
    • Opini
    • Koleksi Buku & File PDF
    • Video

© 2021 Ruang Intelektual - Mari Berbagi Pengetahuan.