Zaman sekarang adalah zaman keterbukaan informasi, terlebih untuk mengakses literatur apapun. Satu sisi kemudahan bagi orang yang tidak bisa multi-bahasa sudah bisa mengakses informasi yang ada di negara luar. Di sisi lain, siapa saja bisa menerjemah.
Saya pernah ditanya oleh beberapa adik kelas terkait buku terjemahan rekomendasi. Namun, saya tidak berikan terjemahan kecuali saya carikan buku yang penulisnya orang Indonesia sendiri. Ini bukan tanpa alasan, tapi sebagai kehati-hatian. Sikap ini muncul ketika saya melihat bahasa yang saya pelajari itu dari segi nuansa sudah berbeda, apalagi ketika sudah masuk ke lingkaran istilah dalam bahasa asing.
Sejak dulu, guru saya sudah berpesan bahwa kuasailah bahasa agar kita bisa memiliki akses literasi lebih luas dan utuh. Mencoba “lompat pagar” dari nasihat ini justru menjadi petaka tersendiri; salah paham. Pasalnya, saya pernah membandingkan teks asli dan teks terjemahan, saya menemukan kemungkinan distorsi yang sangat besar. Bagi saya, ini yang menjadi bahaya tersendiri.
Menerjemah itu Keahlian
Sekitar tiga tahun lalu, saya pernah belajar menerjemahkan kepada seorang senior yang terpandang di Mesir. Kebetulan dia juga sudah mendapat Surat Keputusan (SK) dari Grand Syekh Ahmad Thayyib untuk menerjemahkan karya tulis ulama besar Al-Azhar. Di sanalah saya diberitahu kalau menerjemahkan itu adalah sebuah keahlian yang perlu diasah.
Selain itu, penerjemah harus benar-benar menguasai jenis ilmu atau istilah yang terdapat dalam literatur itu. Ini melihat salah satu teknik penerjemahan yang bertumpu pada pemahaman terhadap istilah ilmiah tersendiri. Misalnya, ketika saya ingin menerjemahkan kata maudhû’, bahasa Indonesia apa yang tepat untuk menerjemahkan maknanya? Tentu ini memerlukan penalaran dulu, karena istilah itu terdapat dari pelbagai jenis ilmu yang masing-masing memiliki sudut pandang dan istilah yang berbeda-beda.
Perlu diakui bahwa menguasai bahasa adalah satu pintu besar untuk sampai kepada tahap menerjemahkan. Tapi, jika berkaitan dengan ilmu, maka menguasai bahasa hanyalah “salah satu” pintu saja, bukan satu-satunya. Kalau berkaca pada sejarah peradaban Islam, kita akan melihat bahwa yang menerjemahkan naskah filsafat adalah ahli filsafat. Begitu juga kedokteran, fisika, dan lain-lain, yang menerjemahkan adalah ahlinya masing-masing. Seperti Organon karya Aristoteles. Di dalam karya itu ada bab besar yang bertajuk Categoria (al-maqûlât), diterjemahkan oleh Ibnu Muqaffa’, kemudian diterjemahkan ulang oleh Yahya bin Adi, lalu dijelaskan ulang oleh Al-Farabi dan Ibnu Sina. Begitu juga karya-karya lainnya. Kalau kita melihat latar belakang para penerjemah, kita akan melihat kalau mereka ahli dalam filsafat dan logika. Sehingga terjemahan mereka itu utuh dan membangun peradaban besar.
Atas dasar ini, menerjemahkan itu bukan hanya tentang menguhah rentetan huruf dari bahasa tertentu ke bahasa yang lain, tapi bagaimana agar makna dari satu bahasa bisa sampai juga dengan utuh ke bahasa yang lain. Juga, penerjemahan ini pada akhirnya mengharuskan kita memiliki keahlian atau pemahaman yang dalam pada bidang yang ingin diterjemahkan. Itulah kenapa nanti metode terjemahan yang dipakai pada era Abbasiyyah itu ada dua; 1) Menerjemahkan sesuai bahasa yang tertulis. 2) Menjelaskan ulang apa yang terdapat pada manuskrip atau naskah yang mereka temukan ke bahasa asal mereka.
Ada juga masalah yang cukup sulit untuk dipecahkan terkait terjemahan ini, sebab salah satu bahasa bisa saja lebih sedikit kosakatanya. Semisal, bahasa Indonesia jika ingin menerima makna dari literatur peradaban kuno, biasanya bahasa Indonesia harus diadaptasikan dengan terjemahan yang bersifat deskriptif jika kosakata yang maknanya sama persis tidak ditemukan. Juga penjelasan yang diberikan harus detail agar terhindar dari distorsi. Tapi, karena masalah seperti ini kerap ditemukan dalam istilah, biasanya penerjemah menganjurkan kita memberikan catatan kaki untuk menjelaskan kata atau istilah yang dimaksud.
Melihat penerjemahan ini membutuhkan keahlian dan bukan hal yang mudah, maka pembaca dituntut untuk memiliki basic atau dasar dalam membaca buku terjemahan. Sebab, kalau kita tidak memiliki dasar atau konsepnya “nol”, maka kita akan kebingungan, belum lagi kalau ketemu terjemahan yang bahasanya kurang jitu yang akan membuat kita pusing tujuh keliling.
Kemungkinan Distorsi
Banyak terjemahan yang saya temukan, sifatnya terlalu literal dan tidak ada penjelasan lebih lanjut tentang maksudnya. Misalnya, ada definisi proposisi yang bunyi:
ما يحتمل الصدق والكذب لذاته
“Sesuatu yang mengandung kemungkinan benar dan bohong menurut esensinya”
Kalau kita menggunakan redaksi seperti ini, maka akan memunculkan pemahaman yang tidak pas, apalagi jika pembaca adalah orang awam yang kurang luas jangkauan konsepsi bahasanya. Misalnya saja pada kata ‘bohong’ dan frasa ‘menurut esensinya’, batas-batas konsepnya tidak ada sehingga persepsi liar bisa muncul. Kata ‘bohong’ dalam bahasa Indonesia, memang bermakna sesuatu yang tidak sesuai dengan realita. Tapi, ketika kita tarik dalam realita, makna kata ‘bohong’ selalu dikaitkan dengan kemunafikan atau sikap hipokrit dan berkaitan dengan perencanaan bagi sebagian orang.
Hal tersebut sah-sah saja dalam pertimbangan objektif, dalam artian memang sosok pembohong dan munafik adalah karakter yang lahir dari deretan proposisinya yang tidak sesuai dengan fakta. Tapi, tidak semua orang yang memiliki proposisi yang tidak sesuai dengan fakta bisa kita katakan sebagai pembohong, apalagi munafik dalam konsepsi umum yang diamini oleh masyarakat. Sehingga konsekuensi dalam terjemahan ini bisa sampai kepada: “Siapapun proposisinya yang tidak sesuai fakta, maka dia adalah pembohong”. Tentu makna ‘pembohong’ ini lagi-lagi tidak memiliki batas yang jelas di sini, apakah gelaran ‘pembohong’ ini dilekatkan kepada mereka yang sekali saja berbohong ataukah sudah berkali-kali berbohong? Jawabannya, bisa kedua-duanya dengan sudut pandang yang berbeda.
Bagaimana kata ‘pembohong’ bisa mencakup kedua makna tersebut? Kalau kita menggunakan pendekatan ilmu bahasa sendiri, maka siapapun yang berbohong, maka dia pasti dikatakan sebagai pembohong. Kata ‘pembohong’ di sini dilihat sebagai sosok yang melakukan perbuatan bohong, terlepas apakah dilakukan sekali atau sudah berkali-kali. Sedangkan kalau kita menggunakan pendekatan kemasyarakatan, ungkapan ‘pembohong’ lebih banyak digunakan untuk mereka yang berulang-ulang melakukan kebohongan atau sekali saja berbohong tapi kebohongannya adalah kebohongan besar. Ini baru kata “bohong” belum lagi “menurut esensinya”.
Kembali kepada pembacaan terjemahan. Pada bagian awal di atas, saya sudah menyebutkan kalau resiko kesalahpahaman ini lebih rentan kepada mereka yang masih awam dan pemahaman terhadap keilmuan yang bersangkutan belum dalam. Memang kemungkinan paham itu tidak bisa kita nafikan, apalagi jika terjemahannya bagus. Masalahnya, seberapa besar kemungkinan paham jika ketemu buku yang terjemahannya kaku? Kalau bukan tidak paham, ya salah paham.
Kalau begitu, kapan terjemahan yang rancu itu kapan cocok dibaca? Jawabannya, saat kita sudah memiliki basic keilmuan dan kemampuan bahasa. Selain mendapatkan isinya, kita juga bisa menjadikan kesalahan penerjemah sebagai pelajaran untuk pribadi kita masing-masing. Karena kesalahan bisa kita ketahui melalui pengetahuan.
Karakter Bahasa
Bahasa yang satu dengan bahasa yang lain itu memiliki karakter yang berbeda. Selain melihat sebatas kosakata yang berbeda, maka kita juga akan melihat bagaimana penurtur bahasa memberikan suatu ungkapan dan bagaimana mereka menyusun kalimat. Misalnya, bahasa Indonesia baku dalam memberikan suatu ungkapan, maka akan dimulai dari subjek, predikat, lalu objek. Bahasa Arab, dalam bentuk jumlah fi’liyyah memulai ungkapan dengan predikat (kata kerja), subjek (pelaku), lalu objek. Sedangkan dalam bahasa Persia, ungkapan dimulai dari menyebutkan subjek, objek, lalu predikat. Ini dari segi penyusunan.
Dari segi konsep dan konotasi, kata itu bisa berbeda. Misalnya kata “fitnah”. Dalam bahasa Indonesia itu selalu dilekatkan dengan makna ‘tuduhan tanpa bukti’. Sedangkan dalam bahasa Arab, maknanya bisa sangat luas. Bisa berarti ‘ujian’, ‘pengusiran’, dan lain sebagainya. Belum lagi kata taklif yang berarti beban. Kalau sekedar mengambil teks tanpa melihat konteks, maka orang bisa salah paham pada ayat:
{…لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا}
“Allah tidak ‘membebani’ seorang hamba di luar kesanggupannya” (Q.S. Al-Baqarah: 286).
Akhirnya, dari sini timbullah sebuah distorsi karena perbedaan konsep ‘beban’ yang dimaksud dalam ayat dan pemahaman masyarakat. Masyarakat mengiranya sebagai beban hidup, sehingga mengira kalau Allah tidak mungkin membebani makhluk di luar kemampuannya. Padahal yang dimaksud adalah beban syariat atau aturan. Seandainya yang dimaksud adalah beban hidup, lantas kenapa ada orang yang diberikan beban sampai harus menelan nyawa? Seperti sebagian nabi yang diutus kepada Bani Israil misalnya. Justru kalau kita melihat tatanan ushul fikih, maka kita akan menemukan konsep rukhshah atau peringanan ketika ada hukum yang tidak sanggup dilakukan oleh hamba yang merupakan representasi dari ayat yang bersangkutan.
Dalam kasus ini kita bisa melihat, bahwa meskipun terjemahan kata taklif adalah ‘beban’, tapi yang dimaksud bukanlah beban sebagaimana yang dipahami masyarakat berdasar kepada kultur bahasa yang sudah dipahami. Melainkan beban syariat. Di sinilah awal mula kekeliruan itu, mengira bahwa terjemahan literal dari bahasa lain dianggap menjadi representasi utuh dari sesuatu yang diterjemahkan. Padahal itu sangat jauh. Inilah yang membuat membaca terjemahan tidak sesederhana yang diduga sejak awal.
Memulai
Sikap enggan saya dalam merekomendasikan buku terjemahan kepada orang-orang yang meminta buku terjemahan adalah sebuah jawaban. Maksudnya, saya ingin mengarahkan yang bersangkutan kepada orang yang bahasanya sama dengan kita atau bacaan yang umber aslinya dari bahasa kita juga.
Kalau misalnya bidang yang lebih kental di luar Indonesia, maka belajar bahasa baru adalah kunci yang terbaik sekaligus agak sukar. Tapi, jika memang ingin pemahaman yang benar-benar utuh dan mendalam, tentu usaha yang dilakukan bukan usaha yang setengah-setengah, harus dengan perangkat yang banyak. Saya pribadi kebetulan pelajar jurusan teologi dan filsafat, sampai harus mempelajari bahasa Arab, Inggris, dan Persia demi mengetahui bagaimana pemikiran di luar sana sampai akar-akarnya. Meskipun saya pernah mencoba membaca buku terjemahan yang berujung salah paham.
Jadi, jika ingin pemahaman yang utuh, persiapkan perangkat dan alat yang utuh juga untuk sampai ke sana, seperti ilmu logika dasar dan bahasa jika ingin mendalami filsafat, persiapkan ilmu bahasa Arab, logika, ilmu transmisif (naqliy), dan lain sebagainya jika ingin memahami fikih, begitu juga alat yang relevan dengan bidang yang ingin digeluti, agar waktu tidak terbuang sia-sia dalam salah paham. Memang manusia tempatnya salah, tapi kalau bisa diminimalisir, kenapa tidak?
Wallahu a’lam