Ruang Intelektual
  • Login
  • Daftar
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Ilmu Bahasa Arab
    • Nahwu
    • Sharaf
    • Balaghah
    • ‘Arudh
    • Qafiyah
    • Fiqh Lughah
    • Wadh’i
  • Ilmu Rasional
    • Ilmu Mantik
    • Ilmu Maqulat
    • Adab Al-Bahts
    • Al-‘Umȗr Al-‘Ammah
  • Ilmu Alat
    • Ulumul Qur’an
    • Ilmu Hadits
    • Ushul Fiqh
  • Ilmu Maqashid
    • Ilmu Kalam
    • Ilmu Firaq
    • Filsafat
    • Fiqh Syafi’i
    • Tasawuf
  • Ilmu Umum
    • Astronomi
    • Bahasa Inggris
    • Fisika
    • Matematika
    • Psikologi
    • Sastra Indonesia
    • Sejarah
  • Nukat
    • Kitab Mawaqif
  • Lainnya
    • Biografi
    • Penjelasan Hadits
    • Tulisan Umum
    • Prosa Intelektual
    • Karya Sastra
    • Ringkasan Buku
    • Opini
    • Koleksi Buku & File PDF
    • Video
Ruang Intelektual
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil

Hari Kemerdekan; Babak Baru Penjajahan

Oleh Muhammad Said Anwar
17 Agustus 2022
in Opini
Hari Kemerdekan; Babak Baru Penjajahan
Bagi ke FacebookBagi ke TwitterBagi ke WA

Tulisan ini dibuat saat peringatan kemerdekaan Indonesia yang ke-77. Kemerdekaan itu diproklamirkan oleh Sang Presiden Pertama, Ir. Soekarno. Tepatnya, tanggal 17 Agustus 1945 di Jalan Pegangsaan Timur No. 56, Jakarta, pada pukul 10:00 WIB. Inilah momen segenap warga Indonesia tersenyum lebar dengan wajah berseri-seri, menunjukkan mimpi buruk penjajahan segera berakhir.

Ketika mendengar kata “Kemerdekaan”, hal yang paling pertama mendarat di kepala kita adalah kebebasan. Kebebeasan berpendapat, kebebasan berekspresi, kebebasan berpikir, dan kebebasan-kebebasan lainnya. Tapi, kita harus mengelus dada lagi ketika melihat realita. Di sana kita akan menemukan neo-kolonialisme dan neo-feodalisme yang pelakunya adalah bangsa Indonesia sendiri. Hal tersebut terbukti saat kita melihat koruptor yang menjadi predator bagi rakyat, kapitalisme yang hidup di dunia pendidikan, dan pembodohan yang ada pada agenda ospek mahasiswa baru.

Melihat kenyataan itu, saya bertanya-tanya “Apakah kita sudah merdeka?” Rasa skeptis ini terpanggil karena melihat ajaran dan fakta berbanding terbalik. Pelajaran di sekolah mengatakan kita sudah merdeka, tapi kita sendiri merasakan penjara tidak terlihat yang mengekang kebebasan sehingga kita akan meragukan “kemerdekaan” itu.

Babak Baru Penjajahan

Setelah proklamasi terlantunkan pada tahun 1945, datanglah serangan besar-besaran dari pihak Belanda pada periode 1947-1949. Serangan ini dikenal dengan peristiwa Agresi Militer Belanda I & II (Operatie Product & Operatie Kraai). Ini disebabkan Indonesia yang berdasar proklamasi yang menyatakan kedaulatan negara Indonesia. Sedangkan Belanda juga yang bersikukuh dengan isi pidato Ratu Wilhelmina pada 7 Desember 1942 yang menyatakan bahwa suatu hari akan dibentuk persemakmuran Kerajaan Belanda dan Hindia (Indonesia). Nantinya kerajaan ini berada di bawah naungan Kerajaan Belanda. Inilah yang menjadi akar masalah dari Agresi Militer I.

Kalau kita meresapi kejadian tersebut, kita akan menemukan bahwa setelah peristiwa proklamasi, bukan berarti penjajahan tidak akan terjadi lagi. Justru babak baru penjajahan itu mungkin saja terjadi. Entah dengan bentuk yang berbeda atau dengan sifat yang berbeda pula. Agresi Militer Belanda adalah bukti fisik akan mungkinnya hal seperti itu. Ini mengisyaratkan akan ada penjajahan lagi. Setelah Agresi Militer Belanda, penjajahan fisik tidak lagi terjadi. Tapi, yang terjadi “transformasi penjajahan” dari penjajahan fisik ke penjajahan non-fisik.

Penjajahan itu kemudian berubah ke bentuk yang lain. Bukan lagi penjajah di luar Indonesia pelakunya. Tapi, bangsa Indonesia itu sendiri. Mungkin saja Ir. Soekarno sudah menyadari bagaimana penjajahan dalam bentuk lain itu bisa terjadi suatu saat di masa depan. Hal itu terlihat dalam salah satu ucapan Ir. Soekarno “Perjuanganku lebih mudah karena melawan penjajah. Namun, perjuangan kalian lebih sulit karena melawan bangsa sendiri”. Ya, penjajah itu adalah orang sebangsa kita. Secara fisik, dia berstatus sebagai warga negara Indonesia. Tapi, di saat yang sama, mereka jugalah yang menciderai kedaulatan Indonesia. Seperti koruptor yang merusak sendi penting negara; ekonomi. Itulah neo-kolonialisme; penjajahan babak baru (Penjajahan non-fisik).

Neo-Feodalisme

BacaJuga

Pesulap Merah dan Pola Pikir Masyarakat

Penista Agama yang Sesungguhnya

Si Paling Benar

Menjawab “Katanya”

Sederhananya, feodalisme ini adalah sistem sosial atau politik yang memberikan kekuasaan tertinggi kepada kaum bangsawan. Tapi, kalau kita tarik ke konteks sosial yang dimaksud, maka yang dimaksud dengan feodalisme adalah perbudakan dan superioritas. Inilah yang membuka peluang adanya orang yang menindas dan menekan kalangan atau tertentu secara semena-mena.

Hal ini terbaca di dunia pendidikan. Di mana ketika ada kegiatan ospek, para mahasiswa baru yang datang mau menimba ilmu itu dibodoh-bodohi oleh seniornya yang bisa saja lebih minus dari mahasiswa baru itu. Pembodohan itu misalnya ketika mahasiswa baru disuruh melakukan tindakan absurd dan tidak boleh mempertanyakan apalagi melawan. Jika mahasiswa memunculkan sikap kritis, maka dia akan mendapatkan hukuman tertentu. Marah-marah tidak jelas dengan dalih melatih jiwa militan. Ada juga dengan perpeloncoan yang dilakukan senior-senior untuk menutup-nutupi kebobrokannya. Hal seperti ini sudah sangat maklum terjadi. Inilah mental feodal yang menjadi wajah pendidikan kita.

Idealnya, ospek itu diadakan untuk memperkenalkan kampus, para pembesar kampus, organisasi yang ada, dan lain sebagainya. Tapi, semakin ke sini, ada saja orang yang menjadikan ospek sebagai ajang balas dendam atas perbuatan seniornya juga. Jika pendidikan masih belum merdeka dari feodalisme, maka hakikatnya kita belum merdeka. Karena segalanya dimulai dari pendidikan. Sebab, pendidikan adalah otaknya peradaban.

Dalam kehidupan sosial juga sangat tergambar jelas bahwa neo-feodalisme saat ini benar-benar subur. Anggaplah Anda menyuarakan kebenaran yang tidak disukai oleh kaum elit. Apa yang terjadi setelahnya? Macam-macam. Bisa saja Anda dicarikan masalah, dibuatkan kasus, dicelakai, bahkan dibunuh. Fakta lapangan yang ada adalah Novel Baswedan yang dicelakai pasca menggagalkan aksi korupsi ala pejabat. Inilah titik penjajahan itu; ketika segala cara dihalalkan untuk menolak kebenaran.

Pikiran yang Terpenjara

Ada satu hal yang amat pahit untuk diakui; bangsa kita belum siap untuk berbeda pendapat. Hal ini dibuktikan dengan fanatisme yang mengakar kuat di lapisan masyarakat. Masyarakat tidak siap berdialektika dengan yang dianggapnya berbeda. Kalaupun mereka berdebat, bukan kebenaran yang dicari, tapi kemenangan.

Mereka tidak melihat kebenaran sebagai kebenaran itu sendiri. Tapi, mereka melihat “siapa” untuk membenarkan sesuatu, bahkan jika itu salah. Nalar seperti ini mencerminkan pikiran yang masih terjajah oleh kebodohan dan oknum. Kebodohan dan oknum adalah dua penjajah yang ada pada pikiran manusia. Sehingga sulit untuk menyatakan kemerdekaannya, apalagi dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Kebodohan, membuat orang tidak bisa menemukan jalan keluar dari sebuah masalah dan oknum yang memaksa orang untuk melakukan sesuatu seolah ingin mengambil kendali penuh hidup orang.

Hal ini diperkeruh dengan banyaknya yang mewarisi tindakan deaktivasi pikiran. Bukan hanya dalam kehidupan rumah tangga, di balik dinding sekolah juga melakukan hal yang sama. Ironisnya, pendidikan yang seharusnya membuat pikiran itu merdeka, tapi (sistem) pendidikan itu sendiri yang membunuh pikiran. Coba saja banyak bertanya terkait hal-hal yang substansial kepada orang yang disebut guru itu. Akan ada yang menjawab dengan marah-marah untuk menyembunyikan ketidaktahuannya atau tidak ingin konsistensi jawabannya diuji.

Tahap mahasiswa juga yang harusnya menjadi manifestasi suara rakyat, masih berusaha dimatikan akalnya. Hal tersebut saya ketahui setelah mendapat informasi dari salah satu mahasiswa dari salah satu universitas yang terkenal, kalau ada sebuah universitas di Indonesia yang mengajarkan trik menggertak penanya ketika dia tidak mengetahui jawabannya, alih-alih mengatakan “Tidak tahu” atau “Nanti saya cari jawabannya”. Alasannya, supaya ketidaktahuannya tidak terbaca. Padahal, penanya akan peka sendiri kalau pertanyaannya tidak terjawab. Akhirnya, kita menyadari bahwa ada yang mengajarkan kebodohan dan hal jauh dari nilai-nilai akademik.

Saat pikiran masih terpenjara dalam jeruji kebodohan dan oknum tertentu, hakikatnya esensi manusia juga ikut serta terpenjara. Sebab, inti dari manusia adalah pikirannya. Di sanalah tindak-tanduknya lahir. Di sana juga potensinya untuk merubah dunia itu ada. Sekali lagi, semua potensi itu terpenjara! Tidak ada yang namanya merdeka!

Menuju Kemerdekaan

Ada satu hipotesa yang membuat saya cemas; kemerdekaan hakiki itu utopis. Dia hanya ada di pikiran saja. Adapun kemerdekaan Indonesia yang diproklamirkan itu sebagai bentuk pengakuan kedaulatan negara secara de jure. Jika eksistensi negaranya yang independen sehingga dikatakan merdeka, maka saya sepakat. Namun, saya tidak melihat itu sebagai kemerdekaan yang hakiki; melihat rakyatnya masih banyak yang terjajah hingga detik ini. Saya melihat kemerdekaan hakiki saat tidak ada lagi ancaman ketika kita berjalan menuju kepada kebenaran dan tidak ada ketundukan terhadap kesalahan.

Salah satu hikmah kenapa kita diberikan akal adalah memungkinkan sesuatu secara teori yang tidak bisa terjadi di realita. Sampai hari kiamat, akan ada yang menghalang-halangi kita menuju kepada kebenaran. Namun, kita masih bisa sedikit lebih bahagia dengan mengetahui adanya kemerdekaan hakiki berkat akal yang diberikan oleh Tuhan.

Plato, Filusuf Yunani Kuno memperkenalkan salah satu pikirannya yang melegenda; idea (alam ide). Maksudnya, sesuatu yang sempurna itu tidak ada di realita. Selama sesuatu itu ada di realita, maka pasti ada kurangnya. Sesuatu yang sempurna itu ada di idea. Sebagaimana kemerdekaan hakiki ini, hanya ada di idea dan tidak benar-benar ada di realita.

Tugas kita adalah terus berjalan menuju kemerdekaan itu walaupun akhirnya kita tahu kalau pada akhirnya paling maksimal kita hanya berusaha mendekati kemerdekaan itu. Begitu juga kesempurnaan, kita tidak akan pernah meraihnya. Namun, bukan berarti kita tidak bisa mendapatkannya, lantas kita meninggalkannya. Setidaknya, kalau tidak bisa sampai di titik tertinggi, jangan turun ke titik paling rendah.

Hal yang mendekatkan kita kepada kemerdekaan adalah belajar, mengasah keberanian, berusaha adil sejak di pikiran, dan menjadi sosok yang independen. Dengan kata lain; berpihak kepada kebenaran. Jika orang yang memerdekakan Indonesia disebut pahlawan, maka kita adalah pahlawan bagi diri masing-masing jika memerdekakan diri.

Wallahu a’lam.

Muhammad Said Anwar

Muhammad Said Anwar

Lahir di Makassar, Sulawesi Selatan. Mengenyam pendidikan Sekolah Dasar (SD) di MI MDIA Taqwa 2006-2013. Kemudian melanjutkan pendidikan SMP di MTs MDIA Taqwa tahun 2013-2016. Juga pernah belajar di Pondok Pesantren Tahfizh Al-Qur'an Al-Imam Ashim. Lalu melanjutkan pendidikan di Madrasah Aliyah Negeri Program Keagamaan (MANPK) Kota Makassar tahun 2016-2019. Kemudian melanjutkan pendidikan di Universitas Al-Azhar, Kairo tahun 2019-2024, Fakultas Ushuluddin, jurusan Akidah-Filsafat. Setelah selesai, ia melanjutkan ke tingkat pascasarjana di universitas dan jurusan yang sama. Pernah aktif menulis Fanspage "Ilmu Logika" di Facebook. Dan sekarang aktif dalam menulis buku. Aktif berorganisasi di Forum Kajian Baiquni (FK-Baiquni) dan menjadi Pemimpin Redaksi (Pemred) di Bait FK-Baiquni. Menjadi kru dan redaktur ahli di media Wawasan KKS (2020-2022). Juga menjadi anggota Anak Cabang di Organisasi Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU). Pada umur ke-18 tahun, penulis memililki keinginan yang besar untuk mengedukasi banyak orang. Setelah membuat tulisan-tulisan di berbagai tempat, penulis ingin tulisannya mencakup banyak orang dan ingin banyak orang berkontribusi dalam hal pendidikan. Kemudian pada umurnya ke-19 tahun, penulis mendirikan komunitas bernama "Ruang Intelektual" yang bebas memasukkan pengetahuan dan ilmu apa saja; dari siapa saja yang berkompeten. Berminat dengan buku-buku sastra, logika, filsafat, tasawwuf, dan ilmu-ilmu lainnya.

RelatedPosts

Pesulap Merah dan Pola Pikir Masyarakat
Opini

Pesulap Merah dan Pola Pikir Masyarakat

Oleh Muhammad Said Anwar
5 Agustus 2022
Penista Agama yang Sesungguhnya
Opini

Penista Agama yang Sesungguhnya

Oleh Muhammad Said Anwar
9 Juli 2022
Si Paling Benar
Opini

Si Paling Benar

Oleh fachryalhidayah
1 Juni 2022
Menjawab “Katanya”
Opini

Menjawab “Katanya”

Oleh fachryalhidayah
27 Mei 2022
“Alumni Al-Azhar, Tapi Menyimpang?”
Opini

“Alumni Al-Azhar, Tapi Menyimpang?”

Oleh Muhammad Said Anwar
30 November 2021
Artikel Selanjutnya
Membaca Terjemahan Tidak Sesederhana Itu!

Membaca Terjemahan Tidak Sesederhana Itu!

Anakku: Motivator yang Belum Lahir

Benarkah Tuhan Tidak Bisa Dilogikakan?

Benarkah Tuhan Tidak Bisa Dilogikakan?

KATEGORI

  • Adab Al-Bahts
  • Al-‘Umȗr Al-‘Ammah
  • Biografi
  • Filsafat
  • Ilmu Ekonomi
  • Ilmu Firaq
  • Ilmu Hadits
  • Ilmu Kalam
  • Ilmu Mantik
  • Ilmu Maqulat
  • Karya Sastra
  • Matematika
  • Nahwu
  • Nukat
  • Opini
  • Penjelasan Hadits
  • Prosa Intelektual
  • Sejarah
  • Tasawuf
  • Tulisan Umum
  • Ushul Fiqh

TENTANG

Ruang Intelektual adalah komunitas yang dibuat untuk saling membagi pengetahuan.

  • Tentang Kami
  • Tim Ruang Intelektual
  • Disclaimer
  • Kontak Kami

© 2024 Karya Ruang Intelektual - Mari Berbagi Pengetahuan

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password? Daftar

Buat Akun Baru!

Isi Form Di Bawah Ini Untuk Registrasi

Wajib Isi Log In

Pulihkan Sandi Anda

Silahkan Masukkan Username dan Email Anda

Log In
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Ilmu Bahasa Arab
    • Nahwu
    • Sharaf
    • Balaghah
    • ‘Arudh
    • Qafiyah
    • Fiqh Lughah
    • Wadh’i
  • Ilmu Rasional
    • Ilmu Mantik
    • Ilmu Maqulat
    • Adab Al-Bahts
    • Al-‘Umȗr Al-‘Ammah
  • Ilmu Alat
    • Ulumul Qur’an
    • Ilmu Hadits
    • Ushul Fiqh
  • Ilmu Maqashid
    • Ilmu Kalam
    • Ilmu Firaq
    • Filsafat
    • Fiqh Syafi’i
    • Tasawuf
  • Ilmu Umum
    • Astronomi
    • Bahasa Inggris
    • Fisika
    • Matematika
    • Psikologi
    • Sastra Indonesia
    • Sejarah
  • Nukat
    • Kitab Mawaqif
  • Lainnya
    • Biografi
    • Penjelasan Hadits
    • Tulisan Umum
    • Prosa Intelektual
    • Karya Sastra
    • Ringkasan Buku
    • Opini
    • Koleksi Buku & File PDF
    • Video

© 2024 Karya Ruang Intelektual - Mari Berbagi Pengetahuan