Kalau kita menengok kehidupan bermasyarakat, ada banyak keunikan yang terlukis oleh tindak-tanduk masyarakat itu sendiri. Ada orang yang tipenya baik, ada juga yang tipenya buruk bahkan aneh. Sadar atau tidak, tindakan-tindakan itulah yang nantinya merubah kenyataan, cepat atau lambat. Tapi, kalau kita menilik lebih dalam lagi, ada yang menjadi sumber perbuatan itu; pikiran.
Ada sebuah ungkapan yang sering saya dengar dan saya suka itu; “Kita harus adil sejak dalam pikiran”. Kenapa kita harus adil sejak di pikiran? Bukannya kita diketahui adil tatkala perbuatan kita benar-benar aktual? Dalam perspektif saya sendiri, sebelum lahirnya perbuatan adil, kualitasnya akan ditentukan oleh pemicu utamanya; pikiran. Kalau sejak dari pikiran kita tidak adil, maka tidak ada perbuatan adil yang lahir dalam wujud perbuatan. Perjalanan dari pikiran menuju perbuatan aktual, realitanya singkat tapi penjelasan tidak sesederhana realitanya. Saya akan jelaskan konsep “Gerak akal” ini secara sistematis di tulisan ini.
Potensi dan Aktual
Anggaplah saya tidak bergerak dan tidak melakukan apa-apa. Setelah beberapa saat diam, barulah saya kemudian menunjukkan gerakan tangan yang mengarah ke keyboard lalu mengetik. Setelah saya menekan-nekan beberapa tombol yang terdapat di keyboard, barulah tulisan-tulisan yang Anda baca sekarang itu terbentuk.
Dari contoh di atas, kita bisa lihat, ada beberapa fase realita dari setiap potongan waktu. Ada fase diam, gerak, gerakan tangan menuju keyboard, dan seterusnya. Ketika saya diam, di sana ada dua kemungkinan yang terbuka, apakah saya tetap diam ataukah saya bergerak. Diam saya yang sedang berlangsung, itulah yang disebut dengan aktual (fi’il). Sedangkan gerak yang statusnya masih mungkin, itulah yang disebut dengan potensi (quwwah). Kedua istilah ini, sering dibahas oleh para filusuf ketika menggunakan kacamata aktual plus real-time saat menyentuh aspek futuristik dan sisi kemungkinan secara potensial.
Gerak
Para filusuf sebagai gerak sebagai:
خروج الشيء من القوة إلى الفعل تدريجا
“Keluarnya sesuatu dari potensi menuju aktual”
Sebagaimana bagian konsep potensi dan aktual yang saya perkenalkan di atas, kita bisa melihat contoh yang sama. Saat realita mengalir dari satu keadaan kepada keadaan yang lain, itulah gerak. Dari sekerdar menggerakkan tangan lalu mengetik, itulah gerak. Sebelum tangan mengetik, di sana yang benar-benar terjadi adalah satu gerak sebelum gerak mengetik. Proses perpindahan satu gerak ke gerak yang lain, itulah yang disebut dengan gerak. Karena definisi gerak mengawali isinya dengan kata “keluar”. Tatkala sesuatu yang tergolong potensial itu keluar dari lingkaran status potensinya dan keluarnya itu menuju ke lingkaran baru yang disebut aktual, itulah gerak.
Pertanyaannya, seandainya ada sesuatu antara potensi dan aktual, apakah itu masih bisa dikatakan gerak? Jawabannya, bisa iya, bisa tidak. Dia bisa dikatakan gerak ketika poin akhir dari “keluar” itu adalah aktual. Jika tidak, maka jawabannya jelas tidak. Tapi, kalau kembali kepada realita, sesuatu itu jika bukan potensi, maka pasti aktual. Atas dasar ini, sesuatu yang keluar dari lingkaran potensi otomatis dia menjadi aktual.
Kenapa mekanisme keluarnya harus bertahap? Jawabannya, gerak membutuhkan syarat. Syarat yang dimaksud itu ada enam: 1) Asal gerak. 2) Tujuan. 3) Subjek yang mengalami gerak. 4) Penggerak yang melahirkan gerak. 5) Jarak ditempuh oleh sesuatu yang bergerak. 6) Waktu yang menghitung gerak. Tanpa adanya enam hal ini, maka tidak akan ada yang namanya gerak.
Misalnya saya menggerakkan penggaris dari depan ke samping saya. Maka di sini ada tempat di depan saya yang menjadi asal gerak. Tujuannya adalah tempat di samping saya. Subjek yang bergerak adalah penggaris. Penggeraknya adalah saya. Jarak yang ditempuh 1 meter. Waktu yang dibutuhkan 3 detik.
Gerak Akal
Kembali kepada persoalan inti. Ketika kita berpikir, maka pikiran itu melahirkan potensi perbuatan yang lain. Ketika kita misalnya berorganisasi, maka yang paling utama dilakukan sebelum melakukan aksi adalah membentuk konsep yang matang. Setelah konsepnya matang, barulah kita bisa melakukan aksi tertentu.
Perbuatan-perbuatan yang terlahir dari kita, berasal dari konsep yang kita buat. Baik konsep itu matang atau tidak. Selama kita masih berpikir, maka perbuatan sadar itu akan lahir dari diri kita dan bisa disaksikan oleh orang lain. Proses transformasi ide menjadi perbuatan itulah sisi gerak yang terjadi pada akal. Akan tetapi “gerak” di sini hanya majazi. Karena gerak hakiki membutuhkan syarat.
Jika perbuatan lahir dari pikiran, maka kualitas perbuatan juga bergantung dengan kualitas pikiran. Meskipun demikian, bukan berarti pikiran berkualitas melahirkan perbuatan yang berkualitas juga. Buktinya, ada idealisme yang besar tetapi kadang harus tunduk kepada realita yang tidak mendukung. Kalau begitu, kita tidak usah memperbaiki kualitas pikiran? Justru kita harus memperbaikinya. Sebab, jika pikiran yang berkualitas saja belum tentu melahirkan perbuatan berkualitas, lebih-lebih kalau tidak ada kualitas baik di pikiran itu.
Tawaran: Revolusi Peradaban
Rumus sebuah perubahan dimulai dari ide. Karena ide akan melahirkan perbuatan. Perbuatan bisa disaksikan oleh orang banyak. Jika perbuatan itu diamini, maka orang akan mengikutinya lalu lahirah sebuah perubahan pola pikir dan peradaban di wilayah itu. Ada sebuah ungkapan familiar yang selalu kita dengar: “Kemajuan sebuah peradaban dimulai dari literasi”.
Belajar, memperkaya wawasan, memperbanyak bacaan, dan terus mengasah ketajaman pikiran adalah tindakan yang memperbesar potensi berkualitasnya perbuatan. Karena kualitas pikiran dipengaruhi dengan informasi yang diperoleh melalui belajar. Semakin banyak belajar, semakin banyak informasi yang didapatkan. Semakin banyak informasi yang didapatkan, semakin besar juga kualitas yang meningkat.
Ir. Soekarno, Presiden Pertama Republik Indonesia pernah berkata “Saya lebih menyukai pemuda yang merokok sambil mendiskusikan bangsa, dibanding kutu buku yang memikirkan dirinya sendiri”. Kutu buku yang dimaksud oleh beliau adalah orang yang ilmunya tidak menjadi perbuatan. Itu karena dia memikirkan dirinya sendiri. Ilmunya tidak mengaktualisasikan potensi yang sudah ada di otaknya. Seandainya memang ilmunya itu teraktualisasikan, maka pasti dia tidak akan memikirkan dirinya saja, tapi juga turut serta dalam mendiskusikan bangsa Indonesia yang maslahatnya lebih umum. Jika kutu buku ikut serta dalam mendiskusikan bangsa, maka akan terjadi perubahan besar-besaran di Indonesia dan itu mungkin lebih maju dari apa yang ada sekarang.
Pada akhirnya, kita akan mengamini bahwa yang paling berpotensi mengubah suatu peradaban adalah orang yang mengamalkan ilmunya. Orang yang mengamalkan ilmunya adalah orang yang mengamalkan “Gerak akal” ini. Tentunya, semuanya dimulai dari satu kata; literasi. Inilah akar dari sebuah ide brilian. Di sinilah peran penting pendidikan dalam merevolusi peradaban.
Wallahu a’lam