Saya rasa pertanyaan “Mengapa kita menulis?” adalah hal yang sangat jelas jawabannya dan tidak perlu ditanyakan. Tapi, saya membuat tulisan ini karena semenjak saya menjadi Pimpinan Redaksi (Pimred) dalam salah satu media di Mesir, saya melihat ketidakjelasan tujuan menulis di wajah sebagian orang dan terlukis jelas dalam tindak-tanduknya. Seolah-olah akan ada pertanyaan “Untuk apa saya menulis?”. Tidak menutup kemungkinan juga, ada yang melihat menulis ini sebagai “beban”.
Peradaban
Sebagai mahasiswa, saya pernah bertanya “Kenapa kita menulis?” atau lebih spesifiknya, “Apa yang membuat saya harus menulis?”. Saya menemukan jawabannya setelah saya berteman dan bercerita dengan kawan-kawan yang sudah dosen. Sederhananya, menulis itu bisa menolong peradaban kita. Kenapa jawabannya bisa sampai di sini? Saya akan jelaskan.
Jenis pengetahuan manusia itu ada dua; tacit knowledge dan explicit knowledge. Apa itu tacit knowledge? Sebelum ilmu logika itu dibukukan dan disusun menjadi satu ilmu yang sistematis, manusia sudah bisa berpikir logis dan manusia sudah bisa menggunakan akalnya untuk memecahkan masalah. Sebelum Sir. Issac Newton merumuskan teori gravitasi, hakikat gravitasi itu sudah ada di bumi. Tidak mungkin ketika Sir. Issac Newton menemukan gravitasi, tiba-tiba seluruh benda yang ada di atas kerak bumi langsung mengalami tarikan gravitasi dari inti bumi. Apakah manusia mengetahui kalau sesuatu yang dilempar ke atas akan jatuh ke bawah sebelum ditemukannya teori gravitasi? Jawabannya, iya.
Nah, ketika pengetahuan ini masih dalam status belum tersusun, itulah yang disebut tacit knowledge. Tapi, ketika penyusun ilmu itu berinisiatif menuliskan ilmu-ilmu tersebut secara sistematis, maka ilmu itulah yang disebut dengan explicit knowledge. Masalahnya begini, ketika ilmu-ilmu itu dibiarkan tanpa disusun, akan hilang jika yang memahaminya wafat.
Kita bisa belajar dari mazhab fikih yang selain dari keempat mazhab yang kita kenal. Kenapa mazhab-mazhab itu tenggelam? Bisa saja karena tidak ada murid yang mewarisinya, terlampau sedikit, atau tidak ada yang membukukannya. Seandainya seluruh leluhur kita egois dengan tidak menuliskan ilmunya, mungkin kita masih bertarung memperebutkan sebiji apel atau memperselisihkan pohon mana yang layak menjadi Tuhan.
Sebagai rakyat Indonesia, saya rasa keluhan kita sama, rendahnya tingkat literasi. Ini patut diakui dan tidak bisa kita tutup-tutupi. Tapi, kenapa kita tidak berusaha atau ikut serta meramaikan peningkatan literasi Indonesia, salah satunya dengan menulis kan?
Perubahan
Tidak beda dengan poin di atas, hanya saja saya ingin mengatakan bahwa tulisan itu akan merubah sesuatu dari diri penulis dan pembaca, sekecil apapun. Bagi penulis, perubahan itu akan ada dari sisi kecerdasannya, entah kecerdasannya dalam mengolah kata, mengolah ide, ataupun keterampilannya yang semakin terasah. Sedangkan pembaca akan mendapatkan informasi dan pengetahuan baru.
Walau hal tersebut bisa dibilang lumrah dan lazim, tapi dari hal seperti itulah tercipta perubahan. Mungkin kita tidak kepikiran satu hal, tapi berkat kita menulis, neuron-neuron di otak bekerja untuk menyambungkan informasi yang kita punya untuk menemukan hal baru secara tidak sengaja. Begitu juga bagi pembaca, mungkin dia tidak tahu awalnya, tapi setelah membaca, dia menjadi tahu.
Memangnya kenapa kalau orang menjadi tahu? Kalau orang sudah tahu, maka pengetahuannya berpotensi menjadi perbuatan. Perbuatan menjadi kebiasaan. Kebiasaan menjadi karakter yang akan mengubah realitas di sekitar kita.
Menjadi Manusia Lebih Maksimal
Saya tidak pernah lupa satu hadis yang saya hafal sejak kelas 5 SD yang isinya membahas tentang amalan yang tidak pernah putus walau kita sudah wafat, salah satunya adalah ilmu bermanfaat.
Apa maksudnya? Dengan ilmu, kita bisa ajarkan melalui lisan dan tulisan. Tradisi lisan, cakupannya terbatas dan akan hilang jika murid-murid yang mendengar itu sudah wafat. Akan tetapi, tradisi tulisan dia akan terus ada sampai suatu saat yang tidak diketahui, walau murid-murid kita sudah wafat. Setiap ada orang yang membacanya, kita akan mendapatkan pahala dan terus mengalir walau kita sudah berada di liang lahat. Karena tulisan lebih tajam dari senjata api. Jika senjata api bisa menembus sepuluh kepala, maka tulisan bisa menembus jutaan kepala.
Kenapa ulama-ulama kita kekal namanya? Karena mereka menulis. Juga, nama-namanya selalu ada dalam doa kita. Ajaran Islam juga bertahan dengan tradisi tulisan, ulama-ulama kita yang punya jasa di balik itu juga.
Selain itu, ilmu yang sudah kita tulis, ketahanannya berbeda dengan yang tidak kita tulis. Anda bisa buktikan dengan mengajarkan apa yang Anda pahami kepada orang lain, itu juga akan bertahan lebih lama dan lebih kokoh. Sebab, kita mengingat-ingat dan mengulangi apa yang Anda sudah pahami, tentunya dengan analisa yang baik.
Di pesantren dulu, saya juga diajarkan bahwa sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi orang lain. Salah satunya dengan cara menulis. Bukan berarti saya sudah menjadi sebaik-baik manusia itu, hanya saja, saya hanya berusaha mengikuti jalan orang-orang baik dengan ikhtiar menulis.
Saya Mau Menulis, Tapi Mulai dari Mana?
Ketika kita memuntahkan sesuatu, maka yang keluar dari muntahan itu adalah isi perut kita. Menulis juga demikian, dia adalah bentuk “muntahan” dari pikiran kita. Paling awal sebelum kita menulis, kita memiliki pengetahuan tentang apa yang ingin kita tulis. Pengetahuan itu bisa kita peroleh dari membaca, renungan, diskusi, dan lain-lain.
Setiap detik, mata, sentuhan, pendengaran, dan pancaindera kita yang lain itu menyerap informasi. Pikiran kita, setiap detik sadar akan realita dan terus bekerja. Bukankah informasi yang kita peroleh itu sangat banyak? Jelas, Anda tahu jawabannya. Dan semua informasi itu bisa kita tumpahkan dalam tulisan.
Mungkin akan ada yang memiliki keluhan “Saya sering membaca, tapi tidak tahu menyusun kata”. Sebenarnya, kunci dari skill apapun itu (termasuk menulis), pasti dimulai dari latihan. Tidak sedikit juga yang punya alasan “Saya tidak mau latihan, karena saya tidak tahu”. Justru karena tidak tahu, kita latihan. Di mana-mana pelajaran tulis-menulis, pasti diawali dengan diperkenalkan tata caranya. Saya rasa, para pengajar dan pembimbing kelas menulis adalah orang-orang yang rasional. Tidak mungkin mereka meminta murid atau anak bimbingannya menulis, sementara yang diminta menulis tidak mengetahui itu.
Lantas Bagaimana Caranya Menyusun Kata?
Seperti yang saya katakan di atas, semuanya dimulai dari memiliki informasi dan pengetahuan. Maka, menyusun kata juga demikian. Ketika kita membaca, entah itu tulisan koran, status (yang berbobot dan memperhatikan kaidah kepenulisan dasar), atau buku apapun, jangan hanya membaca informasi yang ingin disampaikan oleh penulis. Tapi, baca juga bagaimana mereka menulis, bagaimana mereka memilih kata, bagaimana mereka menyampaikan gagasannya.
Kalau Anda menyangka kalau awal saya menulis, saya memiliki tulisan mengalir seperti ini, jawabannya tidak. Semua menusia memulai hidupnya dari ketidaktahuan dan ketidakmampuan, termasuk saya. Hanya saja, saya mendapatkan karakter dan ciri khas saya dalam menulis setelah saya mencoba meniru cara guru saya menyederhanakan, gaya bahasa yang dipakai oleh penulis yang saya anggap itu nyaman dibaca, dan ratusan kali latihan, sampai saya merasa menulis sebagai sebuah kebutuhan hidup.
Ya, semuanya dimulai dari meniru-niru. Sebab, pada dasarnya kita belum mengetahui bagaimana dunia menulis, apalagi selera penyusunan kata tertentu. Dengan menjalani masa seperti itu, kecenderungan kita akan muncul sendiri dalam membentuk gaya khas “Bagusnya, saya pakai kata ini saja deh”.
Kalau Anda mengira meniru-niru ini berarti kita hidup di bawah bayang-bayang orang, Anda benar pada satu sisi, tapi tidak pada sisi yang lain. Sebab, ketika kita masih kecil, kita meniru segala hal yang ada di sekitar kita, cara orang tua kita berbicara, cara manusia berjalan, duduk, makan, minum, dan lain sebagainya. Pertanyaannya, setelah Anda hidup di bawah bayang-bayang orang yang Anda tiru, apakah Anda memiliki karakter yang sama persis? Mungkin ada mirip pada banyak hal, tapi pada bagian tertentu ada perbedaan. Bahkan, Anda mungkin menemukan selera atau jalan hidup sendiri yang berbeda dari kebanyakan orang. Demikian juga menulis, awalnya meniru, tapi berakhir dengan karakter baru.
Mengapa Orang Takut dan Tidak Mau Menulis?
Jawaban dari pertanyaan ini bisa beragam, apalagi ada dua objek yang menjadi sorotan; takut dan tidak mau. Kalau takut, bisa saja karena takut menuai kritik, karena melihat proses perbaikan tulisan yang banyak komentar yang melayang. Atau, bisa saja karena malu karena karakter dasarnya adalah introvert atau kurang nyaman dengan keramaian.
Untuk orang yang kondisi seperti ini, menulis bisa menjadi ajang untuk melawan ketakutan yang menghantui setiap saat. Kalau Anda menyangka saya adalah pemberani dan bukan introvert, anggapan itu tidak sepenuhnya tepat. Sebab, saya memiliki karakter inrovert, suka kesendirian, dan kurang nyaman dengan keramaian. Tapi, karena saya tahu diri saya yang demikian, saya melawan ketakutan itu dengan menulis dan menunjukkan kalau saya bisa juga bicara, menawarkan gagasan, dan tidak nolep banget.
Ketidakmauan menulis mungkin muncul karena merasa bahwa menulis adalah sebuah beban atau sesuatu yang tidak nyaman. Pandangan seperti ini muncul bisa saja karena pola didikan lingkungan. Bagaimana itu bisa muncul? Coba ingat salah satu lagu, film, atau kartun yang mengingatkan kita pada masa-masa kecil yang indah dan dirindukan itu. Kalau Anda sudah temukan, pertanyaan saya, kenapa rasa rindu itu bisa muncul, padahal yang Anda ingat hanya lagu, film, dan kartun saja? Jawabannya, karena Anda memiliki pengalaman yang baik dan mengasyikkan dengan itu, sehingga kesan yang tertanam di alam bawah sadar Anda adalah perasaan fun.
Kalau kita tarik dari ketidakmauan menulis ini, kenapa orang tidak mau menulis? Bisa jadi karena pengalaman masa lalunya bersama menulis itu pahit. Entah itu menulis karena hukuman, tugas, tekanan, paksaan, dan lain sebagainya, sehingga menulis itu kehilangan maknanya dan hanya meninggalkan bekas luka di hati. Menulis tidak diperkenalkan sebagai ruang untuk membangun dunia sendiri, tempat mengekspresikan imajinasi dan perasaan, tempat untuk mengembangkan ide, dan lain sebagainya. Padahal, hanya menulis yang diingat, tapi kenapa perasaan tertekan yang muncul? Tidak lain karena memori masa lalu, alias “trauma”.
Pada dasarnya, peristiwa apapun itu tidak menunjukkan makna secara spesifik. Ketika melihat pengemis di samping jalan, apa yang Anda pikirkan? Jika Anda berpikir orang itu adalah orang yang pemalas, bukankah ini hanya imajinasi buatan Anda saja? Jika Anda berpikir, dia adalah simbol dari ketidakadilan, bukankah ini hasil dari imajinasi Anda saja? Ya, yang meletakkan makna secara spesifik itu Anda sendiri.
Begitu juga menulis, tidak ada makna tertentu yang ditunjukkan. Tapi, jika Anda berpikir bahwa menulis ini adalah tekanan, bukankah ini hanya imajinasi Anda sendiri? Yang harus Anda lakukan adalah mempertanyakan, apakah yang selama Anda yakini tentang mudah, sulit, tekanan, itu benar? Kasusnya mirip dengan orang yang menganggap logika adalah pelajaran yang mematikan. Tapi, sekali lagi, bukankah ini hanya imajinasi Anda yang muncul karena cekokan informasi dari orang-orang dan lingkungan?
“Ini susah, itu susah” Bukankah ini hanya doktrin orang lain saja? Bagaimana Anda mengetahui sesuatu itu mudah atau sulit kalau belum mencoba, kan? Mungkin bagi dia susah, tapi bagi Anda belum tentu. Sebab, Anda dengan orang lain itu berbeda, baik karakter, cara pandang, bahkan sejarah hidup juga beda.
Jadi, mulailah dengan sudut pandang netral, lalu temukan. Kalau memang menulis bukan passion Anda, itu tidak masalah. Anda sangat berhak menyatakan itu, dengan catatan, pandangan Anda itu asli dari diri Anda, bukan hasil hasutan orang lain. Yang terpenting, tugas kita sebagai manusia sudah terpenuhi; mencoba dan berusaha.
Wallahu a’lam