Beberapa yang lalu, ada adik kelas saya yang bertanya, bagaimana agar ketika kita membuat tulisan, isinya itu benar-benar tersampaikan kepada pembaca? Kemudian pertanyaan ini disusul oleh banyak orang lainnya yang kurang lebih ingin tips dan cara khusus agar tulisannya bisa dipahami oleh orang. Ada juga mengeluh, dia sadar kalau tulisannya hanya dia saja yang pahami tapi tidak bisa memahamkan orang lain.
Pasalnya, kadang kita sendiri merasakan kerisihan tersendiri ketika ada orang yang menjelaskan atau bahkan berbicara saja tapi isi ucapannya kita tidak tahu apa intinya, hanya dia saja dan tuhan yang mengerti, sehingga kita harus berpikir keras untuk memahami. Atau, kadang bahasanya sama persis dengan kita, tapi konteks yang dia gunakan jauh dari pikiran kita. Hal yang serupa terjadi ketika ada yang melempar jokes dalam sebuah tongkrongan tapi ada yang tidak paham, karena konteksnya terlalu spesifik, jauh dari pikiran pendengar.
Ketika kita menjelaskan sesuatu, maka kita harus benar-benar memiliki keinginan memahamkan dan mengukur kemampuan lawan bicara kita. Dan ada juga beberapa hal lain yang perlu dilakukan agar tujuan kita dari menyampaikan itu bisa dipahami oleh pendengar atau pembaca. Di sinilah kita menyadari bahwa komunikasi seperti menulis dan berbicara memerlukan skill dan seni tertentu agar hasilnya berkualitas. Tulisan ini akan menjelaskan bagaimana seni dalam menulis agar mudah dipahami oleh orang. Saya akan menguraikan beberapa poin penting.
Posisikan Diri Sebagai Lawan Bicara
Maksudnya adalah kita membayangkan diri kita sebagai lawan bicara atau pembaca yang isi pikirannya masih kosong, belum memikirkan apa yang ingin kita sampaikan. Di sinilah pentingnya memperhatikan sasaran audiens. Audiens kita bisa jadi itu anak-anak, remaja, orang dewasa, kaum intelek, dan lain sebagainya. Sebab, kalau kita berbicara pakai bahasa anak-anak tapi lawan bicara kita adalah orang dewasa itu tidak akan nyambung. Atau pembahasannya adalah pembahasan anak-anak, itu tidak akan nyambung. Maka kita harus mencoba memposisikan diri sebagai lawan bicara, apakah bisa ditemani berbicara dengan topik A atau tidak? Apakah dia akan menyukai jika saya menyinggung topik B? Dan lain sebagainya. Dengan begitu, kita bisa membahas objek yang sesuai dengan level lawan bicara kita.
Selain itu, ada hal lain yang dikandung oleh poin ini. Yakni, kita harus menakar mana bahasa dan konteks yang sudah diketahui secara luas dan tidak. Misalnya, bahasa yang kita pakai adalah bahasa Indonesia tapi serat dengan istilah-istilah akademik dan yang ditemani berbicara adalah orang yang tidak berpendidikan. Tentu, mereka tidak akan nyambung dengan pembahasan. Misalnya, ada orang yang mengadukan perdebatan yang dia temui. Pihak pertama mengatakan kalau pacaran itu haram. Pihak kedua mengatakan pacaran itu boleh. Ketika kita diminta memberikan pandangan dari yang bertanya bahwa masalahnya di mana lalu kita menjawab dengan “Sebenarnya, mereka berdua memiliki tashawwur yang berbeda”. Pertanyaannya, apakah lawan bicara kita paham tanggapan yang kita sampaikan itu? Khususnya kata tashawwur itu? Bisa jadi iya kalau dia sudah belajar ilmu mantik. Masalahnya, tidak semua orang belajar ilmu mantik. Bisa saja dia tidak memahami itu. Maka bahasa yang kita pakai juga itu seharusnya berbeda, seperti “Oh, sebenarnya keduanya itu beda tentang makna pacaran itu sendiri, makanya mereka perbedaannya juga jauh sampai berdebat”.
Saya pribadi jika membuat tulisan seperti ini hanya menggunakan dua jenis bahasa; 1) Bahasa Indonesia baku. 2) Bahasa Indonesia tidak baku, tapi populer. Bahasa saya berbicara dengan orang di sekitar saya itu berbeda dengan bahasa yang saya gunakan di tulisan. Karena saya tahu, tidak semua orang paham bahasa saya dan istilah-istilah khas dalam sebuah ilmu. Juga karena saya sadar kalau pembaca saya itu dari beragam tempat di Indonesia dengan latar bahasa yang berbeda. Bahkan saya kalau chat atau ngomong dengan orang non-Sulawesi, saya menggunakan bahasa seperti itu, tidak lain karena saya memposisikan diri sebagai lawan bicara dan menakar bahasa seperti apa yang dipahami dan tidak.
Tapi, kita tidak mengetahui lawan bicara kita kalau kita tidak pernah bersosial atau tidak pernah melihat bagaimana konteks pembicaraan masyarakat. Kadang-kadang kita harus mengetahui hal-hal viral, tahu bagaimana bahasa yang umum dipakai masyarakat walau tidak terlalu baku amat. Kita harus melihat, bagaimana cara masyarakat umumnya berbicara dan berpikir agar kita mudah memposisikan diri sebagai lawan bicara.
Memperkenalkan Konteks dan Istilah
Sebuah konteks itu gunanya agar arah pembicaraan terarah pada pembahasan tertentu. Tapi, tidak semua orang tahu konteks seperti apa yang kita singgung dalam kata-kata kita. Misalnya, kita menggunakan kata yang sebenarnya biasa saja, tapi tiba-tiba ada yang tertawa karena konteks yang lucu atau aneh. Seperti menyebutkan kata “Pepaya”. Untuk orang yang tidak mengerti, itu akan memahami kata itu sebagaimana adanya dalam bahasa Indonesia. Tapi, ketika ada sekelompok orang yang punya kisah unik atau lucu yang berkaitan kuat dengan “Pepaya” itu, maka dia akan tertawa. Dalam tongkrongan sendiri, pola jokes seperti ini yang sering dipakai. Hanya menyebut satu kata, tapi banyak yang langsung tertawa karena mereka paham konteks. Konteks itulah titik lucunya, bukan kata aslinya.
Dalam dunia komunikasi, jika ada orang baru yang ingin diajak bicara, kita harus memperkenalkan latar belakang atau konteks tertentu dari pembicaraan atau tulisan kita dulu. Gunanya tidak lain agar nanti mereka nyambung dengan inti pembicaraan atau permasalahan yang akan dibahas. Misalnya, ada larangan berlama-lama depan laptop karena dapat merusak mata. Di sini, pendengar harus melakukan pengecekan konteks dengan cara meminta klarifikasi dari yang bersangkutan. Apakah larangan itu secara mutlak atau pada kondisi tertentu saja? Sebab, nyatanya ada juga pekerjaan yang mengharuskan pelakunya berlama-lama depan laptop. Apalagi sekarang serba-serbi digital.
Ada juga keadaan yang mau tidak mau kita harus menggunakan istilah tertentu dalam menjelaskan, karena tidak ada lagi kosakata pas yang bisa dipakai untuk menjelaskan. Keadaan inilah yang mengharuskan kita menggunakan istilah. Tapi, ada seni dalam menyampaikan istilah agar orang paham apa yang kita sampaikan. Paling pertama, sampaikan dulu maksud atau inti dari istilah itu. Misalnya, kita ingin memperkenalkan istilah tashawwur. Maka yang harus kita lakukan, berikan contoh kasus dulu, bisa dengan melontarkan satu kata yang dipahami oleh lawan bicara. Seperti kata “Pacaran”. Kemudian, tanyakan kepada lawan bicara, “Apa yang terlintas di kepala Anda setelah mendengar kata “pacaran” itu?”. Lalu, biarkanlah lawan bicara itu menjelaskan apapun yang ada di kepalanya. Setelah itu, beritahukan bahwa semua yang dia pahami dari kata “Pacaran” lalu dia jelaskan tadi, itulah yang disebut dengan tashawwur atau pemahaman kita terhadap sesuatu.
Selain itu, ada juga istilah yang bersandar kepada konteks atau kultur tententu di sebuah lingkungan. Di Makassar, ada sebuah istilah yang sering didengar. Bunyinya “Songkolo!”. Tapi, kalau kita mencoba melihat, apa makna asli dari kata songkolo itu, maka yang kita temukan adalah makanan yang terbuat dari beras ketan. Tapi, kalau di pergaulan, kata itu digunakan untuk melampiaskan kekesalan, amarah, kesenangan, ketakjuban, dan lain sebagainya. Yang membuat makna kata songkolo itu yang awalnya hanya bermakna salah satu jenis makanan yang terbuat dari beras ketan, kemudian maknanya bertambah juga untuk melampiaskan emosi tertentu adalah konteks lingkungan dan kultur. Maka ketika ada orang tidak paham dengan makna kata songkolo ini, kita harus menjelaskan bagaimana awalnya dan kenapa dipakai seperti itu.
Membuat Penjelasan Terstruktur
Kalau kita nonton film, apalagi jika film itu berseri, maka kita harus nonton dari awal. Karena dengan menonton sejak awal, kita akan mudah mengikuti alur cerita atau alur pembahasan, sehingga nanti ketika ada bagian yang epic dan plot twist, kita mendapatkan feel-nya. Kalau kita tidak menonton sejak awal, hanya sekedar ingin menonton terus mulai menonton dari tengah cerita, tentu kita tidak akan paham. Kita akan bertanya-tanya, siapa nama tokoh ini? Apa yang sedang dibahas? Dan lain sebagainya.
Dari analogi ini, saya ingin menarik sebuah poin bahwa kita akan mengerti atau memahami titik detail dari sesuatu itu jika kita menjelaskan secara terstruktur. Kita mulai dari pengertian, konsep, dan lain sebagainya. Gunanya tidak lain agar pembahasan kita benar-benar bisa disentuh poin intimnya oleh para pembaca. Ini juga alasan kenapa kadang di karya ilmiah mulai menjelaskan dari latar belakang, konsep, kerangka teori, metode penelitian, sistematika pembahasan, dan lain sebagainya. Tidak lain, supaya di bagian selanjutnya kita mengerti konteks dan bisa mendapatkan poin inti dari penulis.
Dalam menulis, ada kriteria paling standar yang harus dipenuhi. Setidaknya ada prolog sebagai pengenal latar belakang dan rumusan masalah, isi yang mencakup hal-hal inti dalam pembahasan, dan epilog sebagai penutup dan kesimpulan dari pembahasan. Dengan begitu, ide yang ingin kita sampaikan itu benar-benar sampai.
Tapi, bagi penulis yang masih awal atau orang yang tidak terbiasa dalam menjelaskan sesuatu secara terstukrur dan tertata rapi, memerlukan latihan dan harus selalu memetakan sebuah persoalan secara berurutan, mulai menjelaskan dari konsep umum sampai ke kesimpulan. Gunanya tidak lain agar suatu saat nanti jika ingin memecahkan masalah dengan mudah, dia harus mulai terbiasa menjabarkan sebuah masalah agar mudah mendapatkan titik masalahnya.
Kalau masih agak kesulitan memahami, saya berikan saja contoh gosip. Biasanya orang kalau gosip dan sudah ada di tengah cerita, tiba-tiba ada orang baru yang tidak tahu asal-usul masalah ikut nimbrung. Bagaimana agar Anda membuat orang baru ini paham cerita dan masalahnya? Tentu Anda mulai menceritakan semuanya mulai dari akar dan inti masalahnya dulu sampai di timeline pembahasan terbaru Anda bersama teman-teman majelis gosip Anda. Begitu juga dalam menguraikan sebuah masalah atau pembahasan tertentu, kita mulai uraikan dari akar-akarnya. Jelaskanlah sebuah pembahasan sebagaimana Anda menjelaskan kepada orang yang tidak paham pembahasan gosip. Tapi, bukan berarti saya membenarkan gosip ya.
Memperbanyak Kosakata dan Gaya Bahasa
Ini kendala yang sangat umum saya temui ketika ingin menjelaskan sesuatu, tapi tidak tahu bagaimana caranya merangkai kata. Masalahnya bisa jadi karena kosakata yang kurang atau punya banyak kosakata tapi tidak tahu bagaimana caranya menyusun kata. Saya memiliki teman yang sebenarnya pintar, dia tahu bagaimana sebuah pembahasan itu sebagaimana adanya. Tapi, dia tidak bisa menjelaskan. Kendalanya ada pada kosakata dan gaya bahasa.
Perlu kita tahu, bahwa menyampaikan sesuatu itu harus berbanding lurus dengan pemasukan. Alasannya, ketika kita menjelaskan kepada orang lain, itu berarti kita sedang memuntahkan apa yang ada dalam kepala kita. Jika isi kepala kita kosong, apa yang ingin dimuntahkan? Tapi, kan orangnya sudah paham. Lantas, kenapa dia masih tidak bisa “memuntahkan” sesuatu yang ada di kepalanya itu? Sebab, yang ada dalam kepala atau yang kita sebut dengan pengetahuan itu sifatnya abstrak. Dia tidak bisa dilontarkan begitu saja tanpa adanya pembungkus. Maka “isi” itu butuh pembungkus, itulah kosakata dan gaya bahasa. Ini terlihat jelas dari sikap kawan saya yang kebingungan ingin menyampaikan sesuatu tapi tidak tahu apa bahasa Indonesianya, apalagi jika itu berkaitan dengan hal yang bersifat sosial-emosional.
Benarlah kata guru saya bahwa penulis itu berasal dari seorang pembaca. Sebab, tulisannya adalah “muntahan” dari bacaannya. Selain isi bacaan yang dia “muntahkan”, juga bungkusan-bungkusan yang dibacanya itu juga dia tiru dan dia pakai dalam menyampaikan sesuatu. Jadi, kalau membaca apapun, perhatikan bagaimana penulis itu memetakan masalah, bagaimana dia menjelaskan, bagaimana dia menyusun kata, dan bagaimana-bagaimana lainnya. Jangan hanya lihat isi yang disampaikan, tapi lihat bagaimana penulis itu menyampaikan.
Tulisan yang Anda baca sekarang merupakan bentuk mix atau campuran dari gaya bahasa buku-buku yang menggunakan kata sehari-hari dan penjelasan guru-guru saya yang analoginya membumi. Ditambah lagi, saya punya circle di Facebook yang bermacam-macam. Saya punya relasi penulis yang tulisannya sangat bersahabat dengan para pembaca, punya teman-teman shitpost dan anak meme yang bahasanya sangat kental dengan anak muda, dan lain sebagainya. Inilah kemudian yang saya campur menjadi satu sampai gaya saya dalam menulis itu terbentuk.
Setiap poin yang ada di atas itu saling berkaitan. Bahkan bisa ada di saat bersamaan dalam satu tulisan. Jika Anda sudah bisa mengamalkan keempatnya dalam tulisan, maka komunikasi Anda menjadi mudah dan enak dipahami lawan bicara. Juga, cara ini tidak hanya berlaku pada tulisan saja. Dalam contoh-contoh di atas terlihat kalau cara ini juga ampuh dipakai dalam berbicara.
Perlu diingat bahwa empat poin ini adalah hal yang asas dan mendasar. Artinya, masih ada hal-hal lain yang juga tidak kalah penting.
Wallahu a’lam