Maraknya gerakan atheisme dan skeptisisme di Indonesia, bahkan kelas dunia karena menganggap agama sebagai produk kuno yang sudah tidak relevan hari ini. Pasalnya, mereka melihat kalau agama itu mematikan akal manusia, sedangkan akallah yang bisa mengidentifikasi benar-salahnya sesuatu itu. Bahkan banyak gerakan-gerakan ekstrim yang tidak segan-segan menghabisi nyawa orang yang tidak bersalah atas nama agama. Padahal, akal sehat itu sendiri akan mengatakaan kalau perbuatan itu sangat tidak manusiawi. Bagaimana mungkin agama mengajarkan perbuatan seperti itu? Belum lagi ada yang mengatakan kalau agama itu hanya dogma alias dikte semata, tidak membiarkan penganutnya berpikir secara kritis.
Padahal dalam internal Islam sendiri, kita tahu bahwa sebenarnya agama tidak pernah mengajarkan hal yang seperti itu. Pemahaman demikian hanya lahir dari orang yang keliru dalam melakukan interpretasi terhadap agama itu sendiri. Juga, kalau kita melihat gerakan terorisme, rata-rata logika mereka tumpul dan ditahan oleh doktrin yang diajarkan oleh kelompoknya. Dari kelompok yang kecil ini, mereka bergerak dengan meneriakkan takbir seolah-olah tafsiran salah dan gerakan tambahan mereka diridhai oleh tuhan. Bukankah seperti itu? Juga, kalau kita membuka lebar-lebar mata kita, justru ulama yang kredibilitas keilmuannya betulan, tidak melakukan gerakan yang seperti itu. Justru, ulama itu akan menegakkan syariat yang salah satu tujuannya adalah menjaga jiwa (hifzh al-nafs).
Kalau kita melacak doktrin-doktrin yang menyesatkan, seperti tarekat yang yang harus melakukan “hubungan gelap” untuk mewariskan ilmu, akan kualat kalau banyak yang bertanya apalagi sampai memiliki sikap skeptis, dan lain sebagainya, maka kita akan menemukan satu pola yang sama; sama-sama melakukan dekonstruksi logika. Artinya, mereka menganggap yang namanya iman, apalagi kepada hal-hal gaib, itu hanya sebatas percaya tok, titik. Tidak ada pertanyaan, tidak ada bentuk sikap skeptis, dan lain sebagainya. Padahal, dalam Islam, konsep iman tidak seperti itu. Justru dalam Islam, akal itu memiliki peranan yang sangat penting. Untuk apa Allah memerintahkan orang berakal dan memuji orang yang berilmu jika seandainya menggunakan akal itu bukanlah hal yang penting? Allah Swt. berfirman:
يَرۡفَعِ اللّٰهُ الَّذِيۡنَ اٰمَنُوۡا مِنۡكُمۡ ۙ وَالَّذِيۡنَ اُوۡتُوا الۡعِلۡمَ دَرَجٰتٍ
“Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.” (QS. Al-Mujadilah: 11)
Juga, pada firmannya yang lain banyak yang mencela orang-orang tidak menggunakan pikirannya seperti أفلا تعقلون (“Tidakkah kalian berakal?”) dan ayat yang memiliki redaksi serupa. Ini menunjukkan bahwa akal dan pengetahuan adalah bagian dari hal yang sangat penting. Jika tidak penting, kenapa posisinya digambarkan sebagai kekurangan?
Tapi, mungkin akan timbul pertanyaan, bagaimana dalam persoalan iman dan hal-hal gaib lainnya? Baik, kita akan bahas satu demi satu sampai kita akan melihat bahwa sebenarnya hal-hal yang diduga tidak masuk akal sebenarnya hal rasional.
Konsep Iman
Prof. Dr. Rabi’ Gauhari (Guru Besar Jurusan Akidah-Filsafat, Universitas Al-Azhar) dalam salah satu kitabnya yang terkenal Aqîdatunâ, mendefinisikan iman dengan:
تصديق النبي -صلى الله عليه وسلم- فيما جاء من ربه تعالى إجمالا فيما علم إجمالا وتفصيلا فيما علم تفصيلا.
“Iman adalah membenarkan (mentashdiq) apa yang dari Nabi Muhammad Saw. sesuai yang datang dari Rabb-Nya secara umum selama itu diketahui secara umum dan detail selama mengetahui secara detail” (Muhammad Rabi’ Gauhari, Aqîdatunâ, Kairo: Dar Basha’ir, Hal 37).
Beliau juga menjelaskan kalau yang dimaksud dengan “membenarkan” di sini bukanlah taklid buta, bukan asal percaya. Tapi, pembenaran di sini sampai pada derajat yakin dan ada penerimaan (idz’ân wa taslîm) dalam hati. Jika memang bukan asal percaya, lantas di mana titik rasionalnya? Ini bisa kita temukan pada satu kata kunci; yakin. Kata “yakin” di sini bukan yakin versi masyarakat awam yang berarti percaya. Tapi, yakin yang dimaksud adalah: “Pengetahuan yang bersifat tegas, sesuai dengan fakta, bisa dibuktikan dengan argumentasi”. Kalau membuka kitab-kitab logika dan akidah a.k.a ilmu kalam, konsep seperti itu yang kita dapatkan.
Coba perhatikan “Bisa dibuktikan dengan argumentasi” (Nâsyi’ ‘an al-dalîl), di sini justru mendorong rasionalitas kita sebagai umat Islam untuk berpikir. Sebab, setiap ajaran yang ada dalam Islam bisa dibuktikan keabsahannya secara logis. Seperti masalah keberadaan tuhan, mukjizat, dan lain sebagainya. Bahkan, fakta yang tidak bisa dielakkan adalah Islam memiliki ribuan bahkan jutaan buku yang berbasis dengan metodologi rasional, tidak terkecuali dalam perihal akidah dan keimanan ini.
Itulah kenapa kalau di awal-awal kita belajar ilmu kalam atau ilmu akidah, selalu diberitahukan bahwa salah satu fungsi belajar ilmu ini adalah mengeluarkan kita dari status taklid dalam akidah menjadi yakin. Maksud dari taklid itu seperti apa? Misalnya, Anda ditanya oleh seseorang: “Apa bukti bahwa nabi itu ada?” lalu Anda tidak bisa menjawabnya. Tapi Anda meyakini bahwa nabi yang dimaksud itu ada. Ini namanya taklid, Anda hanya bisa yakin (percaya), tapi tidak mampu mendatangkan argumen. Sedangkan status yakin yang diinginkan dari ilmu akidah adalah Anda bisa mendatangkan argumen yang rasional dan diamini oleh akal sehat. Ini menunjukkan bahwa iman dan akal bukanlah dua hal yang saling bertentangan, tapi bisa berjalan bersama.
Persoalan: Jika Memang Agama Rasional, Kenapa Banyak Hal yang Tidak Masuk Akal Dalam Agama Seperti Mukjizat?
Sejatinya, mukjizat adalah hal yang masuk akal. Kalau tidak percaya, silahkan baca tulisan saya yang lalu. Di sana saya menjelaskan hukum akal yang dipakai oleh ulama kalam untuk mengafirmasi ajaran-ajaran yang ada dalam Islam, bahkan dalam masalah gaib. Masalahnya, ada satu titik tengkar yang belum disepakati: Kapan disebut tidak masuk akal?
Bagi masyarakat awam dan pemahaman yang umum tersebar, sesuatu yang tidak masuk akal adalah sesuatu yang tidak sesuai dengan hukum kebiasaan (hukm al-‘adah). Misalnya, api tidak membakar itu adalah hal yang tidak masuk akal. Sebab, hukum kebiasaan mengatakan bahwa api itu membakar. Maka, yang keluar dari kebiasaan itu tidak masuk akal menurut nalar mereka. Tapi, kita semua juga tahu hukum kebiasaan yang sama, yakni makanan itu mengenyangkan. Apa lagi yang mengenyangkan selain makanan kan? Tidak ada. Tapi, kalau memang konsisten dengan konsep seperti ini, seharusnya juga mereka mengatakan tidak masuk akal jika ada makanan yang tidak mengenyangkan, karena keluar dari kebiasaan.
Bagi ulama kalam, baik yang ada dalam kebiasaan maupun di luar kebiasaan itu sama-sama masuk akal. Karena tolak ukur tidak masuk akal dalam sudut pandang ulama kalam adalah bertentangan dengan hukum akal. Mengenai hukum akal, sudah saya jelaskan secara umum pada tulisan yang lalu. Misalnya, hal-hal yang tergolong dalam mustahil ‘aqli seperti bersatunya dua hal yang saling bertolak belakang adalah irasional, alias tidak masuk akal. Selama masih tergolong mumkin atau wajib, maka dia tidak bisa dikatakan tidak masuk akal begitu saja.
Antara Tidak Masuk Akal dan Tidak Dijangkau Akal
Ada dua hal yang masih sukar dibedakan oleh sebagian orang, khususnya yang masih berkaitan dengan masuk akal dan tidak ini. Yakni, hal yang tidak bisa dijangkau akal dan tidak masuk akal. Padahal ini dua hal yang berbeda. Sebelumnya, saya akan membagi tiga hal berdasarkan pengetahuan yang bisa dicerna akal; 1) Suprarasional. 2) Rasional. 3) Irasional. Yang pertama adalah sesuatu yang sesuai dengan hukum akal tapi bentuk fisikalnya tidak bisa dicerna akal, entah disebabkan oleh sebab metafisik seperti dia tidak termasuk ke dalam hal fisikal atau empiris, atau karena dia termasuk dalam hal yang di luar kebiasaan. Seperti mukjizat, malaikat, dan lain sebagainya. Yang kedua, dia adalah hal yang sesuai dengan hukum akal dan eksistensi fisikalnya bisa dicerna akal, serta mudah diterima akal. Seperti tanah itu ada di bawah. Yang ketiga, dia adalah sesuatu yang bertentangan dengan hukum akal dan mustahil diterima sebagai suatu kebenaran, seperti sesuatu yang ada sekaligus tidak ada.
Untuk poin pertama dan kedua sebenarnya sama-sama masuk akal, tapi satunya memiliki eksistensi yang tidak bisa dijangkau akal, sedangkan satunya lagi bisa. Adapun poin ketiga, dia tergolong dalam mustahilât (hal-hal yang mustahil). Namun, kalau kita tidak teliti dan tidak memahami hukum akal dengan baik, kita akan sulit membedakan dua hal yang dianggap sama ini.
Saya akan berikan contoh kasus. Keberadaan malaikat. Pertanyaan saya, di mana sisi kontradiksinya dengan akal? Apakah terdapat kebertentantangan tertentu jika malaikat itu ada? Tidak ada. Inilah kenapa malaikat digolongkan sebagai suprarasional, yakni sesuatu yang tidak bisa dijangkau akal tapi eksistensinya bisa diterima. Sebab, kita tidak mengetahui bagaimana bentuk malaikat itu, tapi bukan berarti kita tidak tahu lantas sesuatu itu tidak ada. Juga, ulama kalam mengatakan malaikat itu termasuk mumkin al-wujud. Sebab, malaikat itu diterima akal jika dia ada maupun tidak. Artinya, jika malaikat itu ada, maka akal tidak menolaknya, begitu juga jika dia tidak ada. Namun, kita mengafirmasi keberadaan malaikat berdasarkan informasi yang otentik nan kredibel dan sumber epistemologinya bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Adapun kasus kedua, sesuatu yang ada sekaligus tidak ada. Apakah ini termasuk suprarasional? Jawabannya tidak. Sebab, sesuatu yang ada maupun tidak ada ini merupakan hal yang mustahil. Buktinya, di sana terdapat sisi kebertentangan alias kontradiksi. Bagaimana mungkin ada dan tidak ada terhimpun dalam satu waktu? Ini jelas mustahil dan tergolong irasional. Tapi, bagaimana jika ada yang mengatakan kalau saya terkena burden proof fallacy karena melakukan pembuktian terhadap sesuatu yang tidak ada? Begini, kita perlu sepakat bahwa bukti itu tidak selalu bersifat fisik. Sebab, untuk mengetahui sesuatu yang mustahil itu dibuktikan oleh argumen kemustahilan. Seperti pada kasus membuktikan kemustahilan kontradiksi. Semua kemustahilan itu bisa dibuktikan ketiadaannya. Mengapa? Karena kita mengetahui “kepastian” ketiadaannya karena kemustahilan adanya. Maka dalam membuktikan kemustahilan tidak relevan dengan konsep burden proof fallacy, tapi lebih relevan dipakai ketika ada yang meminta bukti sesuatu yang mumkin.
Di sini, kita bisa menarik kesimpulan bahwa sesuatu yang tidak masuk akal yang pasti tidak diajarkan agama adalah hal-hal yang irasional dan bertentangan dengan hukum akal. Sementara hal-hal yang ada dalam agama yang bersifat metafisik dan gaib, itu bukan irasional. Tapi suprarasional yang masih bisa diterima akal keberadaannya, hanya saja bentuk fisikalnya tidak bisa diajngkau akal. Ketidakmampuan kita menjangkau bentuk fisikal sesuatu, bukan berarti menunjukkan ketiadaan sesuatu itu apalagi mengatakannya tidak masuk akal. Buktinya, akal masih bisa mengamini eksistensinya walau tidak mengetahui bagaimana bentuknya. Sebab, ketidaktahuan kita satu hal, sementara ketiadaan adalah hal yang lain. Ini tidak akan menafikan ajaran agama yang rasional. Juga menguatkan bahwa iman itu tidak bertentangan dengan akal.
Kalau Begitu, Bagaimana Membuktikan Keberadaan Akhirat dan Hal Gaib Lainnya?
Kalau kita berbicara masalah akhirat dan hal gaib, di ilmu akidah atau ilmu kalam sudah menyentuh masalah sam’iyyât. Akal tetap bermain dengan menggunakan hukum mumkin al-‘aqli. Sebab, keberadaan hal gaib selain Allah memang statusnya mungkin dan sebelum ada bukti-bukti yang otentik, maka kita belum bisa mengatakan ada atau tidak, tapi tawaqquf.
Tapi, ada juga faktor lain yang bermain, yakni epistemologi dan data. Kita perlu membuktikan sumber materi data sebagai sebuah kebenaran. Kenapa? Ketika kita membuktikan sumber epistemologi kita sebagai sebuah kebenaran, maka apapun yang lahir dari sana adalah sebuah kebenaran. Ini menjadi konsekuensi logis. Bagaimana mungkin ada sebuah keraguan yang lahir dari sumber yang yakin? Juga, jangan mengira orang Islam membuktikan kebenaran kitab suci hanya menggunakan argumen receh dan retoris semata, apalagi hanya menggunakan argumen iman tok. Tapi, juga menggunakan argumen rasional. Seperti menggunakan teori transmitif (naqli) dan konsep mutawâtir. Ini dibahas rinci dalam ilmu adab al-bahts wa al-munâzharah sebagai salah satu bentuk proposisi yang tidak bisa dibantah dengan sejumlah pembuktian juga. Hal-hal yang dibutuhkan ini akan bermuara pada pembuktian yang sangat panjang.
Nah, ketika kita sudah membuktikan itu dan sampai kepada burhân (argumen demonstratif) bahwa kitab suci adalah sebuah kebenaran secara rasional, maka apapun yang dikatakan kitab suci itu termasuk masalah akhirat dan hal-hal gaib lainnya juga ikut sebagai sesuatu yang benar juga. Pembuktian-pembuktian ini jika dilakukan, maka akan sampai kepada kesimpulan yakin. Inilah di antara kecanggihan cara berpikir ulama kita.
Memang benar, kalau kita berbicara tentang sesuatu yang mumkin, sisi kemungkinan ada dan tidaknya setara. Akan tetapi, salah satu sisinya akan terberatkan jika ada faktor yang bisa memberatkan itu. Faktor pemberat ini disebut dengan murajjih. Memang kita sudah sepakat bahwa akhirat dan hal gaib lain adalah sesuatu yang mungkin. Maka untuk mengatakan ada atau tidaknya, masing-masing butuh pemberat. Tapi, ketika kita sudah melakukan pembuktian empistemologi, rasional, dan transmitif, lalu bermuara pada kesimpulan kalau kitab suci benar-benar ada dan yang disampaikan adalah sebuah kebenaran, maka ini layak menjadi murajjih untuk keberadaan akhirat dan hal gaib lainnya. Saya sudah membahas kaidah tarjîh bi lâ murajjih secara umum pada salah satu tulisan lalu. Anda bisa membacanya untuk mempermantap pemahaman Anda di sini.
Perlu diingat sekali lagi, bahwa untuk membuktikan keberadaan sesuatu tidak harus menunjukkan sesuatu itu di hadapan kita secara fisik. Misalnya, ada sebuah sampah di sebuah tempat. Apakah sampah itu sekonyong-konyong ada begitu saja? Tentu ada orang atau sesuatu yang lain membuang sampah di sana. Keberadaan sampah ini justru membuktikan keberadaan sesuatu yang tidak ada secara fisik pada saat itu kalau dia pernah ada di sana. Ini disebabkan adanya konsekuensi logis (lâzim wa malzȗm) dan signifikasi (dalâlah) terhadap keberadaan sesuatu itu. Pembuktian menggunakan kedua teori ini sah dilakukan. Sebagaimana keberadaan akhirat, memang kita tidak mampu membuktikannya secara fisik karena selain kita tidak tahu keberadaannya di mana dan tidak mengetahui bentuknya (juga melihat akhirat untuk saat ini bukanlah sesuatu yang fisikal), bukan berarti keberadaannya tidak bisa dibuktikan menggunakan konsekuensi logis dari kebenaran kitab suci. Dan kebenaran kitab suci juga merupakan konsekuensi logis dari segenap pembuktian akal.
Jadi, kalau kita melihat isu-isu yang diduga bertentangan dengan akal atau tidak masuk akal, hemat saya itu hanya adanya kesalahpahaman semata dan disebabkan tidak adanya penjelasan detail mengenai hal-hal gaib dan metode ulama kalam dalam melakukan afirmasi terhadap ajaran-ajaran agama. Sebenarnya, masih banyak isu-isu lain yang sebenarnya masuk akal tapi dianggap tidak masuk akal, seperti keberadaan hari akhir, surga-neraka, dajjal, dan lain sebagainya. Juga hal-hal yang dikira kontradiksi, padahal bisa dikompromikan secara rasional seperti kebebasan dalam berbuat dan konsep takdir. Jadi, bisa disimpulkan kalau iman dan akal sendiri itu jalan bersamaan, bukan sebaliknya.
Wallahu a’lam