Teringat pada salah satu kata anak lorong “Hakikatnya jalan-jalan itu melepas segala beban dan melegakan perasaan”. Jika duduk saja dengan pikiran yang menghela semesta, itu sudah jalan-jalan. Bukankah dengan berpikir seketika beban tersebut perlahan ringan? Bukankah kesimpulan dari berpikir membuat persaan lega? Sebagaimana dengan ungkapan cinta, walau ditolak, setidaknya ada perasaan lega di sana.
Sebagaimana sebuah pasukan densus yang terdiri dari 80 orang ditugaskan untuk menggempur markas sang penjahat.
“Duar!!”
Bom yang sudah dirancang sedemikian rupa meledak melayangkan nyawa-nyawa para densus. Tersisa 10 orang saja. Ya, melihat strategi yang lambat laun mengantarkan kepada kesimpulan “Sudahlah! Engkau akan terbunuh!”. Kesimpulannya begitu menyakitkan, tapi seditaknya ada kelegaan di sana.
“Jika demikian, lalu mengapa engkau pergi jalan-jalan?” tanya teman dengan senyum jokernya. “Hmm, saya cuman menemani temanku jalan-jalan” jawabku santai. “Tapi aku tak mendapat kesenangan seperti kesenanganku di pikiranku”.
Sebenarnya, hidup ini juga meniscakayakan santai. Ia adalah sesuatu yang terpisahkan dari hidup kita.
“Kalau santai terus, kapan urusan kita selesai?”
“Tapi kalau action terus, kapan santainya?”
Kerap didapati kalau banyak yang mengartikan santai dengan malas-malasan, acuh tak acuh, apatis, dan lain sebagainya. Padahal dalam bernafas, di antara tarikan dan keluaran udara terdapat “jeda”. Jeda inilah yang dinamakan dengan “santai”. Sampai kalau kita bicara tentang hal-hal agamis, salat pun, ada tuma’ninahnya (santai).
Kalau pun jalan-jalan betulan, bukan berarti ia menghalangi hikmah itu datang kepada kita. Misalnya saja, kusaksikan ada seorang supir yang benar-benar tulus menemani penumpangnya, dia yang membantu pengurusan birokrasi penumpangnya, sampai dalam hal negoisasi kepada pemilik tempat wisata. Kalau mau dipikir, dia hanya seorang supir, mau dibilang dosen juga tidak. Tapi, dia benar-benar totalitas dalam melakukan pekerjaannya.
Kalau ingin dibandingkan dengan orang lain, siapa yang benar-benar totalitas seperti supir itu? Ada, tapi tidak banyak. Sepertinya yang demikian tak mengenal profesi atau latar belakang. Ada juga yang ironis, yakni sosok pelajar yang katanya datang ke universitas, datang ke sekolah, pergi merantau, bahkan orang tuanya rela banting tulang dan memeras keringatnya demi anaknya, tapi seberapa totalitas anaknya?
Dalam keadaan jalan-jalan saya masih sempat “jalan-jalan” juga. Jalan-jalan bagi saya adalah membaca lembaran-lembaran buku yang saya bawa dari rumah. Bukan sekali atau dua kali, tapi banyak kali saya mencoba jalan-jalan versi orang, namun kesenangan dan kebahagiaan yang diungkapkan orang-orang tak saya rasakan. Kebahagiaan yang dilontarkan orang-orang tak saya rasakan kecuali dengan membaca atau menulis.
“Lah, mana mungkin? saya merasakan senang dengan jalan-jalan, keliling-keliling, atau foto-foto” kata seorang teman.
Kawan, nyatanya kebahagiaan setiap orang itu berbeda-beda. Ada yang bilang kebahagiaan itu dengan banyak uang, ada juga bilang dengan jalan-jalan, ada juga bilang dengan baca buku. Itulah saya, kawan!
Saya teringat dengan para sufi yang merasakan kebahagiaan ketika zikir. Baginya, mencari keridhaan Allah adalah sebuah kebahagiaan. Bahkan seorang yang benar-benar khusyu’ dalam salatnya, akan merasakan mi’raj yang memberi kesan yang lebih dari sekedar jalan-jalan.
Ya, itulah jalan-jalan, sebagaimana kebahagiaan, orang memiliki versinya masing-masing!