Kalau kita membaca literatur akidah dan filsafat, kita akan menemukan satu perdebatan yang sengit mengenai ilmu Allah, apakah terbatas atau tidak. Para filusuf (paripatetik) memiliki pandangan bahwa Allah itu tidak mengetahui hal-hal yang juz’iyyat atau parsial. Misalnya, Said saat ini sedang menulis tentang ta’alluq sifat di rumah temannya dengan laptopnya sudah berumur 10-an tahun dan seterusnya. Bagian detail-detail ini disebut dengan juz’iy atau juz’iyyat (dalam bentuk plural). Sedangkan garis besarnya disebut dengan kulliyyat. Seperti “Said menulis”. Bagi para filusuf, Allah itu hanya mengetahui segala sesuatu yang bersifat kulliyyat, tidak mengetahui sesuatu yang juz’iyyat.
Alasan mereka, hal-hal yang juz’iyyat itu diliputi dengan perubahan waktu. Misalnya, gerhana matahari. Di sini ada tiga waktu; waktu sebelum, sedang, dan akan terjadinya gerhana ini. Lalu ada gerak realitas yang berjalan dari masa lampau ke masa depan. Anggaplah gerhana terjadi pada jam 08:00 pagi. Sebelum 08:00 itu adalah satu waktu sebelum terjadinya gerhana dan setelahnya merupakan waktu setelahnya terjadi. Permasalahannya menurut mereka, ketika Allah mengetahui hal-hal yang bersifat juz’iyyat itu, maka ilmu Allah ikut berubah seiring bergeraknya realitas. Jika terjadi demikian, maka sifat Allah tidak lagi qadim. Maka, yang harus diterima adalah sebaliknya, ilmu Allah qadim dengan konsekuensi Allah tidak mengetahui hal yang bersifat juz’iyyat.
Jika demikian, ada konsekuensi baru yang muncul: Allah tidak mengetahui segalanya. Buktinya, ada bagian tertentu dari realitas yang tidak diketahui Allah. Ini berarti ilmu Allah terbatas. Ulama Asy’ariyyah tidak diam saja melihat teori seperti ini. Asy’ariyyah memberikan tawaran yang menarik: Allah dan sifat-Nya (termasuk ilmu) itu qadim tanpa harus dibatasi pada pengetahuan kepada kulliyat. Adapun tentang konsekuensi yang dipaparkan para filusuf itu terjawab dengan teori ta’alluq sifat. Menurut Asy’ariyyah, perubahan itu yang terjadi bukan pada sifat, tapi pada ta’alluq yang dimiliki oleh sifat itu. Apa itu ta’alluq sifat? Inilah yang menjadi objek pembahasan kita kali ini.
Ta’alluq
Kata ta’alluq sendiri berasal dari kata ta’allaqa-yata’allau-ta’alluqan yang berarti berkait. Imam Abu Barakat Al-Dardir (w. 1201 H) dalam Syarh Kharidah Al-Bahiyyah memberikan definisi tentang ta’alluq dalam konteks sifat ini:
اقتضاء الصفة أمرا زائدا على قيامها بالذات
“Keniscayaan sifat terhadap hal lain atas kelekatannya dengan dzat” (Abu Barakat Al-Dardir, Syarh Al-Kharîdah Al-Bahiyyah, Tahqiq: Musthafa Abu Zaid, Kairo: Dar Ushuluddin, Hal. 217).
Dalam nazham Al-Kharidah Al-Bahiyyah, Imam Al-Dardir menyebut:
وواجب تعليق ذي الصفات # حتما دواما ما عدا الحياة
“Ta’alluq itu wajib dimiliki oleh sifat secara terus menerus kecuali sifat hayat (hidup).” (Bait ke-37)
Untuk lebih memahaminya, anggaplah saya ini sedang menyukai Anda. Itu berarti saya sedang memiliki sifat suka. Tapi, sifat suka ini memiliki objek, yakni Anda sebagai orang yang saya sukai. Antara subjek dan objek ini, ada satu hal yang disebut dengan relasi atau hubungan. Relasi inilah yang disebut oleh ulama kalam dengan ta’alluq. Ta’alluq ini bukan sifat suka, bukan juga objek dari sifat suka. Sekali lagi, dia adalah relasi atau hubungan antar keduanya.
Sifat Allah bukan ta’alluq itu sendiri, tapi ta’alluq merupakan keterkaitan sifat Allah dengan objek dari sifat Allah sendiri. Misalnya sifat maha tahu, memiliki objek hal-hal yang bisa diketahui. Baik itu sesuatu yang ada (maujud), tiada (ma’dum), wajib, jâ’iz, dan mustahîl. Karena objek yang bisa terkait dengan sifat ilmu adalah semua hal yang bisa diketahui (jamî’ al-ma’lȗm), maka nanti sifat ilmu disebut memiliki ta’alluq dengan semua yang bisa diketahui. Begitu juga sifat maha kuasa (qudrah), memiliki ta’alluq dengan hal-hal yang sifatnya mumkin. Artinya, yang dikuasai itu hanya hal-hal yang bersifat mumkin. Adapun kenapa bukan hal yang bersifat wajib dan mustahil, kita akan bahas pada salah satu tulisan tertentu.
Setelah mengetahui sifat qudrah bahwa dia memiliki ta’alluq dengan segala yang mumkin, maka timbul suatu pertanyaan apakah Allah sudah maha kuasa sebelum alam itu ada? Sebab, alam adalah sesuatu yang sifatnya mumkin. Ini yang kemudian dibagi oleh ulama kalam menjadi tiga; 1) Ta’alluq Shulȗh Al-Qadîm. 2) Ta’alluq Tanjîz Al-Qadîm. 3) Ta’alluq Tanjîz Al-Hâdist. Apa maksud dari masing-masing istilah ini? Mari kita bahas.
Ta’alluq Shulȗh Al-Qadîm
Kembali pada pertanyaan di atas, apakah Allah sudah maha kuasa ketika alam itu belum ada? Kita perlu ingat, ta’alluq yang dimiliki sifat qudrah adalah hal-hal yang bersifat mumkin dan mumkin itu pernah mengalami ketiadaan. Karena ketiadaan ini pernah dialami, mungkin ada pertanyaan yang muncul, “Kalau demikian, lantas apa yang dikuasai Allah kalau yang dikuasainya sendiri tidak ada?”.
Begini, pertama kita sepakat bahwa sifat Allah itu qadîm. Karena sifat Allah itu qadîm, berarti keberadaannya tidak memiliki awalan atau dengan kata lain tidak pernah memiliki ketiadaan. Jadi, Allah tetap maha kuasa sekalipun yang dikuasai itu belum ada. Mungkin akan timbul lagi pertanyaan “Bagaimana mungkin akal kita akan menerima itu?” Inilah yang disebut dengan ta’alluq shulȗh al-qadîm atau keterkaitan sifat Allah yang qadîm dengan sesuatu yang ada maupun belum ada alias berpotensi ada. Tapi, kemahamampuan Allah itu sendiri sifatnya qadîm. Yang dilihat pada bagian ini adalah dari sisi potensial ta’alluq itu. Yang berpotensi ada adalah yang menjadi objek dari sifat itu. Dengan kata lain, kemampuan maha kuasa Allah itu tidak bergantung kepada objek yang dikuasai.
Ta’alluq Tanjîz Al-Qadîm
Apa yang membedakan ini dengan yang pertama? Keterkaitan yang pertama melihat dari segi potensial keterkaitan itu. Sedangkan yang kedua ini melihat dari sisi aktualitas keterkaitan itu sendiri. Biasanya kita menemukan ini dalam sifat ilmu misalnya. Ketika kita melihat definisi sifat ilmu yang disampaikan ulama kalam, maka kita akan melihat kalau ilmu adalah sifat yang ada pada dzat Allah yang menyingkap segala hal yang ma’lȗm (shifah azaliyyah qâ’im bi dzâtillah yankasyifu kull al-asyâ’).
Timbul pertanyaan, bagaimana kalau yang ma’lȗm itu sendiri belum ada? Semisal, saya sedang menulis hari ini. Tapi, sebelum hari ini perbuatan menulis pada diri saya tidak terjadi. Apakah Allah mengetahui bahwa saya ini akan menulis pada saat ini juga? Jawabannya, jelas iya. Ketersingkapan segala sesuatu bagi Allah itu aktual. Terus terjadi sejak dulu, sekarang, hingga saat nanti tanpa diliputi waktu (sebab Allah dan sifat-Nya itu qadîm). Inilah yang dimaksud dengan ta’alluq tanjîz al-qadîm. Dia adalah keterkaitan yang dilihat dari sisi qadîm-nya aktualisasi sifat itu.
Ta’alluq Tanjîz Al-Hâdits
Bagian ketiga ini keterkaitan sifat secara aktual dengan sesuatu yang hâdits. Ini seperti sifat qudrah yang dampaknya ada pada makhluk dalam penciptaan, peniadaan, dan pengendalian. Misalnya, Allah menciptakan nafas yang mengalir di dalam tubuh saya melalui paru-paru. Antara sifat maha kuasa dan nafas selaku objek ini, adalah keterkaitan yang sifatnya aktual. Karena perbuatan penciptaan terhadap objeknya itu benar-benar terjadi. Itulah kenapa dia menjadi aktual.
Apa bedanya dengan yang sebelumnya? Bedanya, pada ta’alluq yang pertama itu sifatnya potensial. Yang kedua itu sifatnya aktual tapi keberlakuannya pada hal yang qadîm. Dan terakhir, keberlakuannya pada sesuatu yang hâdits dan sifatnya aktual.
Catatan
Ta’alluq ini hanya berlaku kepada sifat ma’ani saja, kecuali sifat hayat. Kenapa? Karena sifat hayat itu hanya sifat yang terjadi pada dzat Allah saja, tidak ada objek lain yang dibutuhkan untuk mengaktualisasikan sifat hayat itu sendiri. Beda ceritanya kalau berbicara tentang qudrah dan iradah. Di sana ada objek yang menjadi sasaran ketika sifat itu aktual dalam realitas.
Juga, ta’alluq ini ada pada sifat ketika sifat ini aktual di realitas (fi al-khârij). Karena nanti ada sifat yang memiliki ta’alluq dan tidak. Kemudian, sifat yang memiliki ta’alluq ini terbagi menjadi tiga kategori; 1) Ta’alluq dengan hal-hal yang ada (maujȗdat). 2) Ta’alluq dengan semua bentuk hukum akal. 3) Ta’alluq dengan yang mungkin saja (al-mumkinât). Sifat yang ada pada kategori pertama itu seperti sama’ (Maha Mendengar) dan bashar (Maha Melihat). Untuk kategori kedua itu seperti sifat ‘ilm (Maha Tahu) dan kalâm (Firman). Dan kategori terakhir itu seperti qudrah (Maha Kuasa) dan iradah (Maha Berkehendak). Masing-masing akan dijelaskan pada tulisan khusus. Semoga ada waktu untuk itu.
Setiap sifat juga memiliki ta’alluq yang berbeda-beda. Misalnya sifat ilmu, hanya memiliki ta’alluq tanjîz al-qadîm. Sifat kalâm memiliki ketiga ta’alluq tersebut. Begitu juga sifat irâdah. Berlaku juga kepada sifat-sifat lainnya. Artinya, tidak semua sifat memiliki jumlah ta’alluq yang sama.
Adapun persoalan perubahan yang terjadi pada alam semesta dan ilmu-Nya Allah, seperti yang diduga oleh para filusuf, sebenarnya tidak ada titik kelazimannya. Apa bukti bahwa berubahnya realitas menunjukkan ilmu Allah juga itu ikut berubah? Kalaupun ada perubahan yang terjadi di alam semesta, yang berubah itu bukan sifat. Tapi ta’alluq itulah yang berubah. Tapi, ketika ta’alluq itu berubah, apakah meniscayakan sifat itu juga ikut berubah? Jawabannya jelas tidak. Sebab, sebagaimana yang saya katakan di awal bahwa ta’alluq sifat adalah satu hal, sementara sifat itu sendiri adalah hal yang lain. Sedangkan kita semua sudah mengamini bahwa Allah dan sifat-Nya itu qadîm, tidak berubah.
Wallahu a’lam