Suatu hari, ada acara Nuzul Al-Qur’an di salah satu masjid. Umumnya, acara ini dilaksanakan pada 17 Ramadan dan seperti biasanya, ada yang membawakan hikmah acara tersebut. Awal mulanya, tidak ada masalah, berjalan seperti biasanya. Tapi, ketika penceramah itu menyebut Al-Qur’an itu turun dari langit, sebagaimana turunnya benda dari atas ke bawah, di sinilah baru terjadi masalah. Bukan pada masalah penyebutan turun itu, tapi ketika membayangkan Al-Qur’an itu bergerak, sebagaimana bergeraknya benda pada umumnya. Kita sudah membahas apa yang dimaksud dengan “turun” dalam salah satu tulisan.
Pada kesempatan lain, ada yang menyebut Tuhan itu turun setiap sepertiga malam dengan tata cara yang tidak diketahui dan sesuai dengan kekuasaan-Nya. Tapi, yang menjadi pertanyaan kita bersama, kenapa ulama sekelas Imam Al-Baihaqi (w. 458 H) sampai mentakwil hal tersebut dalam bukunya yang bertajuk Al-Asmâ wa Al-Shifât? Artinya, ada hal yang tidak baik-baik saja jika kita mengambil zahir dari hadis turunnya Tuhan setiap sepertiga malam. Seandainya baik-baik saja, beliau tidak melakukan takwil.
Yang menjadi pertanyaan kemudian, apakah kita bisa mengatakan bahwa Tuhan itu bergerak? Jika tidak, apakah itu berarti Tuhan nganggur; tidak ngapa-ngapain setelah menciptakan semesta?
Sebenarnya, menjawab pertanyaan ini dengan patahan satu klaim itu mudah. Tapi, untuk sampai kepada satu klaim yang bisa dipertanggungjawabakan itu susah. Karena setiap jengkal premis yang digunakan, harus dipastikan benar. Jika tidak, klaim itu tidak dipercaya.
Sebelum menjawab apakah Tuhan itu bergerak atau tidak, kita perlu melewati beberapa pembahasan pengantar; 1) Konsep Kebertempatan, 2) Mengenal konsep gerak, 3) Mengenal konsep diam, 4) Keberlakuan gerak dan diam, dan 5) Apa konsekuensi jika keduanya disandarkan kepada Tuhan? Sekaligus, bagian keempat ini menjawab, sebenarnya Tuhan itu bergerak, diam, atau apa. Mari kita urai.
Nuktah Pertama: Kebertempatan
Sebelum mengurai yang dimaksud dengan gerak dan diam, kita perlu menjelaskan bahwa ada konsep yang menaungi gerak dan diam ini. Namanya kebertempatan (ain). Perlu dicatat, kita tidak berbicara tentang tempat, tapi kebertempatan. Tempat itu satu hal, sementara kebertempatan adalah hal lain. Ini termasuk salah satu kategori aksiden (‘aradh) dalam ilmu al-maqȗlât (kategori).
Apa yang dimaksud dengan kebertempatan? Filusuf mendefinisikan kebertempatan itu dengan:
حصول الجسم في المكان
“Keterhasilan jism di tempat” (Al-Bulaidi, Nail Al-Sa’âdât fi Tahqîq Al-Maqȗlât, Kairo: Dar Al-Kutub wa Al-Watsaiq Al-Qaumiyyah, hlm. 107).
Di sini, perlu kita pahami, apa yang dimaksud dengan keterhasilan dan jism. Jism itu berarti sesuatu yang memiliki perluasan tiga dimensi; tinggi, panjang, dan lebar. Seperti manusia, hewan, pohon, lampu, dan lain sebagainya.
Lalu, apa kaitan keterhasilan dan jism itu? Saya berikan contoh. Misalnya, ada teman saya baring di atas karpet. Teman saya, sebagai jism. Sedangkan ruang kosong di atas karpet, tempat dia berbaring, itu disebut tempat. Yang mana dimaksud dengan kebertempatan? Kebertempatan itu adalah penisbatan antara teman saya dan karpet itu. Dengan kata lain, kebertempatan adalah konsekuensi dari penisbatan dua hal tadi. Kebertempatan itu adalah keterhasilan jism di tempat. Artinya, saat teman saya bertempat, maka dirinya terhasil di ruang kosong yang dikira-kirakan (faragh muqaddar) tadi.
Filusuf dan teolog sepakat bahwa apa yang disebut dengan kebertempatan itu bermakna al-kaun (keberadaan). Jadi, keberadaan teman saya tadi di atas karpet, disebut “ada” atau terhasil di tempat.
Kendati demikian, mereka membagi apa yang disebut dengan “ada” itu menjadi empat bagian; 1) Keterhimpunan (al-ijtimâ’), 2) Keterpisahan (al-iftirâq), 3) Gerak (al-harakah), dan 4) Diam (al-sukȗn). Bisa dibilang, konsekuensi dari kebertempatan ini, adalah empat bagian yang sudah disebutkan barusan.
Tapi, kita hanya membahas gerak dan diam saja. Karena, ini menjadi titik fokus pembahasan pada tulisan kali ini. Adapun selebihnya, seperti keterhimpunan, keterpisahan, tempat, dan kebertempatan secara spesifik, kita bahas pada bagian tersendiri, karena hal tersebut merupakan pembahasan dalam ilmu al-maqȗlât bagian kategori relatif (al-maqȗlât al-nisbiyyah).
Nuktah Kedua: Gerak dan Diam
Jika kita mengurai tentang gerak dan diam, kita bersinggungan lagi dengan ilmu al-maqȗlât. Dua hal ini sebetulnya sangat detail, tapi pada kesempatan ini, kita hanya membahasnya secara ringkas dan menginggung bagian yang krusial saja.
Gerak
Para filusuf mendefinisikan gerak dengan:
خروج من القوة إلى الفعل على التدريج
“Keluarnya (sesuatu) dari potensial ke (status) aktual secara berangsur-angsur.” (Sa’aduddin Al-Tafatazani, Syarh Al-Maqâshid, Kairo: Al-Maktabah Al-Azhariyyah li Al-Turats, Vol: II, hlm. 409).
Untuk memahami maksud dari definisi ini, kita perlu menguliti dua istilah yang digunakan; potensi (bi al-quwwah) dan aktual (bi al-fi’il). Perhatikan contoh berikut ini.
Bayangkan, Anda jalan-jalan di sebuah pusat perbelanjaan. Di sana, Anda menyaksikan sangat banyak orang. Anggaplah orang itu ada ratusan dan Anda berdiri di tengah-tengah kumpulan orang tersebut. Jika ditanya, apa yang bisa Anda lakukan pada orang-orang di sekitar Anda itu? Jawabannya beragam. Bisa saja Anda menyapanya, meneriaki, menepuk pundak, memarahi, meggertak, dan lain-lain. Kalau bicara bisa, tentu Anda bisa saja melakukan itu.
Dari banyaknya opsi itu, Anda memilih menyapa saja dan meninggalkan opsi lainnya. Setelah Anda memilih opsi menyapa, kemudian Anda memilih siapa yang Anda sapa. Ternyata, ada satu orang yang menurut Anda menarik untuk diajak kenalan. Entah, apa yang terjadi selanjutnya setelah kenalan itu, yang jelas Anda menyapanya.
Kalau kita perhatikan dengan baik contoh di atas, ada beberapa hal yang bisa Anda lakukan. Seperti menyapa, meneriaki, dan lain sebagainya. Jika sebatas ruang bisa atau tidaknya, inilah yang disebut dengan potensi (bi al-quwwah). Artinya, secara potensial, Anda bisa saja memilih menyapa atau tidak. Tapi, ketika pilihan Anda untuk menyapa dan mengajak kenalan ini benar-benar terjadi, inilah yang disebut dengan aktual (bi al-fi’il).
Kembali ke definisi gerak, apa yang dimaksud dengan keluarnya sesuatu dari dari status potensial ke aktual? Kalau kita perhatikan contoh tadi, maka kita akan menemukan maksudnya. Seperti ketika Anda masih berpotensi mengajak kenalan. Saat Anda sudah memilih untuk melaksanakannya, maka saat itu, status potensi tadi bergeser atau keluar ke status aktual.
Adapun tentang maksud secara berangsur-angsur, gerak ini tidak terjadi secara spontan; sekaligus. Tapi, memiliki prosedurnya. Untuk memahami apa saja prosedurnya, maka kita harus menyentuh membahas apa saja yang menjadi syarat gerak.
Syarat Gerak
Gerak itu hanya terjadi jika ada enam hal. Ini dikemukakan oleh Imam Sa’aduddin Al-Taftazani dalam Syarh Al-Maqâshid. Pertama, titik awal. Kedua, tujuan. Ketiga, jarak tempuh. Keempat, subjek yang bergerak. Kelima, penggerak yang melahirkan gerak. Keenam, waktu.
Sebagai contoh, sekarang saya duduk di depan laptop. Di samping saya ada rak buku. Ketika saya memutuskan untuk berdiri dan berjalan menuju rak itu, di sana saya membutuhkan waktu 3 detik dan jaraknya satu setengah meter.
Dari ilustrasi singkat itu, kita bisa mengurai enam syarat gerak itu. Ketika saya masih berada di tempat semula, inilah yang dinamakan dengan titik awal. Saya sebagai orang bergerak, disebut sebagai subjek yang bergerak dan di saat yang sama, saya disebut dengan penggerak yang melahirkan gerak. Tiga detik yang saya butuhkan untuk mencapai rak itu adalah waktu. Sementara, rak itu sendiri merupakan tujuan dari gerak.
Tapi, perlu digarisbawahi, bahwa tujuan (muntaha) yang dimaksud, bukan tujuan sebagaimana yang kita kenal dalam bahasa Indonesia. Dalam artian, tujuan yang dimaksud adalah muara dari gerak. Jadi, “tujuan” yang dimaksud di sini, terlepas dari niat tertentu.
Semisal, saya melempar batu dengan niat mengenai mangga di pohon. Ketika saya melempar batu tersebut, ternyata meleset. Yang kena hanya dedaunan saja. Berarti, dedaunan ini menjadi tujuan dari gerak batu tersebut, walaupun batu tersebut diniatkan mengenai mangga.
Di sini, ingin ditekankan apa yang dimaksud dari “berangsur-angsur” dalam definisi gerak di atas. Kembali pada contoh di atas, untuk sampai kepada rak itu, di sana tidak hanya satu gerakan saja yang terjadi, tapi dalam setiap satuan waktu, ada gerak yang terjadi. Misalnya saja, antara duduk dan beranjak dari duduk itu ada gerakan-gerakan kecil. Dari gerak satu ke gerak lain, inilah yang dimaksud dengan berangsur-angsur. Gerak satu, dua, tiga, dan seterusnya, tidak terjadi bersamaan. Tapi, gerak satu dulu yang terjadi, kemudian gerak dua, dan seterusnya.
Diam
Kalau kita lihat pada bagian gerak, di sana ada gerak satu, dua, dan tiga. Itu terjadi jika ada gerak. Tapi, kalau kita lebih jeli lagi, gerak satu itu terjadi pada tempat satu. Kemudian, dari gerak satu ke gerak dua, di sini ada perpindahan dari tempat satu ke tempat dua. Hal yang sama terjadi pada gerak tiga. Namun, apa yang saya sebut sebagai tempat, tidak sesederhana yang dikira. Misalnya, sekolah, rumah, dan semacamnya. Kita tidak berbicara tentang tempat yang ada dalam kehidupan sehari-hari.
Walaupun pembahasan tentang tempat (makân) terbilang panjang, tapi sebagai gambaran saja, saya berikan contoh. Bayangkan, saya melempar bola tenis ke atas. Ketika saya memegang bola tenis itu, sebenarnya bola tersebut berada dalam satu ruang. Begitu juga jika bola tersebut melayang ke atas. Setiap satuan waktu terkecil, bola tersebut sedang menempati ruang kosong yang dikira-kirakan, bahkan saat melayang.
Saat ruang kosong‒bisa juga disebut ruang ilusif (al-farâgh al-mutawahham)‒tersebut ditempati oleh bola tenis, inilah yang dimaksud dengan bertempat. Sedangkan, ketika tidak ada yang menempati ruang itu, maka disebut dengan kosong mutlak (khalâ’). Inilah konsep tempat yang dipegang oleh mayoritas Asy’ariyyah.
Yang mau ditekankan, jika gerak itu merupakan keterhasilan pertama pada tempat kedua, maka diam adalah keterhasilan kedua pada tempat pertama. Semisal bola tenis tadi, ketika dilempar ke atas, di sana bola tenis itu terus bergulir ke atas sembari melewati beberapa tempat. Tapi, ketika bola tenis itu tetap di tangan, maka dia terhasil lagi.
Apa yang dimaksud dengan “terhasil lagi”? Anggaplah lemparan bola ke atas itu memerlukan 2,5 detik. Ketika 0,1 detik bola itu tidak bergerak dan pada detik 0,2 bola itu masih ada di tangan, maka pada detik 0,1 dan 0,2, bola itu terhasil. Pada detik 0,1 ia terhasil, dalam artian ada di tangan. Begitu juga pada detik 0,2. Jadi, keberadaan bola pada tempat yang sama, ini disebut dengan tempat pertama; dia tetap, tidak bergerak. Sedangkan keberadaannya pada detik 0,2, disebut dengan keterhasilan kedua, karena terhasil lagi setelah detik 0,1.
Nuktah Ketiga: Keberlakuan Gerak dan Diam
Kalau kita perhatikan dengan saksama pembahasan di atas, kita terus membahas sesuatu yang berkaitan dengan materi. Mulai dari kebertempatan, gerak, diam, dan semuanya diliputi waktu. Dengan kata lain, apapun yang masuk dalam kategori tersebut, maka dia pasti materi. Lebih tepatnya, waktu (zamân), tempat (makân), gerak, dan diam, merupakan bagian dari hal-hal yang meliputi substansi materi; aksiden (‘aradh). Hal ini sudah kita sentuh dalam salah satu tulisan.
Gerak dan diam itu merupakan dua hal yang saling berlawanan (muqâbalah) dan harus ada sesuatu yang mengkhususkan keduanya. Mengapa? Karena keduanya adalah sifat materi. Materi itu tergolong mumkin; salah satu sisinya bisa teraktualkan di semesta, bisa juga tidak. Berarti, sesuatu yang bergerak dan diam, pasti dikhususkan salah satunya oleh al-mukhassish. Tentang khusus-mengkhususkan ini, sudah kita bahas juga dalam salah satu tulisan.
Ini juga menjadi dasar bahwa Tuhan pasti yang bergerak dan diam, bukan Tuhan. Karena Tuhan itu yang mengkhususkan, bukan dikhususkan. Untuk memahami perbedaan pengkhusus dan yang dikhususkan, bisa baca salah satu tulisan yang menyentuh seputar empat konsep keberadaan.
Kalau begitu, bisa kita kita simpulkan bahwa Tuhan tidak mungkin bergerak, tidak mungkin juga diam. Karena jika kita menyilangkan keduanya, ada empat kemungkinan; 1) Bergerak sekaligus diam. Ini mustahil karena kontradiksi, 2) Bergerak dan tidak diam. Hal ini dipahami karena biasa kita saksikan, 3) Diam dan tidak bergerak. Ini sama dengan poin kedua, dan 4) Tidak bergerak, tidak juga diam. Hal ini tidak mungkin terjadi pada materi. Ini sebagaimana yang ditulis oleh Imam Al-Sanusi (w. 895 H) dalam Al-‘Aqîdah Al-Wustha, bahwa materi itu tidak mungkin tidak bergerak, tidak juga diam pada saat yang sama. Karena tidak mungkin ada materi yang terlepas dari keduanya.
Ini juga menjadi catatan untuk argumen Aristoteles ketika hendak mengafirmasi keberadaan Tuhan; menggunakan argumen penggerak yang tidak bergerak dan Tuhan sebagai penggerak yang tidak bergerak. Niat Aristoteles mengatakan demikian itu bagus. Namun, konsekuensi dari pandangannya adalah Tuhan itu nganggur setelah semesta diciptakan.
Padahal, Al-Qur’an secara tegas dan terang benderang menafikan kesamaan Tuhan dengan makhluk:
…لَيْسَ كَمِثْلِه شَيْء…
“…Tidak ada yang seperti serupa dengan-Nya…” (Al-Syura: 11).
وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَد
“Tidak ada yang setara dengan-Nya” (Al-Ikhlas: 4).
Jika demikian, berarti apapun yang disandarkan kepada makhluk, tidak boleh disandarkan kepada Tuhan. Pun, tidak ada kontradiksi yang terjadi jika dikatakan sesuatu yang tidak bergerak sekaligus tidak diam. Jika Anda memeriksa bagan jauhar dan ‘aradh di tulisan yang membahas tentang ilmu al-maqȗlât, maka Anda akan menemukan entitas qadîm yang tidak disandarkan kepadanya sifat-sifat makhluk.
Juga, tidak ada keterkaitan logis antara gerak-diam dan keberadaan. Dengan kata lain, sesuatu yang tidak bergerak dan tidak juga diam, bukan berarti tidak ada. Hal ini sama penegasannya dalam tulisan yang membahas bahwa Tuhan tidak berbahasa Arab, hanya karena Al-Qur’an berbahasa Arab. Karena apa yang berlaku bagi makhluk, tidak berlaku bagi Tuhan.
Tapi, mengapa akal kita tidak bisa membayangkan keberadaan seperti itu? Itulah yang menunjukkan bahwa akal kita hanya bisa membayangkan sesuatu yang materil. Bukan berarti juga, sesuatu yang tidak bisa dibayangkan, berarti tidak bisa dicapai dan divalidasi oleh hukum akal. Walaupun kita tidak bisa membayangkannya; membayangkan sesuatu yang tidak bergerak dan tidak juga diam, bukan berarti bertentangan dengan hukum akal. Apakah ada titik kontradiksi di balik klaim itu? Tidak ada. Berarti, hal tersebut logis.
Nuktah Keempat: Konsekuensi Jika Keduanya Disandarkan Kepada Tuhan
Pada fragmen sebelumnya, kita sudah membahas bahwa gerak dan diam adalah sifat makhluk dan jika disandarkan kepada Tuhan, maka akan terjadi penyerupaan (tasybîh) dengan makhluk. Padahal, hal yang berlaku bagi makhluk, tidak berlaku bagi Tuhan. Namun, jika kita asumsikan Tuhan itu bergerak atau diam, apa yang terjadi?
Pertama, jika Tuhan bergerak atau diam, maka Tuhan diliputi waktu. Sedangkan Tuhan itu tidak diliputi waktu. Mengapa? Karena gerak dan diam, sama-sama memiliki konsekuensi keterhasilan. Dalam hal ini, keterhasilan tersebut meniscayakan waktu. Karena tidak mungkin ada sesuatu yang terhasil jika tidak ada waktu.
Sedangkan Tuhan yang menciptakan waktu. Seandainya Tuhan diliputi waktu, maka apakah Tuhan diliputi waktu sebelum waktu itu ada? Ini jika kita sepakat Tuhan lebih dulu ada daripada waktu.
Jika tidak, konsekuensinya ada dua; 1) Tuhan ada bersama dengan waktu, dan 2) Waktu lebih dulu ada daripada Tuhan. Jika diasumsikan pada kemungkinan pertama, berarti waktu itu qadîm dan waktu ada tanpa diciptakan Tuhan atau selain Tuhan jika ada. Jika diasumsikan pada kemungkinan kedua, maka akan berkonsekuensi pada satu hal; Tuhan dulu tiada kemudian ada. Buktinya, didahului waktu. Seluruh asumsi ini mustahil bagi Tuhan dan bertentangan dengan hukum akal.
Kedua, konsekuensi selanjutnya jika Tuhan diliputi gerak dan diam, maka Tuhan itu terhasil. Hal ini merupakan lanjutan argumen bagian poin pertama di atas. Konsekuensi jika Tuhan terhasil, maka Tuhan memiliki keberawalan dan keberakhiran. Mengapa? Keterhasilan meniscayakan hal tersebut. Mari kita tarik satu benda di semesta untuk dijadikan sampel.
Anggaplah ada buku yang saya biarkan di atas meja selama lima detik. Buku tersebut terhasilkan pada detik pertama, kemudian pada detik kedua, dan seterusnya sampai detik kelima. Mari kita coba bekukan realitas pada detik pertama; di mana waktu berhenti sebelum buku tersebut terhasilkan pada detik kedua sampai lima. Jadi, buku tersebut terhasilkan pada detik pertama, tapi tidak terhasilkan pada detik kedua dan seterusnya. Berarti, pada detik pertama buku itu ada, sedangkan pada selainnya tidak ada.
Ini juga berarti buku tersebut memiliki sisi keberadaan pada detik pertama dan tidak ada pada detik kedua dan seterusnya. Ini berarti, jika Tuhan sama halnya dengan buku tersebut; diam, maka Dia memiliki entitas terbatas, karena dibatasi oleh realitas waktu yang lebih luas. Mengapa? Karena detik satu sampai lima adalah bagian dari waktu. Sedangkan Tuhan hanya ada pada salah satu bagian dari lima bagian waktu. Ini berarti waktu itu lebih besar dari Tuhan. Ini catatan pertama.
Catatan selanjutnya, kita asumsikan setiap hasil dari keterhasilan itu dipecah menjadi tiga; 1) Batas awal, 2) Isi, dan 3) Batas akhir. Perhatikan keberadaan buku yang masih terbekukan oleh realitas di detik pertama. Kita asumsikan, ada detik nol sebelum detik satu dan detik dua setelah detik satu. Detik satu ini, memiliki tiga bagian; 1) Akhir dari detik nol, ini ketika detik nol berpindah ke detik satu (antara detik 0,9 dan 1,0), 2) Isi; ini merupakan tengah dari detik satu, sebelum akhir detik satu (detik 1,1-1,9), dan 3) Akhir detik satu; awal dari detik kedua (antara detik 1,9 dan 2,0).
Anggaplah buku tersebut terbekukan pada detik 1,4. Ini berarti buku tersebut ada pada detik itu, tapi belum ada pada detik 1,5 dan seterusnya. Jika demikian, berarti buku tersebut ada setelah terhasilkan di awal detik satu dan keberadaannya berakhir jika ada perubahan pada detik berikutnya. Semisal, pada detik 1,6 buku tersebut tersambar petir. Ada reaksi tertentu, entah buku tersebut hilang dari tempat semula atau berubah ke bentuk lain. Berarti, buku tersebutkan dalam bentuknya sejak awal, hanya sampai pada detik 1,5. Sedangkan ketika memasuki detik 1,6, buku tersebut terhasilkan dengan hasil yang berbeda, karena dipengaruhi oleh kilat.
Jika diringkas, maka ada tiga hal yang terjadi pada buku tersebut; 1) Buku tersebut memiliki awal, karena melewati proses keterhasilan, 2) Buku tersebut memiliki akhir dari keterhasilan sebelumnya, entah karena ada pengaruh dari luar atau adanya gerak baru, sehingga terhasil di tempat kedua, 3) Buku itu berubah karena reaksi tertentu, entah karena terbakar, robek, dan lain sebagainya.
Kalau begitu, hal yang sama terjadi dengan Tuhan jika terhasil yang merupakan konsekuensi lanjutan dari keberwaktuan dan diliputi gerak-diam. Hal seperti itu mustahil bagi Tuhan, karena Tuhan itu qadîm; tidak berawal (mencakup tidak berubah), baqâ’; tidak memiliki akhir, dan mukhâlafah li al-hawâdits; berbeda dari makhluk.
Ketiga, jika Tuhan diliputi gerak dan diam, maka Tuhan bertempat. Mengapa? Sebagaimana yang kita jelaskan di atas bahwa gerak dan diam itu meniscayakan keterhasilan dan meniscayaan kebertempatan. Jika ada keterhasilan baru di tempat kedua, maka disebut gerak. Tapi, jika keterhasilan sama terjadi di tempat yang sama, maka itu disebut diam. Ini berarti, keterhasilan tidak mungkin terjadi jika bukan di dimensi ruang. Konsekuensinya, gerak dan diam itu tidak akan lepas dari ruang tersebut. Berarti, jika dikatakan Tuhan itu bergerak dan diam, mau tidak mau, muaranya Tuhan berada dalam ruang atau tempat.
Jika Tuhan berada dalam tempat, sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Al-Ghazali (w. 505 H) dalam Al-Iqtishâd fi Al-I’tiqâd, maka ada tiga kemungkinan; Pertama, Tuhan lebih besar dari tempat. Kedua, Tuhan sama besar dari tempat. Ketiga, Tuhan lebih kecil dari tempat.
Jika Tuhan lebih besar dari tempat, sedangkan Tuhan sendiri bertindak sebagai subjek yang bertempat, ini mustahil. Karena hukum alamnya, subjek yang bertempat menempati ruang kosong dan saat itu subjek dikatakan “dalam ruang”. Tidak mungkin dikatakan subjek itu “dalam ruang” kalau ruang itu sendiri lebih kecil daripada subjek. Di mana-mana, “sesuatu yang di dalam” pasti lebih kecil daripada ruang yang meliputi subjek itu. Ini mustahil secara akal dan syara’.
Jika Tuhan sama besar dengan tempat, maka hal ini sama penjelasannya dengan keharusan subjek lebih kecil dari tempat di atas. Tapi, jika ingin ditambahan, tidak mungkin ada sesuatu yang beruang tapi subjeknya sama besar dengan ruang itu sendiri. Karena jika demikian, tidak mungkin ada yang masuk dalam ruang dan tidak mungkin ruang juga memasuki subjek, jika hal ini bisa secara akal sehat.
Jika diasumsikan ada ruangan yang memiliki luas 2,0 meter dan anggaplah ada kotak kubus yang memiliki luas yang sama besar dengan ruangan itu. Apakah kubus itu masuk dalam ruangan tersebut? Tidak. Karena “masuk” bisa terjadi jika subjek itu lebih kecil sedangkan yang dimasuki lebih besar. Ini konsekuensi pertama jika Tuhan dikatakan lebih besar dari tempat.
Konsekuensi kedua, Tuhan memiliki sesuatu yang menyainginya, yaitu ruang itu sendiri, karena memiliki ukuran yang sama dengan Tuhan. Ini mustahil juga.
Jika Tuhan lebih kecil dari tempat, maka ada yang lebih besar dari Tuhan. Hal ini mustahil, karena Tuhan Maha Besar dan pencipta ruang.
Karena tiga asumsi tersebut mustahil, maka jika memanggil hukum kontradiksi, maka yang benar adalah kebalikannya; Tuhan tidak bertempat.
Tapi, kenapa dalam analogi di atas, Tuhan diposisikan sebagai materi yang memiliki massa? Karena segala sesuatu yang memiliki ruang, akan disifati sebagaimana makhluk pada umumnya. Mustahil kita mengasumsikan Tuhan sebagai sosok Maha Suci dari segala kekurangan‒termasuk keberwaktuan‒jika ada dalam ruang. Bagaimana ceritanya ada sesuatu dalam ruang dimensi, tapi tidak terliputi waktu? Itu juga sebagai argumen, jika kita mengasumsikan Tuhan sebagai entitas yang bertempat, berarti secara otomatis Tuhan akan memiliki sifat sebagaimana materi fisikal pada umumnya. Bukankah Tuhan berbeda dengan makhluk?
Keempat, jika Tuhan bergerak, maka dia butuh tujuan. Mengapa? Seperti yang dijelaskan pada bagian syarat gerak di atas, gerak meniscayakan titik mula (mabda’) dan tujuan (muntaha). Tidak mungkin terjadi gerak, jika gerak itu tidak bermuara pada tujuan tertentu, terlepas apakah muara tersebut diniatkan atau tidak. Jika demikian, berarti ada dua konsekuensi; Pertama, perbuatan Tuhan disebabkan tujuan. Sementara jika dikatakan demikian, berarti Tuhan “butuh” tujuan sebagai sebab. Butuh adalah kekurangan. Tidak mungkin kita menyandarkan kekurangan kepada Tuhan.
Kedua, Tuhan butuh. Mengapa? Karena tanpa sesuatu yang lain‒dalam hal ini tujuan gerak dan mencakup syarat gerak‒Tuhan tidak bisa bergerak. Berarti, ini berkonsekuensi menyandarkan kekurangan kepada Tuhan. Ini juga mustahil. Karena tidak mungkin Tuhan menjadi Tuhan kalau Dia sendiri tidak sempurna.
Masih ada beberapa konsekuensi lain yang bisa terjadi jika Tuhan dikatakan bergerak atau diam. Namun, kita cukupkan sampai di sini, karena konsekuensi tersebut membutuhkan beberapa silsilah tulisan lain sebagai premis dan dirujuk ketika menyusun premis dengan menautkan link pada kata yang relevan. Tentu karena kompleks dan membutuhkan beberapa penjelasan penting untuk istilah kunci yang digunakan. Selain itu, empat konsekuensi ini sudah cukup menjadi dasar untuk menafikan gerak dan diam dari Tuhan.
Kesimpulan
Dari deretan premis, konsekuensi logis, dan argumentasi di atas, kita menarik kesimpulan bahwa Tuhan itu tidak bergerak, tidak juga diam. Karena jika demikian, ada deretan konsekuensi yang menciderai kesempurnaan Tuhan itu sendiri, sebagaimana yang kita jelaskan di atas. Jika ada yang tidak sempurna, maka pasti itu bukan Tuhan. Dan hal tersebut sesuai dengan kaidah agama Islam dan akal sehat.
Wallahu a’lam.