Pada tulisan-tulisan sebelumnya itu masih membahas seputar pengantar ilmu mantik. Kali ini kita masuk ke dalam jantung atau inti pembahasan ilmu mantik yang pertama, yaitu al-kulliyyât al-khamsah. Dari segi kebahasaan, kulliyât itu bentuk jamak dari kulliy yang berarti konsep universal, sedangkan khamsah adalah lima.
Mengapa hanya lima saja? Ketika Anda sudah memahami pembahasan kulliy dzâtiy dan kulliy ‘aradhiy sebelumnya tentu pertanyaan ini sudah terjawab. Ada kulliy yang menjelaskan esensi dari sesuatu itu, ini berjumlah dua yaitu jins (genus), fashl (differentia), dan nau’ (species). Sedangkan kulliy yang menjelaskan sesuatu yang di luar esensi sesuatu itu hanya ada dua yaitu khassah (proper accident) dan ‘aradh ‘amm (common/general accident).
Sudah dijelaskan pada tulisan awal bahwa bab pertama ilmu mantik itu hanya bertujuan membentuk definisi (ta’rif) sedangkan definisi ini tidak terbentuk kecuali dengan unsur-unsur yang menyusunnya yaitu al-kulliyyât al-khamsah. Unsur-unsur yang menyusun definisi ini disebut mabâdi’, sedangkan definisi yang terdiri atas kulliyyât ini namanya maqâshid.

Mengapa dinamakan kulliyyât? Karena satu kulliy saja tidak cukup dipakai untuk menyusun definisi. Definisi harus memenuhi tiga hal, yaitu; 1) Jins. 2) Fashl. 3) Nau’. Mengapa kulliy lainnya (khassah dan ‘aradh ‘amm) tidak harus masuk dalam membentuk definisi? Sebagaimana pembahasan sebelumnya bahwa keduanya masuk dalam kulliy ‘aradhiy yang menjelaskan sesuatu di luar esensi sesuatu, bukan esensi itu sendiri. Sedangkan, kalau kita berbicara tentang definisi maka tidak lain membahas hakikat atau esensi sesuatu itu. Dan kulliy yang membahas esensi itu adalah tiga yang penulis sebutkan tadi, maka ia harus ada dalam definisi.
Misalnya saja kita ingin mendefinisikan manusia, kita tidak mungkin mengetahui bahwa manusia itu adalah hewan yang berpikir kecuali kita mengetahui apa hakikat manusia itu sendiri. Atau sederhananya, manusia termasuk jenis kategori apa? Ternyata manusia itu termasuk jenis hewan.
Sampai di kata “hewan” manusia masih satu kelompok dengan binatang lainnya. Karena kata “hewan” ini belum menjelaskan manusia secara utuh, maka diperlukanlah pembeda untuk memisahkan manusia dan binatang lainnya, yaitu nâthiq (potensi berpikir).
Ketika kita sudah menentukan seperti apa hakikat manusia dan apa yang membedakan manusia dengan binatang lainnya, maka jadilah hakikat manusia yang sempurna.
Yang memetakan jenis atau hakikat dari sesuatu itu disebut jins (genus). Sedangkan yang membedakan sesuatu itu dengan sesuatu yang lain disebut fashl (differentia). Kemudian ketika menjadi hakikat yang utuh, -seperti manusia tadi- maka itu disebut dengan nau’ (specia).
Adapun hal yang di luar esensi, entah itu sifatnya umum seperti “berjalan” dan dimiliki oleh sesuatu yang lain ataupun sifatnya khusus yang hanya dimiliki oleh manusia seperti “tertawa” itu tidak harus masuk dalam definisi. Yang pertama disebut ‘aradh ‘amm (common/general accident), sedangkan yang kedua disebut khassah (proper accident).
Misalnya lagi, “khamar”. Dalam literatur fikih, khamar dikatakan sebagai “minuman yang memabukkan”. Tapi, sebelum kita berkesimpulan bahwa khamar adalah minuman yang memabukkan, tentunya kita menentukan jins dan fashl–nya terlebih dahulu. Karena mustahil ada esensi yang terbentuk secara utuh kecuali esensi itu dimulai terbentuk dari bagian-bagian tertentu.
Kita tentukan dulu khamar ini, masuk dalam jenis atau kategori apa? Ternyata khamar ini masuk dalam kategori “minuman”. Lalu, “minum” ini belum memisahkan antara khamar dan minuman-minuman lainnya seperti Buavita, Frutamin, dan lain-lain. Maka dari itu, ia membutuhkan pemisah antara dirinya dan minuman-minuman yang lain.
Ternyata setelah ditilik lebih dalam, ternyata yang membedakan khamar dan minuman yang lain adalah sifatnya yang memabukkan. Lalu setelah itu, kita akan sampai kepada kesimpulan bahwa khamar adalah minuman yang memabukkan.
Dari uraian itu, kita bisa paham bahwa yang membicarakan hakikat minuman itu adalah jins, sedangkan yang menjadi pembedanya dengan yang lainnya adalah fashl. Kemudian, ketika sudah membentuk suatu esensi yang utuh, maka itulah yang disebut dengan nau’.
Adapun kalau ada sesuatu yang di luar esensi dari khamar entah sifatnya umum atau tidak, maka yang sifatnya umum disebut ‘aradh ‘amm, sedangkan sesuatu yang sifatnya umum disebut khassah.
Ini berlaku ketika kita ingin mendefinisikan apapun, termasuk ingin mendefinisikan Islam, agama, kristen, rasisme, determinisme, dualisme, pluralisme, komunisme, dan lain-lain. Untuk mendefinisikannya, kita butuh menentukan bahwa sesuatu itu masuk jenis apa? Lalu apa yang membedakannya dengan sesuatu yang lain? Dengan cara seperti inilah, kita bisa menentukan definisi dari sesuatu itu dengan tepat.
Intinya, al-kulliyyât al-khamsah itu adalah kulliy yang lima. Di mana kulliy ini memiliki fungsi untuk merangkai definisi. Jika ia menentukan hakikat atau jenis dari sesuatu itu, maka ia disebut jins. Sedangkan jika membedakan sesuatu dengan sesuatu yang lain, maka ia disebut dengan fashl. Kemudian, kedua ia sudah menjadi esensi yang utuh, maka ia disebut nau’.
Adapun ketika sudah berbicara tentang sesuatu yang berada di luar esensi tersebut, maka dilihat lagi, apakah sifatnya umum atau khusus. Kalau sifatnya umum, maka disebut ‘aradh ‘amm. Tapi, ketika sifatnya khusus, maka disebut ‘aradh khassh atau khassah.
Wallahu a’lam