Pada tulisan-tulisan sebelumnya, kita sudah selesai membahas tentang tashawwur, tashdiq, dan lafaz. Bagian ini adalah bagian khusus sekaligus merinci kembali bagian tashawwur. Secara bahasa sâdzaj (ساذج) berarti simpel atau semakna dengan بسيط yang tidak memiliki bagian-bagian. Dalam konteks ini, sâdzaj berarti tashawwur yang “gagal” menjadi tashdiq. Syarat-syarat atau rukun-rukun tashdiq juga telah kita bahas sebelumnya.
Sebagaimana penjelasan pada tulisan sebelumnya, kalau tashdiq itu harus ada penghukuman. Tapi kalau kita merinci lagi, ternyata penghukuman kita kepada sesuatu itu tidaklah cukup, harus ada pembenaran dalam diri kita terhadap sesuatu yang kita hukumi. Atau para logikawan menyebutnya al-idz’ân. Maksudnya, akal kita menerima atau mengafirmasikan sesuatu itu (al-taslîm wa al-qabûl).
Misalnya, saya mengatakan “Doiku itu cantik“. Kita sudah membayangkan antara objek penghukuman (maudhu’), atribut (mahmul), dan keterkaitan antara keduanya (nisbah). Ketika akal kita sudah menghukumi, mengiyakan, dan mengafirmasikan ungkapan tersebut, maka jadilah tashdiq.
Sekarang, timbul pertanyaan, apa jadinya kalau misalnya rukun-rukun itu itu tidak sempurna? Syaikh Al-Khabishi mengungkapkan, ada empat kemungkinan; 1) Nisbah. 2) Tanpa Nisbah. 3) Insyâ’i. 4) Khabariy. Berikut penjelasannya.

- Nisbah
Nisbah dalam konteks ini, mirip dengan taqyîdiy pada pembahasan lafaz sebelumnya. Yaitu, ketika lafaz kedua, mengikat lafaz pertama dan keduanya memiliki keterkaitan. Bagian ini dibagi dua lagi; 1) Washfiy. 2) Idhâfiy.
– Washfiy
Washfiy berarti keterikatan lafaz pertama dan kedua dalam bentuk penyifatan. Misalnya: Rumah yang baru (البيت الجديد), anak yang baik (ولد صالح), istri yang salehah (الزوجة الصالحة), dan lain-lain. Sebenarnya, cukup buang kata “yang” karena ini ditinjau dari lafaz bahasa arabnya. Sedangkan dalam bahasa arab tidak menggunakan kata “yang” ketika menyifati, tapi ditangkap melalui bentuk lafaz.
Di sini, kita melihat bahwa dua lafaz tersebut memiliki keterkaitan, tapi tidak ada celah bagi kita untuk melakukan penghukuman. Anggaplah kata rumah itu adalah objek penghukuman (maudhu’), sedangkan baru itu adalah atribut penghukuman (mahmul), dan keduanya memiliki keterkaitan. Tapi, kita tidak menemukan celah penghukuman. Beda redaksinya kalau kita melakukan penghukuman, misalnya “rumah itu baru”.
Ingat, Anda harus teliti kalau “rumah yang baru” dan “rumah itu baru” beda. Sedangkan washfiy ini, memakai redaksi yang tidak memberikan celah untuk melakukan penghukuman.
Ketika suatu kalimat yang tidak memenuhi syarat-syarat tashdiq, maka ia akan menjadi tashawwur. Mengapa? Pengetahuan manusia itu hanya dua, kalau bukan tashawwur, maka tashdiq. Karena tashdiq tidak terpenuhi, maka otomatis menjadi tashawwur. Maka mau tidak mau, karena washfiy ini tidak memberikan celah penghukuman, maka ia menjadi tashawwur. Atau dalam pembahasan ini termasuk tashawwur sâdzaj.
– Idhâfiy
Idhâfiy ini sama dengan washfiy yang di mana keduanya ditinjau dari segi struktur katanya. Kita akan memahami kedua bagian ini dengan baik, ketika sudah memahami idhâfah dan washfiy dalam ilmu nahwu.
Jika washfiy itu keterikatan dua kata dalam bentuk penyifatan, maka idhafiy itu keterkaitan dua kata dalam bentuk relasi. Misalnya: Anaknya Umar (غلام عمر), Rahmatnya Allah (رحمة الله), dan lain-lain. Jika kita perhatikan kedua kata itu, sama seperti sebelumnya (mengandung tiga rukun tashdiq), bedanya hanya makna yang dihasilkan. Dan lagi-lagi tidak ada peluang untuk memberikan penghukuman. Maka dia menjadi tashawwur juga.
- Tanpa Nisbah
Maksudnya, tidak ada lafaz yang saling terkait. Mengapa? Karena lafaznya hanya satu. Sedangkan kalau kita berbicara tentang kait-mengait, harus ada dua, yaitu yang mengait dan yang dikait. Sedangkan kalau satu saja, maka untuk mencapai keterkaitan itu tidak bisa.
Lafaz-lafaz yang sering dijadikan contoh itu seperti: Rumah (البيت), Zaid (زيد), dan lain-lain. Jika kita perhatikan bagian ini, maka tidak menjadi tashdiq juga, tapi menjadi tashawwur. Mengapa? Ada 3 rukun tashdiq yang digugurkan: 1) Mahmȗl. 2) Nisbah. 3) Hukm/Idz’ân. Jika keterkaitan saja tidak ada, lebih-lebih penghukuman. Maka sekali lagi, bagian ini juga hanya menjadi sebatas tashawwur saja.
- Insyâ’i
Pada pembahasan lafaz sebelumnya juga kita membahas tentang insyâ’i ini, tepatnya di bagian murakkab tâm. Definisinya tidak beda dari yang sebelumnya bahwa insya’i itu, tidak mengandung kemungkinan jujur dan bohong. Seperti perintah, larangan, harapan, takjub, bertanya, dan lain-lain.
Misalnya “Om, bolehkan saya melamar anak Anda?” Dalam ungkapan ini, tidak Anda temukan penghukuman, sehingga ini tidak menjadi tashdiq. Hanya sebatas tashawwur juga.
- Khabar Masykȗk
Sebagaimana insya’i, telah kita bahas di bagian lafaz juga. Khabar itu‒sebagaimana definisinya‒sesuatu yang mengandung kemungkinan bohong dan jujur. Dan dari semua lafaz, hanya khabar saja yang layak menjadi tashdiq, selebihnya tashawwur. Karena hanya khabar-lah yang bisa diuji kemungkinan benar ataupun tidaknya. Tapi, bisakah khabar itu menjadi tashawwur? Jawabannya, bisa.
Khabar bisa menjadi tashdiq, bisa juga menjadi tashawwur. Sebagaimana yang penulis jelaskan di tulisan tentang tashawwur dan tashdiq, kalau penghukuman itu menjadi tashdiq ketika yang menghukumi ini yakin atau menduga dengan kuat (dzann) sesuatu yang dihukuminya.
Tapi, jika orang yang mengeluarkan statement atau proposisi ini ragu (syakk) maka, proposisinya hanya menjadi tashawwur. Misalnya, Anda dipaksa menikah dengan sosok yang Anda tidak kenal. Lalu dengan terpaksa dan hati Anda dipenuhi keraguan berkata “Baiklah, saya akan menikahi wanita pilihan Anda“. Apakah ini bisa dikatakan tashdiq? Tidak. Mengapa? Karena yang mengeluarkan statement itu ragu dengan yang ia ucapkan.
Maka itulah yang dinamakan dengan khabar masykûk. Masykûk diambil dari kata syak berarti ragu atau kalau sudah menjadi satu rangkaian dengan kata khabar, bermakna “Pemberitaan yang diragukan“.
Kesimpulannya, ada empat yang termasuk dalam tashawwur sâdzaj; 1) Nisbah. 2) Tanpa Nisbah. 3) Insyâ’i. 4) Khabar masykûk. Semuanya tidak menjadi tashdiq atau gagal menjadi tashdiq. Maka semuanya cukup menjadi tashawwur saja.
Wallahu A’lam.