Pada tulisan sebelumnya telah dijelaskan bahwa dalâlah terbagi, salah satunya sampai kepada dalâlah lafzhiyyah wadh’iyyah. Dan ternyata dalâlah lafzhiyyah wadh’iyyah ini adalah mu’tabar di ilmu logika. Dalalah bagian ini beserta pembagiannya yang menjadi titik fokus pembahasan kita.
Sekedar mengingatkan kembali bahwa dalalah lafzhiyyah berarti dalalah yang diperoleh dari lafazh dan keterkaitan antara dâl dan madlûl itu melalui konteks kebahasaan (wadh’iyyah), bukan akal (‘aqliyyah), bukan juga watak manusia (thabi’iyyah).
Dalalah ini dibagi menjadi tiga, yaitu; 1) Muthabaqiyyah. 2) Tadhammuniyyah. 3) Iltizamiyyah. Kenapa hanya tiga saja? Karena memang secara akal, hanya tiga kemungkinan (akan dibahas sebab-sebab batas sesuatu itu dalam dars extra: Anwa’ al-Hashr).
– 𝑫𝒂𝒍â𝒍𝒂𝒉 𝑳𝒂𝒇𝒛𝒉𝒊𝒚𝒚𝒂𝒉 𝑴𝒖𝒕𝒉𝒂𝒃𝒂𝒒𝒊𝒚𝒚𝒂𝒉
Dalâlah berarti penunjukan, lafzhiyyah berarti berbentuk lafazh, sedangkan muthabaqiyyah berarti selaras. Dengan demikian, maka dalâlah lafzhiyyah muthabaqiyyah dapat didefinisikan dengan:
دلالة اللفظ على تمام ما وضع له
Penunjukan suatu lafazh atas makna utuh yang dibakukan untuk lafazh tersebut.
Sebagai contoh, ada makanan bernama “pastel” atau di daerah Makassar diberi nama “jalangkote” (hanya beda nama, intinya sama). Nah, makanan ini, ada terigu bagian luar yang menutupinya. Dalamnya juga ada wortel, kentang, telur, mie, atau toge, yang jelas ada isinya. Yang ingin saya tunjukkan di sini adalah, ketika disebutkan “jalangkote” atau “pastel” maka menunjuk kepada keseluruhan makanan itu, baik bagian luar maupun dalamnya.
Contoh lain lagi, ketika disebutkan kata rumah. Kita tau bahwa rumah adalah tempat tinggalnya manusia yang isinya terdiri atas pintu, jendela, dinding, tehel, atap, lantai, dan lain sebagainya.
Oke, anda adalah seorang laki-laki yang tentunya harus menyiapkan banyak hal sebelum menikah. Tiba-tiba, ketika calon mertua anda bertanya “apakah kamu sudah beli rumah?”. Nah, calon mertua anda menyebut kata “rumah”. Apa yang terlintas? Dinding sajakah? Atap sajakah? Atau pintu sajakah? Tentu yang terlintas adalah keseluruhan dari “rumah” itu yang mencakup pintu, dinding, jendela, dan semua yang tercakup dari kata rumah itu.
Nah, penunjukan kata jalangkote atau pastel ini menunjuk kepada makanan itu secara keseluruhan, baik di luar maupun di dalamnya. Begitu pula kata “rumah” yang mencakup semua yang ada dalam rumah itu. Inilah yang dimaksud dengan dalalah lafzhiyyah muthabaqiyyah. Mengapa? Karena lafazh tersebut menunjukkan makna utuhnya.
Saya rasa, untuk dalalah ini contohnya sangat banyak. Intinya, dalalah lafzhiyyah muthabaqiyyah ialah petunjuk suatu lafazh atas makna utuhnya, bukan sebagian, juga bukan di luar esensi lafazh tersebut.
– 𝑫𝒂𝒍â𝒍𝒂𝒉 𝑳𝒂𝒇𝒛𝒉𝒊𝒚𝒚𝒂𝒉 𝑻𝒂𝒅𝒉𝒂𝒎𝒎𝒖𝒏𝒊𝒚𝒚𝒂𝒉
Biasanya kita menggunakan kata-kata atau lafazh, tapi yang dimaksud hanyalah sebagian dari kata tersebut. Jika anda penggemar olahraga sepak bola, anda mungkin pernah mengatakan “di final nanti, akan ada pertandingan Indonesia lawan Malaysia”. Apakah semua rakyat Indonesia dan Malaysia turut serta dalam pertandingan tersebut? Tentu tidak. Hanya sebagian yang dimaksud, yaitu tim nasional saja sebagai perwakilan.
Contoh lain lagi, anda duduk manis menonton bola, tiba-tiba ada tetesan-tetesan air dari plafon rumah lalu anda bertanya kepada istri anda “eh, rumah ini barusan bocor?”. Nah, ini juga menggunakan kata rumah, tapi apakah yang dimaksud seluruh rumah? Tentu tidak. Hanya sebagian, atap dan plafon saja.
Tadhammun artinya kandungan. Dalâlah tadhammuniyyah ini definisinya:
دلالة على جزء المعنى فى ضمنه
Penunjukan suatu lafazh atas sebagian makna yang dikandung lafazh itu.
Contoh yang paling sering dipakai oleh para ahli logika adalah “Al-Hayawân Al-Nâthiq” (hewan yang berpikir)* yang merupakan makna utuh dari manusia. Tapi, ketika menyebut kata manusia tapi yang dimaksud hanya sebagian dari kata manusia itu, baik itu hanya menujukan ke “Al-Hayawân” (hewan) atau ke “Al-Nâthiq” saja, maka itu yang dimaksud dengan dalalah tadhammuniyyah, karena yang dimaksud hanya sebagian saja.
Maka jika suatu lafazh manunjukkan makna utuhnya, maka dia menjadi dalâlah muthabaqiyyah. Tapi ketika hanya menunjukkan sebagian makna dari lafazh itu adalah sebagian, maka ia menjadi dalâlah tadhammuniyyah.
– 𝑫𝒂𝒍â𝒍𝒂𝒉 𝑳𝒂𝒇𝒛𝒉𝒊𝒚𝒚𝒂𝒉 𝑰𝒍𝒕𝒊𝒛𝒂𝒎𝒊𝒚𝒚𝒂𝒉
Biasanya juga kita menggunakan suatu lafazh, dan yang kita maksud, bukanlah makna utuhnya, juga bukan sebagian maknanya, tapi makna lain di luar esensi lafzh tersebut, tapi masih ada keterkaitannya (luzûm).
Misalnya anda menggunakan kata “api”. Ketika disebutkan api, maka yang terlintas di akal kita adalah api beserta panasnya. Api dan panas adalah dua hal berbeda, tapi keduanya tetap saling berkaitan.
Ketika disebutkan kata api, dan yang kita maksud adalah panasnya. Maka petunjuk dari kata api, masuk dalam kategori dalâlah lafzhiyyah iltizamiyyah. Yang disebut lain, tapi yang dimaksud lain. Tapi lafazh yang kita sebut, masih ada kaitannya dengan yang kita maksud.
Iltizamiyyah berasal dari kata “lazima” (لزم) berarti keterkaitan atau secara akal, tidak boleh terpisah. Misalnya es batu dan dingin, es batu ini adalah malzûm dan dingin ini melazimi es batu. Es batu tidak terpisah dari dingin meskipun keduanya dua hal yang berbeda. Seperti api dan panas tadi. Ini yang dimaksud dengan lazim.
Dalalah iltizamiyyah didefinisikan dengan:
دلالة على أمر خارج عن المعنى لازم له
Penunjukan suatu lafaz atas sesuatu yang berada di luar esensinya, tapi esensi yang dimaksudkan itu melazimi lafazh tersebut.
Ada hal yang perlu diperhatikan di sini seputar dalalah iltizamiyyah. Karena setiap lafazh itu memiliki keterkaitan makna yang banyak, karena itu para ahli menetapkan syarat-syarat yang cukup berat.
Kenapa harus memiliki syarat berat? Karena kalau tidak diberikan syarat, orang-orang bisa bicara seenaknya. Bisa saja orang berkata A, tapi maksudnya adalah B. Padahal B tidak memiliki kaitan dengan A. Atau bisa saja ada keterkaitan, tapi keterkaitannya tidak jelas. Sampai Imam Al-Ghazali dalam kitab Mi’yar al-‘Ilm mengatakan kalau dalalah iltizamiyyah tidak bisa dijadikan lafzah untuk merangkai ta’rif. Hanya dalâlah muthabaqiyyah dan tadhammuniyyah saja.
Karena dalâlah ini mengharuskan ada luzûm, maka pembahasan selanjutnya akan membahas tentang luzum lalu kembali ke dalâlah lagi.
_________________
Footnote:
Kata Al-Haiwân Al-Nâthiq kerap diartikan sebagai “hewan yang berbicara” lalu dibayangkan ada binatang berbicara layaknya manusia. Padahal hewan yang dimaksud di sini, beda dengan hewan dalam bahasa arab.
Hewan dalam bahasa indonesia, membedakan antara makhluk yang berakal dan tidak berakal yang keduanya sama-sama memiliki pancaindera. Tapi, dalam bahasa arab, hewan itu mencakup manusia dan binatang. Tapi yang membedakan manusia dan binatang adalah nathiq-nya (berakal). Insya Allah ini akan dibahas lebih lanjut di pembahasan Kulliyyat al-Khamsah.