Note: Anda bisa membaca bagian ini kembali -untuk memantapkan pemahaman- setelah selesai di bagian nau’ dan ‘aradh ‘amm. Anda juga harus memperhatikan gambar yang saya sebut “pohon” untuk memahami. Jika dikatakan atas, bawah, menaik, menurun, atau arah yang demikian dan ada dalam pembahasan al-kulliyyât al-khamsah, itu tidak lepas dari arah dalam Pohon Porfirius. Misal: “Di atasnya nâmiy” maka yang dimaksud adalah sesuatu yang ada di atas nâmiy, dan Anda merujuk pada gambar pohon tersebut untuk mengetahui “Sesuatu yang di atas” yang saya maksud.

Sekitar abad ke-3 sebelum masehi, ada sebuah tradisi di Yunani dalam membentuk definisi, yaitu menggunakan Pohon Porfirius (Arbor Phophriana/Porphyrius Tree). Itu bisa Anda saksikan di gambar di bawah ini. Porfirius selaku seorang filusuf yang mencetuskan teori “pohon” ini, sengaja membuat metode “pohon” ini untuk memudahkan dalam memahami Categoria karya Aristoteles. Kemudian hari, “pohon” ini akan dikembangkan sampai terbentuk pembahasan al-kulliyât al-khamsah.
Dalam mendefinisikan, tentu Anda harus mengetahui sesuatu yang anda definisikan itu masuk dalam kategori apa atau jenis (jins) apa. Setelah itu Anda harus menemukan sesuatu yang membedakannya dari sesuatu yang lain atau dalam hal ini, dia disebut “pembeda” (fashl). Kemudian, setelah Anda menemukannya, barulah Anda bisa mengetahui esensi utuhnya (nau’).
Tapi, harus Anda ketahui bahwa mencari sebuah hakikat sesuatu, harus mengkonsepsikan sesuatu itu sampai bagian paling atasnya yang tidak ada lagi sesuatu di atasnya. Itulah jenis tertinggi (jins ‘ali) yang bisa kita temukan dalam pohon ini.
Misalnya saja, anda ingin mendefinisikan manusia, maka anda harus membayangkan bahwa manusia ini masuk dalam kategori apa. Ternyata manusia masuk dalam kategori haiwân. Haiwân ini menjadi jins bagi manusia. Setelah itu, Anda akan mencari jins dari haiwân ini lagi, maka Anda akan menemukan bahwa di atas (yang menjadi kategori dan jins) haiwân ini adalah nâmiy (bisa tumbuh). Lalu Anda mencari yang ada di atas nâmiy ini lagi, maka nâmiy ini lagi termasuk dari kategori jism (sesuatu yang berjasad atau memiliki fisik/korpus). Lalu jism ini termasuk dari jauhar[1].
Kalau kita mencari apa yang ada di atas jauhar, maka tidak ada yang ada di atasnya. Karena jauhar adalah jins yang paling atas (jins ‘ali) dan tidak ada kategori lagi di atasnya.
Maka, manusia didefinisikan dengan “haiwân nâthiq” jika diartikan secara harfiah, maknanya “hewan yang berpikir”. Tapi, dalam konteks ini, hewan yang dimaksud, tidak seperti yang kita kenal dalam bahasa Indonesia. Tapi, haiwân yang dimaksud di sini adalah “Jism nâmiy hassas mutaharrik bi al-irâdah” (fisik yang tumbuh, memiliki kesensitifan/pancaindera, bisa bergerak sesuai kehendaknya). Sedangkan nâthiq adalah “al-quwwah al-mudrikah” (potensi untuk berpikir).
Maka, haiwân nâthiq (manusia) adalah “Kâ’in hayy mudrik bi al-quwwah” (Sesuatu yang hidup, memiliki potensi untuk berpikir). Lalu bagaimana dengan orang yang cacat akalnya? Misalnya gila. Kemampuan berpikir manusia di sini hanya disebut dengan redaksi “potensi” (bil quwwah). Kalau pun akalnya cacat, tidak bertentangan dengan definisi yang diberikan, karena definisi hanya mengatakan “potensi” bukan “aktual” (bil fi’il). Kalau pun secara aktual dia berpikir, juga tidak bertentangan definisi ini. Kalau tidak, potensi itu tetap ada. Dan sekali lagi, di definisi hanya dikatakan “potensi” bukan “secara aktual”.
Timbul pertanyaan, kenapa ketika kita mencari kategori sesuatu, mengarah ke atas? Jawabannya, sebagaimana di tulisan sebelumnya tentang kulliy dan juz’iy, bahwa sesuatu yang lebih umum itu adalah kulliy. Dan kulliy merupakan kategori dari juz’iy. Maka ketika kita membayangkan kategori yang ada di atasnya, itu sudah sebuah keniscayaan, karena kita akan mencari kategori sesuatu itu mengarah ke atas (mutashâ’id). Itulah mengapa ada kaidah bahwa untuk mengetahui urutan jins itu ditinjau secara menaik -dalam Pohon Porfiri- (mutasâ’id).
Pada pembahasan-pembahasan akan datang, kita akan mengenal seperti apa itu jins, fashl, nau’, khassah, dan ‘aradh ‘amm beserta pembagiannya. Tiga yang pertama tidak lepas kaitannya dari pohon ini, dua yang terakhir tidak ada dalam pohon ini, tapi tetap ada kaitannya. Ini sebagai gambaran umum saja untuk mencari hakikat sesuatu sekaligus gambaran untuk pembahasan yang akan datang.
Footnote
[1] – Jika diibaratkan dengan sebuah alur cerita, maka pembahasan jauhar ini masuk dalam alur tambahan atau filler saja dalam fan ilmu mantik ini. Bagian ini hanya menjelaskan jauhar saja. Kalau Anda belum membutuhkan, Anda bisa melewatkan catatan kaki ini.
Sederhananya, jauhar ini adalah inti dari sesuatu atau yang biasa kita kenal adalah substansi. Coba bayangkan “pulpen yang berwarna merah”. Pulpen ini adalah adalah jauhar, sedangkan yang melekat pada Jauhar, yakni warna merah itu dinamakan ‘aradh (aksiden).
Contoh lain, “Pohon yang tinggi”. Pohon adalah jauhar, sedangkan sifat tinggi ini adalah ‘aradh. “Kereta yang panjang” kereta adalah jauhar, sedangkan panjangnya adalah ‘aradh. “Meja yang bundar” meja adalah jauhar, sedangkan bundar adalah ‘aradh. Dan lain-lain sebagainya.
Dalam pembahasan ilmu kategori/ten categories (Al-Maqûlât Al-‘Asyarah), jauhar dan ‘aradh menjadi pembahasan pokok. Disebut sepuluh kategori, karena jauhar dihitung sebagai satu, sedangkan ‘aradh memiliki sembilan pembagian. Inilah yang disebut dengan al-ajnâs al-‘âliyah (genus superior). Jauhar hanyalah salah satu dari al-ajnâs al-‘âliyah itu yakni -di Pohon Porfirius- posisinya sebagai jins ‘ali (genus superior).
Ada ulama yang membuat nazham 2 bait mengenai kesepuluh kategori tersebut:
زيد الطويل الأزرق ابن مالك # في بيته بالأمس كان متكئا
في يده غصن لواه فالتوى # فتلك عشر مقولات سوا
Kesepuluh kategori itu kita dapatkan jika ditafsirkan seperti:
- Zaid adalah Jauhar (Esensi)
- Al-Thawîl adalah Kamm (Kuantitas/Quantity)
- Al-Azhraq adalah Kaif (Kualitas/Quality)
- Ibn Mâlik adalah Idhâfah (Relasi/Relation)
- Fî Baitihi adalah Ain (Kebertempatan/Somewhere)
- 6. Bil Ams adalah Matâ (Keberwaktuan/Time)
- Muttaki adalah Wad’h (Posisi/Position)
- Fi Yadihi adalah Milk (Kepemilikan/Having)
- Lawâhu adalah Al-Fi’il (Aktivitas/Activity)
- Faltawâ adalah Al-Infi’al (Pasivitas/Pasivity)
Secara terjemahan, penulis belum bisa menerjemahkannya dengan bahasa yang mudah kecuali hanya dengan mengeluarkan maksud dari nazham itu.
Kali ini, kita hanya terfokus pada kategori pertama saja. Para filusuf (hukama’) dan teolog (mutakallimûn) memiliki masing-masing definisi terkait dengan jauhar ini. Para filusuf mendefinisikan jauhar dengan:
ماهية إذا وجدت في الخارج كانت لا في موضوع مستغنٍ عنها
“Esensi yang apabila ditemukan di alam nyata, maka dia tidak butuh kepada maudhu’ yang tidak butuh kepada esensi itu.”
Lebih jelasnya, jauhar adalah makna universal yang apabila individu-individu yang berada dalam cakupannya itu ada di alam nyata, maka ia tidak berada pada subjek tertentu. Ringkasnya, jauhar itu, ada dengan sendirinya, keberadaannya tidak bergantung kepada sesuatu yang lain.
Sedangkan menurut para mutakallimûn, mendefinisikan jauhar dengan:
ما تحيز بالذات
“Sesuatu yang bertempat yang kebertempatannya itu karena dirinya sendiri.”
Misalnya, “handphone” yang berwarna cream yang saya pakai menulis ini, dia adalah jauhar. Mengapa? Pertama, dia adalah sesuatu yang bertempat (tahayyuz). Kedua, kebertempatannya tidak bergantung kepada sesuatu yang lain. Handphone saya keberadaannya tidak bergantung (tidak gara-gara) dengan keberadaan warnanya (‘aradh), tidak juga karena adanya buku, dan lain-lain. Dia ada bukan gara-gara ada buku, lantas handphone saya ada. Bahkan, tanpa harus adanya buku, handphone saya bisa ada.
Beda halnya dengan ‘aradh, ketika saya menyebutkan “Handphone yang berwarna cream.”, warna cream ini adalah ‘aradh. Warna cream ini tidak akan ada karena keberadaannya bergantung kepada handphone itu. Dengan kata lain, ‘aradh keberadaannya bergantung kepada jauhar, sedangkan jauhar keberadaannya tidak bergantung kepada sesuatu yang lain.
Melihat definisi yang dikemukakan para filusuf, kita bisa mempertanyakan satu hal: “Mengapa jauhar disebut sebagai mâhiyyah?” Istilah mahiyyah (esensi) akan dijelaskan secara khusus untuk membedakannya dari haqiqah (eksistensi) dan huwwiyyah (identitas). Yang jelas, mâhiyyah itu suatu makna universal yang disertakan untuk menjawab pertanyaan “Apa itu?” (Ada pembahasan khusus yang membahas pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dalam tradisi ilmiah, namun kita tidak punya waktu membahasnya di sini).
Arti harfiahnya mâhiyyah adalah “ke-apa-itu-an”. Atau definisi lainnya:
ما به شيء هو هو
“Mahiyyah adalah sesuatu yang lain itu menjadi dirinya sendiri.”
Contoh sederhananya “Fauzan itu apa?” (Mâ huwa Fauzan?) Tentu beda kalau saya bertanya “Fauzan itu siapa?” (Man huwa Fauzan?). Jika yang kedua menanyakan sifat, maka yang pertama menanyakan hakikat. Jika ada pertanyaan “Apa itu Fauzan?” Maka jawabannya adalah manusia. Lalu, apa itu manusia? Manusia adalah haiwân nâthiq (hewan yang punya potensi berpikir). Lalu apa itu hewan? Hewan adalah jism (korpus) yang tumbuh (nâmi), yang memiliki sensitivitas (hassâs), yang bergerak berdasarkan kehendaknya (mutaharrik bi al-irâdah). Lalu apa itu jism? Jism adalah jauhar (substansi) yang bisa terbagi, atau jauhar yang memiliki tiga dimensi. Kita akan membahasnya setelah membedah definisi jauhar ini.
- Apakah jauhar ini ada di alam nyata? (Wujûd khârijiy)
Jawabannya, ya, ada. Sebagaimana frasa yang ada dalam definisi jauhar yang dikemukakan oleh para filusuf “Idzâ wujidat fî al-khârij lâ fi maudhu” (jika didapati di alam nyata, maka dia tidak berada dalam maudhu’).
Lalu, apa dimaksud dengan maudhu’ di sini? Yang dimaksud dengan kata maudhu’ itu adalah “Mahall qâim bi nafsihi wa al-muqawwim li ghairihi” (Sesuatu yang ditempati yang berdiri sendiri dan membuat sesuatu yang lain itu berada dalam dirinya).
Mahall, jika diterjemahkan ke bahasa Indonesia, maka dia bisa bermakna tempat. Tapi, kalau kita berhenti sampai “tempat” saja, maka pemaknaan kita terhadap kata jauhar itu bisa keliru. Kalau kita juga pahami jauhar sebagai sesuatu yang tidak bergantung pada tempat, bisa saja timbul pertanyaan: Bukannya setiap makhluk itu bertempat dan butuh pada tempat? Sementara segala sesuatu (makhluk) pasti membutuhkan kebertempatan. Maka ada yang menerjemahkan kata maudhu’ ini -untuk memudahkan pemahaman- dengan kata “subjek” dan juga sesuatunyang ditempati, bukan tempat.
Lalu, jauhar terbagi lagi. Menurut ulama Asy’ariyyah, jauhar terbagi menjadi dua. Pertama, jauhar al-fard. Kedua, jism. Jauhar al-fard adalah bagian yang tidak terbagi (al-juz alladzi lâ yatajazza’) dan jism adalah sesuatu yang tersusun dari dua jauhar fard, atau lebih. Ada juga yang mengatakan bahwa yang kedua ini adalah bagian yang bisa terbagi (al-juz yatajazza’)
Kalau melihat Pohon Porfirius, maka kita tidak melihat bagian pertama. Mengapa? Karena sekali lagi, bagian pertama tidak termasuk dalam pembagian karena sejak awal dia memang sudah tidak terbagi. Kita hanya melihat bagian yang terbagi saja, yaitu jism dan ghairu jism. Pembagian-pembagian ini ke bawah sampai ujung secara dikotomis (ensklusi tertii).
Sedangkan ulama Muktazilah, membagi jauhar menjadi empat. Yakni: 1) Jauhar al-Fard (atom/quark). 2) Al-Khath al-Jauhariy. 3) Al-Sath al-Jauhariy. 4) Jism al-Thabi’iy. Ini menurut mutakallimûn.
Adapun menurut para filusuf, jauhar dibagi menjadi 5: 1) Hayûlâ (Matter/Materi). 2) Shurah (Form/Bentuk). 3) Jism (Corpus). 4. Nafs (Soul/Jiwa). 5) ‘Aql (Intellect/Akal). Bagian ini juga tidak penulis bahas karena ada pembahasan penjang dan perdebatan keras lagi panjang antara mutakallimûn dan falâsifah. Nanti dibahas dalam ilmu kategori (al-maqûlat) yang akan mendatang.
Lalu, bagaimana dengan Tuhan? Apakah Dia juga jauhar? Sejak awal, Tuhan sudah keluar dari definisi yang sudah dikemukakan, baik itu menurut filusuf dan mutakallimûn. Karena menurut filusuf -sebagaimana pada definisi sebelumnya- bahwa jauhar adalah mâhiyyah. Sedangkan Tuhan bukan mâhiyyah. Lalu jauhar menurut mutakallimûn juga adalah sesuatu yang bertempat, sedangkan kita tahu bahwa Tuhan tidak bertempat. Ini alasan pertama.
Alasan kedua, jauhar dan ‘aradh hanya berlaku pada hal-hal yang mumkinât (hal-hal yang mungkin), sedangkan Tuhan bukanlah hal yang mungkin, tapi Wâjib al-Wujud (harus ada secara akal, dan akal tidak menerima ketiadaannya). Jadi, jauhar dan ‘aradh ini tidak berlaku bagi Tuhan maupun sifat-sifatnya.
Wallahu a’lam