Beberapa hari terakhir jagat maya dihebohkan dengan sosok tokoh yang men-itsbat-kan kewalian dan orang lain sebagai Imam Mahdi. Orang ini juga diklaim sebagai seorang mursyid (guru spiriatual secara khusus) oleh yang bersangkutan. Padahal orang yang diklaim ini, dari segi zahir saja banyak melanggar syariat, sudah tatoan, suka main biliar, dan ada juga yang mengumpulkan bukti kalau orang ini mem-follow perempuan-perempuan yang “itulah” di Instagramnya. Yang lebih bikin geger lagi, orang ini sampai mengangkat isu “Nama ruh” yang katanya nama itu nanti dipanggil di hari akhir dan kalau mau nama ruh itu dibukakan, harus bayar sekian rupiah dulu. Belum lagi ada pengakuan bahwa ini adalah tarekat Al-Malamatiyyah, ada mursyid dari alam ghaib seperti Al-Ghauts, Maulana Abati, dan lain-lain.
Apa kira-kira yang terlintas di kepala Anda kalau mengetahui yang bersangkutan ini disebut Imam Mahdi tapi zahirnya seperti ini? Sangat tidak pantas. Sebab, Imam Mahdi itu orang yang dipersiapkan Allah, tentu zahirnya dijaga. Juga Imam Mahdi tidak akan mengaku kalau dirinya adalah Al-Mahdi, sebab kata Syekh Yusri Jabr, Ulama Besar Tasawuf Mesir, Al-Mahdi itu tidak mengetahui kalau dirinya adalah Al-Mahdi. Mana mungkin Al-Mahdi itu akan ngaku-ngaku kan? Sedangkan dirinya sendiri, tidak tahu. Seolah ada kesepakatan “tidak langsung” dari para ulama, baik melalui lisan atau tulisan bahwa wali dan Al-Mahdi itu tidak akan memunculkan atau memaklumatkan dirinya. Yang mengetahui wali adalah wali dan Al-Mahdi itu dibaiat di depan ka’bah oleh para ulama dan wali. Juga Rasulullah Saw. menubuwatkan kalau Imam Mahdi ini adalah sosok dari Ahlul Bait dan namanya sama dengan nama Rasulullah dan ayah-Nya, Muhammad bin Abdullah. Dan anehnya, kesepakatan ini tiba-tiba diingkari oleh orang yang mengaku-ngaku itu.
Satu hal yang amat saya sayangkan, yang bersangkutan ini adalah sosok yang berilmu, disebut “Buya”, sudah mengaji hadis, banyak kitab akidah yang dikhatamkan, dan dari sisi akademik, yang bersangkutan ini adalah doktor. Orang ini adalah orang yang sering saya ikuti kajiannya saat kelas 2 SMA dulu dan saya sendiri kagum dengan kehebatannya. Tanpa menafikan rasa hormat dan segala kebaikan yang ada, saya angkat kaki dari ajarannya yang menabrak apa yang telah digariskan oleh Rasulullah Saw. dan para ulama. Semoga orang ini bisa kembali ke pangkuan Ahlussunnah seperti dulu.
Rasanya, masih ada benih-benih ketidakpercayaan. Kok bisa-bisanya orang berilmu bisa terjerumus ke aliran “menyimpang” itu? Awalnya saya tidak mengikuti arus kejadian ini, tapi sejak ada kawan yang bertanya tentang polemik “aliran” ini, saya kaget dong. Masa sih “Buya” yang itu? Diam-diam saya mengikuti pembongkaran bukti dari ceramah-ceramahnya saja. Saya masih berprasangka baik. Namun ada 3 hal yang membuat saya yakin; 1) Ketika orang yang diklaim Al-Mahdi ini menghapus video-videonya, yang merupakan guru dari “Buya” ini. 2) Lembaga “Buya” ini melarang membagikan video tanpa izin. 3) Pengakuan dari mantan murid sekaligus orang yang pernah menjadi sahabatnya, Buya Zulfikar Harun bersama istrinya bahwa yang bersangkutan mengatakan yang aneh-anehlah, seperti juga salah satu murid dari yang bersangkutan ini mengatakan kalau Buya Zulfikar ini memiliki “sayap setan”. Yang saya ingin tunjukkan adalah sikap dan perbuatan orang yang mengaku mursyid itu. Apa iya, orang yang benar-benar musryid, orang yang dekat dengan Allah itu memiliki sikap demikian?
Apakah ada respon dari kiyai dan ulama lain? Ada banyak. Ada juga beberapa yang masih belum mengambil sikap seperti kiyai Ma’ruf Khozin. Ada sikap ketidaksetujuan dari kiyai Abdul Wahab Ahmad, kiyai Abdi Kurnia, buya Alfitri, kiyai Hidayat Nur dan beberapa lagi lainnya yang menyebut kalau ajaran ini tidak diajarkan oleh Rasulullah Saw. Sebagai orang yang “manut-manut” saja dalam persoalan tasawuf, saya memilih mengikut kepada yang mayoritas saja. Karena salah satu nubuwwat Rasulullah Saw. yang disampaikan oleh Syekh Ali Jum’ah, Mantan Mufti Mesir, melalui salah satu kanal televisi dengan riwayat bahwa umatnya Rasulullah itu tidak akan bersepakat dalam kesalahan dan kesesatan. Jika mendapati perbedaan pendapat, maka ikutilah yang mayoritas.
Terlepas dari isu-isu tasawuf itu, biarlah para kiyai dan ulama yang membahasnya lebih dalam. Apalagi beliau-beliau ini adalah sosok yang berilmu dan amanah. Tidak mungkin beliau-beliau ini bersepakat untuk mengkritik kejanggalan-kejanggalan dari “Buya” ini, kecuali memang ada kesalahan. Saya hanya fokus pada isu klaim kesesatan tasawuf secara general dari haluan sebelah yang berangkat dari penggorangan isu kejanggalan ini.
Membedah Nalar
Seperti yang saya katakan pada salah satu tulisan tentang radikal sebelumnya, apakah dengan adanya satu atau dua kasus ini kita bisa menggeneralisir secara utuh? Maksudnya begini, ketika dalam Islam ini ada segelintir kecil orang yang bermasalah pahamnya sampai memilih untuk melakukan bom bunuh diri, apakah dengan segelintir orang yang tidak seberapa ini, kita menghukumi seluruh Islam bahwa Islam ini sesuai dengan segelintir ini? Mari panggil akal sehat untuk berkata tidak.
Misalnya lagi, Anda memiliki universitas yang di dalamnya memiliki prinsip-prinsip moral dan akademik seperti tidak berbohong, tidak melakukan kecurangan intelektual, dan lain-lain. Tiba-tiba ada dua atau tiga butir yang melanggar apa yang diajarkan universitas sejak awal. Apakah kita bisa mengatakan bahwa dua atau tiga ini merupakan cerminan dari universitas itu? Dengan tegas, jawabannya tidak. Kalaupun tidak terlalu sedikit, seperti sekitar 40% dari seluruh mahasiswa yang melanggar ajaran universitas ini, apakah bisa dikatakan kalau mereka ini mewakili atau mencerminkan universitas itu? Jawabannya, tidak. Bagaimana mungkin kita menilai sesuatu yang universal melalui sebagian partikular saja? Menurut akal sehat, ini tidak bisa diterima.
Sama juga misalnya ada seorang cewek yang pacaran dengan tiga orang laki-laki dan ternyata tiga orang ini adalah orang yang tidak baik dan menyakiti perempuan ini. Akhirnya karena termakan dengan emosi yang amat besar, akhirnya perempuan ini menyimpulkan “Semua cowo sama aja!”. Apakah kesimpulan ini bisa diterima? Jawabannya jelas tidak. Kenapa, masih ada laki-laki yang tidak seperti diasumsikan oleh perempuan ini. Itupun dia memukul rata laki-laki berdasarkan kasus “segelintir” saja, alias oknum.
Begitu juga dalam tasawuf. Anggaplah ada yang sesat, terpeleset, dan nyeleneh. Tapi, ada berapa orang yang tergelincir? Apakah semua yang masuk tasawuf itu tergelincir sebagaimana yang diasumsikan? Tentu untuk menjawab ini, kita harus tentukan duduk masalahnya atau istilah intelektualnya, tahrîr mahall al-nizâ’ dan kita harus tentukan, konsep tasawuf seperti apa yang sebenarnya digugat. Jangan sampai kita hanya berdebat dan berdiskusi pada sesuatu yang sejak awal sudah berbeda konsepnya. Ini tidak akan ketemu jika demikian.
Konsepsi
Kita harus menentukan dulu, tasawuf seperti apa yang kita bahas sekarang. Jika tasawuf didefinisikan sebagai membawa ajaran dan agama baru tentu yang seperti ini tidak bisa kita terima. Dan jelas, tasawuf seperti ini itu jelas sesat. Tasawuf seperti ini tidak diajarkan oleh nabi, sahabat, dan ulama manapun. Tapi, beda halnya kalau kita melihat tasawuf seperti apa yang dianut oleh Ahlussunnah. Tasawuf yang dimaksud oleh ulama Ahlussunnah adalah pembersihan jiwa dari penyakit hati. Seperti kata Imam Al-Ghazali, membersihkan jiwa dari penyakit hati hukumnya wajib, maka bertasawuf itu wajib. Tapi sekali lagi, tasawuf yang dimaksud adalah dalam konteks “pembersihan jiwa dari penyakit hati”. Ada banyak konsep tasawuf lain. Menurut para peneliti ada sekitar 2000 konsep mengenai tasawuf, disebabkan pengalaman spiritual yang berbeda.
Namun terlepas dari itu semua, penghukuman kita terhadap tasawuf itu tergantung seperti apa konsep yang kita bangun. Sebab ada kaidah “al-hukm ‘an al-syai’ far’u ‘an tashawwuruihi” (Penghukuman kita terhadap sesuatu tergantung dari konsep yang kita bangun sejak awal). Kalau orang yang menyatakan tasawuf itu adalah ajaran dan agama baru yang sesat itu dipertemukan konsepnya dengan orang yang menyatakan tasawuf adalah pembersihan jiwa dari penyakit hati, ini tidak akan ketemu. Kita tidak bisa menghukumi tasawuf dalam konsep pembersihan hati melalui tasawuf dalam konsep ajaran baru itu, karena konsepnya berbeda, apalagi sampai kepada kesimpulan kalau semuanya sesat, ini lebih liar lagi.
Jadi, untuk memukul rata tasawuf itu sebagai ajaran sesat, perlu ditinjau ulang kembali. Tasawuf seperti apa yang kita maksud, karena kaidah mengatakan “al-‘ibrah bi al-ma’na la bi al-lafzh” (Yang dianggap adalah maknanya, bukan lafaznya). Meskipun kata-kata yang dipakai adalah “tasawuf” tapi isinya tidak sesuai yang dimaksud oleh para ulama Ahlusunnah dan menabrak ajaran prinsipil dalam Islam, tentu ini menjadi keliru. Tapi kalau yang dimaksud adalah pembersihan jiwa dan hati, maka sebenarnya orang yang mengharamkan tasawuf itu, bertasawuf dengan konsep ini. Mereka hanya tidak memakai kata “tasawuf”, tapi tazkiyyah al-nafs. Seperti kata Abu Walid bin Rusyd (dikenal dengan Ibnu Rusyd), Filusuf Muslim dari Barat, bahwa bungkuslah kebatilan dengan agama, maka orang mengira itu adalah sebuah kebenaran. Maksudnya, ketika kebodohan dan kebatilan dibungkus atas nama agama, maka saat itu orang mengira itu agama, karena mereka tertipu dengan istilah yang kental dengan syariat, kata-kata doang, bukan isi atau apa yang diinginkan oleh kata-kata itu. Dan seharusnya kita tidak tertipu dengan kata-kata itu, tapi apa yang diinginkan oleh kata-kata itu.
Wallahu a’lam