Saya barusan membuka salah satu tayangan di Youtube, di sana ditampilkanlah tiga sosok anak yang sudah ditinggal oleh kedua orang tuanya yang saat ini sudah kembali ke pangkan ilahi. Menurut informasi, kedua orang tuanya dibom oleh para teroris saat peristiwa Bom Bali tahun 2002 silam. Ada satu momen para jurnalis yang bersangkutan itu mempertemukan keluarga korban dengan para pelaku yang menjadi pelaku pengeboman waktu itu. Saat bertemu dan mengobrol, seolah ada rasa sakit yang tersembunyi dan tersegel di balik senyuman yang ditampilkan itu. Rasa itu sangat wajar saja muncul bagi sosok yang normal dan akalnya masih sehat. Manusia manapun tidak mau merasakan itu. Tapi kalau mempertanyakan, apa penyebab dan bagaimana mengatasinya itu tidak mudah.
Sekitar satu tahun lalu, kalau tidak salah di Instagram menteri agama sedang membahas terkait melunjaknya mahasiswa di Mesir beserta beberapa fakta yang memilukan bahwa ada di antara mahasiswa itu yang terpapar paham radikalisme. Iseng-iseng, saya membuka kolom komentar. Ada beberapa yang melontarkan narasi bahwa isu-isu radikal itu tidak penting, lebih penting membahas korupsi yang saat ini merajalela di negara kita bersama. Rasanya agak lucu saja, karena menganggap ada yang “lebih” diutamakan untuk diberantas, padahal kedua isu tersebut sama-sama krusial. Radikalisme menciderai agama dan korupsi menciderai negara. Juga kita melihat ada banyak butir yang disebut “pemerintah” pada ranahnya masing-masing. Kalau satu atau dua komentar, saya mungkin tidak merasa terganggu. Tapi, bukan hanya satu atau dua konten, tapi lebih yang di dalamnya ada banyak yang acuh tak acuh saja terhadap masalah ini. Adapun kalau mau mengatakan itu hanya bagian dari kebebasan dan kita harus menghormati itu. Hemat saya, tidak semua pendapat itu dapat diterima. Sebab, ada juga pendapat yang tidak layak disetarakan dengan pendapat yang memenuhi standar ilmiah itu. Namun saya tidak mau membahas ini lebih jauh di tulisan ini, mungkin pada waktu yang lain.
Kembali ke masalah radikalisme. Kalau membaca literatur yang becorak pemikiran, kata-kata yang melambangkan paham selalu diakhiri dengan imbuhan “-isme”. Seperti, materialisme, atheisme, nasionalisme, theisme, dan isme-isme lainnya. Hanya saja, banyak yang melepaskan kata “-isme” itu ketika mencari makna “Radikalisme” yang dimaksud. Akhirnya, mereka berkesimpulan bahwa radikalisme itu tidak berbahaya. Benarkah demikian? Mari kita usut tuntas.
Radikal dan Radikalisme
Kalau kita membuka Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), maka kita akan menemukan kata radikal itu bermakna positif. Seperti, “Secara mendasar”. Maksudnya, ketika dikatakan berpikir secara radikal, maksudnya berpikir dengan memiliki asas yang paten dan jelas. Berpikir seperti ini sangat bagus dan seharusnya memang orang berpikir seperti ini. Apakah makna seperti ini yang diinginkan “Radikalisme” itu? Dengan tegas, jawabannya tidak. Bagaimana mungkin orang bersepakat menghujat, mengutuk, dan menjauhkan keluarga dan anak mereka dari sesuatu yang mereka ketahui itu positif? Secara nalar sehat, pasti bukan yang ini. Tentu yang dimaksud adalah makna yang negatif. Alasannya, orang bisa bersepakat memandang sebelah nan sinis sesuatu yang sifatnya negatif. Seperti korupsi. Adakah orang yang nalarnya sehat itu memuja-muja korupsi? Atau mengajarkan keluarga dan anak-anaknya agar melakukan perbuatan yang amat tercela itu? Jangankan kita-kita yang tidak menyentuh perbuatan itu, bahkan pelaku sendiri di dalam lubuk hatinya yang terdalam mencela perbuatan itu, mereka juga tidak ingin keluarga dan keturunannya melakukan hal tersebut. Atas dasar ini, kita harus men-ta’yin makna radikalisme yang ingin dihapuskan di atas dunia, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.
Seperti yang saya katakan sebelumnya, ketika sebuah kata dimasuki dengan akhiran “-isme” makna kata dasarnya berubah nuansanya menjadi bau-bau paham dan pemikiran. Kalau kita membuka KBBI lagi, maknanya juga sudah berubah. Salah satu makna bagi saya yang relevan adalah “Paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastis”. Sebelum lebih lanjut, ada tradisi para intelektual Islam dalam membaca definisi, yaitu membongkar seluruh cakupan agar kita bisa melihat secara gamblang seperti apa yang diinginkan oleh definisi ini. Tradisi ini dikenal dengan istilah ihtirâz. Saya akan menguraikan dalam tiga poin:
- Frasa “Paham atau aliran”. Frasa pertama ini mencakup dua hal. Pertama, paham yang radikal dan non-radial. Kedua, individu dan kelompok yang mungkin mengamini paham tersebut. Jadi kalau satu orang atau sekelompok yang mengamini suatu paham dan aliran tanpa memandang aliran apapun, mereka belum bisa dikatakan orang radikalis dalam konteks ini. Selain itu, aliran yang dimaksud bukan aliran air yang seperti di gorong-gorong. Tapi dia sinonim dengan kata paham. Kenapa bisa mencakup seseorang dan kelompok? Karena adakalanya orang menyimpan paham yang mereka miliki sendirian adakalanya juga mereka membentuk kelompok dan bersepakat tentang paham yang mereka anut. Ini belum cukup untuk menyingkap radikalisme itu.
- Frasa “Yang menginginkan perubahan dan pembaharuan sosial dan politik”. Frasa ini sudah membatasi keumuman frasa pertama. Ini sudah mengeluarkan paham atau aliran yang tidak menginginkan perubahan dan pembaharuan apalagi secara sosial dan politik. Ini juga menggambarkan tujuan dari paham yang dianut. Jadi, poin akhir yang ingin dicapai oleh paham ini adalah perubahan dan pembaharuan. Ini mengindikasikan kalau mereka itu tidak sepakat dengan keadaan sosial dan politik yang ada. Untuk apa mereka merubah kalau sepakat kan? Ini sudah mencakup orang-orang yang suka berbeda sendirian (ghurabâ’). Perbedaan ini dalam artian menyelisihi apa yang sudah dianut secara umum di tempat tertentu, tanpa memandang seperti apa substansi paham yang mereka tabrak. Tapi, kalau definisinya dicukupkan sampai di sini, maka orang yang menginginkan perubahan baik secara ekstrim atau tidak bisa dikatakan radikalis. Tentu ini tidak bisa diterima. Maka diperlukan lagi frasa untuk membatasi itu.
- Frasa “Dengan cara kekerasan dan drasis”. Frasa ketiga ini, sudah mengeluarkan paham atau kelompok yang menginginkan perubahan dan pembaharuan sosial dan politik dengan cara moderat dan bertahap dalam cakupan kata radikalisme. Frasa ini juga menggambarkan corak khas yang membedakan radikalisme dan yang lainnya. Kalau mereka menginginkan perubahan dengan cara yang kasar dan drastis (tidak bertahap), maka ini sudah menandakan radikalisme mereka, menurut definisi yang ada dalam KBBI ini. Kata kekerasan ini sudah mencakup banyak perbuatan seperti perang, pembunuhan, dan perbuatan yang tidak mengenal tidak belas kasihan lainnya. Selain itu, kata “drastis” ini menggambarkan kalau paham radikalisme itu tidak menginginkan proses dan tahapan, harus serba cepat.
Dari tiga poin di atas, sepertinya konotasi radikalisme itu sudah jelas sangat negatif. Tapi, mungkin masih bisa timbul pertanyaan. Bagaimana kalau ada orang yang punya pemahaman itu tersimpan dalam dirinya tapi mereka biasa-biasa saja, dalam artian mereka tidak melakukan pembunuhan, kekerasan, dan semacamnya? Apakah mereka masih bisa dikatakan radikalis? Jawabannya itu kita dapatkan kalau kita melihat rentetan frasa tersebut. Kenapa kita harus melihat rentetannya? Karena kaidah umum dalam menyusun definisi itu harus dimulai dari yang umum (jins/genus) sampai paling khusus yang membedakan dia dengan yang lainnya (fashl/differentia). Ini kaidah yang diperkenalkan oleh para manâthiqah (logikawan). Secara umum, radikalisme itu “paham”. Setelah paham, ada tujuan dan cara merealisasikan paham itu. Tujuan dan cara itu masuk dalam cakupan “paham” yang sifatnya abstrak, tidak kelihatan. Juga, tujuan itu sifatnya abstrak, tidak kelihatan dengan kasat mata. Adapun tata caranya, dia sudah ada dalam bentuk potensial (al-quwwah), bukan dalam bentuk aktual (bi al-fi’l).
Dari poin ini masih mungkin lagi ada pertanyaan, bukannya kita semua mungkin saja melakukan itu? Artinya, saya, Anda, dan siapapun di atas permukaan bumi ini bukannya mungkin saja melakukan perbuatan yang keras dan drastis itu? Kalau iya, apakah kita semua ini radikal? Kalau dikatakan berpotensi, ya semua orang di muka bumi ini mungkin saja melakukan perbuatan tersebut. Tapi ada yang membedakan, seberapa besar kemungkinannya? Bedanya mereka dan kita dalam paham tersebut, mereka memilih untuk menganggap paham itu sebagai paham yang benar. Sedangkan kita menolaknya. Kira-kira, apakah kemungkinan untuk itu sama ketika sejak awal kita sudah menolak dan mereka menerimanya? Mari undang akal sehat untuk mengatakan iya. Sebab, kita akan ragu melakukan sesuatu yang sejak awal kita tolak, sedangkan orang kalau menganggap perbuatannya itu benar, mereka tidak akan ragu melakukannya. Buktinya, ketika kita menganggap membawa hp di pesantren itu sebagai perbuatan benar, maka kita tidak akan ragu untuk melakukannya, bahkan untuk bermain hp di depan kepala asrama sekalipun. Bedanya kalau kita menganggap perbuatan itu sebagai sebuah pelanggaran, kita akan sembunyi-sembunyi melakukannya. Karena kita tahu kalau ini tidak boleh. Yang menganggap benar dan salah, sama-sama berpotensi tapi bukan berarti sama-sama berpotensi, besaran kemungkinannya juga sama. Ini perlu dicatat.
Munculnya Khawarij dan Keterkaitannya dengan Radikalisme
Kalau kita membuka lembaran sejarah Islam, sejak zaman salaf itu sudah ada radikalisme. Ketika disebutkan radikalisme, mereka diidentikkan dengan paham Khawarij. Kisah dimulai saat meletusnya perang Shiffin yang melibatkan dua sahabat senior, Khalifah Ali bin Abi Thalib dan Mu’awiyah bin Abi Sufyan. Perang ini terjadi pada tahun 657 M. Ini disebabkan ada tragedi sebelumnya yang menewaskan khalifah ketiga, Utsman bin ‘Affan. Para sahabat ingin mengusut tuntas, siapa pembunuh ‘Utsman bin ‘Affan kepada khalifah yang sah saat itu, khalifah Ali bin Abi Thalib. Namun, ada keputusan sang khalifah dengan segenap pertimbangan yang tidak membuat para sahabat itu puas sampai akhirnya meletuslah Perang Jamal, yang saat itu yang menjadi lawan sang khalifah adalah istri nabi, Aisyah Ra bersama dua sahabat senior, Thalhah bin Ubaidillah dan Zubair bin Awwam Ra. Tentunya dua kubu ini berbeda dalam ijtihad, lalu setelah itu mereka melihat ini sebagai persoalan serius, maka meletuslah Perang Jamal di Bashrah saat itu.
Setelah perang berakhir, Mu’awiyah tentu masih tidak setuju dengan apa yang diputuskan khalifah terkait penangguhan qishash terhadap para pembunuh ‘Utsman bin ‘Affan. Setelah perang ini, terjadilah Perang Shiffin. Dalam perang ini, kubu khalifah Ali bin Abi Thalib itu sempat membuat kelompok Mu’awiyah itu terpojok yang berujung pada arbitrase (tahkîm). Ketika Mu’awiyah memberikan penawaran tersebut di tengah terjadinya perang dengan mengangkat mushaf di atas tombak, di sini ada dua suara besar di kubu khalifah. Kelompok pertama mengatakan untuk menerima tawaran itu. kelompok kedua memilih menolak, tetap serang saja. Ketika khalifah memustuskan untuk menerima, ada sekitar 40 ribu orang dari kelompok khalifah yang membangkang. Inilah kemudian dikenal dengan sekte Khawarij atau lebih spesifiknya, Imam Al-Syahrastani menyebutnya dalam Milal wa Nihal dengan sebutan Khawarij: Al-Muhakkimah Al-Ula.
Mereka punya pandangan-pandangan yang coraknya keras dan mudah mengkafirkan. Mereka mengkafirkan dan menghalalkan darah yang tidak sependapat dengan mereka. Ini terlihat dari riwayat yang menyebutkan bahwa mereka mengkafirkan empat tokoh besar yang terlibat dalam arbitrase itu; 1) Ali bin Abi Thalib. 2) Abu Musa Al-Asy’ari. 3) Mu’awiyah bin Abi Sufyan. 4) ‘Amr bin ‘Ash. Dan dari tiga tokoh itu, ada satu yang berhasil dibunuh oleh tokoh Khawarij itu, Abdurrahman bin Muljam. Apakah dia tidak tahu Al-Qur’an? Sebenarnya dia tahu, dia adalah sosok yang taat beribadah dan hafal Al-Qur’an dari Al-Fatihah sampai Al-Nas. Tapi, dia membunuh Ali bin Abi Thalib dengan dalih ayat tafsirannya sendiri. Bahkan dia membaca ayat di momen pembunuhan itu.
Paham Khawarij itu punya visi-misi yang tersirat, yakni ingin membuat seluruh dunia sepaham dengan mereka baik dalam perkara ushȗl maupun furȗ’. Namun, mereka lupa bahwa berbeda itu niscaya. Artinya, ini perubahan secara sosial. Adapun perubahan politik, itu ada juga. Itu terlihat seperti pembunuhan Ali bin Abi Thalib karena mereka melihat sistem itu tidak sesuai dengan keinginan mereka. Selain itu, mereka ingin perubahan itu drastis dan bunuh-bunuhan itu sah-sah saja. Sifat-sifat yang dimiliki Khawarij ini sesuai dengan definisi radikalisme yang disebutkan di atas.
Apakah Khawarij Masih Hidup?
Kalau menanyakan apakah Khawarij hidup atau tidak, kita bisa melihat dua aspek. Pertama, Khawarij sebagai nama kelompok. Kedua, Khawarij sebagai ideologi. Kalau yang dimaksud yang pertama, mungkin kita bisa mengatakan Khawarij itu sudah mati. Tapi, kalau kita melihat bagian kedua, maka kita akan mengatakan bahwa Khawarij itu masih hidup. Alasannya, ide atau pikiran itu bisa melintasi ruang dan waktu. Pemikiran itu bisa hinggap di siapapun tanpa harus menyebutkan “Saya Khawarij loh!”. Pemikiran itu bisa diwariskan walaupun pencetusnya sudah tidak ada di dunia.
Ada satu kaidah “al-‘ibrah bi al-lafzh lâ bi al-ma’na” (Yang kita lihat adalah isi, bukan casing). Maksudnya begini, ketika ada orang mengatakan “Saya tidak pacaran, hanya temenan”, tapi yang dia lakukan adalah kontak fisik dan komunikasi khusus dengan lawan jenis yang bukan mahram di luar ikatan pernikahan. Walaupun mereka tidak mengatakan kalau yang mereka lakukan adalah pacaran, tapi praktik yang mereka lakukan itu sesuai dengan substansi pacaran yang dilarang oleh agama. Yang dilihat, bukan yang dia sebut sebagai “temenan” itu, tapi apa esensi dan inti yang dia lakukan. Sama dengan kasus paham Khawarij ini, mereka mungkin menyebut dirinya sebagai orang yang kembali kepada Al-Qur’an dan hadis, tapi perbuatannya sama dengan Khawarij zaman dulu. Tetap saja Khawarij, sebab sekali lagi yang dilihat adalah substansi pahamnya, bukan nama pahamnya. Sebab, substansi paham bisa ada tanpa memakai nama Khawarij, tapi memakai nama-nama lain.
Saya pribadi melihat, ada banyak paham-paham mulai dari era Yunani Kuno sampai era Renaissance yang dinyatakan mati secara de jure. Tapi, masih hidup secara de facto. Misalnya, sofisme yang menjadi lawan Socrates pada abad ke-5 SM. Sebenarnya, mereka sudah dibabat habis oleh Socrates. Tapi, sifat-sifat mereka seperti suka mencari kemenangan dalam perdebatan, mengunggulkan retorika, egoisme, politik identitas, dan lain-lain itu masih ada sampai hari ini, walaupun mereka tidak menyebut dirinya sebagai sofis. Tak terkecuali Khawarij yang digolongkan sebagai radikalisme ini.
Dampak yang Ditimbulkan
Dampak yang muncul dari paham ini ada banyak, apalagi ketika yang menjadi target pemahaman ini adalah orang awam yang murni semangat beragama tapi tidak dengan belajar agama. Apa saja itu? Pertama, ketika orang terjangkit paham ini, dia akan merasa benar. Sampai di sini mungkin belum ada masalah. Sebab, ketika kita berbicara dalam dimensi teologis, merasa benar itu bukan masalah. Namun, ketika merasa benarnya ini mengantarkan dia meyakini bahwa merasa benar itu diangkat ke ranah sosial, menganggap orang lain bersalah, dan harus diperbaiki dengan cara yang keras, di sini sudah berbahaya. Sebab, ini merusak kemaslahatan umum. Selain itu, kalau orang merasa benar, khususnya dalam paham radikalisme ini, dia tidak akan ragu melakukan pertumpahan darah dan melakukan kerusakan dalam skala besar. Coba perhatikan pelaku bom bunuh diri itu, apakah mereka ragu untuk melakukannya? Seandainya mereka ragu, untuk apa mereka nekat sampai mengorbankan nyawa?
Kedua, ini akan merusak icon agama Islam itu sendiri. Memang kita harus mengamini bahwa oknum itu tidak mewakili latar belakang yang dia anut. Tapi, apakah semua orang berpikir demikian? Kelihatannya tidak. Kenapa? Salah satu yang membuat fenomena sosial yang bernama islamofobia atau ketakutan yang berlebihan terhadap Islam itu karena ada kekerasan yang mereka lihat dari beberapa oknum saja. Kalau membuka media-media di pelosok Barat dan sebagian di Timur sana, ada yang menggambarkan Islam itu sebagai ajaran yang keras, bersahabat dengan bunuh-membunuh, dan lain-lain. Tentu dengan melihat kenyataan bahwa banyak orang yang menghukumi suatu agama, ide, ideologi, institusi, dan hal universal lainnya melalui oknum itu harus menjadi pertimbangan. Tentang menilai sesuatu yang umum melalui kasus yang sedikit itu pernah saya bahas dalam salah satu tulisan. Ini seperti saya katakan di awal bahwa radikalisme itu dampaknya terhadap agama.
Deradikalisasi
Dalam KBBI, kata pengikat “de-“ bermakna dua; 1) Menghilangkan. 2) Mengurangi. Dalam konteks radikalisme, pengikat tersebut lebih cocok ke makna pertama. Sebab, radikalisme itu bukan hanya dikurangi dari orang, tapi dihilangkan. Adapun kata “-sasi” di akhir kata menunjukkan proses keberlangsungkan peniadaan radikalisme. Jadi, deradikalisasi itu menunjukkan peniadaan radikalisme itu sendiri.
Apakah ini penting dilakukan? Melihat dampak yang ditimbulkan di atas, kita bisa berkesimpulan bahwa deradikalisasi itu harus dilakukan. Karena dengan radikalisme, orang tidak akan ragu untuk membunuh. Dengan radikalisme, keamanan masyarakat itu terancam. Bahkan bisa sampai negara kita tercinta, Indonesia dampaknya. Bisa saja dikafirkan dan merusak keberlangsugan rakyat dan pemimpinnya. Kita harus mencatat baik-baik bahwa sebuah perbuatan itu dimulai dari pikiran. Kalau sejak di pikiran sudah bermasalah, apalagi perbuatannya. Iya, memang radikalisme itu sesuatu yang abstrak (wujȗd al-dzihni). Tapi, dengan keberadaannya di pikiran orang akan mendorong orang untuk melakukan aksi-aksi yang konkrit. Tentu hal seperti ini tidak direstui agama. Sebab, dalam maqâshid al-syari’ah atau tujuan syariat itu ada untuk menegakkan kemaslahatan umum. Bukan malah merusaknya.
Lalu, bagaimana caranya? Umumnya, deradikalisasi ini dilakukan dengan memperkenalkan lagi Islam sebagai agama yang moderat dan memperkenalkan konsep-konsep Islam yang sudah digagas oleh para ulama yang tentunya mencerminkan Islam yang dibawakan oleh Rasulullah Saw dan diteruskan estafetnya oleh para ulama. Bahkan lebih ampuh kalau ditaburi dengan argumentasi rasional. Sebab, agama ini bukan dogma buta, tapi sejalan dengan akal sehat dan kemanusiaan. Tentu harusnya yang menyampaikan ini kepada mereka adalah orang yang benar-benar ahli dalam bidang pemikiran. Sebab, urusannya dengan pemikiran.
Wallahu a’lam.