Dalam salah satu kesempatan, ada salah seorang junior yang saya nilai mudah “tersihir” dengan keindahan sastra. Saya rasa itu wajar. Karena memang itu kelebihan yang dimiliki sastra. Sastra, dia bisa menghipnotis para pendengar dan pembaca, seolah dunia, penglihatan, dan pendengarannya tidak ada. Bahkan, sastra bisa menundukkan akal, walau penggunanya itu jelas-jelas bersalah. Tapi, bukan berarti tidak ada yang bisa lolos dari dekapan sihir sastra itu. Para filusuf yang benar-benar mengindahkan akal dan mereka dianugerahi kemampuan untuk terlepas dari hipnotis yang diciptakan sastra itu. Sebagaimana sastra dianugerahi kekuatan untuk menghipnotis lawan bicara.
Saya mengatakan kepada junior tersebut “kalau engkau menjadi filusuf, maka engkau tidak mudah patuh dengan kata orang“. Saya tidak bermaksud mengajarinya menjadi orang yang kepala batu, tapi karena manusia diberikan keistimewaan berpikir, maka saya mengajaknya berpikir untuk mempertanyakan dan mencari esensi dari keindahan kata itu. Jika takjub dan kagum adalah sebuah penyakit, maka obatnya adalah mempertanyakan.
Filusuf memiliki kekuatan untuk mempertanyakan segala hal. Kuatnya kekuatan akal itu membuatnya memiliki pribadi yang independen, kebenaran tidak dipegang oleh pihak tertentu, tapi kebenaran itu lahir dari rahim argumen. Sampai-sampai ada kesimpulan yang bisa menjadi pukulan telak bagi para sastrawan. Mantra itu berbunyi “lafaz itu tidak ada!”. Semenjak anggapan itu tertanam dalam diri filusuf, maka sekuat apapun sihir sastra tidak akan terpengaruh kepadanya.
Ada satu peristiwa paling monumental yang terukir di atas lembaran kertas buku sejarah dengan tinta emas. Peristiwa itu menceritakan ketika sang guru besar para filusuf, disebut-sebut sebagai orang paling berilmu oleh para dewa, Socrates berhadapan dengan para sastrawan dan ahli retorika yang dikenal dengan sebutan “kaum sofis”. Tidak sedikit orang yang mengira kaum sofis itu memegang kebenaran mutlak karena sihir sastra itu membuat para pendengar berpihak kepada orang yang bersastra.
Pertarungan itu tercatat terjadi pada abad ke-5 SM di kota Athena, Yunani. Pertarungan ini bukan tentang kejayaan salah satu klan, bukan tentang merebutkan bola naga yang menyebabkan hancurnya planet-planet. Tapi pertarungan ini tentang menegakkan kebenaran. Saat pertarungan itu dimulai, Socrates memulai menggunakan jurus pertamanya dengan mengeluarkan mantra sakti “jelaskan makna kata-kata yang anda keluarkan!”.
Jurus itu menimbulkan daya ledak yang sangat besar kepada orang-orang yang suka bermain-main dengan lidahnya. Sebab, mereka dituntut mempertanggungjawabkan kata-katanya. Setiap mereka memberikan jawaban untuk menangkis jurus yang dikeluarkan Socrates, maka mereka dijawab lagi dengan pertanyaan susulan yang mempertanyakan jawaban itu.
Sebenarnya, Socrates itu hanya memiliki satu jurus saja, yakni bertanya. Itu karena Socrates dari awal tidak memiliki rasa tidak tahu. Itulah yang mendorongnya untuk terus bertanya. Sampai ketika kaum sofis itu tersudut dan tidak bisa menjawab, barulah mereka mengatakan “kami tidak tahu”. Lalu, Socrates memberikan uluran tangan kepada mereka “Berarti kita sama, sama-sama tidak tahu”. Dunia Barat maupun Timur mengabadikan kisah ini dalam rak-rak perpustakaan mereka. Saat memulai pelajaran logika, kisah ini selalu dihaturkan melalui lisan para pengajar.
Tapi, tidak bisa dipungkiri bahwa para filusuf mengakui keindahan bahasa itu ada. Mereka hanya menahan decak kagumnya dengan mempertanyakan esensi perkataan itu, agar tidak mudah terhipnotis. Walaupun di sisi esensi banyak sastra yang kalah, tapi bukan berarti filsafat itu tidak boleh mengulurkan tangannya kepada sastra untuk bersatu menuju pelaminan.
Jika sastra dapat menghipnotis dengan segenap keindahannya dan filsafat dapat membuat para filusuf itu percaya akan esensi sebuah perkataan, maka menikahnya filsafat dan sastra bisa menaklukkan seluruh barisan akal yang ada di muka bumi ini. Ya, filsafat membuat penggunanya menyalakan akalnya. Sedangkan sastra membuat penggunanya menyalakan hatinya. Maka menikahkan keduanya membuat penggunanya menyalakan akal dan hatinya. Sehingga satu kalimat yang keluar, bagaikan tombak yang menusuk dada lawan bicaranya sampai tembus. Apapun yang dia katakan membuat jiwa-jiwa itu tunduk dan patuh.
Ada satu risalah yang pesannya kurang lebih “jangan sampai telingamu membutakan akalmu“. Maksudnya, menilai suatu ucapan itu tidak cukup hanya dengan sekedar lewat polesan sastra dan retorika, tapi seberapa berisi ucapan itu. Kalau kita hanya mendengar lalu percaya, lantas untuk apa akal menjadi esensinya manusia?